Di sebuah klub malam kenamaan di pusat kota, terdengar dentuman musik EDM (Electronik Music Dance). Semua orang bercampur baur menjadi satu, tak ada kata miskin ataupun kaya, mereka tetap berjoged, menari, menikmati setiap hentakan dari irama musik yang memekakkan telinga sambil menyesap aneka minuman beralkohol.
Sedangkan di sebuah ruangan VIP, tampak 3 orang pria berusia matang dan berwajah tampan yang sedang asik berbincang sambil meminum cairan berwarna kuning. Ketiga pria itu merupakan tuan muda dari keluarga pengusaha ternama dengan Berryl Van Houten sebagai pemimpinnya.
Dengan tangan kanan berada di atas pegangan sofa dan kaki terlipat, Berryl menyelipkan rokoknya dilipatan bibirnya dengan tangan kiri, menghisap lalu meniupkan asap ke udara. Asap pembakaran batangan tembakau itupun menyeruak memenuhi ruangan khusus bagi pelanggan berkantong tebal tersebut. Tatapan matanya tajam, rahangnya tegas, otot-otot tubuhnya terlihat kencang dan seksi, dan kulit kecoklatan membuat Berry terlihat begitu gagah dan hot. Begitu pula kedua temannya, si kembar Vano dan Vino, mereka begitu tampan dan gagah. Si kembar yang banyak digilai wanita. Kulitnya lebih putih dari Berryl, tapi tetap saja , kadar ketampanannya masih di bawah Berryl.
"Ryl, gue kemarin ketemu Nova! Dia nanyain loe! Dia juga minta nomor telepon loe. Kayaknya dia masih suka deh sama loe dan berharap loe bisa berikan dia kesempatan." tukas Vano setelah meminum bir miliknya.
"Nova? Huh, ... " Berry meniup asap rokoknya sambil tersenyum miring. "Sepertinya dia nggak ada kapoknya mau deketin gue. Dia pikir gue tertarik sama perempuan kayak dia. Cih ... Najis." desis Berryl sinis. Ya, begitu lah sifat Berryl, sangat angkuh dan susah didekati. Ia terlalu menganggap tinggi dirinya. Ia tak suka melihat orang-orang mendekatinya sebab ia yakin setiap orang yang berusaha mendekatinya pasti memiliki niat terselubung dan itu semua telah terbukti. Hanya Vano dan Vino saja teman terdekatnya.
"Iya sih Van, loe tau kan gimana j@langnya si Nova itu. Masa' Minggu lalu gue liat dia jalan sama om nya Daren masuk ke dalam hotel. You know lah ngapain kalau laki sama perempuan jalan sambil rangkulan terus masuk ke dalam hotel." tukas Vino yang sudah bergidik jijik membayangkan sahabatnya jadian sama gadis seperti Nova.
"Really? Oh my God, itu mungkin yang dinamakan the real j@lang." tukas Vano sambil tergelak.
Vano dan Vino memang bukan cowok baik-baik, mereka suka minum alkohol dan gonta ganti pacar, tapi mereka tidak pernah sampai melewati batas. Yah paling make out saja, untuk menguji kenormalan diri mereka. Itupun bukan karena diri mereka yang ingin, tetapi para gadis itulah yang dengan senang hati melemparkan diri mereka kepada Vano dan Vino.
"Ryl, emang sampai sekarang loe belum nemuin cewek yang bisa bikin loe tertarik? Usia loe udah mau 30 bro, kasian Tante Ivanka yang udah ngebet banget liat loe kawin eh nikah maksudnya. Kalau udah nikah baru deh kawin." tukas Vano sambil menyengir lebar.
Wajah Berryl tiba-tiba berubah menjadi gelap, perihal pernikahan memang jadi suatu yang sangat sensitif baginya.
Berry mendengus lalu menenggak habis bir yang di hadapannya.
