Pandangan dingin dari matanya tidak berubah, kosong dan begitu hampa, bagaikan menatap jurang gelap tak berujung.
Kegentaran bahkan sedikitpun tidak muncul dari dalam tatapannya tersebut.
Begitu kosong, gelap, dan menyedihkan.
Pandangan tanpa arti itu mengarah pada sebuah sosok di depannya.
Sosok seorang wanita yang bahkan memandang kedua matanya dengan kesedihan yang tidak terbayangkan lagi olehnya.
Tidak-
Pria itu sudah pernah mengalami kesedihan yang sama dengan yang dirasakan oleh wanita itu.
Lebih jauh di dalam ingatannya, kesedihan itu memang masih ada, namun entah kenapa kesedihannya itu membuatnya sangat tenang.
Dirinya hanya berdiam diri tanpa mengatakan apa-apa, tanpa memberikan ekspresi apapun, bahkan ketika wanita itu terus menarik kedua jubahnya, seolah-olah memintanya menunjukan rasa iba padanya.
Dengan isak tangis yang memecahkan keheningan, wanita itu menarik-narik jubah hitam pria itu dengan begitu kuat, sangat kuat hingga tubuh pria yang tegap itu bergerak maju mundur mengikuti tarikan wanita itu.
Dekat dari sosok keduanya, seorang pria lain dengan wajah yang menunjukkan kekhawatiran yang nampak jelas di wajahnya.
Sosok pria itu saat berusaha menarik tubuh wanita yang mengalami kesedihan sejadi-jadinya itu dengan kedua tangannya, namun kedua tangannya bergetar dengan sangat hebat.
“Hentikan, Chloey!”
Pria itu mengucapkan kata-kata itu dengan nada lantang, namun jelas terdengar kepedulian, kemarahan, bersama dengan kesedihan.
Tetapi, Chloey, sang wanita itu sudah terjatuh dalam jurang kesedihan yang begitu dalam.
Tangannya yang menggemgam kuat jubah hitam pria yang dari tadi ada di hadapannya bergetar dengan hebat bersama dengan isak tangisnya yang tak kunjung berhenti.
Duk! Duk! Duk! Duk!
Berulang-ulang suara itu terdengar.
Chloey mengahantamkan kepalanya ke dada pria di hadapannya berkali-kali bersamaan dengan tangisannya yang semakin keras.
Air mata terus mengalir dari kedua matanya.
“Chloey! Sudah cukup! Kau harusnya tau… Kalau…”
Pria yang berusaha menarik Chloey mencoba mengatakan bahwa mereka harus menerima kenyataan yang terjadi, tapi bibirnya mengatup dengan keras.
Dia mencoba kembali melanjutkan kata-katanya, namun melihat Chloey membuatnya melepaskan tangannya dari kedua bahu Chloey.
Tangan pria itu dikepalkan dengan kuat, namun semakin bergetar dengan kuat.
Bahkan matanya yang berwarna merah darah dan memancarkan kesiapan hati yang kuat tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya juga terpengaruh oleh kesedihan yang dialami Chloey.
“Kapten… Maafkan aku… Aku…” ucap pria itu dengan lirih
Pria itu hanya bisa mengucapkan kata itu sambi melempar pandangannya ke arah bawah tanah yang telah terbakar.
Dirinya melangkahkan kakinya mundur dengan langkah yang berat dari sosok Chloey dan pria berjubah hitam yang disebutnya sebagai Kapten itu.
Tidak jauh dari ketiganya, ada banyak individu selain mereka bertiga, namun semua merasakan hal yang sama.
Bagi mereka semua, waktu terasa berhent begitu lama melihat kesedihan yang dialami oleh Chloey.
Beberapa diantaranya tertunduk lesu dengan tatapan terkejut seolah-olah menjadi akhir dari dunia mereka.
Beberapa lainnya menangis namun berusaha dengan keras menutup mulutnya agar tak bersuara.
Sementara yang lainnya mencoba dengan tegar menunjukkan keteguhan hatinya.
Semua yang ada ditempat yang telah runtuh, hancur, dan terbakar itu, merasakan kesedihan yang sama dengan Chloey.
