Hana sudah menjadi anak yatim piatu sejak ia masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Kedua orang tuanya Hana, meninggal di dalam kebakaran yang menimpa sebuah pabrik kulit yang memproduksi berbagai model tas berbahan kulit. Kebakaran tersebut, menewaskan semua karyawan pabrik termasuk kedua orang tuanya Hana.
Hana kemudian diasuh dan dibesarkan oleh neneknya yang hanyalah seorang penjual nasi uduk di pasar tradisional.
Sejak kecil Hana sudah terbiasa hidup sederhana dan selalu bersyukur masih memiliki rumah kecil untuk berteduh dari teriknya sinar matahari dan dinginnya air hujan, ia juga selalu mengucap syukur, masih bisa makan sehari tiga kali, dan masih bisa bersekolah.
Hana Prakas adalah gadis yang tampak lemah secara fisik karena, dengan berat badan 48kg dan tinggi badan 165 cm, dia terbilang kurus. Rambutnya yang tidak terurus karena tidak pernah mengenal perawatan lengkap di salon mahal, berwarna kecokelatan. Dengan wajah tirus, hidung mungil dan lancip menjulang ke atas, memiliki gigi seperti kelinci, Hana cukup menarik.
Andaikan ia berpipi tembem, dia akan tampak sangat cantik dan menggemaskan. Namun, meskipun kurus kering, Hana Prakas masih terbilang cantik dengan rambut berombak panjang sebahu dan berwarna kecokelatan, membuat garis rahangnya Hana tampak semakin sempurna dan kulit putih bersihnya Hana tampak semakin memesona.
Banyak kaum Adam yang mendekatinya dan menyatakan perasaan mereka, namun Hana menolak semuanya dengan halus. Hana tidak pernah tertarik untuk berpacaran. Dia hanya ingin terus hidup berdua dengan neneknya yang semakin renta dan mulai sakit-sakitan. Selain itu, sebagian besar waktunya Hana terpakai untuk bekerja menggantikan neneknya berjualan di pasar sepulang sekolah dan di malam harinya waktu yang tersisa sedikit, Hana pakai untuk belajar.
Hana masuk dalam jajaran siswa berprestasi karena tekun belajar. Hana ingin merubah takdir hidupnya dengan belajar giat dan berusaha sekuat tenaga untuk meraih cita-citanya menjadi dokter. Entah apakah suatu saat cita-citanya akan terwujud ataukah tidak tapi yang pasti, ia terus memakai waktunya yang tersisa untuk belajar dengan keras dan tekun tanpa mengenal lelah.
Neneknya Hana sering menatap Hana dengan haru. Dan sering menegur Hana, "Ini sudah jam dua belas malam, Nduk. Tidurlah!"
"Nggih Nek. Sebentar lagi Hana tidur" Sahut Hana sambil terus menggoreskan tintanya di buku tulisnya.
Hana Prakas adalah keturunan Jawa. Papanya orang Jawa asli dan Mamanya berasal dari Manado. Karena, dibesarkan oleh neneknya, Ibu dari Papanya maka, Hana dididik dengan tata krama Jawa yang sangat kental..
Lembut, selalu menjaga sopan santun, selalu ramah kepada siapapun, sederhana, tidak neko-neko dan kalem, itulah ciri khas tata krama Jawa yang biasanya melekat pada karakter gadis keturunan Jawa.
Kalem yang seringkali membuat orang luar memandang gadis Jawa itu lemah padahal kalem itu berbeda dengan lemah. Kalem itu adalah salah satu karakter yang memilih untuk menghindari konflik yang tidak berarti dengan tenang.
Keesokan harinya, Hana pergi bersekolah setelah selesai menyiapkan nasi uduk dan pelengkapnya untuk ia jual sepulang sekolah nanti. Dia pergi ke sekolah dengan pesan, "Nenek nggak boleh keluar rumah, ya!"
Neneknya Hana mengelus rambut bergelombangnya Hana dengan senyuman dan anggukkan kepala.
