SEQUEL DARI 'MENANTI CINTA SANG ABDI NEGARA'
POV INDIRA
Mentari pagi bersinar cerah, aku selalu menikmati cahaya mentari pagi dari balkon kamarku. Sambil menutup mata, aku menghirup udara sebanyak-banyaknya dan memghembuskannya perlahan.
"Satu di antara nikmat dunia dari Allah adalah masih dapat bernapas dan menghirup udara pagi. Pagi hari adalah awal baru, sebuah kesempatan baru untuk kita menuliskan cerita luar biasa ke dalam kehidupan. Pagi hari selalu mengajarkan kita bahwa ada harapan di setiap langkah kehidupan. Selamat pagi, Semesta," batinku.
Tok tok tok
"Dek! Sarapan dulu yuk," teriak Bunda Gisya.
"Iya Bun, sebentar lagi Adek turun," jawabku pada Bunda.
Haii.. Namaku Indira Myesha Kirania Syafa, aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua Kakakku, kini tidak tinggal bersama kami. Kakak pertamaku tinggal bersama Oma, Kakek dan Nenek di Palembang. Sedangkan Kakak keduaku, dia baru saja diterima disalah satu Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN). Sebab keinginannya untuk menjadi seorang abdi negara seperti Ayah ditolak mentah-mentah oleh Bunda.
Oh ya, Ayahku seorang Mayor Jenderal bernama Fahri Putra Pratama. Sedangkan Bundaku bernama Gisya Kayla Nursalsabila, Bunda hanya seorang pengusaha kecil. Bunda memiliki toko kue yang diturunkan dari Oma Syifa. Saat ini aku baru saja masuk jenjang Sekolah Menengah Atas. Dengan perlahan, kuturuni tangga dan kulihat Ayah dan Bunda sudah duduk manis dimeja makan.
Beginilah kebiasaan keluarga kami, tak pernah melewatkan sarapan bersama.
"Hari ini Adek diantar Om Mirda, ya! Soalnya Kak Monik mau kawal Bunda," ucap Ayah.
"Iya Ayah," jawabku singkat. Ayah memang sangat melindungi kami sebagai anak-anaknya.
"Katanya Kak Rara bakalan pulang, dia akan tinggal bareng-bareng sama kita sayang," ucap Bunda membuatku tersenyum bahagia.
"Serius Bunda? Adek udah gak sabar!" aku memang sangat merindukan Kak Rara, Kakak yang paling kami sayangi.
"Iya sayang, Om Mirda nanti yang jemput setelah nganterin kamu," ucap Bunda dan aku mengangguk.
Setelah sarapan pagi selesai, aku berpamitan untuk pergi ke sekolah. Sepanjang perjalanan aku hanya diam, membaca novel kesukaanku.
"Nona Dira, kita sudah sampai," ucapan Om Mirda membuatku tersadar.
"Kok cepet banget ya, Om!" ucapku sambil tersenyum kaku.
"Baca novelnya serius banget sih! Hati-hati nona Dira, dan selamat belajar," ucap Om Mirda.
"Terimakasih banyak, Om!" ucapku lalu bergegas pergi menuju gerbang dimana Carel sudah menungguku.
Aku hampiri Carel yang sedang asyik dengan ponselnya, aku hanya menepuk bahunya lalu berjalan menuju kelas.
"Wah kurang asem lu! Udah gua tungguin malah melengos aja pergi," kesal Carel.
"Sstt! Jangan berisik, sakit kuping!" ucapku sambil terus berjalan.
"Dasar miss introvert!" ucap Carel dan membuatku tersenyum.
Begitulah panggilanku dari Carel dan juga Fika, sahabat baik yang aku miliki hingga saat ini. Sebenarnya banyak teman yang aku miliki, tapi tak seperti Carel dan juga Fika. Mereka mendekati aku, hanya karena mereka tau jika aku ini anak seorang Jenderal. Dulu, aku pernah dimanfaatkan oleh teman-teman dekatku. Hingga aku memilih untuk menyendiri, hanya Carel yang menemaniku. Lalu tak lama kemudian aku bertemu dengan Fika, seorang gadis seusiaku. Ayahnya telah meninggal dunia, saat sedang bertugas. Ayah Fika adalah seorang Polisi, dan Ibunya seorang guru sekolah dasar.
Dengan santai aku masuk kedalam kelas, kulihat Fika tengah melamun menatap jendela.
"Ngelamun aja! Ayam tetangga mati, kalo kamu kebanyakan ngelamun," Fika menatapku dan tersenyum. Dengan menulis pada secarik kertas, Fika mengatakan jika dia menungguku.
"Tenanglah, aku sudah disini!" ucapku membuat Fika mengangguk.
Fika sebenarnya tidak bisu, hanya saja semenjak kematian sang Ayah dia sempat mengalami kekerasan fisik oleh teman-temannya. Hingga membuat Fika terkena Syndrom Disartria. Disartria (dysarthria) adalah kelainan sistem saraf yang menimbulkan gangguan bicara. Kelainan ini terjadi ketika kerusakan pada saraf memengaruhi otot yang digunakan untuk bicara.
Carel menghampiri kami berdua sambil berkacak pinggang.
"Kalian berdua emang kompak kalo bikin gua kesel," ucap Carel lalu duduk dibangkunya.
"Jangan marah-marah, nanti fans kamu pada lari semua!" Fika meledek Carel melalui tulisannya yang disertai emoticon meledek.
