Sebuah pernikahan yang sudah dinanti nantikan harus pupus begitu saja. Pupus bukan karena pembatalan pernikahan. Tetapi, pupus karena harus kehilangan orang yang dicintainya. Yang mana disaat itu juga dirinya harus kehilangan untuk selama lamanya.
Siapa orangnya yang mau kehilangan seseorang yang sangat dicintainya itu di waktu hari bahagia tengah menjemputnya, justru kematian lah yang menjemput kebahagiaan itu dihari bahagianya.
Nanney, perempuan berusia dua puluh delapan tahun. Gadis dewasa dengan penuh prestasi dimasa lalunya. Nanney gadis yang sederhana, tetapi tidak untuk membuatnya mengeluh dan putus asa untuk melewati hari harinya bersama paman dan tantenya.
Naas, saat selesai mengenyam pendidikannya, Nanney ditinggal pergi untuk selama lamanya oleh paman dan tantenya yang sudah dianggap sebagai kedua orang tuanya sendiri.
Perjuangan tidak hanya sampai di situ saja, Nanney harus memulai karirnya dari tahap ke tahap selanjutnya.
Dan ketika mendapatkan pekerjaan yang nyaman untuk ia jalani, Nanney telah menemukan dambattan hatinya. Hubungan berjalan cukup lama dan baik baik saja. Bahkan Nanney mendapatkan restu dari keluarga calon suaminya.
Waktu pun terus berjalan dengan seiringnya waktu. Akhirnya Nanney memutuskan untuk menerima lamaran dari orang yang dicintainya itu.
Restu pun telah ia dapatkan, tidak ada halangan apapun untuk mempersiapkan pernikahannya.
Dukungan tidak lepas untuk meyakinkan Nanney dan calon suaminya. Semangat membara di kala pernikahannya tidak ada lagi beban masalah apapun.
Senyum merekah terlihat begitu jelas pada wajah ayunya Nanney, kecantikannya tidak jauh beda dengan perempuan yang berkelas. Segala kekurangan dari seorang Nanney tidak membuatnya malu akan statusnya itu yang tidak mempunyai keluarga.
Pernikahan tengah berlangsung dan dijadikan momen untuk seumur hidupnya. Tidak hanya itu saja, Nanney menjadikan dirinya menjadi seorang istri dari seorang Pengusaha sukses, yakni Regar Huttama yang kini sudah sah menjadi suaminya.
Pernikahannya pun berlangsung dengan baik, tidak ada sesuatu kekurangan apapun dalam acara pernikahannya. Cukup mewah dan megah dekorasi didalam gedung yang cukup luas. Nanney sangat beruntung mendapatkan suami tanpa kekurangan apapun dari segi materi dan perhatian.
"Sayang, kita lanjut tidur saja ya. Malam ini kita harus beristirahat dengan cukup, karena kita akan melanjutkan perjalanan lagi ke Pulau terpencil. Tepatnya ada Villa, kita akan berbulan madu di sana." Ucap sang suami, Nanney pun mengiyakan.
Merasakan semua terasa pegal dan juga capek, Nanney dan suami memilih untuk beristirahat lebih awal. Jangankan untuk bercinta, bisa tidur nyenyak saja sudah lebih dari cukup, ujarnya.
Malam semakin larut, Nanney dan suami terlelap dari tidurnya. Drama percintaan pada umumnya untuk pengantin baru saja telah dilewatkan oleh mereka berdua begitu saja.
Kecupan saja tidak Nanney dapatkan oleh sang suami, keduanya sama sama lelah dan sudah tidak tertahan lagi rasa kantuknya.
****
Pagi yang cerah, secerah pagi yang bahagia tengah dirasakan oleh Nanney bersama sang suami.Ciuman mesra telah tercipta bersama mentari pagi yang hangat. Keduanya menikmati bahagianya diawal pernikahan. Bahkan, tidak ada satupun yang dapat menghalangi kemesraan Nanney dan Regar.
"Nanti kita terlambat, ayo kita bersiap siap. Kamu tidak perlu membawa baju ganti, di sana sudah disiapkan semuanya. Yang kita perlukan yaitu, kita cukup bersiap diri untuk berangkat." Ucap Regar pada istrinya.
"Ya, sayang." Jawab Nanney.
Karena tidak perlu membawa perlengkapan apapun untuk dibawa berlibur di Pulau terpencil, Nanney tidak perlu menyiapkan baju apapun.
"Sayang, kamu serius nih." Nanney masih serasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh suaminya. Namun, Nanney tidak dapat memungkirinya jika Suaminya orang yang kaya raya dan bisa melakukan apapun yang diinginkan.
