"88.7 Fm I radio jogjaaaaa, jumpa lagi sama Meli di sini, penyiar paling hitz abad ini, bla bla...." terdengar sayup ocehan penyiar radio favorit ku memulai siaran nya.
Namaku Rania, Aku yang dari tadi terpejam dan tengkurap di atas kasur pun akhirnya mulai membuka mata, tugas-tugas kuliah ini membuatku stress dan merasa sangat lelah.
"Malam ini buat siapapun yang mau SMS ke I radio daaan berharap dapet kenalan, monggo yah. Langsung aja sertakan alamat dan tahun kelahiran, serta nomor hp yang kira-kira bisa di hubungi." suara si Meli penyiar centil masih menggema di kamarku.
Ya, aku suka sekali mendengarkan radio, dari pagi sampai pagi lagi. Radioku hanya off saat aku pergi kuliah, hampir semua anak kos di sini suka dan selalu menyalakan radio nya masing-masing setiap hari.
Ku lihat jam dinding di kamarku, menunjukan pukul 23.00 wib, aku pun beranjak bangun untuk membereskan semua buku dan kertas tugas yang berserakan di lantai.
"Oke, selanjutnya siapa lagi yang mau mengirim SMS, siapa tau loh ada yang tertarik nyatet nomer hp mu, terus menghubungimu, kenalan, ihiiirr siapa tau jodoh kaaaan, ayo buruan, keburu off nih." Penyiar itu terus mengajak pendengar untuk berpartisipasi.
Ya, itu semacam program pencarian teman gitu, nanti ujung-ujung nya kopdar, dan berlanjut jadi teman atau malah ada yang bisa pacaran, rumornya sih gitu.
Tiba- tiba telingaku menangkap satu nama yang disebutkan oleh penyiar dan entah kenapa aku tertarik untuk mencatat nomor HP yang disebutkan, padahaaal sudah ratusan kali aku mendengar program ini dan sama sekali tidak pernah tertarik, menurutku kayak kurang kerjaan gitu haha.
"Farhan, 1980, prambanan, 0819-0404-xxxx, oke next."
Bergegas aku mencatat nomor itu, Farhan. Entah kenapa bisa aku tertarik mendengar nama itu dan sempat menyimpan nomornya, apa yang aku pikirkan? Entahlah.
Akupun keluar kamar, ke kamar mandi bersih-bersih muka, tangan, dan kaki sebelum tidur.
Setelah semua selesai akupun masuk ke kamar lagi, sambil tiduran ku buka Hp, ku cek kembali nomor yang tadi aku simpan.
SMS, jangan, SMS, jangan. Ah, aku maju mundur, mau SMS atau nggak. Lagian ngapain sih aku kok sempet-sempetnya nyimpen nomer itu, buat apa aku kenalan sama orang lewat radio begini, ampun deh kurang kerjaan banget.
Oh ya, saat itu tahun 2009, jadi yang ada memang hanya sms, dan telpon. Belum ada aplikasi chat whatsapp, line, dan lain-lain seperti sekarang.
Akhirnya aku mengurungkan niat ku untuk meng-sms-nya malam itu, sudah terlalu malam, nggak pantes rasanya perempuan malam-malam begini sms laki-laki dan mengajaknya berkenalan, apa katanya nanti.
Keesokan harinya aku beraktivitas seperti biasa, pukul 08.00 wib kuliah, sampai selesai semua kegiatan kampus, dan pukul 16.00 wib pulang ke kos.
Aku adalah orang yang agak tertutup, teman ku tidak banyak, bisa dihitung jari, dan yang paling akrab hanya teman-teman satu kos saja, yang kebetulan ada beberapa yang satu angkatan dan satu fakultas dengan ku.
Malam itu sesudah makan malam bareng sama anak kos lainnya, aku langsung masuk kamar dan menyalakan radio. Terdengar lagu-lagu cinta requestan pendengar lain, dan aku menikmatinya sembari mengecek hp ku.
Tiba-tiba aku teringat dengan 'Farhan'.
Siapa ya kira-kira farhan ini, usianya saat itu berarti sekitar 29 tahun, dan itu artinya beda 7 tahun denganku. Gimana ya wajahnya, kerja apa kuliah ya, dia tinggal di daerah prambanan, berarti nggak terlalu jauh dari sini. Ah, pikiranku sudah menerka kemana-mana, rasa penasaran itu semakin membuncah. Dan akhirnya aku memberanikan diri untuk menyapanya.