Hana pun tidak lupa mampir ke rumah tetangga untuk menitipkan neneknya, "Bu, kalau nenek kenapa-kenapa, tolong hubungi ponselnya Hana, ya?!"
Bu Sri tetangganya Hana tersenyum dan berkata, "Iya Hana. Fokus sekolah aja, Nenek kamu akan Ibu jaga"
Hana mencium punggung tangan Bu Sri dan setelah mengucapkan kata terima kasih, ia pergi ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, Hana dipanggil oleh kepala sekolah.
Hana duduk di depan meja kepala sekolah dengan wajah tenang, namun hatinya berdebar-debar. Dia merasa tidak pernah melakukan kesalahan tapi, siapapun yang duduk di depan meja kepala sekolah biasanya memiliki masalah.
"Kau tahu kenapa Ibu memanggilmu?" tanya kepala sekolahnya Hana yang adalah seorang wanita dengan wajah dingin, keras dan tegas.
Hana menggelengkan kepalanya dan menjawab dengan sangat sopan, "Saya tidak tahu, Bu"
"Berkat ketekunanmu dalam belajar dan berkat kegigihanmu dalam mengajukan beasiswa, akhirnya salah satu universitas negeri di kota ini, memberikan beasiswa untuk kamu. Selamat Hana!" Kepala sekolahnya Hana yang bernama Leonida itu, mengulas senyum tulus untuk Hana.
Hana secara otomatis menarik rahang bawahnya lalu dengan cepat ia menutup mulutnya yang ternganga dengan tangan kanannya dan menatap kepala sekolahnya dengan tatapan tidak percaya.
"Ini berkasnya kalau kamu masih belum percaya dan karena kamu ikut akselerasi maka mulai Minggu depan kau sudah bisa mulai kuliah di sana sesuai dengan jurusan yang kau inginkan" Bu Leonida menyerahkan amplop cokelat besar ke Hana.
Hana menerima amplop tersebut membuka dan mengeluarkan isinya. Ada surat pemberitahuan pemberian beasiswa penuh sampai Hana lulus kuliah dan beberapa pernak-pernik penting lainnya seperti kartu mahasiswa dan lain-lainnya.
Hana memasukkan kembali semuanya ke dalam amplop cokelat besar yang masih ia pegang lalu ia menatap Kepala Sekolahnya yang telah berdiri di depannya dan tengah mengulurkan tangan kanannya.
Hana tersenyum senang, ia bangkit lalu menerima uluran tangan dari Kepala Sekolahnya tersebut dan setelah mengucapkan kata terima kasih ia keluar dari dalam ruang Kepala Sekolah dengan langkah ringan dan senyum bahagia.
Doa dia di setiap malam dan kerja kerasnya dalam belajar, membuat Hana akhirnya diterima di fakultas kedokteran dan bisa mulai kuliah Minggu depan. Hana seolah ingin terbang membumbung ke angkasa saking gembiranya.
Namun, sinar cerah di wajah Hana seketika berganti mendung kala ia pulang dari berjualan nasi uduk dan mendapati neneknya jatuh pingsan. Tetangganya Hana yang memiliki mobil, segera membantu Hana membawa neneknya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, neneknya Hana langsung dibawa ke UGD untuk segera mendapatkan penanganan yang tepat dari dokter yang berjaga di UGD petang itu.
Dokter jaga UGD lalu menemui Hana yang masih berdiri dengan ditemani Bu Sri, tetangganya yang sangat baik. "Nenek kamu harus dioperasi. Ada masalah di jantungnya"
Hana hampir saja jatuh terjerembab ke lantai mendengar perkataan dari dokter UGD, namun dengan sigap Bu Sri menangkap tubuhnya Hana lalu menopang Hana untuk bisa berdiri tegak kembali.
"Berapa biayanya Dok?" Tanya Hana.
"Kalau pakai tipe kamar tiga ditambah biaya operasi plus obat akan memakan biaya sekitar sepuluh juta rupiah"
Kuping Hana terasa.kebas mendengar jumlah uang sebanyak itu.
