Anuradha menghembuskan napas panjang. Langkahnya tertatih mendorong troli berisi sampah kardus. Lalu setelah sampai di tempat sampah, gadis itu menumpuknya agar besok mudah diambil oleh petugas kebersihan.
Anuradha adalah gadis yang tidak terlalu tinggi dan wajahnya penuh jerawat besar-besar seperti bisul. Umurnya 27 tahun dan belum menikah. Dia bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket yang buka 24 jam.
Hari ini, dia kebagian jatah sift siang. Oleh karena itu, sekarang sudah waktunya dia pulang. Pukul 22:20, lagi-lagi melewati jam pulangnya.
Tadi dia harus mengecek hasil penjualan selama sift-nya berdua dengan temannya, Lisa. Namun gadis itu langsung pergi begitu mereka selesai menghitung uang.
Sedangkan Anuradha, dia dengan sukarela membereskan nota-nota dan merapikan barang-barang di rak sendirian. Kemudian tak lupa dia juga harus menyingkirkan kardus-kardus tempat paket-paket yang tadi sudah dikeluarkan isinya.
"Di, aku pulang dulu ya?" Gadis itu berpamitan dengan teman yang menggantikan sift-nya, Adi.
"Ya, hati-hati di jalan ya! Kalau jatuh bangun sendiri ya! ha..ha.." Adi tertawa geli dengan leluconnya sendiri.
Anuradha hanya tersenyum tipis, dia sudah terbiasa dengan lelucon garing dari pemuda tampan berusia 25 tahun itu. Pemuda itu adalah juniornya, dia bekerja di sini setelah Anuradha genap bekerja 1 tahun.
Gadis itu berjalan sambil membuka pesan di ponselnya yang layarnya retak. Ada pesan masuk dari Dinar, sahabatnya. Dinar mengirimkan tautan undangan reuni SMA mereka.
Anuradha menghela napas. Membayangkan apa yang akan terjadi di pesta reuni itu jika dia datang.
"Tidak...tidak! Aku tidak akan datang!" Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia pernah bersumpah tidak akan datang ke reuni atau pertemuan apapun dengan teman-teman SMA-nya. Ada kenangan menyakitkan dan trauma mendalam yang menggoresnya saat sekolah dulu.
Anuradha mempercepat langkahnya menuju halte bus. Dia berdoa semoga masih ada bus jurusan ke rumahnya yang lewat.
Setelah menunggu hampir 15 menit, sebuah bus berwarna merah berhenti. Beberapa orang turun di halte itu. Anuradha segera naik begitu pintu bus sudah lega.
Gadis itu duduk di sebelah jendela, belakang sopir. Penumpang yang ada tinggal 5 orang, termasuk dirinya.
Tanpa sengaja matanya tertuju pada seorang pria yang sedang duduk memandang ke luar jendela. Ada perasaan sesak yang tiba-tiba menyerangnya. Dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk menenangkan diri.
Mau tak mau otaknya dipaksa untuk membuka kembali kenangan 10 tahun yang lalu.
*****
Sepuluh tahun yang lalu...
Anuradha berjalan menuju kelasnya, saat mendengar sorak-sorai dari arah lapangan. Beberapa siswa berlari ke sana untuk melihat.
Tiba-tiba tangannya ditarik oleh seorang gadis manis dengan rambut lurus sebahu. Gadis itu adalah Dinar, sahabatnya.
"Ayo, kita lihat! Aku dengar, Silvi lagi menyatakan cinta sama Angga!" Dinar berbicara sambil memeluk tangan Anuradha.
Dada gadis itu seketika berguncang mendengarnya. Angga adalah temannya sejak kecil, mereka bertetangga. Diam-diam Anuradha menyukai pemuda itu.
Dengan langkah gontai Anuradha berjalan bersama sahabatnya menuju lapangan. Di sana terlihat sepasang siswa yang sedang berdiri berhadapan dengan dikerumuni teman-temannya yang berteriak-teriak memberi dukungan.
"Terima! Terima! Terima!"
Anuradha menatap Angga dengan raut sedih. Pemuda itu menoleh padanya dan melemparkan senyum canggung. Sedangkan gadis di depannya yang bernama Silvi, melayangkan tatapan permusuhan pada Anuradha.