"Assalamualaikum,bener ini nomernya Mas Farhan?" sapa ku lewat sms. Sambil mikir dibales nggak ya.
Lima belas menit kemudian baru ada pesan masuk.
"Waalaikumsalam, iya bener, sinten njih?"
Dalam hatiku, 'jawa banget' , sambil senyum-senyum sendiri aku mikir mau balas apa lagi.
"Maaf ya Mas mengganggu, aku Rania, kemaren aku denger i radio, dan aku denger nomer ini, lalu aku save, salam kenal." Ada emote senyum ku sisipakan disitu.
"Salam kenal juga, Adek tinggal dimana?" balasnya langsung.
Hah? 'Adek'
Jantungku berdebar nggak karuan, ketimbang dipanggil adek, padahal temen kampus yang manggil dek juga banyak, tapi kenapa kali ini rasanya jantungku nggak bisa santai ya. Mulai gila, senyum-senyum sendiri.
"Aku kos di kota, Mas" balasku.
"Kuliah apa kerja?"
"Kuliah Mas, Mas nya sendiri?"
Tanpa ku sadari perkenalan itu berlangsung hingga pukul 01.00 wib, buseeet. Kalau ingat rasanya masih sering senyum-senyum sendiri.
Pertemanan lewat dunia maya itupun berjalan baik, hampir setiap hari ada SMS bahkan telpon dengan banyak obrolan, nggak pernah kehabisan bahan, jangan ditanya gimana suaranya. Aku selalu merindukan suara itu, nah loh.
Tiga bulan berlalu, sms, telpon terus berlanjut. Sampai suatu hari dia sms dan membuatku tidak bisa tidur semalaman karena sms itu.
"Dek, udah lama yah kita kenal di hp, kalau misal Mas ajak ketemuan, mau ndak?"
Aku tidak langsung membalasnya, aku deg-deg an, alay yah. Iya aku merasa lebay saat itu. Kenapa kok gugup rasanya. Apa karena aku nggak PD? Aku tiba-tiba merasa takut dia kecewa, karena aku takut bayanganya tentang sosok ku berbeda dengan asli nya aku. Aku pendek, cuma 145cm, aku gendut, aku nggak cantik.
Pokoknya sebelum membalas sms itu pikiranku kemana-mana.
Sambil menarik nafas akhirnya aku pun membalasnya.
"Mau ketemu dimana Mas? Kapan?"
"Lusa, Mas jemput kamu di kos, terus kita cari tempat ngobrol."
"Oke Mas, habis maghrib yah."
"Baik Dek, sampai jumpa lusa njih."
Oh Tuhan raniaaaa, siap kah kamu?? Kalau ternyata dia kecewa karena ekpektasinya tentang wujudmu berbeda gimana? Atau justru kamu yang akan kecewa, kalau ternyata bayanganmu tentang sosok nya selama ini tidak sesuai gimana? Memang suaranya membuat mu rindu, tapi itu hanya suara. Pikiran lebay itupun berkecamuk.
Bersambung....
Namaku Rania, aku kuliah disalah satu universitas swasta di Yogyakarta. Aku bisa terdampar di Yogya karena suatu alasan. Bukan murni pilihanku.
2005 aku pertama kali menginjakkan kaki disini. Berasal dari kota kecil di bagian provinsi Sumatera selatan, awalnya aku merasa seperti anak hilang di Yogya, sendirian, nge kos, jauh dari orng tua. Ah, aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana aku bisa menjalani hari-hari ku selanjutnya. Tapi ternyata tidak sesulit yang ku bayangkan, buktinya aku menetap disini, sampai detik ini.
"Woy Ramen ngelamun aja," Via teman satu kos ku membuyarkan lamunan ku. Ya, dia memangilku Ramen.
"Kaget aku, lama banget ke perpus doang, dapet nggak buku yang dicari?"
"Ora ki, mungkin lagi dipinjem orang yo, apa aku tak beli aja ya?" tanya nya meminta pertimbanganku.
"Ya nek memang penting, dan bisa buat jangka panjang, beli aja. Daripada nunggu yang diperpus, kan nggak tau kapan baliknya."
"Yo wes Ran, temenin aku ke Toko buku yah nanti abis maghrib."
