Gerbang sekolah sangat ramai, para remaja beranjak dewasa itu tengah menikmati euforia kelulusan mereka. Mulai dari bersenda gurau sampai tangis haru perpisahan dengan sahabat akrab.
Ditengah keramaian itu ada seseorang yang hanya diam bersedekap dada dengan tatapan jengah. Ingin langsung pulang tapi tidak ada satu pun angkutan umum yang lewat sedari awal ia menunggu.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk berjalan menjauh dari keramaian yang membuatnya sesak itu. Berpisah seolah-olah mereka tidak bisa bertemu lagi seumur hidup saja. Merayakan seolah-olah pencapaian terbesar dalam hidup sudah diraih.
Aneh...
Itulah yang Aza pikir kan tentang manusia-manusia yang berada di sekitar nya.
Setelah menjauh, Aza memilih untuk memesan taksi online. Karena ia sudah tidak punya stok kesabaran untuk berdesakan dalam angkutan umum.
"Mba Khanza Alazne?" Aza menatap supir taksi yang memanggil namanya, supir itu berbeda dengan foto yang ada di aplikasi.
"Disini Driver-nya bapak-bapak Mas." Aza memastikan, ia tahu sekali pria didepan nya itu nampak masih seorang pelajar atau mahasiswa.
"Oh iya dek, itu punya mamang saya. Saya gantikan, soalnya beliau sedang ada urusan. Buat tambahan bulanan juga lumayan dek," Aza mengangguk lalu masuk kedalam mobil.
"Habis pengumuman ya dek?" Tanya pria itu.
"Hmm." Balas Aza.
"Kok langsung pulang? Gak dirayain dulu sama teman-teman nya adek?" Tanya nya lagi.
"Tidak ada." Balas Aza singkat, membuat pria itu tersenyum getir.
"Tipikal muka sama sikap yang sinkron." Batin Driver tersebut.
Dari awal bertemu, pembawaan Aza memang terlihat judes dan sombong. Salahnya juga mencoba mengajak bicara orang yang anti bicara.
Perjalanan selama 30 menit berlalu dengan kesunyian, hinga mobil berhenti di depan apartemen elit.
"Biayanya non-tunai ya Mas. Terimakasih." Aza pergi, pria itu tersenyum. Ternyata memang pembawaan nya yang terlihat sombong dan judes, gadis berseragam SMA itu masih memiliki sopan santun.
Dan lebih terkesimanya lagi, gadis itu juga memberikannya tip.
"Untung masih tau sopan santun nih cewek." Gumam pria itu lalu tersenyum sambil mengarahkan mobilnya meninggalkan pelataran apartemen.
***
SMA berakhir, kehidupan kuliah menanti. Entah kemana ayahnya akan mendaftarkan kuliah, yang jelas ia akan menolak jika di kirim keluar negeri.
Bias senja menyapa nya dari balik kaca, padatnya kota berganti kelap-kelip lampu yang nampak indah dari ketinggian. Saat senja selalu mengingatkan nya tentang kejadian-kejadian buruk dimasa lalu.
Dulu saat senja tiba, ia akan duduk dengan gemetar di balik gazebo rumah keluarga nya. Ia takut kalau ayah atau kakak-kakak nya pulang dan melihatnya. Kemudian ia akan disiksa dan dipukul lagi.
Tapi sekarang ia tidak akan membiarkan hal seperti itu terjadi lagi padanya. Ia hanya mengharapkan tidak bertemu lagi dengan orang-orang yang sudah memberikannya luka, termasuk keluarganya.
Setelah matahari terbenam, ia memeluk dirinya dalam kegelapan. Dia hanya bisa percaya pada dirinya sendiri, ia hanya membutuhkan dirinya sendiri. Bukan orang lain. Mereka tahu apa selain menatapnya kasihan.
Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dalam ruang chat nya. Pengingat besok adalah jadwalnya untuk bercerita dengan psikolog nya. Sebuah kegiatan yang menurut Aza sia-sia, tapi ia terus melakukan nya untuk menjaga kewarasan nya.