"Udah Van, udah tau masih mau ditanyain. Nikah itu bukan cuma karena suka atau tertarik, ada kebutuhan biologis yang mesti disalurin kalau torpedo Berry aja nggak pernah mau bangun walau dihadapan cewek seksi, gimana dia mau nikah. Entar baru sehari nikah, tuh cewek langsung minta cere gara-gara torpedo Berry nggak bisa bangun." tukas Vino yang membuat Vano sukses tergelak hingga ekor matanya basah.
Berry diam saja mendengar kata-kata Vino sebab begitulah adanya. Ia selama ini tak pernah dekat dengan cewek, bukan hanya karena tidak tertarik, tapi juga ia tak pernah merasakan dirinya bergairah. Bahkan mamanya, Ivanka sampai pernah menjebaknya di dalam sebuah kamar hotel dengan seorang gadis cantik yang hendak dijodohkannya. Gadis itu memakai lingerie seksi, tapi yang terjadi justru Berryl bergidik jijik dan mengusirnya dengan kasar. Sejak saat itu, Berryl makin merasa ngeri berdekatan dengan yang namanya perempuan.
Pernah juga Berryl memberikan kesempatan pada gadis-gadis yang hendak mendekatinya dan akan menerima cinta mereka dengan syarat bisa membuatnya bergairah. Berryl sengaja melakukan itu untuk menghapus cap impoten yang melekat padanya tapi semua sia-sia, bukannya torpedonya bangun, ia justru makin merasa jijik melihat tingkah para gadis yang diragukan kegadisannya itu.
Dua perempuan yang ada dalam hidupnya hanya mama dan adiknya saja, tak ada yang lain. Oleh karena itu, Ivanka sampai menyebarkan sayembara untuk mencari calon menantu yang dapat menaklukkan Berryl kepada teman-temannya. Namun hingga kini, ia belum mendapatkan hasil yang diinginkan. Cap lelaki impoten pun makin kuat melekat pada diri Berryl membuat Ivanka dan Abelano Van Houten, ayah dari Berryl makin pusing tujuh keliling.
"Kenapa loe nggak pernah mau periksa sih Ryl? Kan kalau memang loe ... sorry ... impoten, loe bisa langsung berobat. Emang loe nggak kepingin apa punya pacar atau punya istri? Gue aja yang suka main solo aja ngerasa enak apalagi kalau bisa masuk ke tempat yang semestinya, pasti lebih wow lagi." ujar Vano sambil tersenyum jahil.
"Loe suka main solo?" tanya Vino dan Berryl bersamaan membuat Vano tersedak karena keceplosan.
Vano menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil menyengir kuda.
"Hei, so what's? Mending solo karir daripada masuk ke sarang yang tidak semestinya." tukas Vano membela diri.
Berryl dan Vino pun tergelak bersama saat mendengar penuturan Vano. Tapi apa yang dia katakan ada benarnya, dari pada masuk ke sarang sembarangan yang bisa mendatangkan berbagai risiko, mending bersolo karir, bukan.
...***...
"Dita ... " teriak Megan. "Sepatu gue kenapa kotor gini? Loe tau kan sepatu ini mahal." pekiknya lagi membuat Lidya, sang ibu keluar.
"Ada apa sih Meg, pagi-pagi udah teriak-teriak udah kayak Tarzan aja."
"Ia mama, kok ngatain Megan Tarzan sih?" ujar Megan kesal. "Ini nih ma, sepatu Megan kok kotor kayak gini. Pasti ini ulah gadis sialan itu. Dia nggak suka liat Megan punya sepatu bagus jadi dia sengaja mengotorinya." omel Megan.
Lidya berdeham sejenak, sebenarnya Lidya lah yang membuat sepatu Megan kotor. Lidya yang memakainya kemarin. Namun, karena jalanan yang licin, Lidya hampir terpleset sehingga sepatu itu terkena tanah becek di jalan yang ia lalui. Tapi Lidya tentu tak mau mengaku, kalau ada kambing hitam yang bisa disalahkan, kenapa tidak.
