NovelToon NovelToon

Sebatas Anganku

Kesalahannya, yang terlanjur menggantungkan kebahagiaannya pada seseorang.

-"Aku tahu kamu kuat. Kamu pasti bisa melewati ini semua, tanpaku." kata seorang lelaki sembari menggenggam erat kedua tangan gadis yang berdiri tepat dihadapannya.

Gadis itu hanya menatapnya tajam seolah masih tak percaya dengan apa yang dikatakan lelakinya.-

-//-

"Ava!"

teriakan itu sontak membuat lamunan gadis yang tengah duduk diantara keramaian stasiun pecah. Caitlin Avantika adalah namanya, atau yang lebih akrab disapa Ava. Dia beranjak dari tempatnya dan tersenyum menyambut kedatangan sahabat baiknya, Fena. Dengan menyeret koper dan menenteng tas mini di pundaknya, Fena menghampiri Ava yang kini sudah berdiri tepat di depannya.

"Lama ya?" tanya Fena

"Enggak. Ya udah yuk." jawab Ava lantas mengajak sahabatnya itu pergi, meninggalkan stasiun.

Mereka adalah dua orang yang sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMA. Kedekatannya sudah tak diragukan lagi, apalagi sejak setahun terakhir Fena memang tinggal di rumah sahabatnya itu.

Setelah lulus dari SMA, Ava tinggal sendiri. Bukan tanpa sebab, ia harus menerima kenyataan pahit dan pilihan berat dalam hidupnya. Kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Sehingga mau tidak mau Ava pun harus mengambil resiko dengan hidup tanpa bimbingan orang tuanya lagi. Ayahnya kini telah menikah lagi, sementara ibunya pindah ke kota lain. Ava pun tidak memiliki saudara, dia anak satu-satunya. Bertahan di tempatnya tumbuh besar adalah pililhannya sendiri, dengan kenangan kebersamaan keluarganya yang kini mustahil untuk diwujudkan lagi.

Ava membuka pintu rumahnya dan membiarkan sahabatnya masuk untuk bisa segera mengistirahatkan diri. Fena merebahkan tubuhnya di atas kursi sofa ruang tamu, melepas penat setelah melakukan perjalanan. Pekan lalu Fena mengambil izin cuti untuk pulang ke kota kelahirannya di Surakarta. Hari ini ia kembali ke Yogyakarta dan Ava menjemputnya. Fena adalah anak pindahan saat SMA karena saat itu orang tuanya dipindah tugaskan ke Yogyakarta. Ia sering berpindah sekolah sebab itu. Dari sanalah akhirnya dua sahabat ini bertemu dan menjadi dekat. Namun akhirnya Fena memutuskan untuk tetap di Yogyakarta, apalagi saat mengetahui keadaan yang dialami Ava, ia ingin menemani sahabat yang sangat disayanginya itu.

"Aku pergi bentar ya Fen." kata Ava dari dalam kamar. Fena yang tadinya bermalas- malasan dengan ponsel di tangannya langsung beranjak. "Kemana?" tanyanya.

Dari balik pintu muncullah Ava yang sibuk membenarkan posisi tas selempang kecil di pundaknya.

"Bentar aja kok."

"Aku ikut."

Fena bergegas mengekori Ava yang sudah siap dengan motornya. Ava pun tak menolaknya dan tanpa pikir panjang ia menarik pegasnya. Dalam sekejap, motor yang mereka naiki lenyap dari halaman rumah itu.

-//-

Ratusan buku tersusun rapi di tempatnya. Tulisan di papan kecil menandakan kategori buku di masing-masing rak. Bola mata Ava memutar ke tiap sudut ruangan, mencari buku yang mungkin menarik perhatiannya. Sesekali ia mengambil satu untuk sekadar membaca kutipan yang ada di sampul belakangnya, yang mungkin ia akan suka.

Membaca sudah menjadi hobi Ava sejak dulu. Tak semua buku ia baca, ia hanya menikmati novel dan komik. Sesekali ia akan membeli beberapa buku untuk memuaskan hobinya. Namun itu tak berlaku untuk Fena. Fena lebih suka menghabiskan waktunya untuk berbelanja atau sekadar makan dan nongkrong di cafe. Memang, dua orang ini sangat kontras. Sifat dan karakter mereka jauh berbeda, meski begitu mereka tetap saling melengkapi.