Rasanya dunia ini seketika runtuh ketika Angga menganggukkan kepalanya dan menerima boneka Teddy Bear pemberian Silvi. Sorak-sorai semakin membahana. Dan ucapan selamat membanjiri pasangan baru itu.
Angga dan Silvi tenggelam dalam kerumunan. Diam-diam Anuradha melepaskan pegangan sahabatnya, kemudian meninggalkan tempat itu dengan hati terluka. Gadis itu pergi ke toilet dan menangis di sana.
Cinta pertamanya kandas bahkan sebelum terucapkan. Anuradha merutuki kebodohannya selama ini yang mengira kalau Angga memiliki perasaan yang sama dengannya.
Hari itu, Anuradha menghabiskan sisa jam pelajarannya dengan muram. Beberapa kali dia ditegur oleh guru karena kedapatan melamun.
*****
Setelah hari itu, kedekatannya dengan Angga semakin renggang. Pemuda itu sering menghabiskan waktu dengan pacar barunya. Kelihatannya Angga sedang mabuk kepayang.
Suatu pagi di hari minggu, Angga tiba-tiba menelponnya dan menyuruhnya datang ke rumahnya. Ada sesuatu yang gawat telah terjadi.
Gadis itu segera berlari menuju rumah teman masa kecilnya itu begitu mendengar kata gawat. Dia mengetuk-ngetuk pintu rumah bercat abu-abu itu berkali-kali. Dia takut terjadi apa-apa pada Angga.
Begitu pintu dibuka, tangan gadis itu langsung diseret ke dalam oleh Angga. Pemuda itu membawanya ke kamarnya.
"Ada apa, Ga?" Tanya Anuradha kebingungan.
"Tolong masuk, plis!" Angga membujuknya untuk masuk ke kamarnya dengan wajah kacau.
Ketika masuk, Anuradha melihat seorang gadis tergolek di kasur. Rambutnya awut-awutan dan pakaiannya terserak, hampir telanjang.
Anuradha terbelalak sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Dia tidak percaya kalau pemuda baik-baik yang selama ini dikenalnya, mampu melakukan hal kotor semacam ini.
"Dia mabuk, An. Sumpah bukan aku yang bikin dia mabuk!"
"Terus, kamu memanfaatkan dia yang sedang gak sadar?"
"Maaf, An. Aku khilaf!" Angga menatapnya dengan sayu.
Entah mengapa, rasa sakit hatinya agak berkurang melihat kondisi gadis itu. Gadis sombong itu terlihat menjijikkan. Namun pikiran jahat itu segera ditepisnya.
Segera dipungutnya pakaian Silvi yang terserak dan memakaikannya lagi. Dicucinya wajah dan leher gadis itu. Lalu disisirnya rambut berwarna coklat keemasan itu.
Setelah itu dibersihkannya kasur Angga. Seprei yang bernoda cairan pria itu digulungnya dan dimasukkan kedalam mesin cuci.
"Sudah selesai!" Ucapnya. Seolah dia adalah orang yang bertugas melenyapkan bukti kejahatan.
Tak lama kemudian gadis itu sadar. Dia memandang tajam ke arah Anuradha.
"Kenapa kamu di sini? Kepo ya?" Silvi langsung melontarkan makian.
"Udah, sayang. Kamu jangan gitu! Dia yang sudah membereskan kekacauan semalam!" Angga berusaha menjelaskan pada gadis yang baru sadar itu.
"Kekacauan? Maksud kamu, kita bercinta semalam itu sebuah kesalahan?" Gadis itu melirik tajam ke arah Angga.
"Sshuut!" Angga menaruh telunjuknya di bibir Silvi, dia takut ada orang yang mendengar.
"Aku gak mau tahu, yang penting mulai detik ini kamu gak boleh dekat-dekat lagi dengan cewek lain! Termasuk cewek jelek itu!" Silvi mengacungkan telunjuknya pada Anuradha.
"Dan satu lagi, kamu jangan pernah mengatakan hal ini pada siapapun!" Ancamnya pada Anuradha.
Anuradha segera keluar, disusul oleh kedua orang itu. Ketika mereka sampai di ruang tamu, tiba-tiba kedua orang tua Angga datang. Ternyata semalam mereka tidak pulang karena harus berjaga di rumah sakit. Damar, adik Angga dirawat karena terkena radang tenggorokan akut.