Aku ingat, habis maghrib nanti aku sudah ada janji dengan mas Farhan untuk kopi darat pertama kali. Aku nggak mau menunda itu. Aku penasaran dengan sosok nya.
"Walah, kalo abis maghrib ini aku nggak bisa vi, aku dah ada janji ketemu sama orang, besok piye?"
"Weeeeh, mie Ramen janjian sama orang? Siapa? Tumben."
Ya, Via paling tau bagaimana aku, dari sekian banyak teman satu kos, dia salah satu yang paling akrab dengan ku. Sering tidur bareng, kadang di kamarku, kadang di kamarnya.
Sering saling minjemin duit kalau pas kiriman ortu telat datangnya, sering curhat-curhatan soal apapun. Pokoknya dia teman kos yang merangkap jadi sahabat.
"Ada lah, baru kenal kok, kenal lewat radio," jawabku sambil tertunduk malu.
"Hah? Hahahaha, kaaan kemakan omongan sendiri, jare lebay, alay, kurang gawean, nyari temen kok lewat radio, di kampus yo banyak, lah ternyata," cerocosnya dengan suara brisik dan membuat beberapa orang yang duduk di situ melihat ke arah kami.
"Sssst, jangan keras-keras. Malu tuh orang pada ngeliatin."
"Lah kamu lucu kok, sejak kapan kamu ikut acara kenalan lewat radio begitu? Kamu kan sering ngece aku nek aku cerita soal program itu. Lah kok sekarang kamu dengerin, ikutan, eeee udah dapet kenalan dan mau ketemuan lagi. Aku aja baru SMS dan telpon doang," dia masih nyerocos tanpa memberiku kesempatan ngomong.
"Aku iseng aja waktu itu, ntah kenapa pas program itu aku nyimak, biasanya nggak pernah tak simak kok kamu tau sendiri toh, dan entah kenapa aku tertarik dengan satu nama yang disebutkan sama penyiarnya, yaudah aku catet aja nomernya, terus iseng tak hubungi, eh kok malah berlanjut sampai sekarang, dan hari ini dia ngajak ketemuan," jelasku padanya.
"Siapa namanya? Emangnya udah berapa lama kenalnya?"
"Ada deh, kurang lebih tiga bulan ini lah."
"What? Tiga bulan? Kok aku nggak tau toh? Kok kamu nggak cerita, iisssh sopo jenenge?"
"Kapan- kapan aku kasih tau namanya, lagian kan kamu tau, sebelum ini setiap kamu nyeritain tentang program itu ke aku, aku selalu ngece, terus sekarang ujug-ujug aku malah dapet kenalan dari situ, yo aku malu mau ceritanya."
"Hahaha, makanya men Ramen, jangan asal ngece sesuatu sekarang ketulah toh," ejek nya.
"Wes ah, aku mau pulang ke kos, mau mandi. Nanti abis maghrib mau pergi," jawabku sambil berlalu dari si bawel itu
"Weeeh, tunggu, aku ya mau pulang kok, bareng," dia berlari mengejarku.
Selesai sholat maghrib, aku bersiap untuk pergi. Celana jeans, kaos hitam biar nggak keliatan gendut, sedikit bedak, dan lipgloss.
Ringtone khas kolopaking pun tiba-tiba berbunyi dari Hp ku.
"Dek, udah siap? Tak jemput sekarang ya?" pesan masuk dari mas Farhan.
"Oke mas, tak tunggu," jawabku.
Sembari menunggu kedatangan mas farhan, aku pun tidak beranjak dari depan kaca, ku lihat ada yang kurang nggak ya? pantes nggak ya kayak gini? bedakku ketebelan nggak? lipgloss ku ketebelan nggak. Ya, aku khawatir penampakanku memalukan. Jujur saja, jantungku gugup seperti orang mau di tagih hutang, deg-deg an. Semoga saja pertemuan ini lancar, baik-baik saja, jangan sampai dia meninggalkan aku di pinggir jalan gara-gara wujudku yang tidak sesuai dengan bayanganya.
"Dek, aku dah sampe, aku tunggu di depan ya."
"Oke mas, sebentar ya."
Dan aku pun keluar, aku melihat dia masih di atas motornya yang cukup besar itu, motor macan. Masih memakai helm, masker dan sarung tangan. Sama sekali nggak keliatan wajahnya. Tapi dari postur tubuhnya dia terlihat tinggi, jaket hitam yang dipakainya membuat dia juga terlihat keren.
