Holaaa....
Selamat datang di karya yang kesekian kalinya, salam sambut dan kenal dari Aisyah dan Baskara, jangan lupa tambah ke favorit dan ramaikan novel ini ya....
Yuk, mari ambil baiknya dan buang buruknya. Terima kasih semua.
Nb: Penulis dipanggil BuCil, Pembaca BuCil biasanya OmaMama.
***
Hiruk pikuk di rumah Aisyah sejak dua hari lalu terus saja berjalan, satu berhenti, lalu datang kembali, dikerjakan dan diselesaikan bersama-sama.
Ini pernikahan Aisyah, gadis yang dikenal pemalu dan lembut, dia dipinang oleh seorang pria yang telah lama memperhatikannya dan mendekati Aisyah lewat ibu angkatnya.
Ya, Aisyah tak lain anak angkat di keluarga besar ini, orang kini menyebutnya Aisyah Zahra Tri Narendra, menambahkan nama marga keluarga besar angkatnya di belakang nama sang ayah kandung yang telah lama tiada.
Hadirnya bak rembulan yang selalu menjadi cahaya di tengah kegelapan yang ada di rumah ini, bila hati gelisah, maka melihat Aisyah meskipun hanya sekilas, mampu membuat mereka mengusap dada lega.
"Aisyah belum selesai berdoa?" tanya mama Fya-ibu angkatnya. "Dia berdoa apa saja?"
Maid di rumah itu hanya bisa bergeleng, tidak mungkin dia menguping doa yang sedang terpanjatkan, kekuatan pendengaran pada telinga mereka tak mungkin sejauh dan sekuat itu.
Mama Fya berlari ke atas, menuju kamar Aisyah, acara pengajian akan segera dimulai, tapi gadis itu belum turun juga, sementara semua keluarga menunggunya.
Jeglek, pintu terbuka.
Lihat, mama Fya sudah mau marah, tapi begitu Aisyah menoleh dan tersenyum, hilang sudah, dia jadi berjalan dengan kedua kaki menyeret ke dekat Aisyah.
"Sayang, sudah ditunggu orang-orang, berdoa apa sih kok sampai lama?" tanyanya.
Aisyah lepas mukenahnya dulu, dia baru menjawab, "Aku meminta kelegaan hati, meminta agar hatiku tidak dijatuhkan pada hati yang salah dan yang bukan milikku."
"Memangnya kamu tidak yakin itu milikmu?"
"Bukan begitu, Ais hanya ingin semuanya berjalan dengan baik dan Tuhan ridho, Ma." Aisyah genggam tangan mama Fya, wanita itu mengulas senyum sebelum akhirnya membawa Aisyah turun dan bergabung.
Acara pengajian sebelum pernikahan malam ini diberlangsungkan, mata Aisyah malu-malu mengedar, dia berharap pemuda itu tidak hadir di sini, entah dengan alasan kesibukan apa dan apa, biarlah dia tidak datang.
"Kak Bas!"
Eh, Aisyah lantas berbalik, dia dapati pemuda itu, pemuda yang dia ukir namanya di dalam hati, bahkan angin tak dia izinkan mengendus keberadaannya, pandangannya begitu cepat hingga tak ada yang menyadari kalau Aisyah melihat Baskara.
Ya, namanya Baskara, salah satu sepupu angkatnya dari keturunan termuda, entah sejak kapan Aisyah mengukir nama pemuda itu di hatinya, yang dia tahu setiap kali Baskara lewat di depannya, dada itu sesak dan jantungnya seolah mau meledak.
"Ais, duduk di sini ya."
"Hmm, iya, Ma." Aisyah rapikan hijab panjangnya.
Semua mata tertuju pada Aisyah, termasuk pemuda tadi, yang Aisyah suka, tapi pandangannya bukan berarti lain terlebih lagi untuk kepentingan pribadi.
Baskara seperti mata-mata di keluarga ini, dia selain menjalankan usaha, juga menjamin keamanan dan keselamatan semua anggota keluarga, didikan keras dari orang tuanya membuat Baskara dijuluki seram, matanya bahkan mengalahkan burung elang.
"Hati, maafkan aku, belajarlah terbuka dan mengukir nama lainnya, yang datang meminangmu, itulah yang benar-benar mencintaimu." Bisik Aisyah dalam hati untuk hatinya sendiri.
