NovelToon NovelToon

LOVE OF FATE

MEMBATALKAN PERNIKAHAN.

💌 LOVE OF FATE 💌

 

🍀 HAPPY READING 🍀

.

.

...Hancurkan hatiku, hancurkan ribuan kali kalau perlu. Sejak awal hati ini memang milikmu untuk kau hancurkan....

🔸🔸🔸🔸🔸

Alvin meremas handphonenya saat panggilan itu terputus. Rahangnya mengencang karena menahan emosi. Perasannya hancur lagi. Ia hanya diam membeku di tempatnya. Sepertinya tidak ada jalan lagi untuk hubungannya. Berkali-kali hati ini terluka tapi bodohnya Alvin selalu memaafkannya.

Alvin duduk di sofa untuk melepaskan rasa sesak di dada. Menyapu rambutnya ke atas dengan kedua tangannya. Lalu membuang napasnya berulang kali. Tapi rasa sesak itu tak juga berkurang.

Marah, sedih dan kecewa, itulah yang dirasakannya saat ini. Seperti tak ada harapan untuk berusaha bangkit lagi. Dan ini benar-benar menyakitkan. Penyesalan Alvin adalah pernah hadir ke dalam hidupnya. Cinta yang selama ini dijaganya tapi dibalas dengan sebuah pengkhianatan. Luka pengkhianatannya terlalu menyakitkan. Ia sulit percaya. Dalam hati, dia masih bertanya-tanya, apa benar wanita yang telah dipercayanya begitu tega berkhianat? Kalau benar, kenapa? Apakah dia melakukan kesalahan hingga Allura tega melakukan itu disaat pernikahannya tinggal hitungan jam?

Setiap tetesan air mata ini tidak dapat mengobati rasa sakitnya saat ini. Ia mengembuskan napasnya yang terasa sesak. Ia mencoba membuka kancing bajunya, yang membuatnya terasa sulit bernapas. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Alvin tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Rasa cintanya hilang begitu saja, yang tersisa hanyalah rasa sakit.

Hujan masih mengguyur deras di kota A dan sampai sekarang rintik-rintik hujan masih menemani suasana pagi ini. Alvin sama sekali tidak terpejam, ia masih duduk di sudut kamarnya dengan perasaan sedih. Tatapan matanya kosong. Ia duduk di lantai dengan menyandarkan punggungnya ke tempat tidur dengan posisi bertongkak lutut dan tangannya ia letakkan di kaki. Kepalanya menunduk di antara ke dua kakinya. Alvin membiarkan rasa di hatinya hancur berkeping-keping. Putus asa seperti tidak jalan untuk memulihkan hatinya yang sudah tak utuh. Saat ini hatinya seperti mati rasa.

Alvin menengadah ke atas menatap langit-langit kamarnya. Hari ini adalah hari pernikahannya. Dengan tarikan napas panjang, Alvin memutuskan untuk menghubungi Marvel asisten kepercayaannya. Ia mengambil ponsel yang biasanya ia gunakan untuk urusan kantor.

Panggilan tersambung.

Marvel yang baru saja tertidur, tersentak dan reflek terbangun saat mendengar ada panggilan masuk. Padahal sebelumnya, Marvel tak bisa tidur setelah mendapat panggilan dari tuan Smith. Sebelum panggilan itu mati, Ia dengan cepat menerima panggilan itu.

"Selamat pagi tuan, ada yang bisa saya bantu?" Sahut Marvel dengan sopan di ujung telepon.

Alvin menarik napasnya yang terasa sesak. Ia berusaha kuat walau sesungguhnya ia sangat rapuh saat ini.

"Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini."

DEG!

Jantung Marvel seketika terpukul kencang. Ancaman tuan Smith langsung berputar di otaknya. "A-apa maksud anda tuan?" ucapnya pelan dan datar.

"Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Aku tidak bisa menikahi wanita licik seperti Allura. Dia tidak pernah mencintaiku."

Seperti dugaannya. Alvin akan melakukan hal itu. Dengan tarikan napas panjang. Marvel pun mencoba memberi pendapat. "Tapi tuan. Acara pernikahan tinggal hitungan jam. Coba anda pikirkan kembali. Itu akan mempersulit posisi anda." ucap Marvel dengan wajah tegang.

"Aku tidak perduli! Pagi ini aku akan meninggalkan apartemen. Jangan coba-coba menghubungiku."

Marvel mengembuskan napas sambil mengusap wajahnya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan tuannya itu.

"Jika dalam beberapa bulan aku tidak kembali, anggap saja aku sudah mati."

"Tuan....?"

"Jangan menyela saat aku bicara, Marvel. Apa kau ingin mati?" Bentak Alvin dengan mata menyalang tajam. Rahangnya mengencang kuat.

"Maaf tuan."

TIT

Alvin mematikan panggilan dengan sepihak. Ia bangkit dengan penuh emosi dan melempar handphonenya ke arah dinding kamarnya.

PRANG!

Benda pipih itu rusak mengenaskan. Serpihan-serpihan tajam yang berterbangan dan berserakan di atas lantai putih. Emosinya tak juga membaik. Napasnya masih tersengal. Tangannya mengepal kuat.