Setelah selesai dengan buku-buku kesukaan Ava, inilah saatnya memuaskan keinginan Fena. Mereka pergi ke sebuah cafe terdekat.

"Aaaahhh..."

Fena melepas dahaganya dengan lemon tea ice favoritnya, sementara Ava dengan tenang menikmati cappucino panas yang telah dipesannya bersama beberapa camilan sebagai pelengkap.

"Jadi gimana? Ceritain dong kemarin kamu pulang ngapain aja." Ava meletakkan cangkirnya dan siap mendengar cerita dari Fena.

"Nggak ada. Setelah pesta aku di rumah aja." celetuk Fena tak bersemangat.

"Jutek banget." tegur Ava menyudutkan bibirnya seraya menggoda Fena yang tak berminat melanjutkan ceritanya.

"Males tahu Va. Tiap kali ke acara nikahan pasti pertanyaannya itu-itu aja"

"Kapan nyusul?" ucap Ava dan Fena bersamaan yang disambung dengan gelak tawa mereka.

Dengan sisa pembahasan itu, Fena kembali fokus pada layar ponsel di genggaman tangannya. Entah apa yang ia sibukkan.

Tiba-tiba saja suasana jadi hening, membuat Ava diam dan termenung. Pikirannya mulai berlarian dan mencari-cari hal yang sebenarnya tak perlu. Bayangan seorang lelaki terlintas di benaknya. Lelaki yang sempat mengisi kekosongan hatinya kala itu.

Sudah dua tahun lamanya, sejak perpisahan itu, namun tak sedikitpun Ava melupakannya. Menghapusnya pun tidak. Hingga kini, ia masih terjebak pada perasaan semu yang diciptakannya sendiri. Adalah kesalahannya, yang terlanjur menggantungkan seluruh kebahagiaannya pada lelaki itu, setelah hancur hatinya sebab perpisahan orang tuanya.

Memang tidaklah mudah. Terlalu banyak kenangan buruk dalam pikirannya, terlalu berat baginya untuk menghapusnya seorang diri. Kehancuran keluarga, ditinggalkan orang terkasih, berjuang untuk bangkit sendiri bukanlah hal yang mampu ia lakukan. Banyak tekanan yang ia rasakan, namun tak pernah sedikitpun ia tunjukkan. Fena pun tak pernah tahu tentang itu. Yang ia tahu sekadar orang tua Ava yang berpisah dan kekasih Ava yang meninggalkannya begitu saja, ia tidak tahu menahu tentang sebab dan akibatnya. Fena pun tak pernah menanyakan apapun pada Ava, ia takut akan menyinggung sahabatnya, atau mungkin tanpa sengaja menyakiti hatinya dengan membuka luka lama.

"Va.. Ava?"

Fena melambaikan tanganya tepat di depan muka Ava, membuat lamunannya pun pecah seketika. Tampak Ava yang berusaha menyadarkan diri, mengembalikan fokus pikirannya yang sempat kacau.

"Mikirin apa?" tanya Fena serius.

"Nggak ada." jawab Ava sambil menggelengkan kepala diakhiri dengan senyum tipis di wajahnya. Sambil mengalihkan perhatiannya, ia kembali menikmati cappucino pesanannya yang sudah mulai dingin. Sementara Fena masih terus asik dengan ponselnya sembari menyantap camilan-camilan yang masih utuh di atas meja.

Haruskah dunia sekejam ini? Tak cukupkah dengan satu luka?

Lembar per lembar album foto itu dibukanya. Sesekali ia usap foto-foto kecil yang tertempel rapi di dalamnya. Seorang anak kecil perempuan bersama dua orang dewasa, tampak foto lain anak kecil yang sedang asik bermain. Ava memandangnya sambil tersenyum, mengusap perlahan foto itu. Kenangan yang dimilikinya dari kedua orang tua yang hingga kini enggan ditemuinya.

Sebenarnya bukan tidak ingin ia menemui orang tuanya, ia hanya belum siap, ia takut membuka luka lama di hatinya. Rasa trauma ditinggalkan orang-orang terkasih begitu melekat pada dirinya.

Pikiran Ava teralihkan seketika mendapati ada yang menarik lembut ujung celananya. Growi, kucing kesayangannya, tengah bermain asik di bawah kakinya. Melihat tingkah Growi, kelucuannya, cukup mampu mengobati kekosongan hatinya. Growi adalah pemberian dari seseorang yang telah lama meninggalkannya. Meski begitu, Ava sudah terlanjur menyayangi Growi, siapa yang memberikannya sudah tak jadi masalah baginya.