Dia pernah berharap Baskara yang menjadi teman hidupnya, tapi harapan itu patah mengingat pemuda itu tak pernah memandangnya, bila memang Baskara waktu itu peduli, tentu tak lain tugasnya sebagai penjamin keamanan keluarga.
Di dekat pintu utama rumah besar, Baskara remat kuat dan mengepalkan satu tangannya, dia endak mengusap dan menepuk dada agar tenang, berusaha menahan diri agar tak ada yang tahu betapa sedih dan tidak terimanya dia akan pernikahan ini.
A-isyah, aku mencintaimu.
***
"Apa yang kamu katakan?" Aisyah bersimpuh di depan salah seorang wanita yang datang ke rumahnya dimalam sebelum pernikahan ini, disaat semua orang menyiapkan sesi akhir dari prosesi pernikahan hari esok. "Siapa bapaknya?" dia bertanya getir.
Wanita itu menangis hebat sambil menunjukan hasil tes kehamilan ke tangan Aisyah, dia sedang mengandung sekarang dan usianya berjalan enam minggu.
Rasa-rasanya kedua kaki dan tangan Aisyah lemas, dia bertanya sekali lagi, "Siapa bapaknya?"
Dan wanita itu menjawab, "Calon suami kamu yang sudah menghamili aku, kami melakukannya beberapa waktu lalu, saat kami tour kantor."
Calon suami? Kak Sena, apa benar itu?
Semua orang menghardik dan ingin mengusir wanita malang itu, terlebih lagi wanita itu pernah di masa lalu punya riwayat buruk dengan keluarga ini, dia bisa bekerja di satu kantor bersama Sena saja sudah keajaiban dan keberuntungan.
"Jangan, Kak Bas!" Aisyah melarang Baskara yang endak mengusir paksa Gina-wanita malang itu. "Ais minta jangan!"
Baskara membuang muka ke arah lain, derai air mata di wajah Aisyah mengubah cerahnya rembulan menjadi redup dan sirna.
Sekuat hati dia menata hatinya untuk menerima kehadiran Sena, sebisa mungkin dia menjaga hati mama Fya yang begitu menyanjung dan memuja Sena, bahkan Sena adalah menantu idaman mama Fya, wanita itu senang sampai bersyukur ribuan kali melihat kedatangan Sena dengan keseriusannya pada Aisyah, tapi malam ini hati yang dia kuatkan dan dia mantapkan dihancurkan begitu saja.
Bila kabar ini tersiar, maka semua orang di negeri ini akan tahu betapa hinanya Sena dan Gina, lalu betapa bodoh dan lengahnya keluarga ternama yang dipandang begitu selektif ini akan sebuah prosesi besar, kepercayaan akan turun dan masalah akan terjadi pada laju usaha keluarga angkatnya ini.
Aisyah gemetar ketakutan, tapi dia mencoba bangkit, dia minta Sena datang ke rumahnya, entah dengan apapun juga.
"Mama-"
"Ais tunggu di sini ya, dia sudah sadar, hanya saja kalau bertemu Ais, Bude yakin mamamu semakin terpuruk!"
Dia mengangguk, kalau biasanya orang yang melihatnya akan tenang, kali ini tidak, batalnya pernikahan ini berpengaruh pada semua aspek keluarga ini, termasuk usaha.
Tap, tap, tap ....
"Ais, Ais!" seru salah seorang sepupu sambil berlarian.
"Ais, cepat turun!" susulnya. "Kak Sena bisa mati ditangan kak Bas, Ais!"
Apa!
Aisyah hapus cepat air matanya, dia bawa serpihan hatinya yang tercecer itu, dia dekap dengan kedua tangannya, dia berlari mengikuti sumber suara, berulang kali dia mendengar suara gaduh dan keluh di sana.
Batalnya pernikahan ini bukan hanya membuat malu keluarga, tapi juga harga diri Baskara sebagai penjamin.
"Berhenti!" teriak Aisyah, dia berdiri di depan Sena sambil menunduk dia berkata lagi, "Aku mohon biarkan dia pergi, biarkan dia menikahi wanita itu, lepaskan dia ... ak-aku mohon, Kak!" rintihnya.