Tak puas sampai disitu, Alvin mengambil lampu tidur yang terdapat di sisi ranjang. Kemudian menabrakkan benda tersebut dengan cermin yang ada di sisi ranjang. Hingga menciptakan suara begitu keras. Ia menarik napas marah dan berucap.

"Untuk kali ini aku tidak akan memaafkanmu Allura. Sekali kamu bilang maaf, maka saat itu juga aku memaafkanmu. Aku pikir dengan memaafkan kamu dapat belajar dari kesalahan dan tidak akan mengulanginya lagi. Ternyata sepertinya aku sudah salah mengira. Dengan memaafkanmu satu kali, maka kamu berpikir bahwa aku akan memaafkanmu lagi." Alvin tersenyum getir di sana.

"Kamu harus tahu, aku sangat percaya padamu, makanya aku mau memaafkanmu dan berharap bahwa kamu tidak akan lagi mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak melihat itu kesalahan kecil atau besar, tetapi tentunya kesalahan yang kamu buat telah membuatku sakit. SANGAT SAKIT!" gigi Alvin saling bergesekan menahan emosi.

AAARGHHHHH

Alvin melayangkan tinjunya ke dinding beberapa kali, sampai buku-buku tangannya berdarah. Ia bersandar di sisi tembok. Tubuhnya yang bersandar merosot ke bawah, kakinya terasa lemah ia terduduk dengan posisi tangan yang terluka, tetesan darah yang terjatuh ia biarkan begitu saja.

"Ternyata dulu aku salah telah memaafkanmu. Ya, kini aku menyadari bahwa memaafkanmu adalah sebuah keputusan salah yang seharusnya tidak aku lakukan. Karena ketika kamu mengulangi kesalahan yang sama rasanya lebih sakit dari yang pertama. Aku merasa seperti sudah ditipu, dibohongi oleh orang yang sangat aku sayangi."

Alvin memejamkan matanya, rasa sesak itu masih menghimpit dadanya. Ia mencoba menarik napasnya dalam-dalam.

"Kini aku berjanji pada diriku sendiri bahwa nantinya maafku sudah tidak ada lagi untukmu. Aku tidak akan memaafkanmu lagi, tak peduli lagi. Aku juga tidak mau menghabiskan waktuku bersama orang yang tak pernah menghargai perasaanku." Sudut bibirnya melengkung ke atas. Alisnya menukik tajam. tangannya mengepal kuat.

Ia menyandarkan kepalanya sambil menatap keluar. Alvin ingin menguatkan hatinya, namun ia semakin tidak mampu. Luka itu semakin menggores hatinya yang paling dalam. Ia tak bisa mendefinisikan rasa sakit di hatinya.

"Maaf jika nanti aku sudah tidak mencintaimu lagi. Tekadku untuk menghilangkanmu dari dalam hatiku sepertinya sudah bulat. Meski pun kamu memohon, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Sudah cukup rasa sakit yang kamu berikan dulu, dan kini aku akan memberikan rasa sakit itu berlipat-lipat ganda. Aku ingin lihat, bagaimana ekspresimu saat melihat pengantin priamu tidak ada. Aku bisa pastikan kau akan mati saat itu juga." ucapnya tersenyum menyeringai.

Matanya menatap lurus, hampa dan kosong. Alvin mencoba menenangkan dirinya sebelum meninggal apartemennya. Acara pemberkatan pernikahannya akan dilangsungkan pukul 10 pagi. Mata Alvin kemudian bergerak liar, menyaksikan perbuatannya sendiri yang sudah membuat seisi kamar apartemennya berantakan.

Gumpalan awan yang bersusun-susun diiringi sinaran kilat atau pun petir yang memecah kesunyian pagi dengan sisa-sisa hujan yang masih setia menemani Alvin saat ini. Ruangan kamar Alvin yang begitu mencekam seakan mewakili hatinya. Cuaca hari ini mewakili perasaannya yang bersedih.

🔸🔸🔸🔸🔸

HARI PERNIKAHAN.

Acara pemberkatan pernikahan Alvin dan Allura dilangsungkan di hotel ternama di kota A,

Bunga putih yang dibuat seperti bunga hidup dengan nuansa blush pink mendominasi tempat pelaminan yang di isi dengan sofa putih dan chandelier yang memberi kesan mewah.

Kesan romantis disuguhkan dengan ornamen lilin ditaruh di gelas kecil menghiasi setiap meja. Di tambah kain-kain putih yang menjuntai indah. Bagian panggung untuk pengantin juga dihiasi bunga putih hasil karya Leota dan lilin di taruh di sekelilingnya.

Sementara konsep seating party, di mana para tamu duduk di masing-masing kursi yang sudah ditentukan. Dekorasi meja bundar juga mengusung tema elegan, dengan bunga kertas warna pink sebagai centerpiecesnya. Terlihat pula kristal menjuntai di bawah bunga.

SEMENTARA DI DALAM KAMAR HOTEL.