Tetapi, tidak satupun dari mereka sanggup menunjukkan kesedihan yang lebih besar yang dialami oleh Chloey.
Kecuali, satu orang.
Ya, sang Kapten yang menjadi satu-satunya tempat bagi Chloey menumpahkan seluruh kesedihannya.
Sang Kapten yang dadanya terus ditanduk oleh Chloey, melihat para individu di sekelilingnya dengan tatapan kini telah berubah.
Tatapan kosong, hampa, dan gelap darinya kini berubah menjadi tatapan yang sangat tegar, bahkan terlihat menerima semua yang terjadi tanpa penyesalan.
Hanya satu kata yang sang Kapten bisa ucapkan saat kembali melihat ke arah Chloey yang akhirnya berlutut lesu di depannya sambil tetap memegang salah satu ujung jubah hitam itu.
“Kau harus tetap tegar, Mayor Chloey!”
Chloey semakin menangis dengan keras ketika kata-kata itu diucapkan bersamaan dengan sebuah tangan yang memegang kepalanya dengan lembut.
Bagi Chloey itu masih sangat menyakitkan.
Namun, setidaknya hal itu dapat membuat dirinya sesaat bisa melepaskan kesedihannya.
--
Terpixe, Ibukota Kerajaan Axancec, East Zone, 3 Maret 1320.
Teriakkan menggema di seluruh kota. Berulang kali bersahut-sahutan dari seluruh penjuru Terpixe.
Terpixe, sebuah ibukota kerajaan yang seharusnya damai dari keributan, namun sekarang bayangan kedamaian itu seperti hanya mimpi.
Teriakan demi teriakan yang menjadi-jadi dapat dirasakan oleh seluruh individu dalam kota itu. Teriakan kesedihan, kemarahan, kepanikan, dan seluruh hal yang menggambarkan betapa mencekamnya suasana kota itu sangat terasa dari setiap individu yang berlarian tanpa arah di jalanan-jalanan berbatuan.
Meskipun jelas yang mereka inginkan hanyalah keselamatan bagi jiwa mereka masing-masing.
"Tu-tuan pengawal... To-tolong selamatkan aku!"
Di bagian timur Terpixe yang hampir seluruh bangunannya hancur dan rata dengan tanah, seorang pria tua berusaha mengulurkan tangannya dari balik reruntuhan yang menimpanya.
Mata pria tua itu menunjukkan tatapan yang penuh harapan pada seorang prajurit kerajaan Axancec berpakaian armor lengkap berwarna perak yang melintasi dirinya.
Prajurit itu dengan segera berusaha menyingkirkan puing besar yang menimpa pria tua itu.
"Te-terima kasih... terima kasih... terima kasih..." ucap pria tua itu berulang kali setelah merasa bayangan kematian yang hampir menghampirinya telah menghilang.
Namun, ketika harapan itu akan terwujud, kematian seolah ingin bermain-main dengan pikiran pria tua itu.
Pria tua itu hanya bisa terdiam dengan wajah tidak percaya ketika melihat prajurit kerajaan Axancec yang berusaha menolongnya dan menyelamatkan nyawanya, sekarang telah tersungkur jatuh tepat di depannya.
Masih dalam kebingungannya, pria itu melihat ke kiri dan kanan.
Tangannya bergetar berusaha meraih tubuh prajurit yang telah ditinggalkan oleh jiwanya.
Perasaan takut akan kematian kembali merasukinya bersamaan dengan teriakan dan tangisan yang begitu keras dari mulutnya keluar begitu saja ketika menyadari prajurit yang tersungkur di depannya tidak bergerak sama sekali.
Pria tua itu menyadari sebuah luka besar yang menembus punggung armor prajurit itu.
Kengerian, rasa takut akan kematian menghampirinya dan merusak jiwanya.
Tap! Tap! Tap!
Entah kenapa, tapi pria itu bisa mendengar suara langkah kaki yang berat mendekatinya meskipun disekitarnya ada banyak teriakan dan tangisan yang sama dengan yang dikeluarkannya.