Orang tua Angga tidak curiga bahwa Silvi menginap di rumah mereka karena ada Anuradha. Mereka sudah kenal gadis itu sejak kecil. Anuradha gadis yang baik.
Ketika Anuradha berjalan menuju rumahnya, tiba-tiba Angga menarik tangannya. Dia tahu gadis itu marah padanya.
"Makasih ya, udah nolongin aku. Aku janji gak akan ngrepotin kamu lagi!"
Anuradha hanya diam, dia malas untuk berdebat. Angga yang berdiri di depannya sekarang, sudah bukan Angga yang dulu.
*****
Entah siapa yang pertama kali menyebarkan gosip itu. Tiba-tiba seluruh teman-teman di sekolahnya bergunjing dan mengatakan bahwa Anuradha menjadi wanita panggilan.
Bahkan ada yang berani bersumpah telah melihatnya masuk ke hotel dengan seorang pria dewasa.
Karena gosip semakin santer, akhirnya Anuradha dipanggil ke ruang Kepala Sekolah.
"Bapak memanggil kamu ke sini karena adanya kabar meresahkan tentang kamu!"
"Maaf Pak, saya tidak bersalah. Gosip yang beredar itu tidak benar!"
"Bapak akan selidiki masalah ini, dan akan memanggil orang tua kamu!"
Anuradha tertunduk lemas. Dia takut ibunya marah. Ibunya adalah seorang single parent sejak bercerai dengan ayahnya 2 tahun lalu. Sejak saat itu ibunya menjadi bertemperamen tinggi.
Besoknya ibunya datang ke kantor Kepala Sekolah. Kemudian dilakukan penyelidikan terhadap tuduhan yang ditujukan kepada Anuradha.
Setelah tim investigasi sekolah menyelidiki dengan seksama, ternyata apa yang dituduhkan kepada gadis itu tidak terbukti.
Pihak sekolah meminta maaf kepada Anuradha dan ibunya. Mereka juga menjelaskan semua kebenarannya kepada para murid. Namun gosip itu tak pernah benar-benar hilang.
Bahkan sejak saat itu, Anuradha menjadi sasaran bully oleh beberapa siswa, terutama Silvi dan Angga. Teman masa kecilnya itu ikut mengejeknya dan tanpa sedikitpun berusaha membantunya.
Karena stres, jerawat mulai bermunculan di wajahnya. Teman-temannya menjulukinya monster. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dia terkena azab.
Anuradha menghabiskan sisa masa SMA-nya dengan mengenaskan. Hanya Dinar yang masih setia menjadi sahabatnya.
Melihat Angga lagi, seolah menabur garam pada lukanya. Meski sepuluh tahun sudah berlalu, namun dia belum bisa beranjak dari masa lalunya.
Dilihatnya Angga turun di sebuah halte. Untunglah dia tidak harus melihatnya lebih lama lagi. Baru kali ini dia melihatnya lagi sejak kelulusan sekolah.
Beberapa saat kemudian, Anuradha turun dari bus. Gadis itu melirik arlojinya, waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Tubuhnya terasa sangat letih.
Ketika sedang membuka pintu kontrakannya, tiba-tiba ada seorang wanita yang menghampirinya. Wajah wanita itu sangat pucat dan seluruh tubuhnya gemetar.
"Maaf, ibu ini siapa?"
"Tolong saya! Ada orang yang mengejar saya." Tubuh wanita itu gemetaran.
Dengan panik Anuradha membuka pintu dan menyuruhnya masuk. Wanita itu terlihat sangat syok.
"Diminum dulu tehnya!" Anuradha menyiapkan teh hangat dan menaruhnya di meja.
"Terima kasih." Dengan kedua tangan gemetar wanita itu meraih cangkir teh dan menyesapnya.
"Maaf, bisakah saya pinjam telponnya?"
"Iya, silakan." Anuradha menyerahkan ponselnya kepada wanita itu.
Terlihat jari-jarinya yang lentik mengetik angka-angka di layar ponsel. Kemudian setelah terdengar nada sambung, dia mulai berbicara.
"Ini Bu Sandra, tolong jemput saya sekarang! Lokasinya saya shareloc." Wanita itu kemudian mengetik lagi.
"Ini ponselnya, terima kasih ya. Kenalkan saya Bu Sandra." Dia mengulurkan tangannya kepada Anuradha.
"Saya Anuradha." Gadis itu menjabat tangan Bu Sandra sambil tersenyum.