Keluarga Smith sudah panik, saat Alvin tidak bisa dihubungi. Maria, Ibu Alvin pingsan saat mengetahui anaknya meninggalkan apartemen sejak pukul 4 pagi tadi. Lukas tampak marah, rahangnya mengencang kuat, mencoba menghubungi Marvel.

"Apa?"

"Tuan Alvin, tidak ingin melanjutkan pernikahan ini, tuan." Jawab Marvel datar.

DEG!

Jantung Lukas seperti terhantam saat ini. Ia menahan napas dan mencengkram erat dadanya begitu kuat.

"Aku tidak mau tahu, cari Alvin sekarang juga!" Teriak Lukas di sana.

Ia langsung mematikan handphonenya. Lukas menggeleng tidak percaya, bagaimana Alvin bisa mempermalukan keluarga Smith seperti ini. Lukas menarik napasnya dalam-dalam, mencoba untuk menstabilkan napasnya yang naik turun begitu cepat. Lukas tidak mau mendapat serangan jantung dan mati mendadak sebelum Alvin mati di tangannya.

SEMENTARA DI DALAM KAMAR HOTEL LAINNYA.

Allura terlihat sangat cantik dengan makeup natural yang dipoles ke wajahnya. Bak malaikat dengan wajah lembutnya. Mata coklatnya yang indah membuatnya tidak perlu mengenakkan softlens.

Allura mengenakan gaun putih yang dipilih langsung keluarga Smith. Gaun yang memiliki desain terbuka yang akan membelai lantai. Bagian depan rok itu tidak terlalu panjang. Benar-benar gaun putih yang cantik dan sempurna. Impian setiap wanita di hari pernikahannya.

Dan langkah terakhir, ia dipasangkan tudung beserta mahkota di atas kepala Allura. Memancarkan kerlap kerlip berwarna silver dan membuatnya bercahaya. Sloyor dari tudung kepalanya itu sangat panjang. Namun tetap membuatnya melangkah bebas. Ia merasa nyaman menggunakannya. Terlihat sangat cantik dengan gaun putihnya. Cukup panjang dan jatuh beberapa meter ke lantai.

Selangkah lagi Allura akan masuk ke keluarga Smith. Perasannya begitu bahagia. Selama ini Alvin terlalu polos dan gila kerja. Hingga Alvin tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan Allura selama ini. Rahasia kehidupan dan masa lalunya, Ia tutup rapat-rapat dari keluarga Smith.

Allura akui Alvin terlalu mencintainya. Karena cintanya yang begitu besar apapun yang dilakukan Allura, Alvin selalu memaafkannya. Komunikasinya yang hangat, perhatian, perlindungan, dan pengorbanannya adalah beberapa bentuk implementasi cintanya yang luar biasa. Namun sebagai wanita, Allura tidak suka melihat sifat over protektifnya. Ia merasa kebebasannya dikekang. Namun kali ini Allura akan berhasil menahlukkan Alvin dengan caranya sendiri.

BRAKK!

Pintu dibuka dengan kasar, lamunannya seketika hilang karena begitu terkejut.

"Allura, Alvin....Alvin..." Elisabeth terdiam dan mencoba mengatur napasnya yang naik turun begitu cepat.

Allura terjengkit dari duduknya. Mendengar nama Alvin disebut jantungnya berdebar tidak karuan. "Ada apa dengan Alvin?"

"Alvin tidak ada di kamar hotel dan dia tidak bisa dihubungi."

"Apa?????????"

Tubuh Allura lemas dan saat itu juga ia pingsan dan tidak sadarkan diri.

BERSAMBUNG.....

^_^

Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini Novel ketujuh aku 😍

^_^

GADIS STRAWBERRY

💌 LOVE OF FATE 💌

 

🍀 HAPPY READING 🍀

.

.

...Hatiku akan benar-benar kuat dan tenang menghadapi segalanya jika di dalam hati selalu diberi celah untuk senantiasa berprasangka baik....

🔸🔸🔸🔸🔸

Eleanor memandang jam kayu yang bergantung di dinding kamarnya. Sudah pukul lima pagi. Ia tidak mau membuang waktunya. Ketika matahari belum beranjak dari peraduannya. Ia sudah bersiap-siap berangkat ke pasar. Di desa ini, pasar hanya aktif seminggu sekali. Masyarakat di sini rata-rata adalah petani atau peladang. Salah satunya adalah Eleanor.

Dia dijuluki sebagai gadis strawberry di desa ini. Karena hanya Eleanor yang memiliki kebun strawberry. Setelah ayah dan ibunya meninggal, keluarga memberikannya beban untuk mengurus kebun strawberry di desa terpencil yang jauh dari keramaian kota. Ia bahkan tidak diizinkan untuk melanjutkan kuliahnya.

Begitulah setiap hari Eleanor menjalani kehidupannya. Ia tetap bersyukur, masih bisa menikmati hari-harinya dengan penuh suka cita. Walau terkadang ada air mata disaat rasa sepi menyergap. Eleanor membawa mobil L300-nya menuju pasar. Tak butuh lama Ele tiba di pasar yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.