"Wakil Menteri Pertahanan, percuma saja,"
Suara itu membuat pria tua itu mengatup bibirnya dengan kuat ketika mendengar suara yang berat dan penuh ancaman bersamaan dengan langkah kaki yang terhenti.
"Kkkhhh-"
Pria tua yang masih terjebak di reruntuhan bangunan itu tidak bisa mengatakan sepatah katapun ketika melihat sesosok pria yang setua dirinya melihatnya dengan pandangan kosong.
Otaknya seakaan membeku namun kepalanya malah serasa akan meledak, perasaan aneh memang dirasakannya yang sudah putus asa.
"K-kau... Te-Tensen!"
Teriakan pria tua itu terdengar seperti teriakan putus asa bercampur dengan amarah
Penyebabnya adalah sosok pria tua berambut putih panjang di depannya itu.
Pandangan pria tua bernama Tensen itu berubah, yang semulanya kosong, menjadi pandangan tanpa belas ampun.
Pandangan yang menyimpan kejijikan, dan amarah.
Tensen, sang pria tua berambut putih panjang, berjalan menjauhi pria tua yang berada direruntuhan.
"Ka-kalau itu kau, Tensen... Berarti, penyerangan ini adalah ulah ka-..."
Pria itu tidak bisa melanjutkan perkataannya karena darah segar keluar bersamaan dengan batuk berkali-kali yang dialaminya.
Pria tua itu tahu bahwa dirinya sekarang sudah tidak bisa terselamatkan, seperti istri, anaknya, dan juga pelayannya yang sudah tidak bersuara dari dalam reruntuhan yang sama dengannya.
Dirinya akan mati menyusul orang-orang terdekatnya itu.
Grkkk! Grkkk!
Sambil terbatuk-batuk, dirinya mencari asal suara itu lagi.
"Ten-Tensen!... Tidak!... Tidak!... Tidak!...Ti----"
Duum!
Teriakan putus asa pria tua itu langsung hilang begitu saja bersamaan dengan dentuman yang sangat keras.
Keheningan terjadi kembali, begitu lama, seolah kematian sedang bermain-main mencari sekali lagi mangsa untuk dibawanya pergi meninggalkan dunia.
Lalu, sebuah teriakan putus asa bergema dengan keras, disambut dengan tangisan ratapan bersahut-sahutan terdengar disekitar Tensen.
"Ampuni kami!"
"Tolong! Ampuni kami!"
"Siapa saja tolong kami!"
Duk!
Tensen menjatuhkan seonggok puing bangunan yang ada ditangannya.
Seonggok puing bangunan tersebut berasal dari bongkahan puing besar yang beberapa saat sebelumnya dilemparnya ke arah reruntuhan yang menimpa pria tua yang sudah dibunuhnya, sang Wakil Menteri Pertahanan.
Teriakannya yang lantang dan tegas menggelegar bagaikan petir ditengang teriakan dan tangisan yang ada disekitarnya.
Teriakan yang sanggup membuat prajutir kerajaan Axencec yang berusaha membantu para penduduk lolos dari reruntuhan langsung goyah dan bergetar ketakutan.
Bahkan, prajurit kerajaan yang bertarung dengan pasukan lain yang mengenakan seragam militer putih tanpa armor, terdiam merasakan ketakutan.
"Kalian semua para penduduk kerajaan biadab ini! Dan prajurit yang sama busuknya dengan kerajaan ini! Rasakanlah hukuman dan kematian!"
Tensen membuat seluruh individu yang bisa mendengarnya hanya bisa menggigit gigi mereka sendiri dengan penuh putus asa.
"Kematian kalian tidak ada bedanya dengan yang kalian lakukan pada kami..." ucap Tensen dengan lirih.
Terkandung kesedihan dan penyesalan di dalamnya bersamaan dengan tatapannya yang menjadi semakin tegas.
"Exfrancion... Jangan lepaskan satu pun nyawa dari tempat ini!"
Perintah tegas itu, disambut dengan teriakan semangat para pasukan berseragam putih tanpa armor yang ada disekitarnya.
Dan, sekali lagi, bahkan berkali-kali lagi, teriakan dan tangisan keputusasaan terdengar.
--
Istana Raja, Terpixe, Ibukota Kerajaan Axancec, East Zone, 3 Maret 1320.
Raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan dan kekhawatirannya saat melihat dan mendengar dari ibukota kerajaannya sahutan dan teriakan keputusasaan menyebar.
Teriakan itu seperti menusuk-nusuk telinganya, tapi meskipun dirinya mencoba menutup telinganya, teriakan itu tetap akan terdengar.
Sang Raja Axancec menyerah menutup kedua telinganya.
Dia hanya bisa memegang dengan kuat ujung balkon tempatnya yang melihat keadaan ibukota kerajaannya diserang oleh pasukan yang disebut Exfrancion.
"Yang Mulia... Anda harusnya berlindung, kita tidak tahu berapa lama lagi istana ini akan ditembus oleh-"
Belum sempat seorang prajurit dengan armor lengkap yang berdiri dibelakang sang Raja bersama dengan sekitar 10 prajurit lainnya melanjutkan perkataannya, sang Raja berjalan ke arahnya dengan langkah terburu-buru dan penuh kegelisahan yang terpancar di wajah sang Raja.
Sang Raja menunjuk-nunjuk wajah prajurit yang tertutup oleh helm armor yang digunakannya.
"Aku tidak perduli dengan penduduk yang ada di sana!" ucap sang Raja dengan penuh angkuh dan gelisah yang terpancar di wajahnya.
"Aku Raja! Nyawaku lebih berharga dibandingkan kalian semua!"
Sang Raja menunjukkan kesombongannya dengan menunjuk dirinya sendiri.
Meskipun wajah prajurit yang ada disekitarnya tertutup oleh armor helm, tapi dibaliknya mereka memandang sang Raja dengan penuh ketidakpercayaan dan amarah.
"Kalian saja bahkan tidak bisa membuatku pergi dari tempat ini! Dan sekarang kau mau menyuruhku berlindung pada kalian yang tidak bisa mengahabisi para pemberontak sialan itu?"
Sang Raja mendorong dada sang prajurit berkali-kali dengan penuh amarah dan keputus asaan sehingga membuat prajurit itu langsung berlutut dihadapan sang raja yang diikuti prajurit lainnya.
"Ma-maafkan kami, Yang Mulia, karena... ketidakmampuan kami... Kami-"
Jelas prajurit itu dengan tergagap-gagap, bukan karena rasa hormat dan setianya pada sang Raja.
Hormat dan setianya beberapa detik yang lalu sudah mulai pudar mengetahui sang Raja hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak pada penduduk kerajaannya, bahkan para prajurit kerajaan yang mengorbankan nyawan mereka untuk penduduk kerajaan.
"Menyingkir kalian! Kalian tidak berguna sama sekali!"
"Si-siap, Yang Mulia..."
Sang Raja berjalan dengan penuh gelisah ke singgasananya yang megah, dia langsung duduk sambil memegang kepalanya, kedua tanyannya bergetar dengan hebat menunjukkan keadaan mental dan jiwanya yang sudah hancur.
Sementara pasukan yang bersamanya masih berlutut jauh di depannya dengan masing-masing kepala yang tertunduk dan menyembunyikan kekesalan mereka pada sang Raja dari balik helm armor mereka.
"Di saat seperti ini, dimana Jenderal sialan itu! Bantuan, dari Guardian Earth sialan bahkan belum tiba!"
Klang!
Sang Raja mengumpat sambil melemparkan wadah emas yang beberapa saat sebelumnya di raih dari sebuah meja mewah kecil di samping singgasananya.
Wajah sang Raja tidak bisa menyembunyikan kemarahan juga kegelisahannya.
Alasannya, Jenderal terkuat kerajaannya saat ini, Jenderal Smeilterd, tidak berada di ibukota kerajaan Axenxec dan menurutnya hal itu membuat prajurit kerajaan ini tidak bisa mengatasi serangan yang terjadi.
Bahkan seperti yang dikeluhkannya, dirinya, seorang Raja, tidak bisa keluar dari istana yang juga sedang dikepung dan berusaha diterobos oleh pasukan musuh yang disebut Exfrancion.
Sang Raja memanglah hanya memikirkan dirinya sendiri.