Lihatlah, darah sudah tercecer di rumah ini.
"Apa kak Bas meminum teh tarik buatanku?" Aisyah rapikan hijabnya, dia endak ke toko pagi ini.
"Tidak, Nona. Tuan sepertinya membuat lemon hangat sendiri tadi." bik Nur membereskan bekas minuman Baskara.
Aisyah ambil cangkir yang masih penuh itu, niatnya pagi ini membuatkan sang suami minuman hangat tampaknya bukan hal yang indah, masih utuh dan Baskara memilih meneguk lemon hangat buatan sendiri.
Mobil di teras rumah sudah tidak ada, suaminya sudah pergi bekerja, masih se-dingin ini hubungan mereka setelah menikah.
"Hari ini tuan tidak sarapan, hanya meminum lemon hangat saja, roti bakar selai yang Nona buat juga masih utuh," ujar bik Nur.
Aisyah mengangguk, biasanya dia melihat Baskara selepas melegakan dahaga, pria itu akan duduk di teras belakang dekat kolam ikan sambil menyantap roti bakar selai. Namun, hari ini tidak, padahal Aisyah diam-diam membuatkannya.
Apa dia tahu kalau aku yang membuat, jadi dia tidak mau?
Aisyah raba sudut hatinya, dia berpikir rumah tangga ini akan sebaik praduganya, perlahan dan pasti dia bisa beradaptasi bersama pria itu, pria yang telah dia ukir nama di hatinya, tapi selalu ada tapi dalam setiap perkara, sampai hari kedua puluh pernikahan ini, tak ada kata yang ke luar dari mulut Baskara selain dari kabar keluarga atau salam untuknya, selebihnya hanya urusan masing-masing.
"Non, tadi ada yang mengantar foto pernikahan, saya simpan di mana?" tanya mang Lijo.
"Mm, simpan di kamar kak Bas saja, aku belum bertanya padanya mau disimpan di mana, nanti aku kasih tahu ya."
Di mana, dia harus meletakkan foto itu di mana?
Aisyah buka sampul foto besar itu, dia berlutut memandang dua wajah yang tersiar di sana, wajah sendunya dan wajah tegas Baskara di hari pernikahan yang penuh akan pengorbanan.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga ini, Baskara menjadi pengantin pengganti, itu bentuk tanggung jawab Baskara pada Aisyah yang harusnya dia pastikan aman dan lancar sampai hari H pernikahan bersama Sena, pria yang meminangnya resmi.
Namun, masalah itu merusak semuanya.
"Ayah, aku yang akan menanggungnya." Baskara memutuskan itu, tepat saat Sena diusir dari rumah besar keluarga.
Ayah mendengus kesal, "Tanggung saja, bukannya itu sudah tanggung jawabmu, bagaimana bisa kau menjadi pria yang ceroboh, karena ketidakmampuanmu menjaga kelancaran hari penting itu, nama baik keluarga ini menjadi tumbalnya. Dan harga diri Aisyah dipertaruhkan, dasar bodoh!" hardik ayah.
Baskara masih berdiri tegap sekalipun pipinya sudah memerah karena hantaman ayahnya dan kakinya berdenyut nyeri yang tak lain juga dari tendangan kencang ayahnya itu.
Kedua bahunya memikul amanah yang besar, bagaimana bisa dia lengah dan tidak memperhatikan kedekatan Sena dengan mantan kekasihnya hingga kehamilan itu terjadi.
"Tanya pada Aisyah, apa dia mau dinikahi pria bodoh dan ceroboh sepertimu, sana!" ayah hampir menendangnya sekali lagi, tapi ibu sudah berdiri menghalanginya.
Kedua adik Baskara membawa ayahnya menjauh, sebelum Baskara habis malam ini.
Sungguh, dia pun hancur karena kabar mengejutkan itu.
"Bu, jangan menangis, aku baik-baik saja!" ujarnya meminta lembut.
"Baik-baik saja apa, hah? Ayahmu itu, si gila itu selalu saja gila kalau marah," sahut ibu kesal.
"Ahahahah, jangan menyebut ayah gila, dia kan sayang padamu, Bu!"