“Wuih! Rame!” Ele berkomentar ketika ia sampai di depan pasar. Beragam jenis merk motor butut, tampak berjejer di pinggir jalan, beriringan dengan beberapa pedagang keliling yang tengah nongkrong. Eleanor memarkir mobilnya dengan baik. Ia siap menjelajahi pasar.

Suasana pagi itu sebenarnya dalam keadaan sedikit mendung bahkan sempat beberapa menit gerimis. Eleanor menyusuri jalan-jalan disekitar pasar. Suasana saat itu masih gelap. Di setiap dagangan yang terlihat matanya langsung dibelinya. Sayur-sayuran segar dan ikan-ikan segar Ele langsung berhenti. Ia memilih beberapa ekor ikan segar di sana.

“Berapa satu kilo Bu?” Tanya Ele pada wanita paruh baya yang tengah menjajakan.

“Empat puluh ribu.” Jawab Ibu itu singkat.

"Gak bisa kurang?" tawar Ele.

"Harga pas, non."

"Oke deh...Aku minta satu kilo ya bu, langsung dibersihkan." Ele menyerahkan selembar seratus ribu kepada wanita itu.

Setelah menerima bungkusan berisi ikan itu, Ele kembali berjalan membelah pasar. Ia mencari keperluan dapur lainnya. Waktu berlalu begitu cepat. Sekarang waktu sudah hampir menunjukkan pukul setengah delapan, secara perlahan mendung di langit mulai menghilang. Matahari sudah menunjukkan dirinya.

Eleanor kembali membawa mobilnya membelah jalan. Hingga Ia sampai pada suatu jalan di daerah A. Ele tersenyum sambil menatap suatu pemandangan yang menurutku sangat indah itu. Sehingga ketika memandang ke arah timur terlihat matahari yang masih malu menunjukkan sinarnya. Kombinasi antara sinar matahari yang sedikit mendung menghasilkan cahaya merah marun yang tentunya jarang ditemui Ele di pagi hari. Udara masih segar namun cuacanya menjadi sedikit panas.

Eleanor tersenyum lagi saat tiba di depan pagar rumah. Cat gerbangnya berwarna biru yang mulai memudar, pintu gerbangnya juga sudah mulai berkarat, engselnya mengeluarkan bunyi nyaring kalau digerakkan. Namun yang membuat tempat ini indah, banyak bunga-bunga yang menghiasi halaman rumahnya. Ele turun dan membawa barang belanjaannya.

CEKLEK!

Pintu terbuka.

"Heh..." Ele terkejut sambil memegang dadanya. Harry sudah berdiri tegap di sana. Seperti biasa, Harry selalu datang tiba-tiba tanpa memberinya kabar terlebih dahulu. Dia adalah saudara Eleanor yang tega mengusirnya dari rumah dan memaksanya berhenti sekolah.

Amira membuat gestur yang bisa dipahami Ele. Ia meremas tangannya sendiri menatap Ele dengan pandangan getir. Saat melihat Harry datang, Amira langsung ikut menyusulnya. Seperti biasa, rumah di desa ini aman saat ditinggal pemiliknya. Amira adalah tetangga sebelah rumah Ele. Wanita yang empat tahun lebih tua dari Ele.

Kali ini wajah Amira terlihat tegang, ia tahu siapa Harry. Amira takut jika Harry bertindak seperti terakhir kali. Saat Harry datang, ia membuat kekacauan. Amira menarik napas singkat memandang ke arah Ele.

Sementara Ele menghembuskan napasnya lewat mulut, mencoba tetap tenang walau ia tahu akan ada perang dingin di rumah ini. Setelah melakukan ritualnya, Eleanor pun melangkah pelan tanpa ekspresi.

"Kenapa kakak datang ke sini lagi? Bukankah kau sudah bersumpah tidak akan datang ke desa ini?" ucapnya kaku dan dingin. Ia berjalan melewati tubuh Harry tanpa tersenyum atau saling melepas rindu yang biasa dilakukan seorang kakak dan adik. Ele membawa barang belanjaannya dan menaruhnya di dapur. Kemudian mengambil gelas dan menuang air putih ke dalamnya, lalu meneguknya tanpa sisa.

"Kau tidak menanyakan kabarku?" Harry menatap tajam ke arah Ele.

Eleanor meletakkan gelas dengan kasar, hingga menimbulkan suara nyaring. Amira sampai dibuat terkejut karena suara itu. "Buat apa? Apa kau pernah menanyakan kabarku. Bagaimana keadaanku di sini? Bagaimana aku berjuang sendiri di sini?"

"Oke, aku minta maaf jika tidak pernah menanyakan kabarmu. Aku datang ke sini untuk melihatmu. Aku merindukanmu, Ele." Harry berucap lembut.

"Cih..." Ele tersenyum miring. "Apa aku tidak salah dengar? Aku tahu tujuanmu ke sini hanya untuk meminta uang hasil panen strawberry, kan? Tujuanmu hanya itu. Tidak ada yang lain, selain itu. Jadi berhentilah datang dan jangan harap aku akan memberikannya, kau bodoh menghabiskan waktumu dengan sia-sia."