"Farhan," dia memperkenalkan diri sekali lagi, kali ini secara langsung, sambil menyodorkan tangan untuk mengajakku bersalaman.
"Rania," sambutku, sambil tersenyum.
Tangan kami sama-sama dingin dan basah.
Apa iya dia juga deg-degan sepertiku?
"Monggo dek, naik, kita cari tempat ngobrol," ajaknya.
Aku pun agak kesulitan naik ke motor itu, motor itu terlalu tinggi bagiku. Dan lagi-lagi dia membuatku gugup, saat dia menyodorkan tangannya supaya bisa ku jadikan pegangan untuk menopang tubuhku yang pendek ini. Demi apa? Dia wangi banget!!
Dan akhirnya motor itupun melaju. Aku nggak tau dia mau bawa aku kemana, dan entah kenapa aku tidak khawatir ataupun takut, pergi dengan orang yang baru saja ku kenal, dan sampai motor itu sudah melaju cukup jauh pun aku belum tau wajahnya seperti apa.
Sepanjang perjalanan kami hanya diam, tidak ada pembicaraan, karena dia mengendarai motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi bagiku, 80 - 100 km/jam.
Akhirnya kami pun sampai di suatu tempat, Bukit Bintang Wonosari.
Sumpah, itu pertama kali aku kesana, karena tempat itu lumayan jauh dari kos ku, jalannya yang berliku dan menanjak membuatku tidak pernah tertarik mendatanginya, karena aku gampang pusing. Tapi hari ini nggak, aku nggak pusing, aku nggak mual, aku happy.
Saat mau turun dari motor lagi-lagi dia menyodorkan tangannya untuk ku pegang, agar aku tidak jatuh. Jangan ditanya, jantungku semakin menggila. Walau aku belum tau seperti apa wajahnya.
Dan saat itu pula aku memperhatikan nya membuka sarung tangan, helm, lalu masker nya. Tanpa berkedip. Dan saat wajah itu terpampang didepan mataku. Jantung ini semakin tidak terkendali, ada suara hati yang seolah mau meneriakan sebuah kata.
"MasyaAllah"...
Saat itu aku hanya terdiam. Melihat matanya, hidungnya, semua wajah nya, yang dari tadi tersembunyi di balik masker itu. Seolah aku tidak mempercayai apa yang aku lihat saat itu. Memang bayanganku tidak terlalu melambung tinggi, aku sadar diri kalau aku pun biasa saja. Tapi wajah itu, masyaAllah manisnya.
Serius ini mas Farhan?
Oh raniaaa, bersiaplah setelah ini dia nggak bakalan menghubungi mu lagi. Farhan ini kebagusan buat kamu.
Hah? Gimana? Buat aku? Kok bisa mikir buat aku? Maksudnya apa? Ke PD an banget!
Ketemu baru hari ini, jangan-jangan kamu cuma diajak ngobrol lima belas menit dan setelah itu akan langsung diajaknya pulang ke kos. Fisik dia seganteng itu (menurutku saat itu), mancung, matanya cekung, alisnya tebal, rambut hitam dan sedikit panjang, type wajahnya mirip once. Iya, once.
"Dek, kenapa bengong? ayo ikut, kita cari tempat duduk," ucapnya mengejutkanku yang masih mematung karena terpesona dengan wajah itu.
Kami pun mencari tempat duduk. Di sana ada beberapa warung kecil seperti pondok-pondok yang terbuat dari kayu, dan semua rata-rata menjual makanan dan minuman yang sama, seperti jagung bakar, camilan, wedang ronde, dan masih banyak lagi.
Akhirnya kami pun mendapatkan tempat duduk di semen pinggir jalan. Semacam pembatas jalan, aku nggak tau deh apa namanya, pokoknya kalau kita duduk di situ kita bisa langsung menghadap ke arah kota Yogya, dan bisa langsung melihat pemandangan jutaan lampu yang membentang, seperti bintang. Tapi posisi bintang itu ada di bawah kita, karena posisi kita lah yang di atas bukit, itu kenapa dinamakan bukit bintang.
"Mau pesen apa? Wedang ronde mau? Atau mau makan sekalian?" tanya mas farhan padaku.
"Boleh mas, wedang ronde aja, aku belum lapar," jawabku sambil tersenyum.
Kulihat mas farhan berjalan ke arah salah satu warung untuk memesan wedang ronde.