"Tapi, saya belum punya biayanya, Dok" sahut Hana.
"Rumah sakit bisa menunggu selama lima hari sampai biayanya siap jika kamu ingin Nenek kamu dirawat di sini sekarang juga tapi, Jika ingin kamu bawa pulang, ya nggak papa. Aku akan kasih obat jalan tapi, jika tidak membaik, harus segera dibawa ke sini lagi"
Hana mematung dan membisu di depan meja dokter UGD itu.
Dari mana aku bisa dapatkan uang sebanyak itu untuk biaya operasinya Nenek? uang di celenganku apa ada sebanyak itu? Paling cuma ada satu juta atau bahkan nggak sampai satu juta. Batin Hana.
"Jika bisa bertahan dengan obat jalan, berapa waktu yang dimiliki oleh Nenek saya sampai batas waktu mau tidak mau harus dioperasi, Dok?" tanya Hana.
"Paling lama dua bulan tapi, jika sebelum dua bulan keadaan Nenek kamu mulai memburuk, harus segera kamu bawa ke sini untuk dioperasi"
Hana hanya bisa.menggangguk lemas dalam kegamangannya.
Hana pulang ke rumah bersama dengan neneknya. Dengan sangat terpaksa ia membawa neneknya pulang kembali ke rumah. Dan untuk sementara, neneknya menjalani obat jalan karena untuk biaya rawat inap dan biaya operasi bagi nenek tersayangnya, Hana belum memilikinya.
"Berapa harga obatnya Nenek tadi, Hana?"
"Nenek nggak usah pikirkan biayanya. Yang penting obatnya bisa Hana tebus" sahut Hana.
Obat jantung cukup mahal juga, ya? Separuh dari celenganku terpakai untuk menebus obatnya Nenek. Tapi, nggak papa. Yang paling penting adalah kesehatannya Nenek. Uang bisa aku cari lagi. Batin Hana sambil membuat teh hangat untuk neneknya.
Hana menyelimuti neneknya dengan selimut tebal setelah menyuapi neneknya makan bubur dan makan obat. Hana memeluk neneknya dan berkata dengan lembut di telinga neneknya, "Hana sayang banget sama Nenek. Nenek harus kuat dan harus berumur panjang, ya? Supaya Hana bisa memeluk Nenek seperti ini untuk waktu yang sangaaaattttt lama"
Neneknya Hana mengelus punggung tangan Hana yang memeluk perutnya lalu neneknya Hana berkata, "Iya. Nenek akan berumur panjang demi cucu kesayangan Nenek ini"
Setelah neneknya tertidur lelap, Hana bangun untuk membuka kembali amplop cokelat besar bahwa pihak universitas tidak membiayai biaya ujian praktek. Jika ada ujian praktek, mahasiswa harus menyiapkan biaya sendiri. Hana membaca biaya ujian praktek, sekali ujian praktek menahan biaya sampai satu juta rupiah dan akan ada banyak sekali ujian praktek di fakultas kedokteran.
Hana mendongakkan wajahnya untuk membuang kepedihan hatinya dan untuk menahan air matanya yang hampir jatuh. Dia memang miskin tapi, memiliki gengsi yang cukup tinggi untuk mengeluarkan air mata.
Setelah berhasil menguasai segala rasa yang berkecamuk di dalam dada, Hana lalu bergumam, "Kenapa takdir begitu kejam padaku? Kenapa. takdir memilih aku untuk ia jadikan seorang yatim piatu di saat umurku masih sangat belia? Dan sekarang, di saat aku hampir saja menggenggam impianku, aku harus rela melepasnya kembali karena Nenek sakit dan butuh biaya yang tidak sedikit. Apa salahku pada takdir, kenapa ia begitu kejam padaku?"
Hana lalu membuka tas sekolahnya untuk mengambil buku dan alat tulis. Dua jam lebih Hana mengerjakan dua laporan dengan tema yang berbeda. Cukup melelahkan secara fisik tapi, anehnya kedua matanya masih belum ingin terpejam.