"Kenapa kau selalu menilai buruk kepadaku, Ele?"

"Karena dari awal kau yang memulainya. Kau sendiri yang memutuskan jarak itu." Ele meninggikan suaranya. Ia berjalan menuju ruang tamu dan melepaskan jaketnya ke kursi.

"Apa maksudmu?" Mata Harry menyalang tajam.

"Ele, sudah... hentikan." Amira berusaha membujuk Eleanor. Namun gadis itu tidak menggubrisnya. Ele maju beberapa langkah menghadap ke arah Harry.

Mata Ele berkaca-kaca menahan segala amarah yang kembali mencuat dari dalam dadanya. "Aku tidak ingin mengingat semua itu kak. Jadi, jangan datang ke sini lagi. Aku mohon, biarkan aku hidup tenang di desa ini. Bukankah itu yang kau inginkan?" ucapnya datar tanpa memandang Harry.

"Apa yang membuatmu semarah itu Ele? Bukankah sudah tugas seorang anak untuk berbakti kepada orang tua? Kau pantas tinggal di sini. Dan hanya kau yang bisa melakukan itu." Harry menekan semua perkataannya, rahangnya bahkan mengeras.

DEG!

Ele mantap Harry. Ia menarik napasnya dalam-dalam sambil memegang dada. "Ya, aku memang pantas di sini. Aku pantas putus sekolah dan aku pantas untuk menjadi seorang anak yang menafkahi kedua kakaknya. Apakah kalian disebut sebagai seorang kakak yang melindungi adik? dan kau..." suara Ele terbata-bata. Ia tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Air matanya bergelinding cepat membasahi pipinya. Bibirnya bergetar karena tak sanggup menahan segala perasaan yang bergejolak di dalam dadanya.

"Kau sebagai saudara laki-laki, apa kau tidak pernah mengerti bagaimana perasaanku kak. Terkadang aku merasa kuat untuk mengatasi sendiri semua masalah dan beban dalam hidupku. Tapi sesungguhnya aku lemah, aku terkadang menangis dalam diam. Kalian tidak pernah tahu itu." Air mata Ele mengalir sampai ke dagunya.

"Aku melakukan itu, karena tidak bisa menghubungimu. Jaringan telepon tidak masuk ke desa ini." Harry mengimbangi suara Ele. Emosinya juga tersulut saat mendengar perkataan adiknya itu.

"Karena itu kau sengaja membuangku ke sini. Agar aku tidak bisa berhubungan dengan kalian, begitu juga dengan teman-temanku." Ucapnya pelan, tatapan matanya lurus tidak memandang Harry.

Amira tidak bisa berbuat apa-apa. Dia yakin hal buruk akan terjadi di sini. Jika Eleanor marah, ia tidak akan perduli dengan apa pun. Amira hanya bisa mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.

"Sudah lupakan semuanya, aku datang ke sini untuk menjemputmu."

Dahi Ele mengernyit. "Apa?"

"Iya. Bukankah kau ingin keluar dari desa ini. Sekarang kita pulang."

"Apa maksudmu?" Ele tidak percaya begitu saja, pasti ada maksud dan tujuan Harry dibalik ucapannya itu.

"Kau ingin bebas bukan?"

"Pengertian bebas ini banyak, sekarang bebas apa maksudmu?" Ia menekan kalimatnya. Alisnya menyatu, berkerut begitu dalam.

Harry menarik napasnya dalam-dalam, mencoba tenang agar Eleanor tidak terkejut. "Begini Ele, kakak ada utang dengan Maximus. Aku tidak bisa melunasinya. Sekarang ia meminta kakak harus melunasinya."

Wajah Ele berubah merah, rahangnya mengencang kuat. "Apa maksudmu kau ingin menjual kebun strawberry?"

"Tidak Ele, kita tidak akan menjual kebun ini."

Perasaan Ele semakin tidak enak, jantungnya berdetak kencang di dalam rongga dadanya.

"Selama ini ternyata Maximus menyukaimu. Utang kakak bisa lunas jika kau bersedia menikah dengannya."

DEG!

Ternyata dugaannya benar. Amira ikut terkejut di sana.

"Kau sudah gila, aku tidak mau!" teriak Ele.

"Kakak bukan gila, aku hanya ingin mengeluarkanmu dari penderitaan ini. Kau tidak ingin seperti ini terus, kan? Maximus bisa membahagiakanmu. Kau bisa melanjutkan kuliahmu juga."

Ele tertawa sambil menangis, ia tak mengeluarkan suara. Hatinya begitu sakit mendengar perkataan Kakaknya itu. Itu artinya dia dijual kepada lelaki brengsek. Hanya dengan napas yang terus berembus dan masuk lewat mulut yang terbuka, Ele menguatkan hatinya. Ia kembali berucap dengan bibir gemetar.

"Hari ini aku mengatakan dengan sadar, bahwa aku tidak mau dinikahkan. Aku tidak mau hidupku diatur kalian lagi. Aku sangat membencimu." Teriak Ele. Suaranya memenuhi ruangan itu.