"Seharusnya dia juga sayang pada anaknya, sini Ibu obati lagi!" ibu minta Baskara mendekat. "Anakku disakiti, berani sekali dia, akan aku balas kalau dia lengah, biar saja, ditendang dan dipukul itu sakit, dasar gila!" ibu mengumpat sekali lagi, tapi dia menangis sambil membasuh dan mengobati luka di wajah Baskara.
Ibu cium bekas luka itu, bibirnya bergetar menahan isakan sekali lagi, dia yang paling sakit kalau Baskara terluka, dia bahkan bersumpah berulang kali membalaskan sakit anaknya.
"Bu, sudah!" pintanya lembut, dia bisa selembut ini hanya pada ibunya. "Boleh aku tanya sesuatu?"
"Tanyakan saja!" sambil usap-usap bekas air mata.
"Apa A-isyah akan menerimaku?"
Ibu terdiam tak bisa menjawab, yang ibu tahu sejak pinangan itu, dia melihat Aisyah begitu senang membahas Sena, kalau keluarga yang lain saja sempat kecewa pada Baskara, tentu gadis itu juga menyimpan kecewa.
"Bas, itu-"
"Aku tidak akan mengusiknya, Ibu tenang saja."
Bukan itu, bukan itu yang ibu maksud, dia ingin meminta Baskara yakin pada dirinya sendiri dan hubungan baru yang akan dia mulai bersama Aisyah, yakin juga kalau lambat laun mereka pasti saling mencinta.
"Bas, bukalah hatimu untuknya, Ibu yakin dia juga nanti mau belajar mencintaimu, berusahalah mencintainya." pesan ibu.
Baskara mengangguk, dia tak pernah membantah wanita satu ini.
Bu, aku bahkan sudah mencintainya sejak lama. Tapi, bila harus memaksa A-isyah mencintaiku, itu kejahatan. Aku bahkan membuatnya kehilangan calon suami, lalu bagaimana bisa hatinya mencintai aku?
Pernikahan hari itu benar-benar berlangsung, Baskara duduk sebagai pengantin pengganti sesuai janji dan sumpahnya, bertanggung jawab atas tugas yang dia emban dan kecerobohan yang dia buat.
Dia yang menikahi Aisyah, bukan Sena.
Desas-desus akan kabar pernikahan Aisyah dan Sena bisa dibungkam dengan rapi, bahkan nama baik Sena dan Gina hampir tak tercium aromanya, yang ada nama Baskara menjadi taruhannya.
Dia mendapatkan julukan sebagai perebut calon istri orang, Baskara tak peduli itu.
***
Suara deruh mobil di teras rumahnya sedikit menyentak Aisyah untuk bangun, dia berbaring di sofa panjang dan besar ruang tamu menunggu Baskara pulang kerja malam ini.
Masalah foto, ingin dia tanyakan hal itu, dia tidak bisa tidur tenang sebelum semuanya jelas, apalagi itu foto pernikahan.
"Kakak," sapanya.
Baskara tutup pintu mobilnya, dengan wajah datar tanpa senyuman dia menatap Aisyah, seperti ini yang Aisyah lihat setiap hari, itupun tanpa berkata satu kata pun.
"Tad-tadi ... mmm, tadi ada yang mengirim foto pernikahan itu, aku tidak tahu harus dipasang di mana, menurutmu harus dipasang di mana?" tanya Aisyah gugup.
Baskara melangkah naik sambil menjawab, "Apa kamu merasa senang memasang foto itu?"
Maksudnya? Apa Kakak tidak senang? Apa foto itu jadi sebuah penyesalan? Apa foto itu melukaimu?
"Disimpan di mana tadi?" tanya Baskara sebelum dia naik ke kamarnya.
"Di-di kamar Kakak."
"Hm." Baskara berlalu, dia tak berkata apapun setelahnya.
Aisyah terduduk lemas, berbicara dengan Baskara sebentar saja membutuhkan energi yang luar biasa, itupun dia harus mendengarkan jawaban yang menyakitkan.
Ya, itu menyakitinya seolah dia tak berharap foto itu dipajang indah di rumah ini.
Apa foto itu buruk di matanya? Hiks, dia benar-benar tidak suka menikahiku.
Kak, dengarkan aku, aku mencintaimu, aku senang menikah denganmu!