"Terima kasih ya, sudah membantu saya."
"Sama-sama, Bu. Maaf, sebenarnya tadi Ibu kenapa?"
"Saya tadi dirampok! Saya naik taksi tapi ternyata taksi gadungan. Untung saja saya masih selamat. Soalnya tadi sopirnya masih mengejar saya, padahal dia sudah mengambil tas saya!" Bu Sandra masih terlihat ketakutan.
Anuradha terbelalak. Ternyata Bu Sandra baru saja mengalami hal yang mengerikan.
"Tok... tok... tok...!"
"Itu mungkin jemputan saya." Bu Sandra berdiri dan menghampiri pintu lalu segera membukanya.
Di depan pintu berdiri seorang pria yang mengenakan setelan jas yang rapi.
"Mobilnya sudah siap, Bu." Ucap pria itu.
"Terima kasih, Rozak."
Bu Sandra kemudian menoleh pada Anuradha. Wanita itu tersenyum sambil menggenggam tangan Anuradha.
"Terima kasih atas semua kebaikanmu, saya tidak akan pernah melupakannya."
Anuradha mengangguk. Diantarnya Bu Sandra sampai di depan pagar.
Wanita itu melambai dari jendela mobilnya yang dibuka separuh. Anuradha menatap kepergiannya sampai mobil itu menghilang di tikungan.
*****
Siang itu saat Anuradha sedang bekerja, ada seorang wanita cantik dengan pakaian super ketat dengan potongan dada rendah masuk.
Tapi anehnya wanita itu memperhatikannya dengan seksama dari atas ke bawah. Anuradha terkesiap ketika dia menyadari bahwa wanita itu adalah Silvi. Bagaimana bisa Silvi bisa ada di sini?
"Ternyata kamu kerja di sini?" Silvi mendekat dengan tatapan meremehkan.
"Iya, Sil" Jawab Anuradha.
"Ternyata kamu belum berubah, ya? Masih jelek!" Ucapnya menghina.
Anuradha diam saja. Dia menyadari bahwa Silvi ingin mencari gara-gara dengannya.
"Kenapa kok cuma bengong? Apa selain jelek, kamu juga bego ya?" Silvi menyeringai.
"Kamu juga belum berubah, Sil! Masih murahan!" Jawab Anuradha.
"Eh, hati-hati kamu kalo ngomong ya? Ngatain orang murahan, padahal semua orang juga tahu kalo kamu cewek murahan yang suka jalan sama om-om!" Terisak Silvi marah. Wajahnya yang putih dan glowing menjadi merah padam.
"Jangan bicara sembarangan!" Balas Anuradha.
"Ada apa ini, kok ribut-ribut?" Seorang pria berkemeja putih datang mendekat.
"Perempuan ini sudah menghina saya! Sebagai pembeli di sini, saya enggak terima!" Silvi berbicara dengan berteriak.
"Apa betul kamu menghina, mbak ini?" Tanya pria itu yang menjabat sebagai manager toko.
"Iya, Pak. Tapi dia duluan yang mulai menghina saya!" Anuradha mencoba membela diri.
"Kelamaan! Tinggal pecat aja Napa sih? Mana bos kalian?" Teriak Silvi seperti orang kesurupan.
"Saya manager di sini" Jawab manager tadi.
"Oh, bagus dong. Saya mau komplain dengan pelayanan kasir ini. Dia tidak sopan dan menghina saya murahan!"
Manager itu memperhatikan penampilan Silvi yang super seksi sambil menelan ludah. Dalam hati sebenarnya dia sependapat dengan Anuradha. Tapi karena wanita itu adalah seorang pembeli, maka dia tetap harus menghargainya.
"Anu, kamu cepetan minta maaf!" Perintah pria itu.
"Aku mint maaf Silvi" Anuradha dengan ikhlas meminta maaf.
"Saya enggak butuh permintaan maaf dari kamu!" Jawab Silvi ketus. Dia malah mengambil ponsel dan merekam Anuradha serta manager itu.
" Mbak mau apa? Kenapa merekam saya tanpa izin?" Tanya manager itu.
"Mau saya viralkan, bahwa di toko ini karyawannya tidak ramah dan suka menghina!"
"Mbak, jangan seperti itu! Dia kan sudah minta maaf."
"Saya maunya dia dipecat!" Teriak Silvi sambil berkacak pinggang.