"Tenang aja, kamu fans nomor satu dihati aku," goda Carel membuat Fika mencebik kesal.
"Kadal buntung, kepedean!" tulis Fika membuatku menahan tawa.
"Udah diem! Bentar lagi bu Lusi dateng," ucapku membuat Fika dan Carel diam.
Pelajaran pun dimulai, meskipun memiliki kekurangan namun Fika juga memiliki kelebihan. Dia anak yang cerdas, bahkan selalu menjadi peringkat pertama. Aku tak menganggap Fika sebagai pesaing, sebab aku memang mengakui tingkat kecerdasannya. Kami sama-sama memiliki trauma dalam berteman, hal itu membuat kami dekat.
Bel istirahat pun berbunyi, aku berjalan menuju kantin sambil mendengarkan musik menggunakan I-pods. Sedangkan Carel dan Fika berjalan didepanku.
Bruk!
Aku menabrak seseorang, tampaknya dia adalah kakak kelas. Sebab dia menggunakan seragam tim Futsal sekolah kami.
"Maaf Kak, saya gak sengaja," ucapku sambil menunduk lalu mengambil buku milikku yang terjatuh kelantai.
"Lain kali hati-hati ya, manis!" bukan orang yang kutabrak yang menjawab, melainkan temannya.
"Terimakasih, Kak!" aku berlalu pergi darisana, sebab tak ingin menjadi pusat perhatian.
Fika sudah memesankanku semangkuk baso, sambil membaca buku aku menikmati makanan yang ada dihadapanku.
"Makan dulu! Baru baca buku!" Fika menuliskan itu dan mengambil buku dari tangaku.
"Baiklah Mami Fika, aku makan!" Carel tersenyum, sebab Fika memang sangat perhatian pada kami layaknya seorang ibu pada anaknya.
"Fik, boleh gak baso punya lu buat gua? Masih laper nih!" ucap Carel manja.
"Ck! Beli lagi sono, malu-maluin lu!" kesalku ketika melihat Fika memberikan bakso miliknya begitu saja.
"Syirik aja lu! Fika nya aja kagak napa-napa," dengan santai Carel memakan bakso milik Fika.
Karena jam pelajaran kosong, aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan sendirian. Carel dan Fika lebih memilih untuk pergi keruang musik.
"Heh cewek blagu!" langkahku terhenti ketika mendengar suara itu.
"Aku?" tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri.
"Iyalah elo! Emang siapa lagi disekolah ini yang paling blagu," ucapnya sambil memutari tubuhku dan menatapku sinis.
"Haaah? Aku gak pernah ngerasa blagu atau apapun itu," jawabku santai.
Dia mencoba untuk menarik jilbabku, dengan cepat aku menangkis dan mengunci tubuhnya. Dia memang berniat membullyku, tapi sayangnya aku sudah memahami itu.
"Lepasin gue! Brengsek lo, sok suci!" teriaknya membuat semua orang menatap kearahku.
"Aku gak pernah ngerasa punya masalah sama kamu, dan satu hal lagi! Kamu salah sasaran kalo mau ngebully aku, bisa aja dengan mudah aku patahin kedua tangan cantik ini! Selama ini aku diem bukan karena aku takut, tapi aku males menghadapi calon sampah masyarakat seperti kamu!" ucapku lalu melepaskan tangannya dengan kasar.
Semua orang menatap kearahku, hal yang paling aku benci!
"Daripada sibuk membully orang yang lemah, lebih baik berkaca pada dirimu sendiri! Karena dengan membully orang lain, secara tidak langsung kamu memperlihatkan kelemahanmu! Jangan remehkan diamnya orang introvert sepertiku, jika sekali lagi aku melihat kamu membully orang lain maka bersiaplah kedua tangan manismu itu untuk patah!" aku pergi begitu saja meninggalkannya.
Aku memang orang yang introvert, aku lebih menyukai kesendirian. Untuk menenangkan hati, aku memilih pergi ke taman sekolah. Sambil mendengarkan musik, aku membaca novel. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku untuk menjadi seorang penulis, dan hal itu membuatku tersenyum sendiri.
"Dasar cewek aneh," ucap seseorang yang menatapku dari jauh.
Kini sudah waktunya jam pulang sekolah, Fika membawa motor matic kesayangannya dan berpamitan. Setiap hari, Carel dan Fika akan pulang beriringan dengan sepeda motornya. Sedangkan aku harus selalu menunggu jemputan Om Mirda atau Kak Monik.
"Huft! Andai saja Ayah ngebolehin aku bawa motor," ucap batinku.
Kulihat Kak Monik yang menjemputku, aku teringat jika hari ini Kakak pertamaku pulang. Sesampainya dirumah, aku segera berlari masuk kedalam. Rasanya tak sabar untuk bertemu dengannya.
"Bun! Kakak mana?" aku bertanya dengan sangat antusias.
"Adek! Salam dulu, dong! Kamu bikin Bunda kaget," omelan Bunda sudah biasa bagiku.
"Hehehe, maaf Bun! Assalamu'alaikum, Bunda cantik. Dimanakah keberadaan Kakakku tercinta?" tanyaku dan Bunda tersenyum mengelus kepalaku.
"Dikamarnya sayang, mungkin lagi istirahat," jawab Bunda.
Dengan segera aku pergi menuju kamar Kakak Pertamaku.
"Kakaaaaakkkkk! Dira kangen!" aku berteriak lalu memeluk Kakakku dengan erat.