***
Jangan lupa share, tambah ke rak favorit kalian, review di kolom komentar dan dukung terus kisah mereka.
Love,
BuCil.
Foto pernikahan satu-satunya yang dia setujui akan dicetak, kini berada di depan tepat di kamarnya, Baskara tatap lurus foto itu, memandang garis wajah pemalu Aisyah yang kala itu memendam sedih karena kecerobohannya.
Dia memang mencintai Aisyah, tapi bukan seperti ini cara menikah dan bersama Aisyah yang dia harapkan, lagi-lagi dia mengisyaratkan kekecewaan pada takdir Tuhan.
"Aisyah menerima pinangan Sena, Bas. Tolong kamu sampaikan ya, Bude berharap sekali kalau bulan depan mereka bisa menikah, sudah tidak perlu menunggu lama!" bude Fya.
"Baiklah, Bude tenang saja."
Walau hati menjerit tidak terima, tapi wajahnya datar, suaranya seperti biasa dan langkahnya tak meragu, Baskara jalankan apa yang memang harus dia lakukan untuk keluarganya. Kesibukannya bertambah sejak pinangan Sena datang ke rumah Aisyah, setiap hari dia harus mengawasi dan melakukan apa saja untuk menjaminnya.
"Semua baik-baik saja kan?" tanya Saka, adik pertama Baskara.
Baskara mengangguk, "Dia pria yang baik, kau tahu itu, semuanya bagus. Apa ada yang mencurigakan?"
"Tidak, Kak. Tapi, apa di rumah itu ada seorang wanita lagi?"
"Kenapa bertanya begitu?" dari mana, maksudnya.
"Aku selalu melihat jumlah sandal yang ada di rak depan rumah, beberapa waktu lalu aku melihat ada satu sandal tambahan, besoknya tidak ada, hanya di hari itu saja, aku rasa bukan sandal mama Ira-ibunya kak Sena. Tapi, itu hanya pandanganku sih," ungkap Saka.
Baskara segera bertindak, sejak saat itu dia memasang pengawasan tambahan, anggap saja dia ceroboh karena hatinya terus memberontak akan Aisyah, tapi bila sampai dia temukan ada wanita lain di rumah itu, maka dia semakin ceroboh saja.
Kehidupanmu yang sekarang, tidak lain karena kecerobohanku, A-isyah. Lalu, bagaimana aku bisa memaksa mata indahmu yang pemalu itu melihat foto pernikahan kita ini? Aku tidak bisa menyakitimu lagi, kamu tidak perlu memandang foto ini, karena itu akan mengingatkanmu di hari penuh keterpurukan itu.
Baskara bangkit membuka ponselnya, beberapa pesan akan persiapan pernikahan Sena dan Gina, sebelum perut Gina semakin membesar dan nantinya akan menjadi konsumsi publik, maka ini menjadi tanggung jawab Baskara, dia juga mengatur pernikahan dua anak manusia itu.
[Bas, sampaikan salamku pada Aisyah, aku rindu padanya. Sampaikan maafku karena aku menyakitinya, aku mencintainya. Kalau ada kesempatan, tentu aku akan kembali padanya dan tidak ceroboh lagi.] Sena.
Cih,
Apa semudah itu melihat wanita seksi, lalu menidurinya?
Rasa-rasanya bara api di atas kepala sudah panas maksimal, kalau saja ada Sena di sini, sudah dia hajar sampai mati.
Katakan itu salah Baskara yang tidak mengawasi dengan baik, tapi bukankah cinta tidak serendah dan murah begitu, Baskara tidak habis pikir. Dia hanya fokus menyalahkan dirinya, walaupun dia tahu Sena bercinta bersama Gina itu sebelum Sena meminang Aisyah.
Itu, bukan kali pertamanya.
Tapi, dia diam, menyimpan kenyataan ini dalam dirinya, dalam pandangan Baskara, dia tetap salah karena ceroboh menilai Sena hingga pernikahan endak berlangsung dan dia baru tahu begitu berkhianatnya Sena di belakang semua orang.
"Apa kau melakukan itu satu minggu sebelum melamar A-isyah?"
"Tidak, jauh-jauh dari itu dan setelah aku meminang A-isyah, aku masih melaku-"
Bug!
