NovelToon NovelToon

Pengantin Ares

Deni Pusing

"Tuan, Anda harus segera menikah!" Deni membuka buku agendanya yang berisikan nama-nama calon pengantin Ares, Tuannya.

 

"Carikan aku wanita seperti Ara, maka aku akan menikah!" jawaban yang sama sejak satu tahun yang lalu. Saat Ares kumat mengganggu Ara mantan istrinya.

 

Hingga akhirnya, buku agenda yang harusnya berisi jadwal kegiatan Ares berubah menjadi catatan nama-nama dan info mengenai kandidat pengantin untuk Ares. Deni sudah seperti baby sitter seorang pria besar yang tingkahnya melebihi bayi.

 

'Ya, Tuhan... panjangkan lah umurku agar aku tidak terkena serangan jantung sebelum pria ini menikah!' batin Deni berkecamuk. Dia berdo'a untuk diri sendiri. Karena jika dia kenapa-napa. Siapa yang akan mengurus Tuannya yang sebatang kara.

 

Orang tua sudah tidak ada, istri pun meninggalkannya. Ralat! Pria itu yang menduakannya dengan menikah lagi. Karena itu Nyonya Elara lari ke pelukan Tuan Charles yang lebih tampan, lebih muda dan hm... lebih legit tentunya.

 

Ingin dia memaki, 'SALAH SIAPA POLIGAMI? DICEREIN, BARU TAU RASA 'KAN!' namun, itu hanya ada dalam khayalan saja. Deni tidak cukup berani untuk menggantung dirinya sendiri mengingat banyaknya cicilan rumah yang ia sengaja timbun untuk anak cucunya nanti.

 

Hei, anak? Istri saja tidak punya. Pacar pun bayangannya tidak tahu seperti apa. Nasib Deni tidak kalah mengenaskan di bandingkan Ares. Hanya saja, Ares masih dikelilingi wanita, asal dia mau. Dia tinggal menunjuk salah satu mereka dan memboyongnya menjadi Nyonya Atmaja.

 

Gelar Nyonya Atmaja seolah sebuah gelar keramat bagi Ares. Posisi yang tidak bisa digantikan siapa pun selain Elara mantan istrinya.

 

Mengingat Nyonya Elara, mengingatkan Deni akan kejadian satu tahun yang lalu. Ketika pria itu mabuk bersama Tuan Charles. Ares bukannya pulang ke rumahnya malah membuat keributan di rumah mantan istrinya.

 

"Ara... menikahlah denganku. Aku rela menjadi suami ke-duamu!" racau Ares tidak jelas.

 

"Lepaskan Araku!" hardik Charles, selaku suami baru Elara.

 

"Dia Araku!" Ares tidak mau kalah, dia memeluk kaki Elara yang kewalahan oleh tingkah dua pria mabuk.

 

"Hei, kalian! Berhenti bertengkar!" Elara berusaha melepaskan diri, meski sangat sulit. Ares bagai lem power glue yang melekat paten.

 

"Tapi Ma, Ares ingin menikahimu!" Charles merajuk.

 

"Memangnya aku bilang mau? Sudah berhenti berbicara tidak jelas! Dan kau Ares, pulang lah... Hades menunggumu di rumah." Elara mulai pusing. Pasalnya dia terganggu di tengah tidur lelapnya.

 

"Aku maunya kamu menungguku di rumah..." cicit Ares seperti anak kecil.

 

Charles mendelik, pria itu membogem pipi Ares hingga tersungkur.

 

"PAPA!" Elara memekik. Mabuk memanglah awal sebuah kekacauan.

 

Ares tidak tinggal diam. Dia bangkit dan melayangkan bogeman balasan pada Charles. Elara sampai melotot.

 

"Apa salahnya menyukai Ara?" tanya Ares dengan lantang.

 

"Dia istriku, sekarang!" Charles mendorong tubuh Ares yang sempoyongan. Mereka sama-sama tidak berdiri tegak.

 

"Dia mantanku!"

 

"Sinting!" maki Charles.

 

"Kau juga sinting!" Ares ikut mengatai.

 

"Kalian berdua sinting! Pengawal, bawa Tuan kalian!" Elara berteriak. Dia sudah tidak bisa lagi menangani Ares dan Charles yang sedang mabuk.