Hana lalu merogoh tasnya untuk mengambil buku yang dia pinjam di perpustakaan sekolah secara gratis. Buku itu bertajuk, 'Cara-cara mengubah takdir hidup seseorang menjadi lebih baik'
Hana menggarisbawahi tiga hal pokok yang harus dilakukan oleh seseorang jika ingin merubah takdir buruknya. Lalu Hana menutup buku itu dengan kesal sembari bergumam, "Aku sudah berdoa setiap hari, beramal kebaikan dan bekerja keras tapi, kenapa takdir masih kejam padaku? Keadaanku belum berubah sama sekali dan sekarang aku rasakan semakin berat karena Nenek sakit"
Hana memasukkan semua buku ke dalam tas sekolahnya yang ia buat sendiri dengan cara dijahit tangan dari kain bekas. Cukup awet tas kain buatannya sendiri itu, sudah menemani hari-harinya di bangku SMA selama hampir tiga tahun. Lalu ia merebahkan diri kembali di atas ranjang, memeluk tubuh kurus neneknya dan memejamkan kedua matanya untuk mencoba masuk ke alam mimpi dan mencoba lari dari kenyataan yang selalu pahit ia rasakan.
Keesokan harinya, sepeti biasanya, Hana bangun jam empat pagi. Memasak nasi dan pelengkap nasi uduk seperti telur cokelat, kering tempe. Untuk serundeng, dia membuatnya dua Minggu sekali pas hari Minggu. Setelah semuanya selesai, Hana memasak bubur untuk neneknya dan membuat teh hangat.
Hana mengelap bibir neneknya dengan penuh kasih sayang setelah menyuapi neneknya bubur dan membantu neneknya minum obat.
"Mungkin kamu tidak seberuntung orang lain. tapi, orang lain belum tentu sekitar kamu, Nduk. Nenek doakan kamu selalu diberi kesehatan dan keberuntungan" Neneknya Hana mengelus punggung tangannya Hana yang ia genggam.
Hana tersenyum lebar untuk menahan air matanya yang seketika itu ingin tumpah. Bahkan untuk mengamini doa yang terucap dari bibir neneknya, Hana tidak sanggup. Hana tidak sanggup untuk menerima kekecewaan lagi karena kata amin yang sering ia ucapkan dari doa-doa baik, belum satu pun pernah terwujud di dalam kehidupannya Hana.
Hana mencium pipi neneknya dan berkata, "Nenek istirahat ya? Jangan turun dari tempat tidur selama Hana sekolah, ya Nek?! Minuman dan makanan sudah Hana taruh di meja di dekat ranjang"
Hana lalu berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Dia merasa sayang jika harus naik bus. Uang untuk baik bus bisa ia kumpulkan untuk membeli obat bagi neneknya.
Sampai di sekolahan, seragam Hana basah karena keringat.Berjalan kaki dari rumah ke sekolahannya memang cukup jauh.
Deo melepas jaketnya dan ia berikan ke Hana, "Pakai jaketku! Baju seragam kamu basah dan kaos dalam kamu kelihatan"
Deo adalah teman sekelasnya Hana yang pernah menyatakan perasaannya ke Hana. Walaupun Hana menolak cintanya, namun Deo tidak membenci Hana. Deo tetap menyayangi dan peduli pada Hana.
"Terima kasih" Hana berucap sambil memakai jaketnya Deo.
"Kau habis berlari ya? Kenapa basah kuyup kena keringat?" tanya Deo sambil mengiringi langkah Hana menuju ke kelas mereka.
"Aku jalan kaki dari rumah ke sini" Sahut Hana dengan wajah datar karena kelelahan.
"Minumlah dulu!" Deo memberikan Tumbler hijaunya ke Hana.
Hana menaruh tasnya di atas bangku lalu menerima Tumbler hijaunya Deo yang berisi susu hangat rasa cokelat.
Hana mengernyit, "Susu cokelat?"
"Iya. Aku butuh susu setiap hari karena akan ada perlombaan basket sebentar lagi" sahut Deo sambil menaruh tasnya di samping bangkunya Hana.