"MashaAllah, Adek yang manis ini udah pake seragam SMA aja!" ucap Kak Rara padaku.
"Iyalah kan dikasih makan sama Bunda, jadi Dira cepet gedenya," jawabku sambil bergelayut manja ditangannya. Kak Elmira adalah Kakak pertamaku, meskipun kami tak sedarah. Sebab Kak Elmira merupakan anak asuh dari Ayah dan Bunda.
Kami terus saling melempar canda tawa, tanpa disadari Ayah sudah berdiri didepan pintu dengan melipat kedua tangannya didada.
"Ekhemmmmzzzz!!" deheman Ayah membuat kami menoleh.
"Ayaaaahhhhh!!" teriak Kak Elmira berhambur memeluk Ayah, aku mengerti betapa Kak Rara sangat merindukan kami.
"Anteng banget sih kalian, sampe Ayah dateng gak tau!" Ayah mencebik kesal pada kami.
"Maaf, Ayah. Kakak rindu sama Adek, Kakak juga rindu sama Ayah," Kak Elmira terus memeluk Ayah, untuk menyalurkan kerinduannya.
"Ayah juga kangen banget sama Kakak, kalian udah makan siang?" Ayah bertanya sambil mengelus kepala kami berdua seperti anak kucing.
"Belom, Yah! Tadi Adek gangguin Kakak pas mau merem," ucapku sambil tersenyum.
"Ish! Anak nakal! Yaudah yuk kita makan siang dulu, Bunda udah siapin makanan yang enak buat Kakak," ajak Ayah pada kami berdua.
Kami turun dan makan siang bersama, hanya keheningan sebab Ayah memang melarang kami untuk berbicara ketika makan. Selesai makan, aku pergi ke kamar sebab sejak tadi ponselku terus berdering. Bang Husain terus melakukan panggilan video. Aku segera masuk kedalam kamar mandi, dan dengan cepat melaksanakan sholat dzuhur.
Sebenarnya aku berniat untuk turun dan menghampiri Kak Rara, tapi semua itu aku urungkan ketika tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Aku kembali ke kamar dan ponselku berdering kembali.
In Video Call
"Kemana aja sih? Ditelponin dari tadi juga!" Bang Husain mengomeliku seperti Bunda.
"Baru selesai sholat! Mau apasih?!" kesalku menatap Abang.
"Abang pengen lihat Kakak!" memang kami sangat merindukan Kak Rara.
Aku berjalan menuju balkon, aku melihat Kakak yang tengah termenung sendiri. Aku mengalihkan kamera ponselku pada Kakak.
"Kenapa Kakak sedih begitu?" Bang Husain bertanya padaku.
"Biasa, Ayah kan selalu kasih Kakak pengawalan," sedihku, karena memang kami selalu mendapatkan pengawalan ketat dari Ayah.
"Semuanya demi kebaikan Kakak. Yaudah, Abang tutup telponnya. Jangan kasih tau Kakak kalo Abang mau pulang!" pinta Abang Husain lalu mematikan panggilannya.
End Video Call
Aku kembali teringat rencanaku untuk menjadi seorang penulis. Ku ambil Mackbook milikku, dan mulai menulis tentang perasaanku.
"Tentang diriku yang seorang introvert, aku tidak suka dengan keramaian. Aku berbeda dengan orang lain, sifatku cenderung dingin. Hanya dengan keluarga, aku bisa bermanja ria. Aku lebih suka sepi, aku lebih nyaman menyendiri. Keramain terlalu asing bagiku, aku akan lebih cenderung diam. Bukan berarti aku sombong, tapi aku tak tau bagaimana cara membuat topik pembicaraan. Aku hanyala seorang monokrom, aku tidak pandai berkata-kata,"
POV END
* * * * *
Haii reader..
Ini cerita baruku..
Bagi kalian para reader baru, boleh membaca dari 'MENANTI CINTA SANG ABDI NEGARA'
Semoga suka dengan ceritanya...
Jangan lupa loh buat Like, Komen, Vote dan Favorite 🥰🙏🥰
Dukung Author terus ya!
Salam Rindu, Author ❤
Indira tengah memasukkan baju-baju kedalam ranselnya, besok pagi dia akan mengikuti kegiatan sekolahnya. Mereka akan mengadakan kemah di Bumi Perkemahan Jatinangor, Sumedang. Indira diizinkan pergi, dengan catatan Carel akan selalu menemaninya. Sebab hanya Carel yang dipercaya oleh Ayah Fahri, mengingat Indira adalah seorang introvert. Ayah Fahri hanya takut jika Indira mendapatkan bullyng dari teman-temannya.
Setelah mempersiapkan diri, Indira bergegas kebawah untuk makan malam bersama keluarganya. Indira melihat jika kedua ajudan orangtuanya sudah ikut duduk manis disana.
"Om Mirda, Dira mau pinjam senter sama tali boleh ya?" tanya Indira.
"Boleh nona Indira, biar saya bawa nanti," ucap Mirda dan Indira tersenyum.
"Kamu beneran mau ikut, Dek?" Elmira bertanya kembali pada sang adik.
"Iyadong, Kak! Lagian semua siswa diwajibkan ikut," jawab Indira.
"Pokoknya kamu hati-hati disana, sayang! Jangan lupa hubungin Bunda terus, nanti minta Om Mirda buat periksa perlengkapan kamu," ucap Bunda Gisya.