Selain itu ada beberapa pesan dari orang-orang yang ingin ia lupakan. Bertanya seolah-olah mereka khawatir, berlagak seolah-olah ia adalah barang yang bisa seenaknya diperlakukan sesuka hati.
Bahkan untuk menangis pun Aza sudah tidak sanggup, matanya kosong. Tidak ada yang ia harapkan lagi dihidupnya, hal terindah yang pernah ia bayangkan nyatanya hanya angan.
Karena lapar, pada pukul 9 malam Aza keluar mencari makan. Berjalan menuju warung makan yang biasa ia beli. Hingga tiba-tiba kericuhan terjadi, banyak anak berseragam SMA membawa motor dan senjata tajam.
Tawuran
Aza hanya terdiam ditengah-tengah kericuhan. Ia takut, semua bayang-bayang yang mengisi mimpinya seakan tumpah ditengah kesadarannya. Wajahnya pun sudah memucat.
"Mba lari!!! Jangan disini!! Bahaya!!" Seorang meneriakinya. Ia hiraukan. Dia seolah tak bisa mendengar apapun selain teriakan, umpatan, dan suara benda tumpul yang dipukul.
"...." Suaranya pun tercekat, bahkan untuk sekedar teriak meminta tolong. Seseorang mendekat padanya dengan wajah khawatir, namun ia tidak bisa melihatnya dengan jelas. Karena kesadaran nya perlahan hilang, dan dunianya menjadi gelap
Orang yang meneriaki Aza tadi pun panik, bagaimana ia bisa menyelamatkan gadis yang tak sadarkan diri ditengah situasi seperti ini. Nekat-nekat nyawa taruhannya, anak-anak muda itu tidak akan merasa simpati di situasi seperti ini.
Dengan penuh pertimbangan pria itu menggendong Aza ke belakang pohon. Berharap anak-anak liar itu tidak menemukan mereka.
Sayangnya mereka tetap terkena imbas dari bentrok itu, pria itu memeluk tubuh mungil Aza agar tidak terkena pukulan atau lemparan benda.
"Lo hutang banyak ke gue." Hingga pertolongan datang, mereka berdua ditemukan dalam keadaan sama-sama tidak sadarkan diri.
***
"Alhamdulillah si ujang udah bangun," wanita paruh baya yang menatap nya khawatir.
"Bibi kok disini?" Tanya Dikta.
"Aih kamu mah, bibi yang harusnya tanya. Kok bisa sih kamu ditengah tawuran begitu? Untung teh kamu gak parah luka-luka nya." Omel wanita yang masih mengenakan daster tersebut, mungkin sangking buru-buru nya ia lupa mengganti pakaian nya.
"Cewek yang sama aku dimana bi?" Tanya Dikta.
"Tadi si eneng teh udah sadar, tapi kaya trauma gitu. Tapi kebetulan ketemu sama psikolog gitu... kayanya kenal. Gak tau ah bibi... Si eneng langsung dipindahin ke rumah sakit lain sama keluarganya gitu." Dikta bernapas lega, setidaknya luka nya tidak sia-sia. Meski luka mental tidak bisa terhindari.
Dilain tempat, Aza menatap takut-takut sekitar nya. Matanya menghitam, wajahnya sepucat mayat.
"Bukan...!! Bukan saya tuan!! Bukan saya yang melakukan nya!!!!" Aza bersembunyi dibalik selimutnya.
"Nana... Om peri disini, gak bakal ada yang pukul atau sakitin Nana kok." Ucap Jacob sambil membuka selimut Aza,
"Om peri?" Cicitnya, matanya berkaca-kaca.
"Iya sayang, om disini." Jacob mencoba meraih tangan Aza yang sedari tadi Aza gigit untuk mengurangi rasa takutnya.
"Om..." Cicit nya semakin melemah, air matanya mengalir deras. Tangisnya seolah sengaja ia tahan.