Deo dan Hana memang teman satu bangku sejak kelas satu SMA.
"Kenapa kau berikan ke aku kalau kau butuh susu?" tanya Hana.
Deo tersenyum, "Kau lebih butuh nutrisi daripada aku. Aku bisa beli susu nanti di kantin. Kau sudah sarapan?" tanya Deo.
Hana menggelengkan kepalanya. Hana memang tidak pernah sempat untuk sarapan dan untungnya lambungnya sangat pengertian dan tidak pernah menjerit protes ke Hana untuk minta diisi.
"Aku bawa roti. Makanlah! Aku heran sama kamu, kamu jarang sarapan tapi, otak kamu bisa encer begitu dan tidak pernah mengantuk di jam pelajaran" sahut Deo sembari mengeluarkan buku Matematika.
Hana memakan rotinya Deo dengan cepat setelah mengucapkan kata terima kasih karena lima menit lagi, guru Matematika akan memasuki kelas mereka.
Tepat di saat Hana menelan cuilan roti terakhirnya, guru Matematika memasuki kelas mereka.
Saat istirahat jam pertama, Hana bertanya ke Deo, "Aku butuh pekerjaan, Yo"
"Kamu kan udah berjualan nasi uduk di pasar. Kalau kamu bekerja lagi, kapan waktunya? Terus kapan kamu bisa belajar? Kamu udah dapat beasiswa masuk ke fakultas kedokteran, kan? Minggu depan udah mulai masuk kuliah" sahut Deo.
"Nenek sakit. Butuh biaya cukup besar dan sepertinya beasiswa itu tidak akan aku terima"
"Nenek sakit? Berapa biayanya? aku bisa pinjami kamu duit. Kamu bisa bayar dengan mencicilnya. Nggak usah bekerja lagi. Terus kenapa kamu nggak terima beasiswa itu?"
"Beasiswa itu hanya membiayai mata kuliah umum. Untuk ujian praktek, kita harus bayar sendiri dan biayanya cukup besar. Aku rasa, aku tidak akan mampu memenuhinya"
Deo menatap Hana dengan sendu. Lalu ia berkata, "Papaku punya teman. Temannya punya kafe cukup besar. Kalau kau mau, aku bisa masukkan kamu menjadi karyawan di sana tapi, kumohon jangan kau tolak beasiswa itu! Itu kan impian kamu"
Hana langsung menggenggam tangannya Deo saking gembiranya, "Aku mau bekerja di sana. Kapan? Nanti malam?"
"Janji dulu kalau kau nggak akan lepaskan beasiswa itu"
"Iya aku janji" Hana asal ucap karena baginya yang terpenting adalah ia bisa mencari uang tambahan untuk mempersiapkan operasi neneknya.
Seorang pemuda berumur dua puluh tujuh tahun yang sangat tampan keturunan Skotlandia yang terlahir dari rahim seorang wanita malam, memandang langit malam dari dalam apartemennya yang super mewah. Ia mengenang kembali kenangan pahit di masa kecilnya yang terasa gelap pekat sepekat langit malam yang ia pandangi saat itu. Kenangan pahit sepahit kopi hitam tanpa gula itu, meninggalkan traumatis yang begitu dalam di seluruh jiwa dan raganya.
Kenangan pemuda tampan itu melayang ke kejadian beberapa puluh tahun silam, seorang wanita malam mendatangi pengusaha muda di sebuah apartemen mewah. Pengusaha muda itu berasal dari Skotlandia yang tengah mengembangkan bisnisnya dan telah tinggal di Indonesia selama enam tahun.
"Aku telah melahirkan anak kita dengan selamat dan sudah berhasil membesarkannya sampai ia sebesar ini" wanita cantik itu mengelus kepala anak laki-lakinya lalu melanjutkan kata-katanya, "Kapan kau akan menikahiku? Aku tidak tega membesarkan anakku di lingkungan kost-kostan yang penuh dengan kupu-kupu malam"
"Aku tidak bisa menikahimu. Maaf" sahut pengusaha muda itu dengan santainya.