Harry mengepalkan tangannya begitu kuat. Kesabarannya mulai habis. Sikap keras kepala Ele tak bisa dibiarkan. "Kau memang adik durhaka. Seharusnya kau berterima kasih." Dengan kekuatan penuh Harry mengayunkan tangannya, menampar pipi Ele dengan begitu keras.

PLAKKK!

Suara tamparan itu membahana. Sampai membuat Eleanor terjatuh.

Amira terkejut dan begitu shock saat melihat Harry menampar pipi Ele, ini sudah dilakukan berulang-ulang. Tentu saja Amira tidak terima.

"Apa yang kau lakukan Harry. Kau sudah gila ya?" Amira mendorong tubuh Harry dan mendekat ke arah Eleanor. "Kau tidak apa-apa? Astaga bibirmu berdarah."

"Kau pantas mendapatkan, aku tunggu jawabanmu satu bulan ini, jika tidak aku akan menjual kebun ini." Ancam Harry.

Ele memegang pipinya, rasa panas bekas tamparan, menjalar di pipinya sampai menyisakan rasa sakit yang teramat sangat, telinganya sampai berdengung dan pandangannya yang berkunang- kunang. Kejadian ini juga pernah terjadi.

"PERGI....!!!" Eleanor meneriakkan agar Harry keluar dari sana. Tangannya memutih pucat dan gemetar. Pandangan Ele seketika berubah kosong.

"Aku tidak main-main Ele. Semua ini aku lakukan untukmu. Aku datang untuk menyelamatkan hidupmu." Ucap Harry dengan tegas. Dengan segera Ia membalikkan badannya dan keluar dari sana.

Ele menunduk dan hanya bisa menangis. Napasnya tersengal naik turun begitu cepat. Amira dengan cepat mendekat.

"Ele, kau tidak apa-apa?" Amira memegang ke dua pundak Eleanor dan menatapnya dengan sendu.

Eleanor hanya menggeleng dan terus menangis. Rasa sedihnya hanya bisa diwakili oleh air matanya yang terus mengalir membahasi pipinya.

BERSAMBUNG.....

^_^

Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini Novel ketujuh aku.

^_^

LARI DARI KENYATAAN PAHIT

💌 LOVE OF FATE 💌

 

🍀 HAPPY READING 🍀

.

.

...Terkadang kita ingin tertidur agar bisa melupakan. Mungkin cara ini bisa untuk menghilangkan rasa yang masih ada....

🔸🔸🔸🔸🔸

Alvin tak tentu arah. Ia terus membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Alvin ingin benar-benar lari dari kenyataan pahit yang terjadi dalam hidupnya. Walau ia tahu keluarga tidak akan memaafkannya. Perbuatannya ini membuat keluarga besar Smith malu.

Matahari senja hampir tenggelam di balik bayang-bayang pegunungan. Pikiran Alvin kalut, ia berulang-ulang mencengkram rambutnya dengan tangan satunya. Adrenalin yang berhasil menguatkan tekad dan detak jantungnya beberapa jam ini sudah pergi, berganti dengan rasa cemas dan lelah yang luar biasa. Sudah seharian ia membawa mobilnya. Tapi tujuannya tak pasti.

Matanya menerawang jauh, menembus awan-awan hitam kelabu di atas sana. Langit sedang mendung selaras dengan pilu hatinya saat ini. Tiba-tiba gerimis mengucur perlahan dan semakin deras seiring senja berganti malam. Semakin lama mobilnya meluncurkan meninggalkan pegunungan, keadaan semakin gelap dan gerimis yang tak juga mau berhenti. Kini lampu mobilnya menjadi satu-satunya penerangan di malam gelap diantara rintik-rintik hujan. Daerah ini memang sepi. Alvin memang sengaja datang ke desa ini. Desa ini benar-benar tidak bisa di jangkau oleh keluarganya lagi.

Ia mencoba meredam amarahnya. Namun rasa kesalnya tak juga membaik. Ia menarik napas, mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk memenuhi paru-parunya. Alvin memilih istirahat untuk membeli makanan dan minuman ringan. Alvin mengurangi kecepatan mobilnya. Sebagian toko yang ada di sini sudah tutup. Ia terus menjalankan mobilnya sambil melirik ke kiri dan ke kanan. Alvin tersenyum saat melihat ada satu toko yang masih buka.

Alvin berjalan menoleh ke kiri dan ke kanan. Saat berada di depan pintu kaca, seorang lelaki berjalan keluar sambil menundukkan kepalanya. Alvin sangat kenal pria itu.

"Bukan kah kau....?" Alvin tersenyum sambil mencoba mengingat nama pria itu.

"ALVIN?"

"RAY...." Kalimatnya menggantung, Alvin membuat gestur berpikir berusaha mengingat kembali nama pria itu. Dia adalah teman sekolah dulu.

"Raymond Cole." ucap pria itu menyambungkan kalimat sepenggal dari Alvin. Mereka pun tertawa sambil berpelukan singkat.

"Apa kabar dude?" tanya Ray dengan senyum sumringah. Ia tidak menduga akan bertemu dengan Alvin di sini. Di desa terpencil jauh dari tengah kota.