Sambil menunggu mas farhan kembali, pikiranku mulai menari lagi, semakin kemana-mana.
Rania, apapun yang terjadi setelah pertemuan ini, ikhlas ya. Kamu tuh loh tembem, pendek, nggak cantik babar blas. Jadi kalau nanti ujug-ujug si farhan jadi males menghubungimu, kamu kudu strong. Ya, semoga saja farhan mau sekedar berteman, kan lumayan punya temen ganteng, wangi, dan sepertinya baik.
"Ini dek rondenya, monggo." Mas farhan pun datang dengan membawa dua mangkuk wedang ronde dan memberikan salah satunya padaku.
"Makasih mas," ucapku sambil mengambil ronde yang ada di tanganya.
"Pernah kesini sebelumnya?" Mas farhan membuka obrolan.
"Belum, soalnya jauh, nggak berani kalau pakai motor sendiri. Jalannya berliku dan tinggi," jawabku.
"Ya jangan sendiri, ajak temen atau pasangan buat malem mingguan," ucapnya sambil senyum dan melihat ke arahku.
Senyumnya itu masyaAllah, dari tadi baru kali ini aku melihat nya tersenyum, dan itu hanya dua detik saja, sangat kilat. Tapi senyum itu seolah bersarang di kepalaku dan aku tidak pernah melupakannya sampai detik ini.
"Aku ndak punya pasangan, kan aku udah pernah bilang di telpon, kalau aku punya pasangan nggak mungkin aku telponan, sms an sama kamu sampai jam dua malam bahkan sampai menjelang subuh," jawabku sambil mengaduk ronde dan menyembunyikan kegugupanku.
"Udah berapa kali kenalan sama orang lewat radio dan ketemuan begini?" tanyanya lagi.
"Baru kali ini, baru sama kamu."
"Masa' sih? Sama kalau gitu," jawabnya datar.
Entah kenapa saat mendengar ucapan itu jantungku rasanya seolah mau lompat keluar. Andai suara jantung ini bisa terdengar orang lain, pasti berisik sekali. Deg-degan nya ngalahin kalau mau pidato di depan umum, dan kali ini jauh lebih deg-degan lagi. Iya, saat itu aku memang lebay banget rasanya.
"Mas, kenapa kok bisa ikut ngirim biodata di program itu? Emang sengaja nyari kenalan atau iseng?" tanyaku penasaran. Karena memang selama tiga bulan ngobrol dengannya lewat hp aku belum pernah menanyakan hal itu, seingatku.
"Cari jodoh," jawabnya datar tanpa ekpresi. Sambil memakan ronde yang ada ditanganya dengan tatapan yang lurus ke depan.
Hah? Jodoh? aku nggak tau mau bilang apa. Rasanya kok mendadak seperti orang oon, bahkan mulutku yang sedang mengunyah ronde pun mendadak berhenti.
Beberapa detik kemudian dia pun menoleh ke arahku, karena memang kami duduk bersebelahan, dan sama-sama menghadap ke arah kota Yogya yang terbentang luas. Lagi-lagi dia tersenyum, senyum itu semakin membuat jantungku semerawut rasanya.
"Iya, jodoh, siapa tau aja dapet, ikhtiar bisa dengan cara apapun kan?" ucapnya sambil memandangku.
Raniaaa, jangan GR, jangan ke PD an, dia nyari jodoh dan belum tentu itu kamu. Ingat, kamu baru pertama kali ini ketemu dengan dia, dan yang barusan itu hanya omongan dia aja. Jadi kamu jangan GR, jangan salah tingkah, jangan merasa bahwa kamulah jodoh yang dicarinya. Sadar rania, sadar!
"Kok nyarinya di radio mas? Memangnya di sekitar mas nya ndak ada? Yang mungkin sudah dikenal?" tanyaku semakin penasaran dan mencoba sebiasa mungkin, untuk menutupi sikap salah tingkahku.
"Dulu pernah, pernah deket dengan seseorang. Nggak pacaran sih, cuma saling menjaga perasaan, saling perhatian, tapi mungkin belum jodoh. Akhirnya lost contact begitu saja, sudah setahun yang lalu," jelasnya.
"Kenapa nggak dipacarin? Kenapa nggak dilamar sekalian mungkin, biar nggak hilang," gurauku.