"Iya Bunda," jawan Indira patuh.
Selesai makan malam, Mirda dan juga Elmira memeriksa semua kebutuhan Indira untuk berkemah selama tiga hari.
"Seumur hidup, Kakak belum pernah deh ngerasain kemah kayak kamu," ucap Elmira.
"Nanti kita kemah sama-sama ya, Kak! Sekarang mah Dira kan ini sama sekolahan," ucap Indira membuat Elmira tersenyum.
"Kamu hati-hati ya, Dek! Kalo ada apa-apa, jangan lupa kabarin Kakak," pinta Indira.
"Iya Kak," jawab Indira dengan singkat.
"Nona Indira, semuanya udah siap! Ini tali saya simpan disamping, supaya mudah saat dibutuhkan," ucap Mirda dan Indira mengangguk.
"Makasih ya, Om Mirda!"
Semua keperluan Indira sudah siap, sebelum tidur Indira menulis dalam buku hariannya.
~Pohon di tengah hutan bagaikan lilin dalam kegelapan. Sebab ia mampu memberikan cahaya dan ketenangan nyata bagi penghuni sekitarnya. Alam tak hanya sekadar obat yang mampu menghilangkan setiap kesedihan atas luka hati, namun ia juga mampu memberikan kesejukan sepanjang masa. Tak ada tempat yang lebih indah untuk berlari, selain alam.~
Indira menutup buku, lalu beranjak ketempat tidur. Rasanya dia tak sabar untuk bisa menikmati suasana alam yang sejuk dan indah.
Suara adzan subuh berkumandang, Indira sudah terbangun dan bersiap melaksanakan sholat subuh berjama'ah bersama keluarganya. Selesai sholat, Indira kembali ke kamarnya dan bergegas berganti pakaian. Kini Indira sudah siap dengan pakaian olahraga dan tas ransel yang cukup besar berada di pundaknya. Dia sangat antusias, jika berhubungan dengan alam. Sebab Indira sangat menyukai keindahan alam. Bahkan di usianya yang baru akan menginjak 16 tahun, Indira sudah mendaftarkan dirinya agar menjadi relawan dalam bencana alam. Hanya ssja, Indira belum bisa ikut kelapangan karena usianya.
Dengan diantar oleh Elmira dan juga Mirda, Indira kini sudah sampai didepan gerbang sekolahnya. Terlihat Carel dan juga Fika sudah menunggunya disana.
"Kalian hati-hati, ya! Saling menitipkan diri, kalo ada apa-apa segera hubungin Ayah, Bunda atau Kakak ya!" ucap Elmira dan ketiganya mengangguk.
"Kami naik bus dulu ya, Kak! Assalamu'alaikum," pamit ketiganya lalu masuk kedalam bus.
Indira dan Fika memilih duduk dibangku belakang, mereka mendengarkan musik dari ponselnya masing-masing. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing, tanpa memperdulikan teman-temannya yang lain yang tengah bernyanyi ria, termasuk Carel.
"Lihat kan? Blagu banget dia, gak mau berbaur sama yang lain!" ketus Vero.
"Udahlah Vero, dia emang orangnya introvert! Bukan blagu," ucap Wida.
"Introvert, introvert tai kucing! Emang blagu dia, mentang-mentang anak Jenderal! Gua gak suka sama dia! Liat aja, apa yang bisa gua lakuin ke dia," ucap Vero dengan jahatnya.
"Gua gak ikutan ya," ucap Wida membuat Vero mencebik kesal.
"Oke! Gua bisa lakuin sendiri!" ketus Vero.
Veronica adalah salah satu teman SMP Indira, sebenarnya sejak SMP Vero terus mendekati Indira. Setelah mengetahui jika Indira anak seorang Jenderal, Vero ingin Indira masuk kedalam gengnya. Tapi sayangnya, Indira sudah trauma memiliki teman seperti Vero yang hanya akan memanfaatkannya saja.
Kini bus sudah memasuki kawasan Bumi Perkemahan Kiara Payung. Indira dan Fika akan tidur ditenda yang sama. Sebab teman-temannya yang lain, tak ada yang ingin bergabung dengan Indira dan juga Fika. Hal itu membuat Indira lebih bersyukur, karena memang dia tak ingin terlalu banyak orang dalam tendanya.
Carel membantu Indira dan juga Fika untuk mendirikan tenda, tapi bukan membantu lebih tepatnya merecoki. Karena Indira sudah mahir dalam membangun tenda.
"Huft! Akhirnya selesai juga," keluh Carel membuat Fika kesal.
"Ngerecokin doang juga capek, ya!" tulis Fika dalam ponselnya.
"Hehehe, ngebantuin itu! Aku balik ke tenda dulu, kalian berdua dalam pengawasan aku! Kalo ada apa-apa, teriakin nama aku, okeee?" ucap Carel membuat Indira dan Fika menatapnya dengan jengah.
Kini mereka berkumpul di Lapangan, kegiatan pertama mereka adalah menemukan peta harta karun. Siapa yang lebih dulu menemukan itu, maka mereka akan mendapatkan hadiah. Tapi hal itu tidak menarik bagi Indira ataupun Fika, mereka hanya ingin berjalan-jalan menikmati alam terbuka. Berhubung ini adalah acara sekolah, mau tidak mau mereka harus mengikuti kegiatan itu.
