"Selamat datang, pak Diego." Sapa seseorang kepada orang yang baru keluar dari taxi.
"Hai, Haris." Balas Diego yang disapa oleh Haris.
"Selamat pagi, pak Diego." Kini beberapa orang yang lewat ikut menyapanya.
"Pagi juga, Melanie. Tidak bawa kopi?" Balas Diego dengan melihat ke arah orang yang menyapanya dan nampak berjalan menjauh mendekati lift.
Pertanyaan Diego pun dibalas senyuman hangat kemudian mengangkat sebuah gelas di tangan Melanie. Dan masih banyak lagi sapaan untuk Diego yang ia balas satu persatu sampai Haris yang ada di sana tidak ada kesempatan untuk mengobrol dengan atasannya itu. Mau tak mau ia harus menarik Diego untuk pergi ke ruangannya agar bisa tenang mengobrol.
"Apaan sih, ris? Kok main tarik gitu aja." Protes Diego dalam lift.
"Huh, bapak CEO yang terhormat,,, saya mohon maaf telah lancang, tapi kalau saya tak begitu, kapan saya bisa bicara dengan bapak? Secara bapak sangat populer di perusahaan ini." Jawab Haris.
"Hahahaha,,,, baperan kayak anak kecil kamu, ris." Ledek Diego.
" Ye,,,si bapak. Bukan baper bapak. Saya hanya menyatakan fakta saja. Bapak kan orangnya humble sama orang banyak, jadi wajar kan banyak yang suka. Terus ditambah lagi tampang bapak di atas rata-rata pria pada umumnya." Terang Haris sambil menilai penampilan dari Diego.
"Hah, aku tidak setampan itu." Ujar Diego mencoba merendah dengan gaya layaknya anak kecil.
"Halah, merendah untuk meroket dah ni. Sekarang gua tanya, pekan ini berapa cewek yang udah lu ajak jalan? Gak usah jalan deh, cewek yang nembak lu aja. Gua yakin pekan ini lebih dari sepuluh, bahkan bisa lima puluhan." Terka Haris.
Meski mereka berdua adalah bos dan bawahan, tapi kedekatan mereka sudah seperti seorang sahabat. Dan nampaknya Diego sebagai atasan tidak mempermasalahkan hal itu.
Diego tidak langsung menjawab pertanyaan Haris karena ternyata pintu lift sudah terbuka. Mereka berdua pun keluar dan berjalan menuju ke ruangan Diego. Haris yang bekerja sebagai asisten Diego pun mengikuti langkah bosnya.
Begitu sampai diruangannya, Diego langsung duduk dikursi kebesarannya, sedangkan Haris duduk di sofa empuk telat di depan Diego duduk.
"Ris, aku itu sudah menikah. Mana mungkin punya hubungan spesial sama wanita lain." Tutur Diego dengan senyum mengembang terukir di wajahnya.
"Menikah? Menikah dengan wanita kurang ajar seperti itu? Jangan panggil dia istrimu, Diego." Nampaknya Haris sudah tahu bagaimana hubungan rumah tangga yang dijalani oleh Diego. Saking pahamnya, ia sangat kesal begitu mengingat wajah si wanita yang kini jadi istri Diego.
"Hahahaha,,, ris. Kamu ini, selalu terlihat kesal dengannya. Atau jangan-jangan kamu suka padanya?"
"Mana mungkin aku suka pada wanita sepertinya. Seperti tidak ada wanita lain saja."
Diego hanya melihat eksperesi sahabatnya itu dengan senyuman kecut di wajahnya. Dia paham alasan kenapa dia begitu kesal dengan istrinya, karena dia pun juga merasakan hal yang sama. Mungkin sedikit berbeda dari Haris. Jika Haris sangat membencinya, Diego pun sama tapi juga mencintainya. Aneh memang. Tapi itulah yang ia rasakan selama ini.
Selama menikah karena perjodohan dengan Tasya atau istrinya, dia merasakan adanya rasa cinta dan benci di saat yang sama. Tentunya hal yang ia benci adalah sikap Tasya yang selalu semena-mena terhadap dirinya, bahkan sejak pertemuan pertama mereka ketika ayahnya Tasya menemukan dirinya di sebuah panti asuhan.
Ya, Diego adalah seorang anak yatim piatu yang tinggal di sebuah panti asuhan karena tidak memiliki orang tua sejak lahir. Mungkin hal ini jugalah yang membuat Tasya selalu berlaku semena-mena padanya. Dan tentunya Diego paham dan sadar akan hal itu. Dia tahu bahwa Tasya tak pernah menyukai kehadirannya dalam kehidupan Tasya. Apalagi tentang perjodohan mereka berdua yang secara tiba-tiba dilayangkan oleh ayahnya Tasya karena ingin memiliki cucu yang berkompeten seperti Diego.