 

"Tidak! Aku tidak mau pulang... Ara... ikutlah denganku..." Ares meronta kemudian memelas.

 

Elara tidak mengubrisnya. Memilih menutup pintu dengan segera, mencegah Ares kembali memasuki kediamannya.

 

***

 

Kembali ke masa sekarang, Deni mengurut dadanya membatin. Sampai kapan majikannya ini akan berhenti membuat ulah.

 

"Deni..."

 

Tidak ada sahutan, Ares pun melongok asistennya yang tampak termenung. Ares melemparkan sebuah koran ke arah wajah Deni.

 

PLAK!

 

"Ah!"

 

Deni tampak gelagapan, dia meraih koran hingga agendanya terjatuh ke lantai. Ares mendengus.

 

"Apa yang sedang kau pikirkan? Jangan banyak melamun! Nanti kau kesambet seperti ayam Pak Rohim lho!"

 

Deni meraih agenda itu, membersihkan dengan menepuk-nepuknya. Pria itu pun menaikkan setengah alisnya. "Memangnya ayam Pak Rohim beneran kesambet? yang saya tau, ayamnya salah makan. Kebanyakan makan karet gelang." jelasnya.

 

Ares sampai melongo. Dia bahkan tidak tahu akan hal itu, barusan Ares hanya asal celetuk saja. "Kau bisa tau sedetail itu?"

 

"Saya lupa mengabari Tuan, jika anak perawannya masuk list calon istri Anda," Deni berkata mantap sedangkan Ares mengusap wajahnya dengan kasar.

 

Deni seolah tidak lelah dengan urusan asmara Ares yang tidak kunjung menemukan titik terang. Yang ada malah berkabut dan menghitam. Menyedihkan!

 

"Kau tidak salah? Kau mau menjodohkanku dengan anak Pak RT?" Tanya Ares setengah terkejut.

 

"Kenapa tidak?"

 

"Usianya baru 18 tahun!" pekik Ares. Bagaimana bisa Deni menjodohkannya pada gadis yang begitu belia, sedangkan usia dirinya sudah hampir berkepala empat.

 

"Tuan, usia itu hanya lah sebuah angka," jelas Deni berlagak seperti seorang motivator.

 

"Ya, jelas sebuah angka buatku. Karena aku tampan dan kaya!" Ares menyeringai mengejek. "tapi, tidak denganmu. Bagaimana kalau kau sendiri yang mengikuti kencan buta, Deni?" Ares memberikan serangan balik. Selalu begitu. disaat dia malas berdebat. Ares akan menggunakan kelemahan Deni untuk memojokkan asistennya itu.

 

"Saya akan segera menikah, setelah Anda Tuan!"

 

"Kau! Apa tidak lelah menjadi malaikat cupidku? Meski belum membuahkan hasil," sarkas Ares.

 

"Tuan! Apa anda tidak lelah? mengganggu Nyonya Elara dan Tuan Charles?" Deni bertanya balik. Dia kesal karena Ares selalu menyindirnya akan usahanya yang belum berhasil karena orang bersangkutan selalu menghindar layaknya belut.

 

"Aku tidak mengganggunya!" sahutnya tidak terima.

 

"Apa namanya jika setiap hari Anda menelpon dan mengirimi pesan pada Nyonya dengan segala perhatian melebihi seorang suami pada istrinya. Tidak hanya itu! Anda mengirimi beliau bunga mawar merah dengan 99 tangkai setiap hari senin. Dan itu membuat Tuan Charles meradang, melampiaskan kekesalannya pada saya yang tidak becus mengurus Anda!” ungkap Deni blak-blakan.

 

“Kau! Menguntitku? Tidak ada yang tahu jika aku mengirimi Ara bunga setiap hari senin!” Ares melebarkan matanya. Pasalnya selama ini dia merahasiakan itu pada Deni.

 

“Bukan itu inti dari yang saya bicarakan Tuan! Jadi benar anda yang mengirimi Nyonya bunga-bunga?” Kepala Deni mulai nyut-nyutan. Andai dia bisa, dia ingin sekali memukul kepala Tuannya agar sadar jika tingkahnya sangat konyol.

 

“Apa intinya? Kau yang bersikap seperti Ibuku?” Ares menunjuk wajah Deni.