Dia memikirkan bahwa seharusnya dirinya bertukar tempat dengan istrinya, sang Ratu, dan kedua anaknya, para Putri Mahkota, yang sekarang aman bersama di suatu kerajaan sekutunya yang jauh dari kerajaan Axancec.
"Kau dengar aku, prajurit rendahan? Dimana pasukan Guardian Earth itu?"
Pemimpin prajurit pengawal yang ada di ruang singgasana itu langsung berdiri dari posisi berlututnya dan dengan langkah lari yang berat karena armor dan senjata mendekat ke hadapan sang Raja, lalu berlutut sambil menundukkan kepalanya.
"Ka-kami sudah mengirimkan sinyal darurat pada mereka beberapa jam yang lalu, tetapi tidak ada respon dan-"
Duak! Brukk!
Tubuh prajurit itu terbaring di lantai bersamaan dengan helm armornya yang terlepas dan membuat suara di lantai.
Prajurit itu melihat sang Raja ada di depannya dengan ekspresi terkejut, namun dirinya langsung bangkit dan kembali berlutut dihadapan sang Raja.
"Ma-maafkan kami, Yang Mulia..."
Duak!
Sang prajurit kali ini tetap berlutut dihadapan sang Raja meskipun sepatu kulit sang Raja berada di wajahnya dan berkali-kali sang raja menendang wajahnya dengan kuat.
Sang prajurit cukup kuat dan tidak gentar hingga akhirnya sang Raja dengan kesal berhenti menendang wajahnya dan kembali duduk di singgasananya.
"Prajurit rendahan sialan! Ketika keadaan ini reda, kau yang pertama akan kuhukum!"
Sang prajurit hanya tetap berada dalam posisi berlutut sambil tertunduk, wajahnya terluka dan darah menetes dari hidungnya yang patah dan menciptakan kubangan kecil darah di lantai.
Buum! Duar! Duar! Duar!
Terpixe, Ibukota Kerajaan Axancec, East Zone, 3 Maret 1320.
Ledakan besar yang berulang-ulang terdengar olehnya, hal itu membuatnya berusaha mencari asal suara itu dengan mengalihkan wajahnya.
Namun, dari pada suara ledakan yang terdengar berulang-ulang kali ini disertai dengan teriakan semangat dari luar singgasana raja, dirinya lebih memilih melihat ke arah seorang mahluk di depannya.
Mahluk yang beberapa saat sebelumnya membuat jiwanya teguh untuk rela mengorbankan nyawanya demi mahluk itu, namun sekarang berganti dengan kejijikan dan menurutnya kebencian.
Mahluk di depannya itu berteriak memanggil bawahannya yang berada jauh di belakangnya yang sedang berlutut dengan kepala yang tertunduk.
Sambil melirik ke arah bawahannya, dari dalam hatinya dia menyesali dengan penuh kenapa dirinya melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan dengan bawahannya.
"Apa yang kalian tunggu!? Apa kalian mau membiarkanku mati, prajurit rendahan!?"
Mahluk itu berteriak sekali lagi dengan penuh amarah dan ketakutakan, bagi dirinya, mahluk itu seperti seekor monster yang dulu pernah diburu dan dibunuh olehnya.
Ya, mahluk itu adalah sang Raja yang sebelumnya dia layani.
Memang sang Raja bagi matanya hanyalah seorang manusia.
Tapi, dari pikiran dan hatinya, sekarang dia sadar bahwa sang Raja itu adalah mahluk yang lebih rendah dari seekor monster yang pernah dibunuhnya, bahkan masih akan melindungi anaknya ketika dirinya mencoba membunuh anak monster itu.
Tapi, sang Raja, sang mahluk rendahan ini, sudah membongkar kedoknya dan hanya mementingkan keselamatannya sendiri.
"Apa kalian dengar perintahku!?"
Kalimat itu langsung membuat sang prajurit bangkit berdiri, setelah memakai helm armor yang tergeletak di lantai, dirinya langsung mendekat ke sang Raja, bukan tapi sang Mahluk rendahan.
"Prajurit, lindungi Yang Mulia..."