Indira dan Fika sudah berjalan menyusuri hutan, mereka menemukan satu persatu petunjuk dengan mudah. Ternyata, Vero mengikuti keduanya dan berniat ingin mencelakai Indira. Tapi seseorang laki-laki dibalik pohon, mengetahui niat jahat Vero dan mengikutinya. Dia adalah anak kelas 3, orang yang ditabrak oleh Indira tempo hari.
"Dia perempuan aneh, kenapa banyak sekali orang yang ingin mencelakainya?" batin laki-laki itu.
Tanpa rasa curiga, Indira terus berjalan menyusuri hutan. Hingga mereka tiba disebuah tebing, Indira berniat untuk mengambil petunjuk.
"Fika, kamu diem disini ya! Jangan melangkah sedikitpun, aku mau ngambil petunjuk dipohon itu," ucap Indira dan Fika mengangguk patuh.
"Heh bisu! Minggir lo!" ketus Vero mendorong tubuh Fika hingga terjatuh.
Vero berjalan mendekati Indira, ingin rasanya Fika berteriak. Tapi mulutnya tak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Vero sudah berjalan mendekati Indira yang tengah asyik melihat peta ditangannya, dan....
"Diraa!! Awaaaasssss!!!" teriak Fika membuat Indira berbalik seketika.
"Vero?! Mau ngapain lagi?!" ketus Indira dan Vero mendorong tubuh Indira hingga dia menggantung disisi tebing.
"Mau gue, lo musnah! Cewek blagu, sok suci!" ketus Vero dan pergi meninggalkan Indira.
Fika menghampiri Indira dan berusaha menjangkau tangannya.
"Fikaa, tolongin aku! Panggil Carel!" pinta Indira sambil menahan tubuhnya.
"Tapi kamu gimana?" tanya Fika sambil menangis.
"Aku coba bertahan, makanya kamu cepetan panggilin Carel!" titah Indira dan Fika segera berlari sekencang-kencangnya.
Dengan nafas tersenggal, Fika menghampiri Carel dan menarik lengannya.
"Ada apa sih, Fikaaa?!" kesal Carel karena Fika menarik tubuhnya hingga dia tersungkur.
"Indira jatoh ke tebing!" ucap Fika membuat Carel melotokan matanya.
"Fika, lo bisa ngomong Fik?" tanya Carel dan Fika mengangguk.
"Nanti aja wawancaranya! Sekarang Indira butuh bantuan kita," ucap Fika dan Carel segera berlari bersama teman-temannya untuk membantu Indira.
Sementara ditempat Indira, sepeninggal Fika laki-laki itu segera membantu Indira.
"Pegang tanganku yang kuat!" pinta laki-laki itu.
"Tapi Kak, kalo aku lepasin tangan aku, pasti aku jatoh," lirih Indira.
"Lihat mata aku! Percayalah, aku bakalan tarik kamu keatas," ucapnya dengan penuh keyakinan dan Indira mengangguk.
Perlahan tapi pasti, Indira melepaskan tangannya dan meraih tangan laki-laki itu.
Hap!
Tubuh Indira sudah berhasil diangkat, laki-laki itu mendekap erat tubuh Indira.
"Astaghfirullohaladzim, maaf Kak," ucap Indira melepaskan tubuhnya.
"Gak apa-apa, kamu baik-baik aja kan?" tanya laki-laki itu.
"Iya Kak, makasih banyak ya, Kak!" ucap Indira dan laki-laki itu sambil mengikatkan sebuah syal miliknya pada luka dilutut Indira yang robek terkena ranting.
Laki-laki itu akan melangkah pergi, tapi Indira mencegahnya.
"Tunggu, nama Kakak siapa?" tanya Indira sebab kakak kelasnya itu memakai bandana yang menutupi wajahnya.
"Yoga, namaku yoga," ucapnya tanpa menoleh pada Indira.
"Terimakasih, Kak Yoga! Semoga Allah membalas semua kebaikan Kakak," ucap Indira dan Yoga berlalu begitu saja.
Carel, Fika dan teman-temannya berlari untuk menolong Indira. Tapi ternyata Indira sudah berada dibawah pohon sambil memegangi lututnya yang terluka.
"Yaa Allah, Dira! Ayah bisa ngamuk kalo tau lu kaya gini, cepet naik ke punggung gua!" titah Carel dan Indira menurut.
"Jangan hubungin Ayah! Aku gak mau disuruh pulang duluan," rengek Indira.
"Buset! Lu udah begini masih mau terusin?!" kesal Carel.
"Semalem juga belum! Please, nanti aku bantuin kerjain PR deh," nego Indira.
"Hadeuh! Repot banget dah! Mamaaaa help me," rengek Carel yang tengah bimbang.
Para guru sangat terkejut ketika melihat Indira terluka, mereka segera membawa Indira kedalam ambulance untuk mengobati lukanya.
"Yaa Allah, Indira! Kenapa kamu bisa begini?" tanya Bu Lusi sang wali kelas.
"Aku jatoh Bu, maaf gak hati-hati," lirih Indira menunduk.
"Tapi kamu gak apa-apa kan? Maaf kita gak merhatiin kamu, Indira," lirih Bu Lusi.
"Dira gak apa-apa, Bu. Jangan khawatir, Dira gak akan bilang Ayah. Dira bukan anak kecil, Bu. Jangan khawatir ya!" ucap Indira membuat Bu Lusi semakin menunduk.
"Perempuan bodoh! Dia masih bisa menutupi kesalahan orang lain," ucap Yoga yang melihat dari luar ambulance.