Diego juga sebenarnya tidak mau menerima perjodohan ini. Selain karena tidak menyukai Tasya, dirinya juga merasa alasan perjodohan ini tak masuk akal, yaitu agar Tasya hamil dari benih miliknya. Mungkin secara genetika memang benar akan ada penurunan yang diberikan kepada anak yang dilahirkan oleh Tasya jika ia menanamkan benih miliknya di sana. Tapi hal itu bukan sesuatu hal yang bisa mendasari pernikahan mereka terjadi.
Apalagi menurut Diego pernikahan adalah hal yang sakral, bukan sebuah ajang untuk eksperimen, karena perasaan dan kedewasaanlah yang bermain di sana. Tapi, mau bagaimana pun penolakan yang pikirannya lontarkan akan selalu ia pendam dalam-dalam. Dirinya tidak akan bisa menolak keinginan ayah mertuanya karena beliaulah yang telah membawa Diego sampai di kondisi seperti saat ini.
"jangan bilang kamu masih cinta sama si Tasya itu?" Tanya Haris yang membuyarkan lamunan masa lalu Diego.
"Hhhmmm,,, entahlan, Ris. Aku juga gak tahu." Jawab Diego seadanya. Kesedihan tergambar dengan jelas diwajah tampan miliknya.
"Bro,,, saran dari gua mending lu pisah sama dia." Lanjut Haris mencoba memberikan saran terlogis dalam pikirannya.
"Andai segampang itu." Balas Diego singkat. Ia memutar kursinya mengarah ke sebuah lukisan besar yang terpampang di tembok.
"Pak Burhan? Itu masalahnya?" Haris ikut melihat ke arah lukisan yang dilihat oleh Diego. Sementara itu, Diego hanya menanggapi pertanyaan Haris dengan anggukan semata. Sejenak keduanya terdiam memandangi lukisan itu. Baik Diego maupun Haris sama-sama takjub dengan lukisan yang mereka lihat. Terlihat seperti lukisan itu hidup dan sangat nyata. Haris bahkan sampai lupa ingin berkata apa.
"Cantik ya. Bertahun-tahun aku liat lukisan ini, dan tak pernah hilang keindahannya." Pungkas Diego memecah hening di antara keduanya setelah beberapa menit menyelami keindahan lukisan tersebut.
"Iya, kau benar. Entah siapa yang membuat lukisan ini, aku tak tahu. Yah, walau pengetahuanku tentang seni sangat minim,tapi.melihat lukisan ini selalu membuatku terpesona." Sahut Haris mengungkapkan pendapatnya tentang lukisan itu. Dia memang sudah melihat lukisan itu ada di ruangan Diego semenjak pertama kali Diego menjadi atasannya. Sebenarnya ada keingintahuan dirinya siapa yang melukis lukisan tersebut. Tapi dirinya tak pernah mencari tahu, karena baginya itu tidak terlalu penting. Cukup melihat mahakaryanya saja.
"Begitulah seni. Indah dan menyejukkan hati." Imbuh Diego yang masih menatap lukisan itu.
"Hahahaha,,, kamu benar. Seni itu indah, sampai bisa mengalihkan topik pembicaraan kita." Ucap Haris yang mulai tersadar bahwa percakapan mereka belum selesai. Diego hanya bisa tersenyum karena berhasil membuar Haris melupakan obrolan mereka dengan lukisan meski hanya sebentar.
"Ayolah,, apalagi yang perlu dibacarakan?" Sebenarnya Diego paham maksud Haris, hanya saja dirinya enggan membahas masalah hidupnya pada orang lain.
"Tentu saja tentang perceraianmu dengan Tasya." Jawab Haris.
"Ada pak Burhan, Ris. Mana bisa aku melawannya. Dia ayah Tasya. Dan dia juga yang mau aku melahirkan seorang anak agar kejeniusanku tetap berlanjut bahkan lebih baik lagi.". Diego mencoba membuat Haris mengerti keadaan dirinya.
"Iya, aku mengerti. Aku paham betul maksudmu. Tapi apakah kamu benar-benar suda mencoba sesuatu? Seperti bicara pada pak Burhan untuk perceraian kalian?" Tanya Haris yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Diego.
"Diego, aku di sini bertanya bukan sebagai sekretarismu atau bawahanmu. Aku di sini bertanya karena aku peduli padamu. Kita ini sahabat bukan?" Sambung Haris.