Perintah itu mengalir begitu saja dengan tegas dan membuat bawahannya mendekat ke singgasana sang Mahluk rendahan.
Sang prajurit menggelengkan kepalanya dan berusaha memindahkan fokus pikirannya, dirinya berusaha mengira-ngira darimana asalnya suara ledakan berulang-ulang yang membuat sang Mahluk rendahan di belakang dirinya semakin menjadi ketakutan.
Kota kah?
Tapi, tidak mungkin, karena suaranya terdengar sangat keras dan dekat.
Suara teriakan prajurit kerajaan lain yang berada di seluruh istana juga semakin terdengar jelas, hingga membuatnya yakin bahwa istana telah tertembus oleh pasukan musuh.
Pasukan musuh memang mengepung dari luar gerbang menuju istana, tapi tetap saja masih terlalu cepat kalau memang gerbang menuju istana sudah tertembus dan pasukan musuh berhasil masuk ke dalam istana.
Duar!
Sebuah ledakan terjadi lagi dan kali ini benar-benar dekat hingga membuatnya dan bawahannya langsung dengan cepat mengelilingi sang Mahluk rendahan.
Brak! Duum!
Sekali lagi suara besar terdengar dan itu berasal dari pintu megah yang tepat berada di arah kanan singgasana.
Sang prajurit sempat berpikir, kalau saja sang Mahluk Rendahan ini mendengarnya maka meraka tidak mungkin berada dalam keadaan seperti seekor buruan yang terperangkap dalam jebakan dan menunggu sang pemburu datang.
Tap! Tap! Tap!
"Huuuoooo-!"
Sebuah teriakan berasal dari seorang bawahannya yang berada dikirinya, bawahannya itu berlari ke arah pintu mewah yang roboh.
Dalam pikirannya, bawahannya itu terlalu ceroboh maju seperti itu tanpa tahu apa yang ada di depannya.
Bzzzttt! Duar!
Tubuh bawahannya yang berlari tersebut seketika terlempar dengan keras dan menghantam dinding bersamaan dengan sebuah kilat petir yang menghilang.
Sang prajurit melihat bawahannya, namun dapat dipastikan dengan jelas bawahannya itu seketika langsung mati dengan serangan itu, serangan yang begitu kuat sehingga armor bawahannya berlubang besar.
Mata sang prajurit dengan cepat langsung melihat lagi ke arah asal serangan yang menurutnya sangat menakjubkan itu.
"K-Kau! K-kau! Ternyata ka-kau yang-.... Kau yang melakukan pemberontakan ini!"
Teriakan penuh amarah sang Mahluk rendahan membuat sang prajurit akhirnya mengenal sosok yang berjalan dengan penuh keanggunan dari pintu yang telah rubuh itu.
"Aku sudah merawatmu! Aku sudah memberi tempat! Aku sudah memberimu kekuatan! Aku sudah memberi semuanya padamu!"
"Apa yang kau lakukan Jenderal Averiel! Sialan! Apa yang kau lakukan di kerajaanku!"
Sang Mahluk rendahan yang berteriak dengan kemarahan dan ketidakpercayaannya bagi sang prajurit seperti hal yang lucu baginya, meskipun dirinya juga sama tidak percayanya dengan sosok yang ada di depannya.
"Ya, kau sudah memberiku semuanya, termasuk lengan ini, dan tangan ini"
Sosok itu mengangkat tangan kirinya dan kemudian tangan kanannya yang memegang sebuah pedang rapier dengan ganggang putihnya.
Sosok itu tersenyum tipis, senyum yang menurut sang prajurit tulus namun senyum dari sosok itu berganti dengan tatapan dan raut wajah yang menunjukkan kesedihan dari balik mata hitam pekatnya seolah senyum tulus tadi hanya bayangan dalam kepala sang prajurit.
"Tapi, apa yang kauberikan ini tidak sebanding dengan yang kau ambil dari kami,"
Sang prajurit sedikit terkaget, tapi dia tahu dari sikap sang Mahluk rendahan yang ada dibelakangnya, yang lebih memilih mengorbankan nyawa orang lain untuk dirinya sendiri, sang prajurit tahu bahwa hal itu pasti sudah berkali-kali dilakukan oleh Mahluk rendahan itu.