"Lepasin aja sayang, gak bakal ada yang marah sekeras apapun Nana menangis." Aza terisak histeris hingga nafasnya memburu.
"I was so frightened. Help me..."
"It's ok sweetie, I'm here for you. Everything is going to be ok." Aza terus terisak dalam pelukan Jacob, psikolog nya. Hingga ia terlelap karena kelelahan dan obat penenang.
Hari yang berat untuk Aza.
Tak menyangka nomor yang disimpan dalam ponsel gadis itu adalah hanya Amanda dan dirinya. Membuatnya yang paling awal dihubungi polisi.
Setelah memenangkan Aza, Jacob pun keluar. Keluarga gadis itu hanya bisa menatap dari jauh, tidak bisa menyentuh gadis itu.
"Ba- bagaimana keadaannya?" Tanya Hendri ayah dari Aza.
"Trauma nya muncul lagi, sepertinya harapan kalian untuk bisa lebih dekat dengan nya semakin jauh. Untuk sekarang biarkan dia tenang dulu, dia lupa identitas nya sebagai Aza. Ia hanya mengingat masa terburuknya sewaktu ia di panggil Nana. Sebaiknya kalian jangan muncul dulu, atau ia akan semakin ketakutan." Jacob menatap Hendri dan istrinya serta ke - empat putranya dan seorang putri seusia Aza. Berseteru dalam hati 'Bisa-bisanya mereka menyakiti Aza atas alasan yang kebenarannya belum mereka buktikan hingga seperti ini.'
"Baiklah, kami titip dia ya... Tolong jaga dia..." Ucap Hendri yang terduduk di bangku tunggu karena tidak kuat mendengar keadaan putrinya... Entahlah ia juga malu mengaku dirinya sebagai Ayah.
Five Years Ago
Gadis berusia 13 tahun itu terdiam dihadapan kue cetak yang terbuat dari tanah, menatap nya sendu. 13 tahun sudah sang ibu meninggalkan nya seorang diri. Hari ini juga ulang tahun nya, hari bahagianya juga hari sedihnya.
"Ibu, aku udah 13 tahun. Dan belum juga mendapatkan nama. Tapi orang-orang panggil aku Nana, tadinya aku senang sekali. Sampai kak Davin bilang kalau Nana itu diambil dari kata Tanpa NAma jadi Nana. Tapi gak papa, setidaknya orang-orang bisa memanggilku dengan lebih manusiawi." Gadis itu tersenyum sendu, kemudian memejamkan mata nya untuk berharap. Harapan yang sama, setiap tahun yang sudah ia lewati.
Berharap bisa disayangi selayaknya anak-anak, bisa bertemu ayah kandung nya. Ia yakin sekali ayah kandungnya tidak mungkin berlaku kasar padanya.
"Nana...!" Panggil seorang pria tua, dia adalah Yang Oko. Pria yang selalu menyayangi nya selama ini.
"Yang Oko," balasnya sumringah.
"Yang punya hadiah untuk Nana," Nana tersenyum riang, wajah sendunya sudah pergi entah kemana.
"Taraaa!!!" Yang Oko mengeluarkan boneka Doraemon, kartun kesukaan Nana ketika pertama kali menonton TV.
"Waaaaa!!! Lucu banget Yang!" Nana langsung memeluk boneka pemberian dari Yang Oko.
"Semoga Nana tambah pintar, sabar, rajin, cantik, baik hati... Dan semua yang terbaik untuk Nana." Ucap Yang Oko.
"Aamiin, terimakasih Yang Oko. Aku sayang Yang Oko banyak-banyak." Yang Oko tertawa, berharap gadis kecil didepannya segera menemukan kebahagiaan nya. Karena ia tak tahu berapa lama lagi ia bisa bersama gadis dihadapannya ini.
Sang cakrawala kembali ke peraduan, malam pun tiba. Waktu yang selalu Nana takuti, biasanya ia akan bersembunyi. Yang pasti bukan di kamarnya. Karena pasti ada saja alasan orang-orang yang katanya keluarga nya memanggilnya untuk disiksa. Ia ingin tenang malam ini, dihari ulang tahun nya.