Anak kecil berumur lima tahun bersitatap dengan pengusaha muda yang memiliki warna bola mata yang sama dengannya, biru jernih.
"Kau janji menikahiku waktu itu. Kenapa sekarang kau berubah pikiran? Setelah kita berpacaran selama lima tahun lebih, kau tega ingkar janji? Kau menatap anakmu saat ini, kan? Apa tidak ada rasa sayang sedikit pun di hati kamu untuk anakmu ini?"
"Aku punya istri dan anak di Skotlandia dan aku sangat menyayangi keluargaku. Kau hanyalah selingan bagiku. Aku suruh kau gugurkan kandunganmu waktu itu dan kamu tidak menurutinya. Itu konsekuensi yang harus kau hadapi! Dasar wanita brengsek! Wanita menjijikkan, cih!" pengusaha muda itu berteriak marah ke wanita malang itu.
Lalu dengan rasa kecewa dan hati yang hancur, wanita itu menggandeng anak laki-lakinya pergi meninggalkan pengusaha muda itu. Dan karena tekanan kehidupan dan rasa sayangnya yang sangat besar pada anak laki-laki satu-satunya, ia nekat menjumpai seorang jurnalis. Jurnalis itu adalah temannya. Dia menceritakan semuanya dan berharap ceritanya dimuat di surat kabar untuk memaksa pengusaha muda itu menikahinya dan mengakui anaknya.
Namun, langkah nekat itu justru membuat nyawa wanita malang itu melayang.
Anak laki-laki itu ditarik keluar dari bawah ranjang. Dia ditampar oleh laki-laki muda yang adalah papa kandungnya Pengusaha muda itu menampar bocah itu dengan kata, "Jangan bilang ke siapapun kalau aku pelakunya!"
Bocah laki-laki itu menangis dan hanya bisa menggumamkan kata, "Tidak"
"Jangan mengingatku! Aku bukan Papa kandungmu, ngerti!?" Tamparan mendarat lagi di pipi bocah yang gemetar ketakutan itu,
Bocah itu kembali menggumamkan kata, "Tidak"
Lalu laki-laki itu menarik ke atas kaos yang dipakai bocah laki-laki itu ke atas dan menggoreskan ujung pisau lipat yang ia pegang di dada bocah laki-laki itu. Bocah itu berteriak kesakitan dan terus menggumamkan kata, "Tidak"
"Itu tato alami untuk cinderamata. Supaya kau ingat semuanya dan membenciku karena aku tidak ingin kau sayangi. Aku tidak ingin kau mengakui aku sebagai Papa kandungmu"
Bocah laki-laki itu semakin deras tangisnya dan terus menggumamkan kata, "Tidak"
Lalu pengusaha muda itu pergi meninggalkan kamar kost sempit yang lembab itu sambil memasukkan pisau yang masih berlumuran darah ke dalam saku jasnya. Ia pergi tanpa rasa penyesalan karena telah membunuh wanita yang sudah memberikan kenikmatan padanya selama bertahun-tahun dan yang sudah berjuang bertaruh nyawa melahirkan dan membesarkan anaknya. Pengusaha muda itu bahkan tega meninggalkan anak kandungnya sendirian di sana.
Bocah berumur lima tahun itu menyeret langkahnya mendekati Ibunya yang sudah terbujur kaku tak bernyawa dengan derai air mata yang tidak kunjung surut. Ia menatap jasad ibunya yang meninggal dibunuh oleh papa kandungnya, dengan mata nanar.
Papa kandung bocah laki-laki itu segera melarikan diri ke Skotlandia ke tanah kelahirannya setelah membunuh si kupu-kupu perak yang pernah membuatnya lupa diri, yang pernah membuatnya mabuk kepayang dan tergila-gila. Kepergian laki-laki egois dan tidak bertanggung jawab itu ke Skotlandia, membuatnya tidak bisa tersentuh hukum karena ia memiliki kekebalan diplomatik.