"Ya, tentu saja. Aku bahkan sudah menganggapmu seperti keluarga ku sendri." Jawab Diego yang kini tak mau menatap Haris. Dia memilih untuk membelakangi Haris yang duduk di sofa dengan memutar kursinya ke belakang.
"Nah, kau sendiri yang bilang aku keluargamu. Jadi, biarkan aku menolongmu. Kamu orang baik Diego. Wanita seperti Tasya hanya bisa menyia-nyiakan pria sepertimu,,," belum sempurna kalimat Haris ucapkan, sudah dipotong oleh suara Diego.
"Dia tidak menyia-nyiakanku. Lagipula aku bukan lelaki baik." Potong Diego.
"Huh,, memang susah memberitahumu. Entah apa yang membuatmu bisa jatuh cinta pada wanita seperti itu aku tak tahu. Bahkan kamu selalu membelanya, padahal dia selalu menyakitimu. Diego, jujur aku sangat tidak suka dengan perlakuan keluarga pak Burhan terhadapmu." Baru saja Diego hendak membuka mulut, Haris lebih cepat berdiri dengan maksud agar Diego tak membalas perkataannya.
"Diego, aku ini keluargamu, teman dan juga sahabatmu. Aku hanya ingin melihatmu bahagia. Jika kau butuh bantuan, aku akan selalu ada untukmu." Haris nampak mengambil nafas berat sebelum melanjutkan ucapannya.
"Jadi, izinkan aku memberikanmu satu kenyataan, Diego. Aku tahu kamu mencintai Tasya bahkan ketika dia menyakitimu. Tapi ingat Diego. Keluarga mereka hanya menganggapmu robot pintar yang bisa mereka gunakan untuk keuntungan mereka saja. Mereka tak mau tahu perasaanmu apa. Carilah kebahagiaanmu Diego. Kamu juga harus bahagia. Mungkin berat bagimu untuk berpisah, tapi jangan jadikan cinta sebagai alasan yang membelenggumu. Sudahlah, aku mau kembali ke ruanganku. Selamat bekerja, bos." Kata Haris yang mulai berjalan meninggalkan ruangan kerja Diego.
"Ayah baru pulang?" Tanya seorang gadis pada seorang pria baruh baya yang masuk ke dalam rumah. Gadis itu membantu pria yang ia panggil ayah itu untuk berjalan agar tidak sempoyongan karena ia mencium bau alkohol di sekitar ayahnya. Dengan sabar ia meneladeni ayahnya yang mulai meracau tak jelas. Tak lama seorang wanita paruh baya datang menghampiri keduanya.
"Nduk, ayahmu baru pulang?" Tanya wanita itu kepada si gadis.
"Iya, bu. Baru aja." Jawab si gadis sambil membantu ayahnya untuk tiduran di sofa rumah mereka.
"Mabuk lagi?" Wanita itu tidak seperti bertanya, melainkan lebih ke arah menebak keadaan.
"Iya, bu. Untuk kali ini gak sampai teriak-teriak gak jelas." Jawab si gadis menatap ayahnya dengan perasaan gusar. Kesedihan lebih mendominasi hatinya saat ini. Siapa yang tak sedih jika melihat ayah kandungnya berada dalam kondisi kacau seperti ini. Setiap pulang ke rumah pasti selalu dalam keadaan mabuk. Terkadang bahkan suka membuat onar dengan para tetangga yang entah apa alasannya, hanya ayahnya yang tahu.
Sebenarnya ayahnya dulu tidak seperti ini. Beliau merupakan orang yang berwibawa dan tegas. Tidak pernah sekalipun beliau meminum minuman keras bahkan mencari ulah dengan orang lain. Menurut pandangan si gadis, ayahnya merupakan seorang pengusaha yang sukses. Bagaimana tidak, semenjak ia lahir dulu, ayahnya selalu memberikan apa yang ia butuhkan tanpa perlu khawatir tentang uang. Keluarga mereka juga terpandang sangat bagus dikalangan orang-orang. Namun ternyata tidak semua orang menyukai kesuksesan dan kebahagiaan keluarga mereka. Terdapat segelintir orang yang iri dan tak suka kepada mereka.
Hal itulah yang membuat keluarga mereka menjadi seperti ini, mungkin lebih spesifiknya perusahaan ayahnya bangkrut karena fitnah dan kecurangan oleh orang yang ayahnya sangat percayai. Dan inilah imbas yang keluarga mereka dapatkan. Harta mereka harus raib dan disusul dengan sikap ayahnya yang berubah 180 derajat dari asalnya. Selain suka mabuk, ayahnya juga cenderung menjadi pemarah saat ini. Ibu dan si gadis sudah ribuan kali menjadi objek kemarahan si ayah. Untungnya kemarahan ayahnya tidak terlalu parah hanya sekedar cacian. Walaupun tetap saja, si gadis resah dengan keadaan ayahnya.