Ava mengelus tubuh Growi dengan lembut kemudian diangkatnya dan diletakkan di pangkuannya sambil terus membelai bulu-bulu lembutnya dengan penuh kasih sayang. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka cukup keras. Benar saja, Fena ada dibaliknya. Gadis itu memang tak bisa sedikit saja lembut.

"Astaga Ava.. udah siang nih, yuk, nanti telat." kata Fena

Biasanya Ava yang akan mengomel karena Fena yang kelamaan berias diri.

"Iya iya bentar."

Ava melepas Growi dan mengambil tasnya lalu bergegas pergi. Meski berbeda tempat kerja tapi dua sahabat ini selalu pergi bersama karena tempatnya searah. Terlebih hanya ada satu motor, milik Ava. Dengan berboncengan menaiki motor itu, mereka pun pergi, meninggalkan rumah yang sudah terkunci rapat.

Sementara Growi sengaja dibebaskan di luar rumah dan dititipkan pada tetangga untuk sekadar mengawasi. Barangkali dia akan bertemu dan bermain dengan kucing di sekitar.

-//-

Hari ini adalah hari Sabtu. Biasanya Ava hanya akan bekerja setengah hari saja. Begitu pun dengan Fena, namun dia suka menyibukkan diri. Di akhir pekas seperti ini, selepas bekerja ia akan pergi ke toko bunga milik sahabatnya, sekadar membantu mengelola toko kecil yang baru beberapa bulan dirintis sahabatnya itu. Ava pun sesekali ikut membantu, namun ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk hal lain.

Lila, pemilik toko bunga sekaligus sahabat Ava dan Fena sejak duduk di bangku SMA. Entah berita apa yang akan disampaikan Lila, wajahnya begitu berseri, senyum sumringah menghiasi wajahnya.

"Wah wahh ada apa nih? Sepertinya lagi senang sekali." kata Fena seraya menggoda.

Lila yang sibuk dengan bunga-bunga di hadapannya semakin melebarkan senyum di wajahnya. Ava dan Fena mendekatinya lalu duduk bersamanya mengitari bunga yang berserakan di atas meja berbentuk bulat itu.

"Aku dapat pesanan bucket banyak. Pasti senang dong" Lila tampak sangat gembira sambil terus menyelesailan rangkain bunganya yang hampir selesai.

"Waahh bakal sibuk banget dong" giliran Ava yang mencoba menggoda sahabatnya.

"Eh tapi kalian bantuin aku ya. Lusa harus udah selesai, nggak mungkin aku bisa kerjain sendiri" ucap Lila seraya membujuk manja kedua sahabatnya, meski ia tahu jawabannya pasti "iya".

"Jadi, butuh karyawan dadakan nih?" Kata-kata Fena pun memecah tawa ketiganya.

Sedang asik dengan obrolan mereka sembari merangkai satu per satu tangkai bunga, lonceng yang tergantung di pintu masuk tiba-tiba berbunyi, menandakan seseorang telah datang ke dalam toko.

"Ada yang datang, bentar ya.."

Lila pun bergegas memeriksa dan siap melayani barangkali pelanggannya yang datang. Sementara Ava dan Fena terus melanjutkan pekerjaannya, merangkai bunga untuk dijadikan bucket. Ava begitu diam dan tak banyak bicara hari ini. Bahkan beberapa hari terakhir, Fena merasa Ava begitu tenang, seperti patung hidup. Hanya bicara apa yang perlu.

Fena tak menanyakannya sebab tahu itu hanya akan sia-sia. Yang ia tahu, di saat seperti ini, Ava sedang memendam masalahnya. Bukan tidak peduli, hanya saja Ava tidak akan membuka diri jika ditanya, terkecuali atas inginnya sendiri.

Ava beranjak dari tempat duduknya sembari membersihkan badannya dari serpihan kelopak bunga yang rontok, berjatuhan di pangkuannya. Bangku yang tadi didudukinya sedikit bergeser sehingga menimbulkan suara nyaring di telinga.

"Mau kemana?" tanya Fena.

"Keliling. Mau lihat-lihat bunga" jawab Ava lantas bergerak, berjalan menyusuri sisi-sisi toko.