Luka Indira sudah berhasil diobati, dia sengaja tidak mengungkapkan alasannya terjatuh. Sebab Indira tak ingin semakin bermasalah dengan Vero. Carel dan Fika menghampiri Indira yang tengah berbaring didalam tenda.
"Kamu gak apa-apa kan, Dira?" tanya Fika membuat Indira dan Carel saling tatap.
"Fika, kamu udah bisa bicara! Aku bahagia, Fika! Makasih ya, kamu udah teriakin aku tadi. Jadi aku bisa tau siapa yang mau celakain aku," ucap Indira memeluk Fika.
"What?! Jadi ada yang mau nyelakain lo, Dira?" tanya Carel yang tak percaya.
"Jangan dibahas! Yang penting sekarang, Fika udah bisa ngobrol bareng kita!" bahagia Indira memeluk Fika dengan erat.
"Iya akhirnya, fans gua nomor satu bisa ngomelin gua," ucap Carel sambil menaik turunkan alisnya.
Mereka hanyut dalam rasa bahagia, tapi Carel tetap masih menyelidiki siapa yang berusaha mencelakai Indira.
"Ngomong-ngomong yang nolongin lu tadi, siapa?" tanya Carel.
"Iya Dira, yang nolongin kamu siapa?" tanya Fika yang tak kalah penasaran.
"Kak Yoga, aku gak tau dia kelas mana. Yang pasti dia Kakak kelas kita," ucap Indira.
"Lah emang lu kaga liat mukanya?" ketus Carel.
"Enggak! Orang dia pake buff bandana, jadi mukanya gak keliatan!" jawab Indira santai.
"Yaa ampun! Dia sweet banget sih," ucap Fika dengan mata berbinar.
"Duh, lu sekalinya bisa ngomong bikin gua panas dingin! Dahlah, gua balik ke tenda! Istirahat lu berdua, kalo ada apa-apa lagi panggil CAREL!" ucap Carel dengan penuh penekanan.
Indira kembali mencoba memejamkan matanya, tapi tatapan mata Yoga membuat Indira hanyut dalam perasaanya.
"Apakah mungkin bertemu seseorang sekali, dan melihat seluruh masa depanmu di mata mereka? Aku tahu bahwa kita baru saja bertemu. Tapi bagiku, itu adalah momen paling ajaib yang dapat kuingat. Dan ketika kata-kata dibatasi, mata sering kali berbicara banyak," batin Indira yang terus teringat pada tatapan mata Yoga.
* * * * *
Semoga suka dengan ceritanya...
Jangan lupa loh buat Like, Komen, Vote dan Favorite 🥰🙏🥰
Dukung Author terus ya!
Salam Rindu, Author ❤
Indira melaksanakan sholat subuh didalam tendanya, sebab semalam ia demam karena kakinya yang terluka. Fika tak sedikitpun bicara pada sang guru, sebab dia mengerti jika Indira pasti akan melarangnya. Semalaman pun Fika merawat Indira dengan baik, dan pagi ini Indira berniat mencari Kakak kelasnya yang bernama Yoga. Indira ingin mengembalikan syal dan memberikan sesuatu sebagai hadiah untuk sang Kakak kelas.
Fika sedang pergi untuk mengambil jatah makan pagi mereka, dan diperjalanan pergelangan tangannya dicekal oleh Vero.
"Heh bisu! Udah bisa ngomong lo?!" tanya Vero dengan penuh intimidasi.
"Aku gak bisa bicara, kalo bukan dalam keadaan darurat," tulis Vero dalam ponselnya, ia terpaksa berbohong pasa Vero karena tak ingin menjadi korban berikutnya.
"Baguslah! Kalo sampe lo ngadu sama guru, abis lo!" ketus Vero sambil mendorong tubuh Fika hingga terjatuh.
Tak ingin meratapi, Fika segera bangkit dan mengambil dua jatah makan pagi miliknya dan milik Indira. Carel menghampiri Fika, dan membantu dia membawakan makanan.
"Apa Dira baik-baik aja?" tanya Carel dan Fika hanya mengangguk.
"Ngomong dong, Fik! Gua pengen denger suara lo," pinta Carel.
"Heh Carel, lo mau aja sih temenan sama si bisu?! Lagian dia itu bisu, mana bisa dia lu ajak ngomong! Mending ngobrol sama gue aja," ucap Wida dengan manjanya pada Carel.
"Gua lebih baik bertemen sama orang bisu, daripada sama orang gak waras!" ketus Carel lalu pergi bersama Fika.
Sambil melipat sleeping bag, Indira merapikan syal dan memberikan sekotak coklat yang dia bawa dari rumah. Sebelumnya, Indira menulis sesuatu pada secarik kertas.
"Terimakasih sudah membantuku, Kak. Terimakasih sudah meyakinkanku, bahwa aku bisa selamat dari sana. Kebaikanmu, tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Meskipun hanya tatapan matamu yang bisa kuingat,"
Carel dan Fika datang, tepat ketika Indira baru saja selesai membungkus coklat itu dalam syal milik Yoga.
"Nih, sarapan dulu! Dari semalem Bunda, Ayah sama Kak Rara telponin gua mulu. Lu sengaja ya matiin ponsel?" kesal Carel dan Indira tersenyum memperlihatkan gigi behelnya.