Kesal Hanindita atau yang lebih sering dipanggil Dita itu tidak kunjung keluar menemuinya, Megan pun segera ke belakang mencarinya.
"Heh, sialan!" umpat Megan seraya menyiramkan seember air ke atas kepala Hanindita yang sedang mencuci pakaian.
Byur ...
"Aaaakh ... " pekik Hanindita terkejut.
"Loe apain sepatu gue, hah? Pasti loe yang pake sampai kotor kayak gitu kan! Udah gue bilang, jangan pernah sentuh barang-barang gue dengan tangan kotor loe itu, tapi masih aja. Apa loe udah bosan hidup, hah!" teriak Megan dengan wajah merah padam.
"Sepatu? Aku nggak ada pakai sepatu kamu. Sepatu yang mana pun aku nggak tau. Kenapa kamu malah menuduhku?" cecar Hanindita dengan mengerutkan keningnya.
"Kalau bukan loe, siapa lagi? Ayo ngaku, sialan!" bentak Megan seraya menendang ember yang tadi digunakannya untuk menyiram Hanindita.
Hanindita bungkam kemudian melanjutkan kegiatan mencucinya. Percuma membela diri, benar ataupun salah tetap saja ia yang disalahkan.
"Kenapa diam, breng-sek!"
Bugh ...
Megan menendang punggung Hanindita hingga wajahnya hampir tersungkur ke dalam bak cucian. Hanindita membungkam mulutnya dengan mata terpejam, kemudian ia kembali melanjutkan kegiatannya.
"Harusnya loe tau diri, loe itu nggak pantes pake barang-barang mewah kayak punya gue! Awas kalo sekali lagi loe pake barang-barang gue, bisa habis loe di tangan gue!" desis Megan sebelum membalikkan badan meninggalkan Hanindita yang matanya telah memerah.
Hanindita menengadahkan kepalanya ke langit yang terlihat cerah hari itu. Dalam hati, ia hanya bisa bergumam, agar segera dipertemukan dengan ibunya yang telah tiada. Hanindita tidak pernah muluk-muluk dalam hidupnya. Ia tak pernah berharap akan sesuatu apalagi yang namanya kebahagiaan sebab baginya bahagia itu adalah mati. Sebab sepanjang hidup yang ada hanyalah kesedihan. Tiada kebahagiaan. Bahkan ia pun sudah lupa cara tersenyum. Kebahagiaan itu hanya ada saat ibunya masih ada, tapi setelah ibunya tiada, tiada hari tanpa kesedihan dan kesakitan.
'Ibu, Anin kangen.' lirih Hanindita dengan bulir kristal menetes dari pelupuk matanya.
...***...
Mampir ya kak ke karya othor yang baru! Atau bisa langsung klik nama othor untuk liat karya othor yg lainnya. ☺️
...Happy reading 🥰🥰🥰...
"Dita, bangun kamu!" pekik Lidya seraya menggedor-gedor pintu kamar Hanindita.
Dengan kepala berdenyut nyeri, Hanindita berusaha bangun dari tidurnya. Dengan sempoyongan, ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu dan membukanya. Baru saja, kunci pintu ia putar, tiba-tiba ...
Brakkk ...
Lidya mendorong kasar pintu kamar Hanindita hingga ia terjungkal ke belakang.
"Kamu ya, bukannya bangun pagi-pagi dan siapkan sarapan, malah asik-asikan tidur. Dasar anak nggak ada guna! Bangun kamu. Nggak usah pura-pura kesakitan gitu." bentak Lidya tanpa mempedulikan Hanindita yang kesusahan untuk bangun.