"Serius, sayang. Sudahlah, ayo kita berangkat." Jawab Regar, kemudian mengajak istrinya untuk segera berangkat. Nanney yang sudah tidak sabar ingin berlibur menikmati kebersamaan bersama sang suami, Nanney begitu terlihat sangat ceria.
Tetapi, cerianya tiba-tiba berubah dengan kekhawatiran. Entah karena kebetulan, atau sebuah perasaan yang kuat pada sang istri.
"Sayang, kamu kenapa melamun? ada masalah?" tanya sang suami sembari menepuk punggung milik istrinya. Nanney pun kaget saat tersadar dari lamunannya itu.
"Tidak, aku tidak ada masalah apapun. Aku baik baik saja, dan aku hanya merasa tidak enak pikiran." Jawab Nanney setelah tersadar dari lamunannya.
"Kamu mikirin apa lagi sih, sayang? kita ini mau liburan. Bukankah kamu sangat menginginkan liburan?"
"Ya sih, tapi aku ngerasa tiba tiba tidak enak pikiran saja. Apa karena terbawa suasana mau liburan, mungkin." Kata Nanney, kemudian Regar langsung memeluk istri tercintanya.
"Sudah sudah, kamu tak perlu memikirkan sesuatu hal yang dapat mengganggu kesehatan kamu. Yang harus kamu lakukan adalah, siapkan diri untuk berangkat liburan." Ucap Regar, Nanney pun mengiyakan.
Sudah siap dan tidak ada lagi yang tertinggal, Nanney dan Regar segera berangkat untuk berlibur. Tepatnya untuk menikmati hari liburnya dengan tujuan berbulan madu.
"Regar, Nanney, selamat pagi ... kalian berdua sudah siap?" sapa seorang ibu paruh baya.
"Tante Sere, Paman, selamat pagi juga." Sahut Regar bersamaan dengan suaminya.
"Kita sarapan dulu." Ajak Bunda Sere, Regar dan Nanney mengiyakan dan berjalan menuju ruang makan.
Dengan penuh perhatian, Regar menarik kursi dan mempersilahkan istrinya untuk duduk. Kemudian, Regar duduk di sebelah istrinya. Sepasang matanya celingukan seakan ada yang kurang dalam formasi duduk di ruang makan.
"Tante, Kakak mana? David juga tidak kelihatan." Tanya Regar mencari keberadaan saudara laki lakinya.
"Mereka berdua masih berada di dalam kamar." Sahut sang paman ikut menimpali.
"Ooh, kirain tidak ada di rumah." Kata Regar sambil meraih mangkuk yang berisi bubur ayam.
Tidak lama kemudian, datang lah kedua lelaki yang tidak kalah tampannya dengan Regar. Yakni, Sang kakak dan saudara sepupu dari Regar.
Dengan sikap dinginnya yang sudah melekat pada diri dari sang kakak, sepatah kata pun tidak terucap dari mulutnya.
Nanney yang hanya berstatus orang baru di keluarga Huttama, Nanney hanya bisa memilih untuk diam. Berbicara pun hanya seperlunya saja.
"Kak Ganen, aku titipkan pekerjaan Kantorku sama kakak, ya. Tidak lama kok, palingan juga satu minggu saja." Ucap Regar meminta tolong pada sang kakak.
"Ya, kamu tidak perlu memikirkan kantor. Urus saja kebahagiaan kamu, puaskan waktumu bersama istrimu." Jawab Ganenta dengan sikap dinginnya dan tanpa menatap adik laki lakinya.
Meski dingin, kasih sayang dari seorang kakak sangat lah besar. Bahkan, sang kakak sendiri tidak akan menikah duluan sebelum sang adik menemukan kebahagiaannya.
Tanggung jawab sebagai seorang laki laki yang berstatus seorang kakak, lebih mengutamakan kebahagiaan sang adik sebagaimana pesan dari kedua orang tuanya sebelum pergi untuk selama lamanya.
Ganenta, seorang laki laki yang sudah cukup dewasa dengan usianya yang sudah memasuki usia ke 37 tahun. Cukup matang untuk membangun rumah tangga.
Sayang disayang, Ganenta lebih memilih menata karirnya dan membahagiakan adik laki laki.
Selesai menikmati sarapan pagi bersama anggota keluarga, Regar dan Nanney kembali masuk ke kamarnya untuk bersiap siap berangkat ke pulau terpencil.
Begitu juga dengan Ganenta yang ikut bergegas meninggalkan tempat tersebut, buru buru dirinya harus pergi ke suatu tempat yang dimana dirinya akan melakukan pertemuan sesuai janjinya dengan orang kepercayaan serta sudah dijadikannya kaki tangan yang handal. Tentu saja tidak jauh bagaikan remot kontrolnya.