"Sorry! Abis ponselnya lowbatt, males antri charge nya! Yaudah makan, yuk! Laper," ucap Indira, dengan sigap Fika membukakan makanan untuk Indira dan juga Carel.
"Selamat makan," ucap Fika membuat Carel tersedak makanannya.
"Hati-hati dong makannya!" ketus Indira sambil memberikan minum pada Carel.
Carel menatap Fika dengan tatapan tajam, dia sangat kesal kenapa Fika berbohong.
"Mau lu jelasin, atau gua yang cari tau sendiri!" tegas Carel.
"Aku jelasin aja, tapi janji jangan macem-macem! Karena aku sama Indira yang akan jadi sasaran mereka," ucap Fika menunduk.
"Oke! Sekarang jelasin sama gua!" pinta Carel, dia meletakkan makanannya dibawah.
"Aku kepaksa harus bohong, aku udah bisa ngomong sekarang. Aku gak mau jadi sasaran kejahatan Vero, aku gak mau Indira ataupun aku jadi korban lagi," lirih Fika menahan tangis.
Mata Carel terbelalak ketika Fika menyebutkan nama Vero.
"Jadi Vero yang udah celakain Dira?" Carel menatap Fika tak percaya.
"Iya bener, dia yang mau celakain aku. Sebelum dia ngedorong aku ke tebing, Fika udah lebih dulu teriak. Sampe aku berbalik dan Vero langsung dorong aku," jelas Indira.
"Kurang ajar! Maunya apa sih tuh ulet keket," geram Carel.
"Please, jangan bertindak apapun! Aku sama Fika gak mau lagi urusan sama mereka, biarin aja dia mau ngapain. Yang penting sekarang, aku sama Fika baik-baik aja," ucap Indira dan Carel hanya mengangguk terpaksa.
Selesai makan pagi, Indira dan juga Fika mengikuti kegiatan selanjutnya. Tapi karena kaki Indira masih terluka, mereka hanya bertugas untuk menjaga pos.
"Kak, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Indira pada sang Kakak kelas.
"Boleh, cantik! Mau tanya apa?" jawabnya sambil menopang kedua tangan didagu.
"Dikelas 3 seangkatan Kakak, ada yang namanya Yoga nggak?" Indira bertanya dengan gugup karena dia memang tidak mengenali wajah laki-laki itu.
"Yoga? Ada lima, nih aku ada fotonya! Kamu lihat, Yoga yang mana yang kamu maksud," ucap sang Kakak kelas.
"Mm, itu! Mmm.. Aku gak tau, Kak! Kemaren dia nolongin aku pake buff bandana, jadi yang aku liat cuman matanya aja," ucap Indira menunduk.
Sang Kakak kelas tersenyum, sebab dia tau siapa yang dimaksud oleh Indira.
"Kamu mau aku bawa kelima Yoga ini kehadapan kamu?" tanya sang Kakak kelas.
"Mm, gak usah Kak! Makasih, tapi aku mau titip ini. Syal ini punya Kak Yoga, kemaren dipake buat iket luka aku," ucap Indira.
"Syal ini aku bawa, tapi liontin di syal ini kamu yang bawa! Siapa tau, suatu saat nanti kalian bisa ketemu lagi!" Laki-laki itu berucap sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Tapi Kak......" Indira tak bisa lagi berkata-kata dan patuh begitu saja.
"Namaku, Panji! Dan ingat baik-baik wajahku, ya!" ucapnya lalu melenggang pergi.
Indira menatap liontin kalung yang ditempelkan menggunakan peniti kecil di Syal itu.
"Cantik!" gumam Indira ketika melihat liontin berbentuk seperti matahari itu.
"Emang dari kelima Kak Yoga tadi, gak ada gitu yang matanya kamu inget," Fika bertanya.
"Kan gak liat langsung, Fika! Mana bisa aku inget," ucap Indira dengan lesu.
"Udah jangan sedih! Bener kata Kak Panji, mudah-mudahan kamu bisa ketemu sama dia lagi suatu hari nanti," Fika menyemangatinya dan Indira tersenyum.
Sementara itu dikejauhan, Yoga menatap Indira bersama Panji.
"Sialan lu! Cewek cantik gitu, kenapa gak lu temuin aja?!" kesal Panji.
"Buat apa?" tanya Yoga seolah tidak peduli pada apapun.
"Ih bego lu! Seenggaknya dia bisa tau muke lu, lagian sok-sokan jadi secret admirer lu! Pake tutup muka kaya ultraman," ketus Panji.
"Udahlah, sana terusin ke pos selanjutnya," usir Yoga pada Panji.
"Dasar manusia kutub, gak berperasaan!" kesal Panji karena diusir.
Sepeninggal Panji, Yoga masih menatap Indira yang tengah memberikan petunjuk pada siswa-siswa yang sampai di Pos lima.
"Kita memang ditakdirkan untuk jauh raga oleh jarak. Tapi, kita juga ditakdirkan untuk melihat senja yang sama tanpa jarak, Indira," ucap Yoga sambil mencium syal miliknya yang kini berganti menjadi wang parfum milik Indira.
Waktu sudah menunjukan pukul 4 sore, Indira dan Fika baru saja selesai membersihkan diri. Malam ini akan diadakan Acara api unggun, tapi Indira dan Fika sama sekali tak tertarik dengan acara itu. Sebab pasti akan ramai oleh banyak orang, tapi kembali lagi karena ini acara sekolah mau tidak mau mereka harus mengikutinya.