 

“Anda yang berlebihan! Apa Anda tidak malu? Seorang Atmaja meneror wanita yang telah bersuami?” Deni menepis tangan Ares dan membusungkan badan. Melangkah maju membuat Ares mau tidak mau melangkah mundur.

 

“Jangan bawa-bawa Atmaja!”

 

“Jika perlu!”

 

Deni sama sekali tidak takut. Rasa takutnya sudah tergerus oleh kesal yang menumpuk pada Tuannya. Ares salah tingkah melihat sikap Deni yang beda dari biasanya, tapi dia pun tidak terima jika Deni berani melawannya.

 

“Minta maaf sekarang dan aku akan melupakan sikap lancangmu!”

 

“Tidak!”

 

Selagi Ares dan Deni sibuk beradu mulut, terdengar suara ketukan pintu. Seorang pegawai pun membuka pintu dan mendapati dirinya yang ditatap tajam oleh Ares dan Deni.

 

“Tuan… maaf, Rapat akan segera dimulai,” cicitnya pelan.

 

Kedua pria tersebut tidak menyahut. Merasa jika telah mengganggu, pegawai itu segera pergi.

“Saya akan menundanya, Tuan! Permisi,” dia pun menutup kembali pintu dan segera pergi dari sana.

 

Ares kembali melihat Deni yang menatapnya tanpa takut. Ares memejamkan mata dan menghela nafas.

 

“Saya akan meminta maaf, asal Tuan mau menghadiri pertemuan yang telah saya siapkan minggu ini!” ucap Deni membuat Ares menoleh dengan raut wajah aneh. Deni ternyata tidak pantang menyerah.

 

“Kau!”

 

“Kali ini saya benar-benar memohon pada Anda, Tuan!” Deni memasang wajah serius yang tidak pernah ditampilkan pada Ares selama ini. Nyatanya, Deni menahan takut dalam hati. Dia sudah pasrah jika akan kehilangan pekerjaannya kali ini. Tapi, semua lebih baik dibandingkan mendapatkan malu akibat tingkah Ares yang mulai menggila. Jika dibiarkan, Ares akan melakukan hal di luar nalar lagi.

 

Mengirimi bunga bukanlah hal absurt yang pertama Ares lakukan. Sebelumnya Ares pernah memasang banner super besar di tengah kota untuk mengucapkan ulang tahun Elara selama 1 bulan. Itu benar-benar kacau.

 

Tbc.

 

Kira-kira, apa yang akan terjadi selanjutnya? Seperti apa kandidat yang Deni siapkan untuk Ares? Tolong jangan terlalu serius, karena di sini hanya ada kekonyolan Ares.

 

 

 

 

 

 

 

Perjodohan

Gloomy Corp.

Ares mengatupkan mulutnya dengan rahang yang mengeras. Dia kesal karena Deni yang begitu gigih, ditambah wajah memelas itu. Menyilaukan mata Ares.

“Berhenti menatapku seperti itu!” sambil menutup mata, Ares meraba meja kerja. Mencari kacamata hitam guna menghalau blink-blink yang dipancarkan Deni.

Deni pun dengan sengaja mengambil kacamata itu dan memasukkannya ke dalam saku.

“Mana kacamataku?” Ares kesal, sejak tadi yang dicari tidak ditemukan.

“Saya akan memberikannya, asal Tuan berkenan ikut saya malam ini!”

“Jangan main-main ya, Deni!”

“Saya tidak main-main, saya sudah lelah mengikuti permainan Tuan,” sahut Deni santai.

Ares menghirup udara dalam, dengan begitu amarahnya yang akan meledak segera meredam. Tidak ada salahnya mengalah untuk menang. Ares kemudian tersenyum samar. Dia tidak akan begitu saja mau. Dia akan sedikit bersenang-senang nanti.

“Baik! Aku akan ikut denganmu,” ucap Ares.

Mendengar Ares yang mau ikut, sontak membuat Deni senang. Dia dengan semangat mengucapkan terima kasih.

“Terima kasih, Tuan!”

Ares menyambar kacamata yang ada di saku Deni dan memakainya. “Ya, aku akan datang nanti malam. Dan kau… jangan mengecewakan aku,” ancamnya.

“Saya sudah menyeleksi dengan baik dari bibit, bebet dan bobotnya, Tuan tenang saja,” ungkap Deni percaya diri.