"Aku nggak begitu paham pacaran itu yang bagaimana, dan konsepnya seperti apa. Menurutku cukup dengan dia tau aku menyayanginya, perhatian denganya, mengkhawatirkannya, lalu kita saling menjaga hati, dan yakin dengan hati masing-masing, seharusnya itu sudah cukup untuk nenjelaskan bahwa hubungan itu special. Saat itu aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk melamarnya, tapi sayang dia pindah kerja keluar Yogya, dan sejak itu sama sekali nggak pernah kontek-kontekan lagi. Sepertinya dia ganti nomer, nomer lamanya sudah tidak bisa dihubungi lagi," jelasnya panjang lebar.
"Jadi nggak pernah ada yang nembak? Nggak pernah ada yang menyatakan cinta? Nggak berkomitmen satu sama lain?" cecarku.
"Nggak," jawabnya singkat.
"Bisa gitu ya, perempuan tuh kalau berada dalam suatu hubungan biasanya butuh kepastian mas. Jadi biar dia yakin, dan tau kalau laki-laki itu miliknya, dan dia milik laki-laki itu. Jadi hubunganya jelas, terlepas mau diikat dengan sebuah pernikaha itu kapan, yang penting hubunganya jelas dulu, ada statusnya," cerocosku memberikan pengertian padanya dari sudut pandang seorang perempuan.
"Adek juga gitu?" tanyanya.
Dueeeeerrr, selow ran, selow, jangan salah tingkah. Tahan rania, jangan ke GR an. Stop berangan-angan, ini baru pertemuan pertama oke. Dia hanya cerita, dan dia sekedar nanya. Please jaga sikapmu Rania. Aku mencoba meredam jantungku yang berdebarnya nya setingkat lebih cepat dari yang sebelumnya, ku tarik nafas panjang perlahan agar dia tidak melihat salah tingkahku yang akut ini.
"Aku?" tanyaku memastikan sembari menetralkan jantung.
"Iya, dek Rania juga begitu? Kalau punya hubungan special sama laki-laki harus punya status? Harus ada label pacaranya? Baru percaya kalau hubungan itu bukan biasa-biasa saja?" tanya nya semakin mendetail.
"Sejauh ini, yang pernah aku alami, iya. Aku sudah pernah punya seseorang yang special dua kali, meskipun saat ini semua sudah kandas, tapi saat menjalani nya dulu ya namanya pacaran. Ada yang menyatakan perasaan dan ada yang menerima, lalu berkomitmen untuk saling menjaga," jelasku.
"Tapi akhirnya kandas juga? Lantas apa bedanya sama yang nggak ber label pacaran?" tanya nya.
"Iya sih, mungkin juga sama. Tapi saat menjalaninya kan status itu penting. Karena kalau nggak ada status, rasanya nggak berhak untuk cemburu kalau dia dekat dengan orang lain, nggak berhak melarang kalau dia mau melakukan sesuatu padahal aku nya nggak suka dia melakukan itu, dan yang pasti nggak berhak berangan-angan untuk sebuah hubungan yang lebih serius lagi," jawabku memberi penjelasan padanya tentang apa itu pacaran menurut pendapatku.
"Kalau nanti ada yang perhatian, sayang, peduli, dan berencana melanjutkan ke hubungan yang lebih serius tapi tidak memberikan status, tidak menyatakan perasaan dengan ucapan, apa dek rania akan menolak semua yang diberikan?" tanyanya sambil melihat ke arahku, dan mata kamipun bertemu.
"Hah? Maksudnya? Kalau ada yang seperti mas nya? Dan mendekatiku begitu?" tanyaku sambil merubah sedikit posisi dudukku yang tadinya santai menjadi agak sedikit tegang.
Dia mengangguk, dan tersenyum sambil melihat mataku.
Entah bagaimana lagi aku harus mendekripsikan apa yang aku rasakan saat itu, tanganku mendadak berkeringat dan terasa begiru dingin. Jantung? Nggak usah ditanya. Malam ini untung saja aku nggak kena serangan jantung, karena dari tadi jantungku bekerja lebih keras dari biasanya sepertinya.
"Nggak tau mas, mungkin bisa saja aku menjalaninya, tapi entahlah," jawabku sekena nya. Karena aku tidak tau mau jawab apa lagi.
Jujur saja aku benar-benar salah tingkah saat itu, andai mulut ini nggak ada filternya, mungkin aku akan langsung nyerocos dan bilang mau. Kalau laki-lakinya kamu, aku mau bangeeeet ngejalaninnya. Sumpah aku mau, hahahaa. Haduh rania kaleeem, kalem.