Aneh ya, ia merasa tengah bermain di tengah hutan yang penuh serigala. Ia harus pintar-pintar sembunyi, agar werewolf tidak menemukan nya. Benar saja, sesuai dugaan nya. Gavin kakak nya yang paling bungsu pulang dan langsung berlari ke kamar Nana sambil membawa bola basket.
Wajahnya nampak kesal karena tidak menemukan Nana dikamar nya.
"Anak haram.... Dimana yaaaa?" Ucapnya santai sambil men-dribble bola, berjalan mencari Nana. Nana sudah keringat dingin, takut kalau Gavin menemukan nya.
Anak haram...
Ya, orang-orang membenci nya karena keadaan itu. Belum lagi ibunya meninggal karena melahirkan dirinya. Sehingga ada begitu banyak alasan, tuan Hendri dan ke empat putranya membenci Nana.
"Dor!!!" Nana terkejut dan terjungkal dari balik gazebo.
"Ampun kak, aku gak nakal. Jangan pukul aku!" Racau Nana sambil meringkuk di bawah gazebo.
"Ah gak asik, masa belum mulai udah nangis." Gavin pergi setelah meleparkan bola ke wajah Nana hingga darah segar mengalir dari hidung gadis itu. Nana menangis dalam diam, tubuhnya gemetar. Ia benar-benar takut. Nana kira Gavin telah pergi tanpa ingin mengganggunya lagi, nyatanya Gavin kembali bersama Vino kakaknya yang ke tiga (kembar). Ditangannya terdapat ikat pinggang berbahan kulit, Nana sudah tahu akan digunakan untuk apa itu pun langsung berlari dan masuk ke kolam. Sialnya ia masuk di bagian dalam, dia juga tidak bisa berenang.
Entah sudah berapa air yang ia minum, napasnya pun semakin tipis. Dadanya sesak penuh tekanan. Hingga akhirnya ada pelampung yang dilemparkan padanya, membuatnya berusaha meraihnya. Hingga ia bisa menepi dengan keadaan lemas dan tanpa tenaga.
"Siapa yang suruh lo ngehabisin tenaga lo buat nenggelamin diri gitu?!!! Kurang ajar!!" Sentak Gavin, yang sudah tak Nana dengar lagi. Tatapan nya kosong, jiwa ntah kemana.
Ctar!!!
Ctar!!!
Ctar!!!
Tak ada teriakan kesakitan, Nana hanya meneteskan air mata di setiap cambukan yang ia terima. Rasanya sungguh tak bisa digambarkan lagi, rasanya lebih baik ia mati agar penderitaan nya berakhir. Agar Ayah dan kakak-kakaknya bahagia dengan kepergian nya.
Hingga kesadaran gadis itupun menghilang, berharap cahaya matahari esok lebih cerah. Kejadian malam ini bukan apa-apa, bahkan ia pernah lebih parah dari keadaan saat ini. Anehnya, seolah nyawanya ada 9, ia selalu selamat dan sadar kembali.
"Aku lelah..." Nana tersadar, dan hanya kegelapan yang ia temukan. Sepertinya ia berada didalam gudang. Selalu seperti itu.
"Sampai kapan aku seperti ini?" Tanyanya sambil menatap telapak tangannya yang disinari cahaya matahari dari ventilasi.
Tangannya penuh bekas luka, memar kebiruan ada dimana-mana. Bahkan punggungnya mati rasa. Ia tahu darah segar pasti masih mengalir dari sana. Orang-orang rumah ini sudah gila, bisa-bisa nya melakukan ini hanya untuk kepuasan hasrat mereka.
Nana sudah lelah, ingin pergi tak tahu harus kemana. Bertahan pun nyawa nya setiap hari seolah-olah minta berpisah dari raganya.
Pusing masih mendera kepalanya, ia pun tertidur.