Fena hanya mengangguk dengan masih terus memandangi punggung Ava yang semakin menjauh dari tempatnya.

Bunga-bunga yang bermekaran membuat seluruh ruangan penuh dengan aroma dari berbagai jenis bunga. Lila memang hobi merawat tanaman, hingga suatu hari ia salurkan hobinya itu pada bisnis yang saat ini dijalankannya. Hampir semua tanaman yang dirawatnya tumbuh dengan sangat baik, keuletannya pun membuahkan hasil. Banyak jenis bunga yang dijualnya di toko ini.

Satu per satu tangkai bunga yang dipetiknya, ia masukkan ke dalam keranjang kecil yang ditenteng di tangan kirinya. Ava mengelilingi setiap sudut ruangan, memetik beberapa bunga yang dibutuhkan. Sambil menikmati keindahannya dan sesekali menghirup aroma bunga yang baginya cukup menenangkan jauh dalam benaknya.

Di tengah kesibukan matanya mencari, pandangannya teralihkan pada seseorang yang berdiri di tempat kasir, tengah melakukan transaksi dengan sahabatnya, Lila. Punggung lelaki itu seperti tak asing baginya. Tak lama setelahnya, lelaki itu segera mengambil bingkisan dari meja kasir dan berbalik arah, berniat pergi. Namun tanpa sengaja mata mereka bertemu. Ava terbelalak. Matanya tertuju pada lelaki yang langkahnya terhenti setelah berhadapan dengannya. Hanya kontak mata, tak ada obrolan.

"Va?" Lila yang memanggil dari tempat kasir sontak membuyarkan lamunan Ava yang sedari tadi masih fokus pada lelaki yang kini tepat berada di depannya. Tanpa mengatakan sepatah katapun, Ava berjalan melewati lelaki itu, menghampiri kedua sahabatnya. Lelaki itu pun hanya melirik tanpa membalikkan badan, kemudian beranjak pergi meninggalkan toko.

_"Mengapa di saat aku melepasnya, harapan itu justru seolah mengejar kembali? Apakah itu takdir atau nasib? Haruskah dunia sekejam ini? Tak cukupkah dengan satu luka?

Manusia selalu dibuat bimbang dengan berbagai macam pilihan. Orang bilang, semakin berat ujian hidupmu maka semakin besar Tuhan menyayangimu. Namun bagiku, semua itu semu. Bagaimana aku bisa mempercayakan hidupku jika aku sendiri tak lagi mampu percaya pada diriku sendiri?"

Kali ini tentang dirimu.

"Hal yang paling menyakitkan dari ini adalah tak ada seorang pun yang dapat kau andalkan di saat keadaan terburuk menimpamu. Bahkan dirimu sendiri seolah tak lagi sanggup menanggungnya sendiri. Saat kau kehilangan dirimu dan mulai membenci dirimu sendiri. Beberapa orang mulai menganggap remeh keluhan-keluhan yang sempat terlontar dari bibir bekumu, yang sebenarnya diri seperti itulah yang membutuhkan pertolongan. Saat seseorang mulai memperlihatkan tanda depresi yang mungkin tak disadari."

"Aku pulang duluan ya." kata Ava pamit

"Ada apa?" tanya Lila yang merasa itu tiba-tiba.

"Aku capek, ingin tidur."

Tanpa basa-basi dan pertanyaan lain Fena dan Lila membiarkan Ava pergi meninggalkan toko. Lila menatap Fena yang tak goyah sedikitpun ditinggalkan Ava sendiri, sebab keduanya datang berboncengan dengan motor Ava. Ia melarikan tatapannya pada sisi meja yang Fena pun lakukan, sebuah kunci motor dengan gantungan boneka panda kecil terkapar di sisi tepi meja.

"Dia nggak akan pulang, pasti lagi cari angin" ucap Fena sangat yakin. Lila hanya membuang napas sembari melanjutkan pekerjaannya. Ava pergi tanpa membawa motornya, ia sengaja tinggalkan untuk Fena. Saat ini mengejar Ava hanya akan sia-sia, itu hanya akan membuatnya merasa tidak nyaman dan membuat suasana hatinya semakin buruk.

"*Katakan padaku, jika memang ini takdir kita*.

*Jika memang harus sesakit ini, harusnya jangan ada yang kembali*."