"Nduk, kamu gak jadi keluar?" Ibunya kembali bertanya setelah mengambilkan selimut untuk suaminya.
"Hhhhmmmm,, yaudah bu. Aku keluar dulu. Doain ya supaya aku dapat pekerjaan tetap." Jawab si gadis sambil menyalami tangan ibunya. Ternyata gadis ini sudah siap untuk pergi sedaritadi karena ternyata dari awal ia sudah berpakaian untuk melamar pekerjaan dengan sebuah map yang ia pegang. Namun dia terpaksa tidak keluar begitu saja begitu melihat ayahnya pulang.
"Iya, nduk. Pasti ibu doakan. Kamu hati-hati ya. Jangan pulang terlalu malam." Pesan ibunya yang hanya bisa meratapi punggung anak perempuannya keluar dari rumah.
Gadis itu kemudian memesan sebuah ojek online sebagai kendaraan untuk ia dapat mencari pekerjaan. Tak berselang lama, ia sudah berada di atas motor ojek online yang ia pesan. Tujuannya hari ini tidak berbeda dengan hari-harinya sebelumnya, yaitu mencari pekerjaan. Terhitung sudah puluhan kali ia mencoba untuk melamar pekerjaan. Dan puluhan kali pula penolakan diterimanya.
Meski sudah memiliki ijazah S1, dirinya tetap saja kesulitan mendapatkan pekerjaan. Karena memang pada kenyataannya skill lah yang dilihat bukan sekedar ijazah. Dirinya yang dulu memiliki banyak uang tentu tidak menyangka kehidupannya akan seperti ini. Sewaktu masih sekolah dirinya juga tidak pernah mengalami kesulitan karena memang ayahnya memiliki uang lebih, jadi dia tak pernah berpikir untuk bekerja bahkan cenderung lebih suka menghamburkan uang. Jika mengalami kesulitan dalam ujian, maka uang ayahnya akan bermain di sana. Ijazah s1 nya pun ia dapatkan kerena uang bermain di dalamnya.
Menyesal, tentu saja ia menyesal. Kurang lebih sudah 27 tahun ia menyia-nyiakan hidupnya dengan menghamburkan uang tanpa berpikir masa depan miliknya. Hingga sampailah dia di usia 28 tahun sebagai pengangguran S1 tanpa skill dan hanya mantan orang kaya. Semua kekayaan yang dulu dibanggakannya hangus tak bersisa. Untuk tempat tinggal saja mereka harus bersyukur karena ada yang berbaik hati memberikan mereka tumpangan secara cuma-cuma.
"Yah, setidaknya aku harus mencobanya lagi." Batin gadis itu setelah sampai di depan sebuah perusahaan besar. Setelah menyelesaikan pembayarannya dengan ojek yang barusan ia tumpangi, dia segera masuk ke dalam perusahaan. Jujur ini bukan pertama kalinya ia melamar pekerjaan di perusahaan ini. Selain karena perusahaan ini sangat besar dan butuh banyak karyawan, dia juga tak punya pilihan lain karena hanya di perusahaan ini saja dia diperbolehkan ikut tes meski skillnya tidak memenuhi standar.
Sesampainya di dalam, ia langsung menyerahkan berkas miliknya agar dapat di data dan kemudian dapat mengikuti tes pegawai perusahaan.
"Dengan mbak Maulinda?" Tanya bagian HRD yang mengurusi persoalan data karyawan baru.
"Iya betul, mbak. Itu saya," jawab Maulinda atau yang kerap kali di sapa Linda itu kepada mbak HRD yang memegang berkas miliknya.
"Sudah beberapa kali ikut tes ya?" Selidik bagian HRD yang melihat data Linda sebelumnya.
"Hehehe,, iya, mbak. Masih mencoba lagi. Siapa tahu kali ini dapet." Meski terlihat bercanda, tapi sebenarnya Linda sangat menginginkan pekerjaan ini.
"Oke, semoga berhasil. Data sudah berhasil kami input, ini kartu pengenalnya. Silahkan menunggu di sana."
"Iya, mbak. Terimakasih." Linda langsung mengkalungkan kartu miliknya dan berjalan ke arah yang ditunjuk oleh mbak-mbak tadi. Beruntungnya ia karena tempat tunggu untuk tes tidak begitu jauh seperti ketika ia melamar sebelumnya. Jadi tak perlu waktu lama ia sudah bergabung dengan ratusan pelamar lainnya.
"Hai, aku Bagas." Sapa seorang pria ketika ia baru saja duduk di salah satu kursi kosong untuk mengantri sesi tesnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!