"Sangat baik," jawab Alvin membalas senyuman Ray.

"Kau ada urusan ke desa ini?" Tanya Rey.

"Tidak juga, kau sendiri?" Alvin balik bertanya.

"Saya tiap bulan berkunjung ke desa ini. Kebetulan saya mau kembali ke kota. Senang bertemu denganmu, bagaimana kalau kita minum kopi dulu. Setidaknya untuk merayakan pertemuan ini?" ucap Reymond dengan semangat.

"Dengan senang hati." Alvin menjawab cepat sambil melepaskan tawanya. Di saat hatinya sedang kalut, mungkin ia butuh teman untuk berbicara.

"Di seberang ada warung kopi, kita bisa jalan."

Alvin mengangguk tersenyum, mereka melangkah meninggalkan toko supermarket dan menyebrang menuju warung kopi yang ada di pinggir jalan. Tak perduli dengan gerimis, kedua pria itu bercerita dengan sesekali tertawa. Mereka seperti sahabat yang sudah lama tidak bertemu.

Mereka asyik berbicara sambil menyeruput kopi. Alvin melirik sekilas saat handphonenya bergetar di atas meja. Alvin memang sengaja tidak mengangkat panggilan dari Marvel. Alvin mengabaikan beberapa panggilan itu. Ia tidak akan mengangkatnya.

"Kenapa tidak mengangkatnya?" tanya Raymond melihat handphone Alvin sedari tadi bergetar di atas meja.

"Panggilan yang tak penting. Biarkan saja." ucapnya tersenyum simpul.

Raymond mengerutkan keningnya. "Tidak penting? tapi aku rasa itu penting Vin, karena panggilan itu sudah tiga kali berbunyi sedari tadi."

"Tidak usah dipikirkan. Biarkan saja." ucapnya lagi dengan senyuman tipis. Ia kembali mengambil cangkir kopi yang ada di depannya. Dengan wajah datar Alvin mendekatkan cangkir itu ke mulut. Meniup sejenak dan menyeruput kopi itu tanpa melepaskan senyum di bibirnya. Kemudian Alvin melepaskan lagi cangkirnya ke tempat semula dan memandang ke arah Raymond.

"Apa kau tinggal di desa ini juga?" tanya Alvin.

Rey menggeleng. "Tidak. Saya bertugas sebagai manager bagian pemasaran. Saya harus turun langsung untuk mengecek buah dan sayuran yang ingin dipasok ke supermarket."

"Wah.... perjalanan dari sini ke kota lumayan jauh dude."

"Hmm. Karena kualitas buah di sini lebih terjamin. Jadi saya tiap bulan berkunjung ke desa ini. Kita harus saling menguntungkan. Perusahaan kita untung, petani di sini juga untung." Ucap Ray tersenyum. "Kau sendiri bagaimana?"

"Saya?" Alvin menunjuk ke arah dirinya. Ray mengangguk. "Ohhh...S-saya ingin berkunjung ke tempat saudara." Kata Alvin berbohong.

Ray tersenyum lagi. "Dari penampilanmu, aku bisa pastikan kau pria sukses."

Alvin tersenyum sambil menunjuk deretan giginya yang putih dan bersih. Kemudian ia menggeleng. "Tidak juga. Kalau perusahaan keluarga turun-temurun itu belum bisa dikatakan sukses. Walau kita menjabat sebagai CEO di perusahaan itu. Saya hanyalah tetap manusia biasa."

Rey terkekeh sambil menyeruput kopi yang di atas meja. Ia mengernyitkan keningnya, menyadari kopi yang ada di cangkirnya sudah habis. "Hmm, sepertinya kopiku sudah habis. Aku harus kembali ke kota. Lain kali aku traktir minum lagi."

Alvin menatap jam yang ada di tangannya. Ternyata sudah pukul delapan malam. Waktu tidak terasa. "Baiklah," Alvin tersenyum lalu bangun dari duduknya.

Mereka meninggalkan warung dan berjalan lain arah. Reymond masuk ke dalam mobilnya. Sementara Alvin langsung membawa mobilnya membelah jalan meninggalkan warung kopi.

🔸🔸🔸🔸🔸

Alvin sengaja mematikan handphone agar Marvel tidak lagi menghubunginya. Namun tidak di sangka-sangka, saat handphonenya aktif, ia berhasil terlacak oleh suruhan ayahnya.

Dalam perjalanan yang tenang, Alvin tersenyum sambil melantunkan lirik lagu yang ia sendiri tidak paham apa arti lagunya.

Namun saat di jalan lurus, mata Alvin memicing tajam saat melihat silau lampu mobil yang berjejer rapi tidak jauh dari mobilnya. Alvin menginjak rem, sehingga ban mobilnya berdecit-decit beradu dengan aspal jalanan sebelum terseret ke luar jalan. Sesaat napasnya berhenti, sampai detak jantungnya terdengar lebih jelas. Untunglah Alvin masih bisa menguasai setir untuk menjaga keseimbangan mobilnya. Setelah mengambil napas kembali beberapa saat kemudian. Mobil Alvin akhirnya berhenti. Beberapa pria itu keluar dari mobil dan berdiri tegap di sana.