Saat ini Hanindita sedang demam. Mungkin karena kemarin disiram Megan dan ia tidak langsung mengganti pakaiannya. Cuciannya masih banyak jadi ia memilih melanjutkan mencuci pakaian hingga selesai baru mengganti pakaian. Alhasil, malam harinya, Hanindita mulai merasakan meriang di sekujur tubuhnya dan demam.
"Tapi bu ... "
"Tak ada tapi-tapian. Cepat siapkan kami sarapan sebelum ayah kamu berangkat bekerja." tegas Lidya membuat Hanindita pun berusaha berdiri kemudian berjalan menuju dapur. Ia sampai menghela nafas berkali-kali. Entah sampai kapan ia akan mendapatkan penyiksaan lahir dan batin seperti ini. Ayahnya masih ada tapi begitu membencinya. Apalagi ibu tirinya. Hanindita tak pernah tau apa salahnya, yang ia tau tak ada satupun dari keluarganya yang menyayanginya. Andaikan sang nenek masih hidup, mungkin hidupnya tidak akan senelangsa ini. Tapi apa boleh dikata, Tuhan begitu mencintai nenek dan ibunya, meninggalkan dirinya yang kehilangan tempat bersandar.
"Makanan sampah apa ini, hah!" bentak Handoko seraya membanting sendok ke atas piring hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Karena kepalanya pusing dan lidahnya pahit, rasa dan bentuk masakan Hanindita jadi tidak seperti biasanya. Karena sudah tak berselera makan, Handoko pun berlalu dari meja makan meninggalkan anak dan istrinya yang masih duduk di sana.
Hanindita hanya bisa mematung di dekat wastafel. Ia sedang mencuci peralatan bekas memasak. Mengetahui sang suami marah karena rasa masakan yang aneh, lagi-lagi Lidya memarahi Hanindita dan menarik rambutnya hingga ke tertarik ke belakang.
"Aaarrgh ... am-pun Bu, Dita ... Dita ... "
"Tutup mulut kamu anak nggak tau diri! Bukannya bekerja yang benar, malah seenaknya saja. Kamu seharusnya berterima kasih kami mau menampung kamu. Kalau nggak memikirkan kamu juga anak mas Handoko, sudah kami buang kamu ke jalanan." seru Lidya dengan sorot mata tajam penuh kebencian.
Sekuat tenaga, Hanindita tahan air matanya. Ia tak mau menangis. Menangis pun tiada guna, bukannya mereka iba, mereka justru makin merendahkan dan mengejeknya.
'Ya Tuhan, bolehkah aku menyerah pada kehidupan ini?' batin Hanindita menjerit, meraung, dan merintih.
Hanindita hanya bisa menatap nanar orang-orang yang ada di dalam rumah itu, mengapa satupun dari mereka tak ada yang peduli sedikit saja pada penderitaannya.
Morgan dan Megan, kakak adik beda ayah itu hanya menatap acuh apa yang dilakukan ibunya pada gadis malang itu. Tak ada rasa iba apalagi peduli. Tak ada satupun yang menyayangi Hanindita. Ia bagaikan hidup sebatang kara di dunia ini. Di rumah itu, ia tak pernah dianggap layaknya keluarga. Yang ada dirinya diperlakukan seperti budak yang tak memiliki hak apa-apa. Bahkan pendidikannya pun hanya sebatas tingkat pertama. Ayahnya menganggap percuma ia sekolah tinggi-tinggi sebab tugasnya tetap kembali ke dapur. Ia tak layak mendapatkan perlakuan baik apalagi mendapatkan pendidikan tinggi. Padahal, Hanindita gadis yang cerdas. Sebenarnya ia bisa saja melanjutkan sekolahnya sebab pihak sekolah telah memberikan surat rekomendasi untuk mendapatkan beasiswa, tapi Handoko menentangnya keras. Hanindita pun hanya bisa pasrah menerima takdir hidupnya yang sepertinya takkan pernah mengecap bahagia.
...***...