"Jangan seperti itu dong, mbak! Kasihan dia kalau dipecat."
"Saya enggak peduli ya, anda pilih pecat dia atau toko ini saya viralkan!" Ancamnya.
"Oke..oke..tenang,mbak! Dia akan saya pecat sekarang juga!"
Anuradha terbelalak tak percaya. Silvi membuatnya dipecat gara-gara masalah sepele.
"Tapi Pak, ini tidak adil" Teriak Anuradha, tak terasa air mata sudah membasahi pipinya.
"Hidup ini memang tidak adil, Anu!" Jawab manager itu. Dia memberikan gaji Anuradha tanpa pesangon.
Silvi tersenyum puas melihat Anuradha dipecat. Setelah itu dia pergi begitu saja tanpa berbelanja.
Anuradha berjalan pulang dengan langkah gontai. Entah kenapa nasibnya begitu sial. Sekarang dia harus mencoba melamar kerja lagi.
Di rumah kontrakannya, dia hanya mengurung diri di kamar. Rasanya dia sudah lelah dengan hidupnya yang selalu diremehkan dan dipandang hina.
"Drrt..drrt ..drrt..!"
Ponselnya yang terletak di meja bergetar. Dilihatnya foto ibunya di layar.
"Halo, Bu. Ada apa?" Tanya Anuradha.
"Kapan kamu pulang? Ibu mau bicara penting!" Suara ibunya terdengar di ujung sana.
"Sementara ini belum bisa, Bu."
"Jangan banyak alasan, pokoknya hari ini Ibu tunggu!" Ibunya kemudian mematikan sambungan telepon.
Mau tidak mau akhirnya Anuradha segera berkemas. Dia akan pergi ke terminal bus untuk mencari bus jurusan ke kotanya. Segera dipesannya ojek online. Setelah pengemudi berjaket hijau itu datang, Anuradha segera memboncengnya.
Di terminal ternyata Anuradha segera mendapat tiket dan kebetulan busnya langsung berangkat. Sepanjang perjalanan gadis itu melamun.
Mulanya bus yang ditumpanginya berjalan dengan kecepatan normal. Namun lama-lama sopir bus mengemudi dengan ugal-ugalan. Bus itu ngebut di atas batas kecepatan padahal jalanan sangat ramai.
Tubuh Anuradha terguncang-guncang, perutnya terasa mual. Dia agak menyesal sudah menaiki bus ini.
Tiba-tiba di sebuah tikungan sopir mengerem mendadak. Di depan mereka ada sebuah minibus yang mogok. Naas sopir bus tidak bisa mengendalikan laju bus yang dikendarainya. Akhirnya bus yang ditumpangi Anuradha menabrak pembatas jalan dan melompat jatuh ke jurang.
Bus itu berguling-guling beberapa kali sebelum akhirnya mendarat di dasar jurang. Tubuh Anuradha terhempas keluar lewat jendela yang pecah. Tubuhnya yang penuh luka dan berdarah, hanya diam tak bergerak.
Suara sirene mobil ambulance meraung bersahut-sahutan memekakkan telinga. Tim SAR dan pihak kepolisian sudah berada di lokasi kecelakaan untuk mengevakuasi para korban kecelakaan. Ada beberapa penumpang yang tidak selamat dalam kecelakaan maut itu.
Tubuh Anuradha yang tergeletak tidak jauh dari bus, kini diangkat dan digotong dalam tandu. Mata gadis itu terpejam dan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Seluruh tubuhnya penuh luka dan bersimbah darah. Kemudian tubuhnya dimasukkan ke ambulance dan dilarikan ke rumah sakit.
Para petugas medis berseragam putih sudah menunggu di depan rumah sakit. Sejak tadi mereka sudah menerima beberapa orang pasien dari lokasi kecelakaan.
Tubuh Anuradha dipindahkan ke atas brankar. Selang infus segera dipasangkan di pergelangan tangan kanannya. Kemudian mereka segera mendorong tempat tidur beroda itu ke dalam ruangan ICU.
Di dalam ruang ICU ternyata sudah banyak pasien yang sedang ditangani para dokter. Mereka memeriksa luka-luka di tubuh pasien dan memerintahkan para perawat untuk menjahitnya. Beberapa pasien yang parah, segera dipindahkan ke ruang operasi.