Baskara tak bisa menahan kepalan tangannya mendarat di wajah Sena, kalau saja boleh membunuh, maka tembaknya pasti sudah bersarang di jantung pria itu.
"Apa begitu murah A-isyah di matamu, hah?!"
***
Eh!
Derap langkah Baskara begitu mengejutkan Aisyah, ini malam pertama setelah mereka menikah, di sini kamar Aisyah telah disulap menjadi kamar pengantin yang indah dua malam lalu.
Aisyah masih memakai pakaian yang sangat lengkap, bahkan rambutnya tak terlihat satu helai pun, hanya wajah dan telapak tangannya, sedang dia menyembunyikan telapak kakinya ke balik rok panjang itu.
Jeglek, pintu terbuka.
Pandangan mereka bertemu, jantung mereka sama-sama terpacu, ingin meledak karena keadaan penuh canggung ini. Wajah lembut Aisyah seakan mampu melumerkan wajah tegas dan indentik seram Baskara, tapi cepat-cepat Baskara alihkan.
"Aku bisa tidur di sofa, tetap tidurlah di kasurmu!" ujar Baskara.
Aisyah mengangguk, dia kira Baskara akan tersenyum atau apa kepadanya, ternyata tidak.
"A-isyah."
Kedua tangan Aisyah endak melepas hijabnya, mereka sudah menikah dan Baskara berhak melihat apa yang dia sembunyikan selama ini, bahkan kalau dia berganti baju di depan Baskara juga tak masalah, pria itu berhak atasnya.
"Pakai saja hijabmu!" titah Baskara.
Apa Kakak juga tidak menerimaku?. Aisyah.
A-isyah, sungguh aku ingin melihatnya, tapi kalau itu hanya terpaksa dan hatimu sakit, untuk apa? Aku tidak mau menyakitimu lagi. Baskara.
Obrolan dalam hati yang tak pernah usai dan tuntas, keduanya terlibat salah paham yang terus bermula dan bersambung.
Malam itu, tak ada yang terjadi baik sekadar obrolan dua insan yang baru saja menikah. Baskara pejamkan matanya di sofa sudut kamar itu, sedangkan Aisyah memakai pakaian lengkapnya di kasur, mereka tidur dalam kondisi sama-sama berpakaian lengkap seperti orang yang mau pergi saja, tak ada yang tampil santai.
Apa rambutku dan wajahku jelek sampai dia tak mau melihatnya? Apa ada wanita lain yang dia sukai? Seperti apa wanitanya ya? Apa dia akan meninggalkan aku setelah nama baik keluarga benar-benar terjamin?
Pikiran Aisyah melayang ke mana-mana, sementara Baskara kembali membuka mata, dia redupkan lampu kamar itu, dia tidak mau ada yang bergosip di luar kamar akan yang terjadi di kamar ini, anggap saja mereka sudah sama-sama tidur.
Tak lama dari itu, Aisyah benar-benar terlelap, bahkan langkah kaki Baskara tak bisa Aisyah rasakan dan dengarkan.
Pria itu berdiri tepat di samping ranjang Aisyah, memandangi wajah bersinar dan lembut yang tengah pulas itu, ada senyum samar di wajah tagasnya.
Wajahmu membuat rembulan terkalahkan, A-isyah.
Ini pertama kalinya, dia melihat wajah penuh Aisyah yang selama ini dia hindari dan tundukan demi kehormatan Aisyah.
***
Tok, tok, tok ....
Aisyah buru-buru ke kamar Baskara pagi ini, ada kabar dari sang ibu mertua, mereka harus segera ke rumah utama.
"Apa?"
"Kak-kakak, ibu bilang kita harus ke rumah sekarang, ayah sakit!"
Kedua alis Baskara tertaut, dia rebut ponsel Aisyah, memeriksa panggilan di sana.
Benar dari ibu, ada apa? Baskara.
Baskara kembalikan ponsel itu lagi, "Bawa tiga pasang bajumu!" memerintah begitu saja.
Brak, pintu kamar tertutup.
Apa? Tiga pasang baju untuk apa? Apa maksudnya? Bisa tidak dia kalau bicara itu panjangan sedikit, ini diminta apa?
Aisyah menggerutu sendiri sambil memilih bajunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!