Hari sudah pukul 9 pagi, Handoko telah pergi ke pabrik pengolahan teh miliknya, Lidya pergi entah kemana, sedangkan Megan pergi kuliah meninggalkan Hanindita dan Morgan hanya berdua saja di rumah. Kampus Megan ada di kota. Namun jaraknya hanya memakan waktu tempuh 2 jam, jadi Megan lebih memilih pulang ke rumah dari pada tinggal di asrama putri.
Kediaman Handoko terletak desa di dekat lereng pegunungan. Keluarga mereka memiliki perkebunan teh di area sana. Perkebunan itu tidak terlalu luas, namun hasilnya cukup memuaskan apalagi mereka memiliki pabrik pengolahan sendiri tentu hasilnya dapat mereka nikmati sendiri sepuas hati.
Seperti biasa, pagi hari diisi Hanindita dengan kegiatan beres-beres rumah. Fisiknya masih sakit, tapi ia tetap berusaha mengerjakan semuanya sendiri. Percuma pikirnya mengadu kalau ia sedang sakit, sebab takkan ada yang peduli.
"Hai Dita!" panggil Morgan seraya menyeringai. Hanindita yang sedang menyapu rumahnya. Rumah yang sudah ditempatinya sejak kecil itu. Rumah yang menurut neneknya merupakan rumah turun temurun dari keluarga sang ibu karena itu meskipun ia tersiksa lahir batin di rumah itu, ia tetap berada di sana dan menjaga serta merawatnya dengan baik. Lagipula, bila pun ingin pergi, kemana ia harus pergi. Ia tak tahu dunia luar. Ia tak pernah pergi jauh dari rumahnya. Kalaupun pergi paling jauh ke pasar untuk belanja kebutuhan harian rumah itu. Ia hanya tau keindahan dunia luar dari potongan-potongan koran pembungkus belanjaan atau sesekali melalui tv bila ia sedang beruntung alias bisa sambil lewat lalu saat Lidya tengah menonton televisi.
Hanindita mengacuhkan panggilan Morgan. Ia tau apa tujuan lelaki me-sum itu mendekatinya. Apalagi kalau bukan berusaha mendekati bahkan beberapa kali ia berusaha melakukan pelecehan padanya. Beruntung ia selalu bisa menyelamatkan diri. Tapi apakah mungkin ia bisa selalu menyelamatkan diri, sedangkan mereka saja tinggal di satu atap?
"Hei, tak usah sok jual mahal kau! Gadis nggak ada guna, cepat kemari!" bentak Morgan yang mulai emosi karena diacuhkan.
"Apa? Aku sibuk." sahut Hanindita ketus tanpa menoleh. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya.
Tiba-tiba saja Morgan menarik sapu yang dipegang Hanindita dan melemparkannya asal. Lalu tangannya mencengkram rahang Hanindita kencang membuatnya sampai meringis kesakitan, tapi Hanindita tak mau memperlihatkan kesakitannya. Ia balas tatapan tajam Morgan tanpa rasa takut. Ia telah terbiasa mendapatkan perlakuan intimidasi dari lelaki me-sum itu jadi sudah tidak ada rasa takut lagi dalam benaknya.
"Semakin hari mulutmu ini sepertinya makin lancang. Apa harus aku minta ayah membuangmu ke jalanan agar kau tau bagaimana menakutkannya dunia luar." desis Morgan.
"Kau pikir aku takut!" balas Hanindita membuat Morgan makin kesal.
Kesal, Morgan pun berusaha mencium bibir Hanindita yang sejak dulu menggoda jiwa liarnya. Ia memang playboy dan sudah banyak bibir gadis yang dicicipinya, tapi tak ada yang seindah bibir Hanindita karena itu ia begitu ingin merasakannya, mencicipinya, melu*matanya, mencecap dan memagutnya mesra, serta membelai lidahnya. Tapi belum sempat bibir itu menyatu, Hanindita lebih dahulu mengangkat lututnya hingga mengenai tepat di pusat kelelakian Morgan hingga membuatnya menjerit kesakitan.