***
Siang ini Gayatri ibu dari Hendri datang berkunjung bersama Amanda, wanita yang ia harapkan berjodoh dengan cucu pertamanya Anton.
"Anton bisa temani Manda berkeliling rumah? Ada yang mau Oma bicarakan dengan Ayah mu." Anton pun menurut dan keluar dengan di ikuti Amanda.
"Ibu apa-apaan? Ibu ingin menjodohkan Anton dengan gadis itu?" Tanya Hendri sedikit sarkas.
"Gadis itu?... Ibu tidak akan sembarangan memilih menantu untuk keluarga ini seperti yang sudah kau lakukan. Amanda itu jelas bibit, bebet, bobot nya. Dan pasangan yang sempurna untuk Anton." Ujar Gayatri menggebu-gebu.
"Oh ya, bagaimana anak haram itu? Aku heran sekali, kenapa kau masih memelihara anak itu. Dia itu bukan keluarga Kusuma." Gayatri mendecih.
"Masih aku ingat betapa mesranya Nadira dengan ayah anak itu. Menjijikkan." Hendri terdiam, sedari dulu ia sangat ingin membuang anak yang dimaksud ibunya itu. Tapi sebagian hati kecilnya melarangnya.
"Dimana anak itu?" Tanya Gayatri.
"Di gudang, semalam ia berulah lagi." Ucap Gavin, Hendri langsung menatap nya tajam.
"Ishh!! Anak haram itu, tidak cukup keberadaannya membuat keluarga ku merasa kesal. Tapi juga mengganggu cucu-cucu ku." Sarkas Gayatri.
***
Nana keluar dari gudang melalui jendela, ia sangat kelaparan. Ia butuh makanan untuk memulihkan tubuhnya.
Bugh!! Brak!!
Nana merintih kesakitan, ia hanya harus mencari Yang Oko dan meminta makan. Dan setelah itu ia mengobati luka-luka nya.
Tidak... Tidak... ia harus keluar dari rumah itu. Ia berlari tak tahu arah keluar rumah, sayangnya ia malah bertemu Anton di taman. Dan menyebalkan nya tubuhnya tiba-tiba kaku, saat mata tajam pria itu menatapnya.
"Mau kemana kau?!" Tanya Anton marah, Nana sudah gemetar ketakutan.
"Kenapa kau seperti ini?" Sosok anggun menghalangi Anton untuk meraih Nana.
"Jangan ikut campur urusan keluarga ku, kau hanya orang luar. Anak haram ini sudah merebut ibu ku." Desis Anton dingin.
"Oh tentu saja aku harus ikut campur, kalau sudah ada kekerasan dalam keluarga. Orang luar-lah yang harus menyelesaikan nya." Amanda menaikkan suaranya.
"Ditambah lagi dia masih anak-anak dan perempuan. Kita lihat seberapa banyak luka di tubuhnya, dan keluarga kalian bisa dituntut. Heran sekali, keluarga dengan citra sempurna seperti Kusuma ternyata memperlakukan gadis kecil tidak manusiawi seperti ini." Anton menatap nya tajam, mendengar keributan orang rumah pun keluar.
"Apa yang terjadi?" Tanya Gayatri.
"Seharusnya saya yang bertanya Nyonya, ada apa dengan keluarga kalian? Kenapa kalian memperlakukan anak ini sangat tidak manusiawi?" Tanya Amanda, Amanda adalah seorang dokter, tentu saja jiwa sosialnya tinggi.
"Apa rumor itu benar?" Tanya Amanda terkesan meremehkan.
"Mendiang Nyonya muda Kusuma selingkuh dan melahirkan seorang putri?" Tanya Amanda.
"Amanda sayang, apa yang kau bicarakan nak? Ayo kita masuk jangan pedulikan anak itu." Amanda mengepalkan tangan nya.
Anak itu...
"Nyonya dan tuan Kusuma, apakah hal seperti ini harus aku yang menyampaikan nya?" Tanya Amanda kesal.