Anuradha ditangani oleh seorang dokter muda berkacamata. Dokter itu memeriksa seberapa parah luka-lukanya. Ada tulang rusuknya yang patah sehingga harus segera dioperasi karena dikhawatirkan akan menggores paru-parunya.
"Sudah ada yang menghubungi keluarganya?" Tanya dokter itu.
"Belum dok, kelihatannya ponselnya hilang. Di dalam tasnya ada tanda pengenal namun tidak ada nomer telpon!" Seorang perawat wanita melaporkan.
"Baik. Siapkan saja ruang operasi. Pasien kecelakaan dalam kondisi kritis, boleh diberikan tindakan medis meskipun tanpa izin keluarga!" Dokter itu segera berganti pakaian operasi dan mensterilkan tangannya.
Anuradha berbaring di meja operasi selama tiga jam. Ada dua orang dokter bedah dengan keahlian berbeda yang menanganinya. Mereka dibantu oleh beberapa asisten, seorang dokter magang dan dua orang perawat.
Setelah selesai operasi, Anuradha di bawa ke Ruang Pemulihan. Di sana ada beberapa perawat yang ditugaskan untuk memantau pasien pasca operasi.Karena efek obat bius saat operasi, Anuradha masih belum sadar.
Seorang polisi yang berhasil menemukan alamat ibunya, membawa wanita itu ke rumah sakit. Ibunya kini menunggu di depan Ruang Pemulihan dengan mata sembap. Berkali-kali dia menyalahkan dirinya sendiri karena memaksa anaknya pulang.
Dokter yang menangani Anuradha datang menemuinya. Dengan ramah, dokter itu menyapanya.
"Selamat malam, saya dokter Adrian yang tadi menangani anak Ibu." Dokter itu menjabat tangan ibu Anuradha.
"Bagaimana kondisi anak saya, dokter?"
"Operasi yang kami lakukan tadi berhasil. Namun kami masih harus memantau perkembangan pasien. Jadi ibu tunggu saja, jangan banyak pikiran. Ibu harus menjaga kesehatan agar bisa merawat anak ibu nantinya."
"Terima kasih, dokter!" Air mata kembali mengalir di pipinya. Merasa bersyukur karena nyawa anaknya selamat.
Setelah dokter itu pergi, wanita itu kembali duduk menunggu.
*****
Anuradha berada di Ruang Pemulihan selama dua hari. Dia langsung sadar begitu efek obat biusnya habis. Kondisi fisiknya masih terlihat memprihatinkan. Wajahnya lebam dan dibeberapa bagian tubuhnya terdapat luka sobek.
"Sus, pindahkan pasien ini ke ruang rawat inap!" Dokter Adrian berbicara pada seorang perawat, setelah memeriksa kondisi Anuradha.
Dua orang perawat membawa Anuradha keluar. Ibunya yang melihat segera ikut mendorong brankar tempat anaknya terbaring lemah.
"I-bu?" Suara Anuradha yang lemah memanggil ibunya.
"Ya, An. Ibu di sini, nak!" Tangannya menggenggam tangan anaknya penuh kasih sayang.
Seorang pria berpakaian formal yang sedang menelepon terlihat kaget melihat Anuradha yang terbaring melewatinya di lorong rumah sakit. Pria itu kemudian segera mematikan teleponnya dan diam-diam mengikutinya dari belakang.
Tak lama kemudian mereka tiba di bangsal yang berisi dua orang pasien. Perawat menempatkan Anuradha di ranjang pasien yang terletak paling ujung, di sebelah jendela.
"Terima kasih, suster." Ibunya tersenyum pada kedua perawat itu. Mereka kemudian pergi setelah mengatur infus dan mencatat identitas Anuradha di ujung ranjang.
Tak lama kemudian Anuradha kembali terlelap. Ibunya kemudian pergi untuk membersihkan diri.
Saat itulah datang seorang wanita dengan penampilan berkelas menghampiri ranjang Anuradha. Di belakangnya, seorang pria mengikutinya.
"Aku memilih gadis ini! Segera temui ibunya dan buatlah kesepakatan dengannya!" Ucap wanita itu, yang tak lain adalah Bu Sandra.
Pria di belakangnya mengangguk. Dia menunggu sampai Bu Sandra selesai menjenguk Anuradha, kemudian dia kembali mengekorinya dan mengantarnya sampai di depan rumah sakit. Setelah sebuah mobil klasik mewah datang menjemput wanita itu, dia kembali masuk ke dalam.