"Aaargh ... Sial! Kurang ajar kau, Dita! Tunggu pembalasanku!" desisnya sambil mengusap perkutut miliknya yang terasa nyeri.
...***...
"Ryl, malam ini kau harus makan malam di rumah. Kita akan makan malam bersama keluarga uncle Rafael. Putrinya baru pulang dari London dan mom ingin kau hadir malam ini." tukas Ivanka melalui sambungan telepon.
"Apa mommy belum menyerah juga?" ketus Berryl yang sambil memijit pelipisnya. Pusing, ibunya sepertinya tak pernah bosan untuk mencarikannya calon istri.
"Menyerah? No way."
"Mom, tak bisakah biarkan saja seperti air yang mengalir? Percuma saja menjodoh-jodohkan ku, aku takkan tertarik. Kalau sudah waktunya aku juga akan menikah, tapi belum sekarang sebab aku belum menemukan gadis yang menarik hati dan minatku."
"Bagaimana kau bisa menemukannya kalau tak berusaha, Berryl. Mau sampai kapan? Mom bosan menunggumu membawa seorang gadis ke rumah ini. Ingat umurmu dan ingat usia orang tuamu ini sudah makin menua, kami ingin melihatmu menikah dan memberikan kami cucu. Jadi sebelum kau menemukan gadis yang membuatmu tertarik, maka mom nggak akan pernah bosan mengenalkan mu dengan gadis-gadis anak teman mommy." tegas Ivanka.
"Mom, kalau kau ingin cucu kan bisa meminta Berliana menikah lebih dahulu."
"Yang kami inginkan itu kamu, Berryl. Lagi pula usia adikmu masih terlalu muda. Tidak sepertimu yang sudah kepala 3."
"Yayaya, terserah mom sajalah. Tapi aku ingatkan, aku tetap memiliki hak menentukan dan aku tak ingin dipaksa."
"No, problem!" sahut Ivanka acuh lalu menutup panggilan teleponnya.
"Mommy mu?" tanya Vano yang baru saja masuk ke ruangannya.
"Hmmm ... "
"Dinner again?" timpal Vino yang menyusup sambil tersenyum lebar.
"Hufth, apa lagi! Setiap menelpon pasti mommy mengabarkan perihal makan malam dengan temannya yang memiliki anak gadis."
"Turuti saja, siapa tau salah satu dari mereka cocok untukmu." saran Vano sambil membuka kaleng bir yang baru saja diambilnya dari dalam kulkas mini di ruang kerja Berryl.
"Hah, entahlah!" sahut Berryl pusing.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Seperti permintaan Ivanka, Berryl pun pulang ke rumah untuk mengikuti makan malam yang telah dirancang sang mama apalagi kalau bukan untuk menjodohkan dirinya dengan gadis-gadis yang entah mengapa tak pernah membuatnya tertarik itu. Sebenarnya ia sudah sangat jengah mengikuti setiap permintaan Ivanka. Ia sudah sering menolak, tapi Ivanka tetap memaksa. Mungkin mommy nya itu telah terkenal sindrom menantu menantu sebab ibunya itu sepertinya sudah tidak sabar lagi untuk memiliki seorang menantu.
"Nah, itu Berryl sudah datang!" sambut Ivanka sumringah. "Sini Ryl, perkenalkan Rihanna, anak uncle Daffi dan aunty Helena." ucap Ivanka sembari menarik lengan Berryl agar bersalaman dengan Rihanna.
Rihanna pun mengulurkan tangannya dengan mata berbinar. Wajah tampan Berryl ternyata langsung membuat Rihanna terpesona. Bukan hanya tampan, tubuhnya pun besar, tinggi, kekar, dadanya bidang, bahunya lebar, rahangnya tegas, dengan otot-otot yang begitu menonjol. Padahal tubuhnya tertutup kemeja tapi tetap tak mampu menyembunyikan otot-otot itu.