Mereka menikmati waktu istirahat berdua ditenda, sebelum Carel mengusik waktu istirahat mereka berdua.
"Ck! Malah enak-enakan disini lu berdua! Nih telpon Ayah sekarang! Gua capek diteror mulu, lu gak liat apa?! Noh, berapa chat yang belom gua buka dari Bunda!" kesal Carel.
"Iya iya! Aku telpon Ayah sekarang!" ketus Indira.
In Call
"Assalamu'alaikum, Carel! Mana Indira?" tanya Ayah yang khawatir.
"Walaikumsalam, Ayah! Ini Dira, Adek baik-baik aja. Ponsel Adek lowbatt, makanya gak telpon Ayah sama Bunda," ucap Indira dengan lesu.
"Yaa Allah, Adek! Ayah sampe telponin Bu Lusi, katanya kamu jatoh ya?! Apanya yang sakit? Udah diobatin belum? Ayah minta Om Mir....." ucapan sang Ayah terpotong.
"Ayahku sayang, Adek baik-baik aja kok! Adek masih mau ikut kemah, Ayah. Tenang aja ya, Ayah!" tegas Indira membuat sang Ayah tak bisa berkutik.
"Yaudah, kamu hati-hati disana! Kalo ada apa-apa bilang Carel," pinta Ayah Fahri.
"Iya Ayah, yaudah Adek tutup telponnya ya! Assalamu'alaikum," ucap Indira.
"Walaikumsalam,"
End Call
Indira menghela nafas panjang, sang Ayah memang selalu mengkhawatirkan anak-anaknya. Terlebih ketika kecil, anak-anaknya sempat menjadi salah satu korban penculikan.
Malam telah tiba, selesai shalat isya kini semua siswa berkumpul mengelilingi api unggun yang cukup besar. Sebab semua angkatan, dari mulai kelas satu sampai kelas tiga berkumpul disana. Indira dan Fika sangat tidak menyukai keramaian, mereka memilih duduk dibarisan paling belakang. Acara dimulai dengan pentas seni dari setiap kelas, kini giliran kelas tiga yang bernyanyi. Indira bisa melihat, jika Panji ada disalah satu dari kelima orang yang tengah memegang gitar. Mereka menyanyikan lagu Virzha yang berjudul 'Tentang Rindu'.
Pagi telah pergi, mentari tak bersinar lagi..
Entah sampai kapan, ku mengingat tentang dirimu..
Kuhanya diam, menggenggam menahan segala kerinduan..
Memanggil namamu, disetiap malam..
Ingin engkau datang dan hadir dimimpiku, rindu..
Dan waktu kan menjawab, pertemuan ku dan dirimu..
Hingga sampai kini, aku masih ada disini..
Kuhanya diam, menggenggam menahan segala kerinduan..
Memanggil namamu, disetiap malam..
Ingin engkau datang dan hadir dimimpiku, rindu..
Dan bayangmu, akan selalu bersandar dihatiku..
Janjiku pastikan pulang, bersamamu..
Kuhanya diam, menggenggam menahan segala kerinduan..
Memanggil namamu, disetiap malam..
Ingin engkau datang dan hadir dimimpiku..
Kuhanya diam, menggenggam menahan segala kerinduan..
Memanggil namamu, disetiap malam..
Ingin engkau datang dan hadir, dimimpiku..
Selalu dimimpiku, Rindu..
Deg!
Suara itu, Indira masih bisa mengingat suara itu dengan jelas. Dia terus menatap laki-laki yang tengah bernyanyi bersama teman-temannya. Indira bertekad untuk menemuinya, sebab dia yakin jika laki-laki itu yang sudah menolongnya.
Melihat laki-laki itu pergi, Indira bangkit dari duduknya dan akan menghampirinya. Tapi langkahnya terhenti, ketika mendengar Panji memanggilnya.
"Dirgaaa!" teriak Panji dan laki-laki itu menoleh.
"Ternyata, bukan Kak Yoga..." lirih Indira lalu pergi darisana.
Indira memutuskan untuk kembali kedalam tenda, entah apa yang Indira rasakan. Tapi tiba-tiba saja airmatanya menetes.
"Harapan yang tinggi, menyebabkan kekecewaan yang lebih tinggi. Aku butuh penghapus yang benar-benar bisa menghapus keberadaanmu. Itu yang paling kubutuhkan untuk melupakanmu, aku tidak menangis karenamu. Kamu tidak seberharga itu! Aku menangis karena bayanganku akan dirimu diluluhlantakkan oleh kenyataan, bahwa aku tidak tau siapa dirimu sebenarnya," batin Indira menatap liontin ditangannya.
Sementara itu, Dirga yang berada didekat Indira mencoba menahan dirinya. Perempuan yang menurutnya aneh, kini mampu membuat hatinya sakit.
"Jangan terlalu memikirkan siapa diriku, aku tidak mau membuatmu sedih. Hiduplah dengan baik, aku hanyalah setitik cahaya yang tak ada artinya dengan gemerlap di luar sana. Aku tak mampu melupakanmu tapi aku sanggup melepaskanmu, mungkin jika tak ada jarak, aku bisa mencintaimu lebih baik atau mungkin sebaliknya," batin Dirga.
* * * * *
Semoga suka dengan ceritanya...
Jangan lupa loh buat Like, Komen, Vote dan Favorite 🥰🙏🥰
Dukung Author terus ya!
Salam Rindu, Author ❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!