Ares menyeringai. “Aku jadi tidak sabar menanti malam tiba.”

Deni membusungkan dada. “Kalau begitu, saya ijin undur diri. Saya mau menyiapkan makan malam yang istimewa untuk Tuan,” ujarnya.

“Pergilah,” Ares mengangguk memberikan ijin.

Saat itu juga Deni langsung melesat menuju tempat yang sudah dia reservasi. Tentu saja restaurant berkelas dengan live music jazz di dalamnya. Sambil berjalan, Deni melakukan panggilan.

“Selamat sore, dengan Nona Ussy?”

[Ya, saya sendiri,] jawab seseorang di seberang sana.

“Saya Deni, Asisten Tuan Ares Dawson Atmaja-“

[Ah, Pak Deni? Ada apa ya?] suara wanita bernama Ussy itu terdengar antusias. Deni sudah menduganya. Semua wanita jika dihubungi atas nama sang Tuan pasti akan senang.

“Saya ingin mengabarkan jika Tuan Ares berkenan untuk dinner dengan anda nanti malam,” terang Deni.

[Benarkah? Ya Tuhan, baiklah. Terima kasih Pak Deni. Saya akan bersiap-siap dari sekarang,] Deni membayangkan respon wanita itu setelah ponsel ditutup. Pasti akan melompat-lompat kegirangan. Sudah sewajarnya jika Nona Ussy berterimakasih padanya.

“Sama-sama Nona Ussy. Saya tutup dulu,” sahutnya bijak.

[Baiklah, selamat sore Pak Deni.]

Deni menatap ponselnya lalu teringat ucapan Nona Ussy yang menggilnya ‘Pak’.

Memangnya aku sudah setua itu ya? Kenapa tidak memanggilnya Kakak? Deni menggerutu dalam hati.

***

Ares mendengus setelah kepergian Deni. Pria itu sebenarnya enggan, tapi melihat Deni yang terus bersikukuh membuatnya menyerah juga.

“Ara… andai kita tidak berpisah. Mungkin hidupku tidak akan serunyam ini. dijodohkan ke sana-ke mari seolah tidak laku,” desahnya.

Ares masih jalan ditempat dan menatap masa lalu, sedangkan yang lain sudah melanglang buana mengelilingi dunia. Elara kini bahagia dengan keluarga kecilnya. Suami brondong dengan puteri kecil menggemaskan yang sangat mirip dengan ibunya.

Ares malah duduk termenung di meja kerja sambil mengintip foto kecil di mana terpampang dirinya dan Elara waktu memakai seragam putih abu-abu.

“Haaaahh…” lagi hanya itu yang bisa Ares lakukan. Menghela nafas seperti pria tua renta yang punya penyakit asma.

“Aku kangen Acha… apa sebaiknya aku ke rumah Ara? Dia sudah tidak marah lagi ‘kan?” monolognya. Kemudian terlintas sesuatu. “Ah, aku bisa ajak Hades untuk ke sana!”

Hades akan menjadi senjata pamungkasnya jika dirinya mengalami hal buntu untuk menemui Acha, puteri Elara yang dia klaim sebagai anak angkatnya.

Pria itu melihat ke arlojinya. Masih sempat, sebelum acara dinner dia mau mampir menengok Acha. Melepas rindu yang tidak bisa dia salurkan pada ibu anak itu. Bisa-bisa kena bogeman lagi dari Charles. Pria itu terkekeh sendiri, bukannya merasa bersalah. Malah merasa semuanya menarik, menjadi hiburan tersendiri untuknya menggoda Charles hingga pria itu meledak-ledak.

***

Kediaman Charles Scoot

“Ayah!” panggil Acha pada Ares yang baru turun dari mobil. Kebetulan anak itu sedang bermain dengan kelinci peliharaannya di taman. Dari sana dia bisa melihat mobil yang keluar masuk mansion.

“Acha...” Ares merentangkan tangan menyambut Acha yang berlari menuju dirinya. Dia menggendong Acha setelah mengecupi kedua pipi bocah tersebut.

Sedangkan Hades berjalan mengekori Ares tanpa kata. Acha yang melihat Hades pun berseru. Dia turun dari gendongan Ares.

“Kakak Hades!”

“Halo Acha,” sapa Hades sambil tersenyum.

“Acha, siapa yang datang?” tanya seseorang dari balik pohon taman.

Wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang itu mendekat dan sedikit terkejut dengan keberadaan Ares di sana. pria itu tersenyum kikuk.

“Ha-hai Ara…”

“Ares?”

“Mama… Ayah datang dengan Kak Hades!” Acha mengambil alih kebingungan Elara. Wanita itu pun segera melihat ke arah Hades.

“Oh, Hades. Apa kabarmu sayang?” tanyanya lembut. Perubahan sikapnya membuat Ares gusar.

“Kabarku baik, Mama Ara.” Jawab Hades sopan.

“Hm… kau manis sekali, ayo ikut ke dalam. Mama sedang membuat cookies coklat kesukaanmu,” ajak Elara tanpa mengindahkan Ares yang terus menatap wanita itu.

“Baik Ma,”

“Ayo Kak!” Acha menggandeng tangan Hades. Ares sendiri merasa cemburu. Sepertinya Acha lebih antusias dengan kehadiran Hades dibandingkan dirinya. Elara juga, wanita itu tampak sengaja mengabaikan Ares.

‘Ara masih marah,’ gumamnya lesu.

“Ayah, kok diam. Ayo masuk!” Acha datang menghampiri Ares dan menggoyangkan tangan pria itu. Ares yang sempat termenung pun tersentak.

“Eh?”

“Mau sampai kapan kau berdiri di sana?” tanya Elara dengan wajah datar.

Mendengar Elara yang masih mengajaknya bicara membuat Ares senang bukan main. Pria itu bisa bernafas lega. Karena baginya Elara sudah benar-benar tidak marah lagi. Untuk ke depannya dia bisa bermain ke rumah wanita itu lagi.

Ares mengangguk dan segera mengikuti Elara dan yang lainnya masuk mansion. Namun, saat dia dan Elara berjalan berdampingan dia mendengar bisikan Elara.

“Jangan buat ulah, jika tidak mau aku mematahkan hidungmu,” suara halus, tapi menusuk. Elara telah memberikan ultimatum pada Ares hingga pria itu tidak berkutik dan menelan salivanya dengan kasar.

 Elara merubah raut wajah datarnya menjadi senyum merekah. “Ayo Ares, jangan buat Hades dan Acha menunggu,”  pintanya. Ares hanya bisa mengangguk kaku.

“O-Ok…”

***

Elara menahan kesal dengan kedatangan Ares. Bukan apa, pria itu selalu menjadikan Hades bantalan untuk dirinya. Meredam kekesalan dengan rasa sayangnya pada Hades. Elara tidak bisa menunjukkan itu di hadapan Hades. Sebisa mungkin dia selalu menjaga emosi. Dia hanya ingin memperlihatkan yang baik-baik saja pada anak-anak.

“Ara… maafkan aku,” cicit Ares dengan wajah memohon.

“Aku sudah memaafkanmu, jangan lakukan hal konyol lagi. Aku sudah cukup pusing menghadapi Charles yang merajuk selama seminggu. Belum lagi papan reklame yang kau pasang. Ulang  tahunku sudah lewat, kenapa masih terpampang di taman kota?” pekik Elara kesal.

“Aku hanya berusaha menebus kesalahanku,” Elara sering kali mendengar hal ini.

“Semua telah berlalu, bahkan sudah lebih dari 5 tahun. Ares, sadarlah. Mau sampai kapan kau menoleh ke belakang?”

“Sampai aku benar-benar ikhlas menerimamu bersama yang lain,”

“Loh, bukannya kau sudah merestui kami saat kau tertembak dulu?”

“Aku… lupa,” jawabnya polos.

Elara pun mengambil majalah yang ada di bawah meja ruang tamu. Kemudian melemparkan semuanya ke wajah Ares.

Tbc.  

Sabar… sabar… sabar…   

Sekolah Bersama

"Dan aku juga lupa jika kau adalah pria yang tidak tahu malu," sarkas Elara.

Ares diam dan tersenyum manis. "Itu kau tau..." pria itu memunguti majalah yang berjatuhan dan mengerlingkan mata pada istri orang.

Elara menatap ngeri Ares lalu mengurut dada. "Ya Tuhan... berikan aku kesabaran," ucapnya.

"Kenapa perkataanmu sama dengan Deni?" Ares memasang wajah kecut karena diingatkan pada asistennya itu.