Ternyata pertemuan itu bukan hanya lima belas menit seperti yang aku perkirakan. Tapi justru berlangsung selama tiga jam. Obrolan panjang lebar yang mengawali pertemuan itu membuat hatiku ini merasa sangat happy, walaupun aku merasa deg-degan berkali-kali. Tapi sungguh aku menikmatinya, dan mas farhan, jauh lebih menyenangkan dari pada yang ku bayangkan sebelumnya.
"Sudah jam setengah sebelas dek, ayo mas antar pulang ke kos, ndak enak sama anak kos lain nanti kalau kamu pulang kemalaman," ajaknya.
"Oke, aku bawa kunci sendiri kok mas, jadi nggak akan ganggu siapa-siapa," ujarku.
Akhirnya kamipun meninggalkan tempat itu, Bukit Bintang Wonosari. Saksi bisu pertemuan kami pertama kali, dan semua adegan yang terjadi di sana tidak akan pernah bisa aku lupakan.
Sepanjang perjalanan pulang sama seperti tadi, tidak ada obrolan apapun di atas motor. Karena dia mengendarai motornya dengan cepat. Selama perjalanan itu aku terus terbayang dengan semua hal yang terjadi sebelumnya. Wajah nya, suaranya, ucapan-ucapan nya, senyumnya terutama, semua membuatku senyum-senyum sendiri sepanjang jalan.
Beberapa saat kemudian akhirnya motor itupun berhenti di depan kos ku.
"Sampe dek," katanya, sambil kembali menyodorkan tangan kirinya supaya bisa kujadikan pegangan untuk turun dari motor itu.
"Terimakasih ya mas, sudah diajak ke Bukit Bintang, dianter pulang, di jajanin ronde," ucapku sambil tersenyum.
"Sama-sama dek, ngomong-ngomong tempat mana lagi yang belum pernah dek Rania datangi selama di Yogya, selain bukit bintang? Pantai indrayanti sudah pernah belum?" tanya nya sambil memperbaiki sarung tangan yang tadi dia lepasnya saat mau membantuku turun dari motor.
"Hah? (Entah sudah berapa 'hah' yang ku ucapkan malam ini) belum pernah mas, aku tau nya cuma Pantai Depok, Parangtritis, Samas, baru itu aja. Itu juga diajak temen-temen kos," jawabku sambil menyembunyikan jantungku yang lagi-lagi berdetak lebih dari biasanya. Aku berusaha terlihat sebiasa mungkin.
"Yaudah, minggu depan Mas jemput ya, jam sepuluh siang. Kita ke Pantai Indrayanti."
"Oh, oke mas. Makasih sebelumnya." jawabku cepat sambil tersenyum. Tanpa keraguan dan tanpa penolakkan.
Rasanya aku ingin segera masuk ke kamar dan melompat-lompat setinggi yang aku bisa.
Motor mas farhan pun berlalu, sampai motor itu tidak terlihat lagi baru aku masuk ke dalam kos.
Entah bagaimana caranya aku menggambarkan perasaanku saat itu. Ada rasa yang tidak biasa, yang membuat ku melompat-lompat dan berlari di tempat saat sudah berada di kamarku. Pipiku terasa pegal karena senyum-senyum terus dari tadi. Lebay? Iya kali ya, waktu itu aku lebay. Tapi gimana dong, yang aku rasain ini belum pernah aku rasain sebelumnya dan yang tadi nya ku pikir dia nggak bakalan menghubungiku lagi setelah tau wujudku begini, tapi justru mengajakku jalan- jalan sekali lagi, dan itu ke sebuah pantai.
Malam itu aku tidak bisa tidur, semua kejadian di bukit bintang tadi berputar terus menerus di kepalaku.
Ini pertama kalinya aku merasa ingin hari minggu itu segera tiba, karena biasanya aku benci hari sabtu dan minggu. Sebab biasanya aku pasti akan sendirian di kos. Ya, biasanya teman-teman satu kos pulang kerumah masing-masing melepas rindu dengan keluarga, karena rumah mereka masih di sekitaran Yogya-Jateng. Sementara aku stay di kos karena kampungku jauh di Sumatera sana, dan aku pulang hanya saat lebaran saja.
Wahai hari minggu, segerlah datang kepadaku.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!