Dilihatnya ibu kandung Anuradha yang bernama Gianti sedang duduk menikmati teh panas di kantin rumah sakit. Pria itu kemudian mendekatinya.
"Selamat malam, Bu." Sapanya ramah.
"Selamat malam." Raut wajah Bu Gianti terlihat bingung karena merasa tidak mengenal pria di depannya.
"Nama saya Rozak. Majikan saya yang bernama Bu Sandra, mengenal anak ibu. Beliau mengutus saya untuk menawarkan bantuan pengobatan Anuradha."
"Tapi, anak saya sudah di tangani oleh dokter. Kata dokter, dia baik-baik saja!" Bu Gianti merasa sedikit curiga.
"Baiklah, ini ada kartu nama saya. Jika ibu membutuhkan bantuan, bisa segera hubungi saya."
Setelah memberikan kartu namanya, Rozak segera pamit. Bu Gianti memandangi kepergian pria itu dengan perasaan bingung. Disimpannya kartu itu di dalam dompetnya, berjaga-jaga jika suatu hari dia memerlukannya.
Setelah itu Bu Gianti kembali ke kamar dan duduk di kursi menunggui anaknya. Tak terasa, wanita itu terlelap. Kepalanya menyandar di pinggiran ranjang.
*****
Bu Gianti bangun ketika merasakan sentuhan di wajahnya. Dia melihat Anuradha berusaha tersenyum dengan bibirnya yang bengkak.
"Kamu haus?"
Anuradha mengangguk. Dengan cekatan ibunya mengambil gelas dan memberikannya pada Anuradha. Dengan gerakan perlahan gadis itu mulai minum.
"Semalam ada seorang pria menemui ibu. Katanya kau mengenal majikannya. Namanya Bu Sandra, benar?"
Anuradha berusaha mengingat nama itu beberapa saat, lalu segera menganggukkan kepalanya ketika teringat kepada seorang wanita yang datang ke rumahnya malam-malam.
"Dia bilang, wanita itu bersedia membantu pengobatanmu. Bagaimana menurutmu, An?"
"An sedang tidak ada uang untuk biaya rumah sakit, Bu. An barusan dipecat!" Wajahnya terlihat sedih.
"Itulah An, ibu juga berpikir bagaimana cara melunasi biaya rumah sakit dan menebus obatmu. Terus terang ibu sedang kesusahan. Sebenarnya ibu memanggilmu untuk membicarakan hal ini, tapi malah terjadi musibah seperti ini."
"Ada apa, Bu?"
"Ayahmu An, dia datang meminta bagian rumah. Usahanya bangkrut dan istrinya mengancam cerai." Wanita itu mulai menangis.
"Lalu ibu akan tinggal dimana jika rumah itu dijual?"
"Ibu ingin pergi ke rumah nenek di desa."
"Tidak apa-apa, Bu. Aku ikhlas. Biarkan ayah menjual rumah itu, asal ibu juga mendapat bagian!" Jawab Anuradha.
"Tapi bagaimana dengan biaya pengobatanmu? Ibu belum membayar biaya operasimu."
"Coba hubungi Bu Sandra, siapa tahu dia benar-benar mau menolong kita. Nanti An akan usahakan untuk melunasinya jika sudah kembali kerja."
Bu Gianti segera menghubungi nomor telepon yang tertera di kartu nama yang didapatnya semalam.
"Halo, maaf bisa bicara dengan Pak Rozak?"
"Ini Rozak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ibunya Anuradha."
"Anda sekarang ada di mana?"
"Saya masih di rumah sakit, Pak."
"Oke, Ibu tunggu di sana! Saya akan segera datang." Pria itu mematikan teleponnya.
"Bagaimana Bu?"
"Pak Rozak akan segera kemari."
Selang beberapa menit, laki-laki itu sudah datang. Dengan singkat dia mulai menjelaskan maksudnya.
"Saya akan segera melunasi seluruh biaya rumah sakit. Dan juga akan membiayai pengobatannya sampai sembuh."
"Tapi bagaimana saya melunasinya, Pak?" Tanya Anuradha.
Pak Rozak tersenyum tipis, dia memandang ke arah gadis itu.
"Bu Sandra ingin anda bekerja untuknya!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!