"Berarti dia waras!" Elara melipat tangannya. Ternyata bukan dia saja yang kewalahan menghadapi pria di hadapannya ini.

"Ara... aku tidak gila. Kecuali tergila-gila padamu," ucapnya malu-malu.

"Apa mau aku buat kau makin gila?" sahut seseorang

yang secara tiba-tiba datang dari luar rumah.

"Papa?" seru Elara, wanita itu tersenyum sumringah. Berbanding terbalik dengan Ares. Baru melihat wajahnya saja sudah memasang muka datar.

"Ck!" Ares mencebik.

"Tuan Ares seperti tidak punya rumah saja, hampir setiap hari datang ke sini," sindir Charles. Pria itu segera pulang setelah mendapatkan kabar dari salah satu pengawalnya yang melaporkan jika Ares datang ke mansion.

"Aku mengantar Hades yang yang ingin bermain dengan Acha..." sergah Ares setengah malu karena ketahuan sedang merayu Elara. Hei… dia tidak punya malu, catat!

Charles mengangkat setengah alisnya. ‘Kau pikir aku tidak tahu isi otakmu?’

"Sayang, buatkan kami kopi," Charles dengan sengaja mengecup pipi Elara di depan Ares yang memalingkan muka.

"Tolong lakukan itu di dalam kamar," ketus Ares.

Entah kenapa sekarang dia kesal. Padahal biasanya pria itu cuek-cuek saja melihat kemesraan mantan istrinya dengan suami barunya.

"Memangnya kenapa? Ara istriku," Charles memicingkan mata.

"No... no... jangan bahas itu, aku juga-" Ares mengacungkan telunjuk dan menggoyangnya.

"Aku akan buat kopi!" Elara memotong, "Kamu sebaiknya duduk manis, Ares!” Elara memberikan tatapan tajam hingga berhasil membuat Ares bungkam seketika.

Charles mendengus, Ares hanya bisa diam dengan pawangnya. Yaitu Elara, istrinya. Pria itu melepaskan jas dan menggulung lengan kemeja sampai ke siku, duduk di sofa berhadapan dengan Ares yang menyilangkan kakinya. Oh, sikap Ares yang angkuh tidak pernah berubah.

“So… ada apa kali ini?” tanya pria bermata biru tersebut. Charles menegakkan tubuh lalu menyenderkan punggung ke sofa.

“Maksudmu?”

“Sudah kau turunkan papan reklame yang hampir sebulan kau pasang?”

“Hm… mengenai itu,” Ares menggaruk ujung hidungnya. “Aku belakangan ini sering lupa, jadi belum sempat aku turunkan.” Pria itu menyunggingkan senyum jenaka.

“Aku  mengerti sekarang, mungkin karena factor umur. Apa kau tidak takut menduda terlalu lama? Aku khawatir pedangmu akan karatan nantinya,” skakmat. Perkataan Charles berhasil membuat wajah Ares merah padam.

“Jangan bicara sembarangan! Begini-gini aku yakin pedangku lebih tajam darimu!” Ares mencak-mencak.

“Apanya?” Charles terkikik geli. Tajam? Yang benar saja!

“Buktinya Ara-“

“Kopi datang!” Elara sengaja datang dengan suara yang

nyaring karena dia tidak seorang diri, ada Hades, Acha beserta beberapa pelayan yang mengikutinya dari belakang. Membawa kopi dan beberapa kudapan. Dia tahu jika Ares dan Charles mulai membicarakan hal yang absurd. Jangan sampai anak-anak mereka mendengarnya. Sedangkan dua pria tersebut langsung bungkam menutup mulut mereka rapat-rapat.

“Papa!” Acha yang melihat Charles langsung menghampiri dan mengecupi kedua pipinya.

“Hai, sweety!” sahut Charles. Dia pun membalas kecupan sang puteri kesayangan.

Ares cemberut, dan itu tidak luput dari perhatian Hades. Bocah itu menghela nafas, tidak menyangka memiliki Ayah yang masih kekanakan.

“Selamat siang Papa Charles,” sapa Hades.

“Hei, Boy… kemari!” Charles melambaikan tangan pada Hades. Sedangkan Acha berjalan menuju Ares.

Gadis kecil itu bergelayut manja pada Ares, jangan ditanya bagaimana ekspresi Ares. Pria itu langsung sumringah seusai bermuram durja.