"Rihanna." ucap Rihanna penuh percaya diri sambil tersenyum semanis mungkin.
Berry pun menyambut tangan itu dengan wajah datar tanpa mau bersusah payah menyebutkan namanya kemudian langsung melepaskan tangannya. Dia memang enggan bersentuhan secara langsung dengan orang lain apalagi yang berjenis kelamin perempuan.
"Ryl, namamu!" sentak Ivanka marah saat melihat Berryl acuh tak acuh bahkan tak mau menyebutkan namanya.
Berryl mengerutkan dahinya, "Bukankah mommy sudah memberitahukannya." ketus Berryl membuat Ivanka merasa tak enak hati pada Daffi dan Helena. Setelah mengatakan itu, Berryl pun duduk di kursi yang berseberangan dengan Rihanna. Melihat sifat dan sikap Berryl, 3ntah mengapa Rihanna merasa tertantang.
"Maafkan Berryl ya Daf, Helen, dia emang suka ketus gitu kalau dengan orang yang baru dia kenal." ungkap Ivanka tak enak hati, sedangkan Abelano, ayah dari Berryl hanya diam saja. Ia tak mau ikut campur urusan sang istri. Bila itu yang terbaik untuk putranya, ia tak masalah.
Tak lama kemudian, makan malam itu pun dimulai. Sesekali terjadi perbincangan di meja makan itu. Tetapi percakapan hanya didominasi oleh Ivanka dan Helena. Sesekali Abelano dan Daffi ikut menimpali apalagi yang berhubungan dengan dunia bisnis dan ekonomi.
Setelah selesai makan, Ivanka menyarankan Berryl sedikit berbincang berdua dengan Rihanna. Dan di sinilah mereka sekarang, di balkon lantai atas yang menghadap langsung ke kolam renang. Malam itu terlihat lebih kelam sebab tak.ada satupun bintang menghiasi langit. Hanya ada angin malam yang berhembus dingin membuat Rihanna yang hanya mengenakan mini dress merasa sedikit kedinginan.
Berryl bersandar di dinding dengan posisi sedikit menyamping. Tangannya berada di dalam saku celana, sedangkan pandangannya jatuh ke kolam yang terlihat sedikit terang karena pencahayaan lampu.
Rihanna pun menyusul bersandar langsung di pembatas balkon sambil sesekali melirik Berryl yang tampak diam, dingin tak tersentuh.
"Kau pasti tau bukan tujuan pertemuan ini?" tandas Berryl tiba-tiba membuat Rihanna sedikit mengubah posisinya agar bisa benar-benar melihat Berryl secara langsung.
"Hmmm ... karena itu mom tertarik dan ingin aku mencobanya." tukas Rihanna dengan tersenyum lebar.
Berryl bergerak lalu duduk di salah satu kursi yang ada di balkon. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Begitu pula kakinya, ia lipat. Aura penguasa yang mengintimidasi langsung menguar dari sorot matanya.
"Aku ingin kau segera mundur." tegas Berryl.
Senyum yang tadi mengembangkan, lantas berubah jadi datar. Ia menatap Berryl tak percaya, mengapa laki-laki ini begitu dingin dan angkuh. Ia tak terima perlakuan ini. Sebab ia lah ratunya. Biasanya dirinya lah yang menolak, bukannya ditolak seperti ini. Harga dirinya seketika terluka dengan sikap Berryl itu.
"Mengapa?"
"Sebab aku tak tertarik." tandasnya membuat Rihanna geram.
"Kau bercanda?"
"Apa wajahku terlihat sedang bercanda?" tukasnya dengan satu sudut bibir terangkat ke atas.
"Apa aku kurang cantik? Kurang seksi?"
"Bukan."