Bocah malang yang masih berumur lima tahun itu hanya bisa berdiri mematung selama lima jam penuh di depan jasad ibunya yang tertelungkup kaku di atas lantai kamar kost sempit yang dingin. Sampai pihak berwajib datang.
"Nak, siapa nama kamu?" tanya seorang dokter wanita yang memilik wajah cantik, bersih dan lembut. Dokter itu adalah dokter forensik.
"Ares" jawab bocah laki-laki itu.
"Ibu Dokter sudah mengobati luka di dada kamu. Apa masih sakit?"
Ares menggelengkan kepalanya lalu ia menatap nametag yang terpasang di atas kantong jas putih yang dipakai oleh dokter wanita itu, "Elizabeth Laco"
Dokter itu tersenyum lebar dan sambil mengelus kepala bocah laki-laki itu, ia berkata, "Kamu anak pintar ternyata. Kamu sudah bisa membaca dengan lancar"
Ares memang terlahir spesial. Dia menjadi idola di kost-kostan para kupu-kupu malam karena cerdas dan tampan. Ares suka buku dan suka mengobrol itulah kenapa dia menjadi bocah yang disayangi di kost-kostan tersebut.
Ares kemudian dikirim ke sebuah panti asuhan. Setelah beberapa bulan berada di panti asuhan, dokter Elizabeth Laco mengadopsi Ares dan menyematkan nama Laco di belakang namanya Ares.
Ares menghela napas panjang lalu ia meraih jaket kulitnya, ia pakai sambil berjalan menuju ke lantai bawah tanah apartemen mewahnya untuk mengendarai mobil sport silvernya ke sebuah kafe terbesar dan termewah di kota itu.
Hana merasakan kelelahan yang luar biasa di hari itu. Dia berhasil menjadi karyawan di kafe Black Skull dan sudah kuat menjalani pekerjaan barunya itu selama satu Minggu. Dia belajar di sela-sela waktu longgarnya. Dia bekerja sebagai pengantar minuman ruang VVIP di kafe tersebut karena dipandang bersih dan cantik oleh manajer kafe tersebut.
Seperti biasa, Ares Laco masuk ke dalam kafe Black Skull dan duduk di depan piano besar berwarna hitam yang merajai sudut kafe tersebut. Ares selaku memainkan piano itu untuk melepaskan kepahitan yang ada di hatinya setiap kali ia teringat akan masa lalunya.
Manajer kafe lalu menyuruh Hana membawa nampan berisi anggur merk terkenal dan mahal kesukaannya Ares Laco dan menyuruh Hana mengantarkannya ke pemuda yang tengah bermain piano. Manajer itu berpesan "Taruh saja minumannya di atas meja! Jangan ajak dia bicara dan jangan menyentuhnya! Dia akan sangat marah kalau kau sentuh dan kau ganggu konsentrasinya saat ia tengah asyik bermain piano!"
Hana menganggukkan kepalanya lalu melangkah menuju ke salah satu meja yang letaknya paling dekat dengan letak piano hitam itu.
Hana meletakkan nampan di atas meja di belakang pemuda tampan yang masih asyik bermain piano.
Hana hendak berlalu pergi, namun tiba-tiba ia meragu. Dia takut kalau pemuda itu tidak tahu ada minuman di belakang pemuda itu dan ia was-was kalau pemuda itu tanpa sengaja menyenggol botol anggur yang sangat mahal itu, Hana merasa sayang kalau sampai botol anggur itu tersenggol dan menumpahkan isinya yang sangat mahal itu.
Demi kedua alasan itu, Hana akhirnya nekat menusukkan pelan ujung jarinya di atas bahu pemuda itu dengan kata, "Maaf Tuan!? Minuman Anda saya taruh di meja yang ada di belakang Anda"
Ares menghentikan permainan pianonya seketika itu juga lalu ia bangkit dengan pelan dan berputar badan dengan elegan untuk melihat wajah gadis yang sudah berani menginterupsi permainan pianonya.
Ares dan Hana bersitatap dalam kebisuan mereka.................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!