"Kalaupun benar gadis ini adalah hasil kesalahan orang tuanya, ia tidak bersalah. Yang salah orang tuanya. Kalau kalian menyalahkan kematian mendiang Nyonya Nadira pada gadis ini, apa ia bisa memilih untuk tidak dilahirkan?" Ucap Amanda sarkas.
"Gila ya..! Aku sudah sangat salah kira kalau sudah berpendidikan otak sama hati bisa sinkron. Nyatanya tidak!" Amanda memeluk tubuh ringkih Nana, Nana yang tergugu.
"Amanda Alexius...! Saya rasa anda sudah terlalu ikut campur urusan keluarga saya." Amanda menegang saat putra bungsu Kusuma menariknya kuat.
"Ingat batasan mu!" Ucap Gavin.
"Kalian semua buta ya?! Dia terlihat begitu mirip dengan kalian, dan kalian masih meragukan DNA nya? Dan kalaupun iya dia bukan satu ayah dengan kalian, dia tetap adik kalian! Kalian dari satu rahim yang sama. BODOH!!" Amanda menggenggam tangan Nana.
"Ayo dek, kita pergi dari sini!" Ajak Amanda lembut, Nana mengangguk sendu.
"Kalau kau berani membawa Nana, kau akan kami tuntut atas kasus penculikan." Ancam Anton.
"Silahkan saja, aku akan menuntut balik atas kasus pelanggaran HAM dan kekerasan anak." Amanda menggenggam tangan Nana, meyakinkan semua akan baik-baik saja.
Five Years Ago
Hari itu seperti bintang jatuh hadir dalam hidupnya, hidup bersama keluarga nya serasa pilihan mati bagi Nana. Dan hari itu Amanda datang seperti bintang jatuh yang akan memberikan cahaya untuknya.
Nana menatap Amanda takut-takut, tapi ia sangat suka akan kasih sayang yang Amanda berikan padanya.
"Nama kamu siapa sayang?" Tanya Amanda, saat ini mereka tengah menuju rumah sakit. Nana hanya menggeleng.
"Tidak apa-apa sayang, jangan takut." Nana mengangguk, tapi suaranya seakan hilang. Ia ingin bicara tapi suaranya tercekat, hingga hanya air mata yang bisa Nana sampai kan.
"Pelan-pelan sayang, kakak tidak memaksa." Ujar Amanda lalu tersenyum. Ia menatap kulit putih gadis itu yang dipenuhi lebam, pasti sangat sakit. Dan gadis ini merasakannya bertahun tahun.
***
Yang Oko terdiam saat mendengar penjelasan Naina, ia tidak tahu apa yang terjadi di rumah hari ini. Seharian ia pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan rumah.
Tekad nya sudah bulat, keberadaan Nana juga sudah aman. Sekarang saat nya membongkar semuanya. Tentang jatidiri Nana, serta semua insiden yang terjadi.
"Selamat malam tuan," sapa Yang Oko sopan.
"Ada apa paman?" Tanya Hendri langsung ke inti, karena biasanya Hendri jarang menemuinya secara langsung.
"Tuan Hendri saya ingin mengaku kesalahan saya selama ini." Yang Oko tertunduk sopan, Hendri mengernyit heran.
"Tentang Nana, kalau tuan tetap meragukan nya. Tuan bisa melakukan tes DNA, padahal dulu saya pikir anda bisa menyadari nya melalu genetik yang Nana miliki. Tapi sampai akhir anda tidak mempercayai nyonya Nadira. Saya ingin menceritakan hal yang sebenarnya Nyonya Nadira alami." Yang Oko memberikan amplop, didalamnya berisi bukti-bukti bahwa Nadira tidak pernah selingkuh dan Nana adalah putrinya.