Orang-orang bergegas membawa tas, koper, dan barang bawaan mereka memasuki gerbong kereta yang akan berangakat. Beberapa orang lainnya berlalu lalang menuju pintu keluar. Terdengar jelas dan bising sekali suara bel dari kereta yang perlahan melaju, meninggalkan stasiun. Gesekan roda besi dengan rel terasa begitu nyaring terdengar di telinga. Tak berapa lama, kereta pun lenyap dari pandangannya.

Ava menyandarkan punggungnya di kursi sembari menatap lintasan kereta api di depannya. Benar, setelah dari toko Lila, ia tak langsung pulang melainkan mendaratkan kakinya di stasiun ini. Baginya stasiun adalah tempat untuk merasa lebih baik setelah bertengkar dengan diri sendiri. Baru saja ia selesai menerima panggilan dari ibunya. Dengan ponsel yang masih tergenggam di kedua tangan, lamunannya masih tersusun sangat sempurna.

"Kamu bilang sama ayahmu kalau kamu mau ikut ibu, suruh jual saja rumah itu."

Kurang lebihnya itulah inti pembicaraan mereka sebelum akhirnya Ava memutus sambungan teleponnya. Dari dulu ibunya bersikeras membawanya, namun Ava menolak dan memilih untuk hidup sendiri tanpa tekanan dari manapun. Itupun yang membuatnya enggan menemui ayah maupun ibunya. Bertengkar dengan diri sendiri sudah cukup melelahkan baginya.

Terasa ada getaran dari kursinya, membuat Ava terkejut dan tersadar dari lamunannya. Sontak ia menoleh ke sisi kanannya, ia dapati seorang lelaki yang tengah duduk dengan tenang disampingnya memandang lurus ke depan.

"Be- Beni..?" ucap Ava terbata setelah menyadari sosok lelaki yang kini tersenyum sempurna padanya.

"Hai Va? Apa Kabar?" tanya lelaki yang memiliki nama Beni itu tanpa mengurangi sudut bibir yang telah menghiasi wajahnya. Tanpa sepatah katapun, Ava memalingkan wajahnya dari Beni, bola matanya berlarian seolah mencari, berusaha untuk tetap tenang dengan dirinya.

"*Haruskah aku menerima kenyataan ini atau justru harus ku melawan takdir?

Mengapa hati ini terus terombang-ambing bagai terdampar di lautan luas, pada hal-hal

yang tak pernah pasti*?"

Dia adalah lelaki yang sempat dijumpainya tadi di toko bunga Lila. Beni Irawan, atau yang akrab disapa Beni, adalah senior satu tingkat diatasnya. Dulu, mereka adalah sahabat yang bisa dikatakan cukup dekat. Anehnya, Fena dan Lila tak tahu menahu soal itu. mereka hanya tahu Beni adalah kakak kelasnya.

Ava memang dikenal dengan seorang yang misterius. Tak ada yang tahu bagaimana kehidupannya, ia sangat menjaga privasinya. Jalan hidup yang tak pernag diinginkannya membuat Ava terpaksa menutup rapat dirinya. Ketakutan-ketakutan yang diciptakan dalam kepalanya membuat ruang geraknya terbatas. Ia akan berpikir berkali-kali sebelum akhirnya mengambil tindakan. Perasaan takut akan suatu penolakan dari dunia luar membuat dirinya tak bergerak maju dan hanya terjebak pada masa-masa kelamnya.

"Kita ketemu lagi". Beni tersenyum hangat pada Ava yang masih menatap lurus ke depan.

"Harusnya kita nggak ketemu." cetus Ava tanpa menoleh ke arah Beni. Sikap dinginnya begitu terasa, melebihi dinginnya udah di stasiun malam itu.

"Kamu masih sama."

Tatapan Ava seketika teralihkan, tertuju pada Beni, sangat tajam. Tanpa mengucap sepatah kata, Ava mengambil tas mininya dan lantas pergi meninggalkan Beni di stasiun kereta yang kini mulai sepi karena hari semakin larut.Tak ada pergerakan dari Beni, ia hanya membiarkan gadis itu berlalu sambil masih terus memandang punggungnya yang kini sudah tak terlihat dari pandangannya.

"*Saat aku mulai terbiasa tanpa hadirnya, tolong..

jangan goyahkan hatiku, lagi*.. "

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!