“Ayah dan Papa sedang bicara apa?” tanya Acha penasaran.

Seketika tengkuk Ares terasa dingin, ternyata Elara sedang berdiri di belakangnya dan memberikan aura mematikan. Pria itu menoleh dengan takut kemudian tersenyum kikuk.

“Ah… Ayah sedang bicara tentang…” manik pria itu bergulir ke sana ke mari sambil memikirkan alasan yang masuk akal. Hingga dia mendapatkan sesuatu. “Kalian yang akan di masukkan sekolah yang sama sampai kuliah nanti,” celetuk pria itu asal.

“Ha?” Elara dan Charles terkejut secara bersamaan. Sedangkan Hades memilih menyeruput teh melati yang disediakan.

“Kalian?” Acha membeo.

“Ya kalian, Acha dan Hades!” jelas Ares.

“Ares!” Elara mendesis. Apa-apaan pria itu menentukan pendidikan Acha seenak udelnya.

“Stss…” Ares memberikan kode pada Elara untuk diam. Tidak terkecuali Charles yang menegang. Pasalnya tidak boleh sembarangan berucap di hadapan Acha. Bocah itu kritis.

“Aku, akan selalu bersama Kak Hades?” tanya Acha antusias.

“Iya sayang!” tegas Ares cepat.

“Yeay! Kak Hades, kita akan sama-sama terus!” Acha bersorak kegirangan.

Hades hanya tersenyum tipis, memangnya dia bisa apa? Ares tidak akan bisa dibantah. Dan Hades tahu itu. Elara mendesah sambil menahan gemuruh di dada. Rasanya ingin melempar Ares ke hutan belantara biar dibawa orang utan sekalian. Dan Charles mengusap wajahnya kasar, Acha akan menagih itu. Semua ucapan Ares suatu hari nanti pasti harus terealisasi.

‘Cari mati neh Ares!’ makinya dalam hati.

***

Bandara

Terik matahari menyilaukan pandangan seorang wanita dengan surai hitam sebahu yang baru saja keluar dari bandara, padahal dia sudah mengenakan kacamata hitam. Sepertinya kurang hitam hingga tembus dan langsung mengenai manik hitam beningnya.

“Panas sekali hari ini,” keluhnya. Dia mengibaskan tangan dan menempelkan tangannya pada kening seperti orang yang memberikan hormat pada

tiang bendera pada upacara di hari senin.

Wanita itu merogoh tas ranselnya untuk mengambil ponselnya. Mengutak-atik, mencari nomor seseorang kemudian melakukan panggilan.

“Halo, Kakak Deni! Ini aku Diana,” jelas wanita itu yang ternyata merupakan adik perempuan Deni.

[Halo, Diana! Kamu sudah sampai?]

“Iya Kak, baru saja. Aku langsung ke alamat Kakak ‘kan?”

[Tidak usah, biar aku jemput. Kamu tunggu saja di lobby, Ok?!]

“Ok, jangan lama-lama, aku sudah lapar!”

[Siap Boss!]

Wanita itu terkekeh sambil menyimpan ponselnya kemudian berjalan ke toilet untuk buang air kecil.

30 menit berselang Deni pun sampai bandara. Dia harus buru-buru karena persiapan dinner Ares yang tidak boleh gagal.

“Maaf ya, macet. Biasa lah, Jakarta!” Deni memberi alasan, padahal dia mampir dulu untuk reservasi restaurant.

“Hm… nyamanan di Bali donk,” sahut Diana.

“Tapi cari uang lebih mudah di sini!” terang Deni.

“Ah sama saja, kalau tidak ada keahlian juga tidak akan dapat pekerjaan,” sergah Diana kurang setuju dengan pendapat Kakaknya.

“Iya, benar juga.” Deni mengangguk. “Masih lapar?” tanyanya kembali.

Diana menatap malas Deni. “Masih tanya, ya lapar lha Kak!”

“Oh, hehehe… Kakak kira sudah kenyang, melihat 1 box donat kamu habiskan,” tunjuknya pada kardus kosong yang baru saja dibuang oleh Diana.

“Kalau belum makan nasi belum afdol, Kak!”

“Bisa saja kamu, ya sudah, ayo!” mereka pun menaiki mobil menuju tempat makan.

Tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!