"Selama ini saya selalu takut untuk menyerahkan ini pada tuan, saat itu saya masih memiliki ibu yang butuh banyak biaya untuk perawatan nya. Walau pada akhirnya ia juga tidak selamat. Anda boleh menghukum saya tuan, tapi sebelum itu saya ingin menyampaikan kebenaran yang terjadi." Gavin dan Devan yang baru pulang sekolah ikut bergabung saat melihat Ayahnya terdiam dengan tatapan tajam.
Hendri membuka amplop itu, dan benda pertama yang ia pegang adalah amplop yang memiliki logo rumah sakit.
"Surat pemeriksaan itu keluar 2 bulan sebelum tuan dan nyonya besar memergoki nyonya Nadira bersama pria lain. Saat itu tuan sedang dinas keluar kota. Nyonya memutuskan untuk merahasiakan nya, ia berencana memberi kejutan pada anda setelah tahu jenis kelamin bayi yang ia kandung." Yang Oko berujar sendu, Hendri menggenggam surat itu sangat erat sampai remuk. Kemudian ia merogoh amplop itu lagi dan terdapat tape recorder. Tanpa basa-basi ia memutar audio yang tersimpan di dalam nya.
"Kalian semua harus bersaksi dengan mengatakan jika Nadira memang sering membawa pria ke sini. Atau kalian akan tahu akibatnya. Dan kamu Oko, kalau kamu berani bicara tentang hal yang terjadi sebenarnya sedikitpun pada Hendri, siap-siap merayakan pemakaman ibu mu keesokan harinya." Hendri terkejut, jelas sekali itu adalah suara ibunya. Kemudian ia berlanjut mengambil lembaran-lembaran yang ada didalam amplop. Isinya adalah daftar riwayat transfer atas nama ibunya ke pembantu-pembantu yang pernah bekerja di rumah ini.
"Saya selalu berusaha menyampaikan kebenaran ini sedari dulu tuan, setiap kali saya berusaha menyampaikan nya ada saja pembantu yang hilang atau mendadak mengundurkan diri dari rumah ini. Dan semua pembantu yang pergi itu kebanyakan yang menjadi saksi 14 tahun yang lalu. Saya pernah menyelidiki nya, dari sekian banyak pembantu yang mengundurkan diri, ada 5 pembantu yang ditemukan polisi mati mengenaskan selang beberapa hari dari kepergian nya." Hendri terdiam, pikiran nya berkecamuk.
"Jujur saja kami semua merasa takut dan merasa bersalah selama bertahun-tahun saat melihat perlakuan tuan-tuan pada Nana, bahkan kalian tidak memberikan nama untuknya. Kalian memperlakukan nya lebih buruk dari binatang." Yang Oko tercekat.
Hendri memegang dadanya merasa nyeri di ulu hati nya, terbayang semua perlakuan buruk yang pernah ia berikan padi gadis kecil yang ia benci tanpa tau apa salahnya.
"Ayah udah pulang?" Nana memeluk kaki Hendri.
"Saya bukan ayah kamu!" Hendri menarik rambut Nana hingga tubuh gadis itu sedikit terangkat lalu menghempaskan tubuhnya ke lantai marmer rumahnya.
"Ampun tuan, maaf kan saya.." rintih Nana saat Hendri menyeret nya ke gudang.
Dan banyak lagi, ia sudah berusaha mengabaikan gadis itu. Namun tetap saja, ketika melihat wajahnya yang begitu mirip dengan Nadira membuatnya ingin menyiksa gadis itu. Karena wajah nya selalu mengingatkan Hendri atas penghianatan Nadira.
"Kau jangan omong kosong!! Cepat pergi dari rumah ini! Mulai hari ini, kau di pecat!!" Teriak Vino sembari mendorong tubuh renta itu, Yang Oko hanya tersenyum.
"Sedari dulu saya ingin melakukan nya, sekarang Nana sudah tidak disini lagi... Maka tidak ada lagi hal yang menahan saya untuk menetap disini. Oh ya Tuan Hendri, kalau anda memang benar-benar mencintai nyonya Nadira, seharusnya anda membuktikan dengan benar-benar fakta yang merusak citra istri anda." Ucap Yang Oko sebelum pergi.