"Jadi? Jelaskan dengan spesifik apa alasanmu menolakku?" cecar Rihanna sambil berusaha mengontrol kekesalannya.
"Tak ada alasan lain. Aku hanya tidak tertarik."
"Apa gosip itu benar?"
"Entahlah. Bisa jadi." tandasnya acuh.
"Beri aku kesempatan untuk mencobanya. Sebentar saja. Aku yakin, aku mampu membuatmu jadi tertarik padaku."
"Are you sure?" sinis Berryl.
Tanpa menjawab pertanyaan Berryl dan tanpa rasa malu Rihanna duduk di pangkuan Berryl dan menyapukan bibirnya di atas bibir Berryl. Ia memagut dan melu*matnya penuh napsu, tapi Berryl justru tak bergeming. Merasa Berryl belum juga terpancing, tangan Rihanna bergerak menyusuri punggung, pundak, lalu ke dada Berryl sambil menggerakkan bokongnya. Tapi bukannya terpancing, Berryl justru tersenyum smirk di sela ciuman Rihanna. Rihanna pun melepaskan ciumannya sambil menatap tak percaya pada Berryl. Bagaimana mungkin pria ini tak bereaksi sama sekali. Bahkan kejantanannya di bawah sana pun masih seperti semula.
Rihanna dengan cepat berdiri dan menatap sinis Berryl.
"Sepertinya apa yang dikatakan orang-orang itu benar. Hah, walaupun kau tampan dan bertubuh bagus juga kaya raya, aku takkan sanggup hidup dengan lelaki yang tak mampu erek*si. Kau tau, bagaimana nikmatnya bercinta itu?" senyum mengejek terbit di bibir Rihanna. "Rasanya seperti ke surga." imbuhnya membuat Berryl tak kalah tersenyum sinis.
"Yah, terserah orang-orang mau menilaiku seperti apa! Mungkin juga aku tak tertarik sama sekali padamu sebab kau ... sudah seperti tempat sampah." desis Berryl tanpa ragu menghina Rihanna. "Tempatnya menampung benih-benih sampah dan aku ... bukankah sampah. Benihku terlalu berharga untuk ditabur di tempat sampah." imbuhnya lagi dengan menekan kata sampah dan tersenyum mengejek. Lalu Berryl pun segera berdiri meninggalkan Rihanna yang sudah begitu geram.
Lalu dengan cepat ia kembali ke tempat orang tuanya berada dan mengajak mereka pulang. Tak ada gunanya berada di sana. Ia tak mau dijodohkan dengan lelaki yang memiliki kelainan seksual seperti Berryl ujarnya.
Ivanka hanya bisa menghela nafas pasrah. Kali ini, ia benar-benar menyerah.
...***...
Di lain tempat, tampak seorang gadis tengah meringis kesakitan seraya mengoleskan obat luka ke punggungnya. Lagi-lagi ia mendapatkan perlakuan kasar dari keluarga itu. Hanya karena fitnah Morgan, ayah dan ibu tirinya menyiksa dirinya. Dirinya yang hendak dilecehkan, tapi dirinya yang disalahkan karena berusaha menggoda Morgan. Demi Tuhan, ia takkan mungkin melakukan perbuatan tercela itu. Tapi ayahnya tak percaya pembelaan dirinya dan lebih memilih memukulnya membabi buta menggunakan ikat pinggangnya.
Hanindita mengambil foto ibunya yang selalu ia simpan di bawah bantal. Dipandanginya foto itu dengan lekat. Tirta bening mengalir saat memandangi sosok cantik dalam foto itu.
"Bu, Anin kangen. Bu, kenapa ibu pergi ninggalin Anin. Anin ingin ikut ibu. Bu, kenapa ayah jahat sama Anin? Apa salah Anin? Mengapa ayah sangat benci sama Anin? Bu ... " lirih Hanindita dengan berurai air mata.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!