Alvin tak memadamkan lampu mobilnya. Malam semakin gelap pekat. Untunglah derasnya gerimis sudah berlalu, meninggalkan rintik-rintik yang mengucur malu-malu. Sepersekian detik Alvin tersadar bahwa mereka pasti orang-orang suruhan ayah.

Ia begitu panik, saat lima orang pria mendekat ke mobilnya.

"Shiiiittt!" umpat Alvin.

"Keluar!" Seorang pria memberikan gestur menyuruh Alvin keluar dari mobil.

Tanpa pikir panjang. Alvin mundur dan memutar balik mobilnya dengan cepat. Mobil mewah Alvin yang menggunakan plat nomor polisi 41Vin itu melaju dengan kecepatan penuh meninggalkan lima pria yang ingin menangkapnya.

"Aissss... kejar dia!" Pria itu menggeram kesal. Mereka berlari masuk ke dalam mobil untuk mengejar Alvin.

Alvin terus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, melewati belokan-belokan yang tajam, di antara jurang dan pepohonan pinus. Ia fokus membawa mobilnya di kesunyian malam ini dan terus memandang ke belakang.

"Kenapa mereka bisa tahu aku ada di sini?" Ucap Alvin berbicara sambil memukul setir mobilnya.

"Apa jangan-jangan? shiiiittt...." Alvin kembali mengumpat kesal.

Alvin kembali mengendalikan setir mobilnya di antara jurang dan pepohonan pinus. Ia tersenyum miring, kenangan saat ia sering ikut balapan tiba-tiba mencuat. Alvin pernah mengikuti lomba dan menang. Kini ia serasa berada di Sirkuit Sepang. Di tengah perjalanan dua mobil menyalip kencang dan berteriak.

"Berhentikah Alvin, ini perintah tuan Lukas. Sebelum aku bertindak melakukan sesuatu." Teriak pria itu.

Alvin tak perduli, ia semakin menambah kecepatan mobilnya.

“Dor..dor..” Suara pistol menyalak. Dua peluru menembus ke arah mobil Alvin untuk memberi peringatan kepada Alvin.

Mobil seketika oleng. Beruntung tembakan itu tidak mengenai kaca mobilnya. Alvin kembali fokus dan melajukan mobilnya. Bahkan ia sengaja masuk ke hutan untuk mengalihkan perhatian mereka.

Alvin tersenyum. "Sempurna!" ucapnya tersenyum sinis. Saat mobil kehilangan jejaknya. Alvin kembali fokus mengendalikan setir mobil. Ia menginjak pedal gas dan melesat menembus kegelapan malam. Hingga ia berhasil keluar dari sana.

Ia mengembuskan napas panjang. "Dasar sialan, ayah selalu menggunakan kekuasaannya." Alvin tersenyum menyeringai. Namun di luar dugaannya, sebuah mobil truk melaju dengan kecepatan tinggi.

Alvin terkesiap terkesiap melihat ada mobil di depannya. Ia membelalak dengan mulut terbuka, jalan satu-satunya hanyalah mengendalikan setirnya. Alvin hampir hilang kendali dan mobilnya kembali oleng, sementara truk melaju begitu saja.

"Astaga...Apa mobil truk itu sengaja?" Alvin melihat mobil truk dari kaca spion yang pergi melesat dengan cepat.

Huffft... Alvin lagi-lagi mengembuskan napas panjang, dia tetap fokus menatap jalan. Namun tiba-tiba,

"Tiiinnnnnnn...," klakson panjang berbunyi mengagetkannya. Mobil bus berkecepatan sama tingginya muncul dari tikungan. Dengan cepat dia membanting setir ke kiri juga.

BRRRAAAKKK…

Kecelakaan pun terjadi.. Mobil bus menerobos semak-semak dan mobil Alvin masih bisa dikendalikan.

"Ada apa ini?" Alvin nampak panik. Hari ini bisa dikatakan hari terburuknya.

Tiba-tiba terdengar suara berdecit lagi dari arah belakang, mobil sedan menabrak mobil bus.

Ciiitttt… BRRRAAAKKK…

Kecelakaan lagi..

Mobil dari arah berlawanan pun menabrak mobil Alvin. Mobil lawan oleng dan dan terus menerobos hingga lampu penerangan jalan yang terbuat dari besi. Kejadian begitu cepat hampir kurang dari satu menit sudah tiga insiden kecelakaan terjadi. Sementara Alvin tak bisa menguasai setirnya lagi. Mobil plat cantik sesuai namanya, terjun bebas masuk ke perkebunan dan terhempas beberapa kali. Kepalanya terbentur hebat dan membuat mobil Alvin mengalami rusak parah.

Dengan suara terbata-bata Alvin meminta tolong dan beberapa detik kemudian Ia sudah tidak sadarkan diri.

.

BERSAMBUNG.....

^_^

Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini Novel ketujuh aku 😍

Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.

^_^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!