Sang prajurit menoleh ke arah sang Mahluk rendahan yang menunjukkan raut wajah terkejut, marah dan takut.
Dan entah kenapa, perasaan jijik kemudian muncul semakin besar dari dalam diri sang prajurit yang membuatnya menurukan pedangnya yang mengarah ke sosok wanita, yang disebut Jenderal Averiel.
Sang prajurit memang mengetahui sang Jenderal Averiel, bahkan seluruh prajurit kerajaan tahu siapa dia.
Baginya dan pasukan yang lain, Jenderal Averiel, Averiel Liendzent adalah salah satu Jenderal terbaik di kerajaan itu selain dengan Jenderal Smeilterd.
"Apa yang kau lakukan bodoh!? Apa yang kau lakukan prajurit rendahan!? Bunuh dia!"
Perintah sang Mahluk rendahan itu sambil menendang sang prajurit dan beberapa bawahannya,, dan tidak cukup sampai disitu, bahkan sang Mahluk rendahan merebut paksa sebuah pedang dari tangan bawahannya.
"Maju sialan! Maju! Bunuh wanita ****** itu!"
Sang Mahluk rendahan dimata sang prajurit seperti orang gila, tidak, bahkan lebih buruk dari itu.
Sekarang sang Mahluk rendahan itu mengayun-ngayunkan pedangnya di udara yang bahkan membuat dua bawahannya terkena sayatan dari sang Mahluk rendahan itu.
"Menyedihkan... Bahkan pengawalmu tidak berniat melindungimu,"
Sang Jenderal Averiel, dengan tenang melangkah ke arah sang prajurit.
Sang prajurit terpaku diam melihat Averiel, bukan karena ketakutan akan ketenangan Averiel saat melangkah ke arahnya, namun entah perasaan yang aneh muncul begitu saja.
Sang prajurit tidak tahu dengan pasti namun sebuah teriakan yang begiru keras diiukuti dengan erangan kesakitan dan teriakan lainnya membuatnya tersadar.
"Si-sialan.! A-apa yang..."
"Uaaaaa!!!"
Sebuat teriakan dari arah belakang sang prajurit kembali terdengar bersamaan dengan suara jatuhnya sebuah tubuh yang begitu keras ke lantai.
Sang prajurit menelan ludahnya, dia hanya memikirkan satu hal tentang kejadian yang begitu cepat terjadi.
"Hahahahaha...Hahahahaa... Hahahaha... Argghhhh... Hahahaha!"
Tanpa sadar sang prajurit tertawa dengan keras, tawa yang penuh kebahagiaan yang meluap-luap dalam dirinya membuatnya terus tertawa dan tertawa layaknya kegilaan kali ini mendatanginya setelah melihat sang Mahluk rendahan.
Ya, Sang Mahluk rendahan itu, sang Mahluk rendahan yang baginya lebih rendah dari monster buruan, sekarang tersungkur di kaki singgasana dengan badan yang ditusuk berulang kali oleh para bawahannya yang berteriak sama sepertinya.
"Menyedihkan..."
Kata-kata itu terdengar dengan lirih dan mengandung rasa belas kasihan, diikuti dengan berlututnya sang prajurit sambil memegang lehernya.
"Arg...Arg...Arg..."
Sang prajurit berusaha mengucapkan sebuah kata seperti 'Apa yang terjadi?', tapi dia menyadari dirinya tidak bisa mengeluarkan suaranya.
Kemudian sang prajurit melihat kedua tangannya.
Darah?
Bzzzt! Bzzzt! Bzzzt!
Terdengar suara seperti lebah yang menyengat samar-samar didengarnya bersamaan dengan tubuh para bawahannya yang berjatuhan.
Bahkan tubuh sang prajurit juga langsung tersungkur di lantai.
Sekilas dengan pandangan yang mulai menutup dia melihat Averiel menyarungkan pedang rapier putihnya dan melihat ke arah sang prajurit.
Sambil menunggu kematian merenggut nyawanya, dalam hatinya dia hanya bisa bergumam,
"Ah, ya, ini hukuman bagiku..."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!