Seandainya ia mampu, ia ingin membawa Nana kabur dan memberikan kehidupan yang layak untuknya. Namun sayangnya sebanyak apapun ia mengumpulkan biaya untuk hidup, ia tidak akan mampu membawa Nana keluar dari rumah ini. Siapa dia untuk melawan keluarga Kusuma?
Dia sangat bersyukur, masih ada orang kaya yang memiliki hati nurani seperti Amanda. Yang Oko yakin, keluarga Alexius bisa menyelamatkan Nana dari belenggu Kusuma.
***
Pekan yang panjang untuk dilalui keluarga Kusuma, begitupula Nana. Ia pikir setelah keluar dari rumah neraka itu ia akan merasa tenang, namun kenyataannya tidak ada satu malam pun bisa ia lalui dengan tenang.
Tidak ada lagi yang menyiksa nya, tapi pikiran nya selalu dihantui ilusi yang membuatnya selalu ketakutan. Suaranya sudah kembali, is sempat kehilangan suaranya selama 4 hari. Amanda juga mengenal kan nya pada Jacob, sedikit banyak Jacob memberikan dorongan besar untuknya seminggu ini.
"Om peri punya hadiah untuk Nana..." Ucap Jacob, Nana termenung tidak menanggapi.
"Taraaa!!!!" Jacob memberikan gulungan kertas kecil.
"Ayo buka," Nana pun membukanya.
Khanza Alazne Mabella
"Itu buat Nana, mulai hari ini om panggil Nana Aza ya? Aza suka?" Tanya Jacob, Nana hanya terdiam. Tapi air matanya turun setelah nya.
"Khanza itu arti nya cerdas, Alazne artinya kajaiban dan Mabella artinya Dicintai. Jadi Aza adalah putri cantik dan cerdas yang merupakan keajaiban bagi siapapun yang mengenal nya dan akan senantiasa dicintai orang-orang." Jacob mengusap pipi tirus Aza, dan mendekapnya.
Waktu berlalu begitu saja, hampir 2 bulan Aza dalam naungan Jacob. Jacob dan Amanda memberikan rasa aman serta kasih sayang yang selama ini ia dambakan. Aza sendiri sudah jauh lebih stabil, meski kini anak itu menjadi irit ekspresi dan cukup sulit didekati.
Setidaknya Aza kini lebih berani, ia juga sudah bisa bersikap tenang disuasana yang asing baginya. Ah ya, keluarga Kusuma... Mereka sungguh melaporkan Amanda atas kasus penculikan. Tapi semuanya berlalu dengan cukup baik.
Pada akhirnya Aza memilih untuk tinggal sendiri, karena tidak mungkin jika ia akan selalu tinggal bersama dengan Jacob atau Amanda. Aza sudah bisa berpikir jernih, ia tak mungkin membebani dua orang yang sudah membawanya keluar dari kegelapan.
Dan hubungan Aza dengan keluarga nya kacau, Aza hanya meminta kewajiban keluarga nya untuk menghidupinya. Dan ia melarang keluarga nya menemui nya apalagi bicara padanya. Ia tidak mau tersakiti lagi. Masih ia ingat bagaimana Gayatri (nenek nya) mencaci nya karena wajahnya sangat mirip dengan mendiang ibunya. Nenek nya juga sempat di penjara atas kasus pembunuhan berantai dan pencemaran nama baik yang didalanginya.
Rupanya sedari awal neneknya itu tidak merestui hubungan kedua orangtuanya. Ia juga sangat membenci Nadira (ibunya) karena dari kalangan sederhana. Dan yang membuatnya tidak habis pikir adalah Hendri yang percaya begitu saja dengan segala tipu muslihat Gayatri.
Belajar dari ayahnya dan keluarga nya, ia tidak lagi percaya cinta. Dan semua orang itu palsu, mereka semua memakai banyak topeng. Aza sendiri pun menyadari ia melakukan hal yang sama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!