"Gane," panggil Tuan Pras menghentikan langkah kaki dari keponakannya yang hendak meninggalkan ruang makan.
Gane langsung menoleh kebelakang, namun tidak untuk membalikkan badannya.
"Ada apa, Paman?" tanya Gane.
"Temui Paman di ruang kerja, ada sesuatu yang ingin Paman sampaikan." Jawab Beliau, Gane mengangguk tanpa berucap sepatah kata pun dan segera kembali ke kamarnya.
"Pa," panggil David.
"Kenapa?" tanya sang ayah.
"Bener nih, kalau paman Hardika mau datang ke rumah bersama Vandu?"
"Benar, mereka sedang dalam perjalanan ke rumah." Jawab sang ibu ikut menimpali.
"Oh, ya sudah kalau gitu. David mau berangkat ke kantor." Ucap David sekaligus berpamitan.
Sedangkan di ruang kerja, Gane sudah duduk santai sambil memainkan benda pipihnya.
Pintu pun terbuka dari luar, Gane tetap fokus dengan aktivitasnya.
"Silahkan duduk, Paman." Kata Gane dengan santainya, Tuan Pras duduk di hadapan keponakannya.
"Ada perlu apa, Paman? apakah ada sesuatu yang penting? aku tidak mempunyai waktu di rumah ini. Aku masih banyak tugas dan pekerjaan yang lebih penting dari apapun."
"Begini, hari ini paman kamu yang bernama Hardika dan Vandu akan datang ke rumah. Paman minta sama kamu untuk tidak pergi kemana mana, sambut lah paman kamu dari kota sebrang."
Gane langsung mendongak kearah Tuan Pras, pandangannya seakan menolak permintaan dari pamannya.
"Katakan pada paman Hardika jika aku tidak bisa menyambutnya dengan hangat, karena pekerjaanku jauh lebih penting dari apapun." Kata Gane tetap pada pendiriannya.
"Gane,"
"Maaf, Paman. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk membahas soal paman Hardika. Aku akan pulang dengan tepat waktu, sambut lah paman Hardika dengan baik. Pastikan tidak ada kekurangan apapun untuk menyenangkan paman Hardika dan Vandu." Ucap Gane, kemudian ia langsung bergegas keluar dari ruang kerjanya.
Tuan Pras hanya menggelengkan kepalanya, kemudian Beliau ikut keluar dari ruangan tersebut.
"Papa, bagaimana hasilnya?" tanya sang istri, Tuan Pras menggelengkan kepalanya.
"Gane tetap keras kepala, bahkan dia tetap pergi juga." Jawab Tua Pras sambil berjalan menuju anak tangga sebelah, sang istri mengikutinya dari belakang.
Sedangkan didalam kamar, Nanney dan suami sudah bersiap siap untuk berangkat.
"Sayang, ayo kita berangkat. Hari ini kita akan berlibur sepuasnya."
"Apa kamu tidak kasihan dengan kak Gane?"
"Kasihan kenapa?" tanya Regar.
"Kakak kamu harus bekerja, sedangkan kamu liburan. Apa tidak sebaiknya kamu ajak kak Gane berlibur? kasihan jika harus sibuk dengan pekerjaan terus menerus." Kata Nanney.
"Jangan melucu yang tidak tidak dong, sayang. Kita ini berbulan madu, bukan liburan keluarga." Ucap Regar tertawa kecil.
"Kok tertawa sih, padahal tidak lucu loh."
"Sudah lah, ada waktunya untuk kak Gane liburan. Tapi bukan untuk sekarang, nanti kalau kak Gane menikah."
"Gitu ya,"
"Ya, sayang. Sudah lah, ayo kita berangkat."
Kata Regar dan mengajak istrinya pergi, Nanney langsung menggandeng tangan milik sang suami sampainya didepan rumah.
Setelah mobil sudah ada didepan mata, Regar dan istri naik mobil dan berangkat ke tempat yang akan dituju. Tentu saja akan mengunjungi Villa yang tempatnya ada di pulau terpencil.
Sedangkan Gane tengah sibuk untuk berangkat ke Kantor, dan tentunya melakukan pertemuan rahasia bersama orang yang dipercayainya. Siapa lagi kalau bukan kaki tangannya serta yang sudah di jadikan remot kontrolnya.
Dengan langkah kaki yang terburu buru, dengan gesit Gane menuruni anak tangga.
"Gane, tunggu." Seru Tuan Pras menghentikan langkah kaki keponakannya.
Gane berhenti, tapi tidak untuk menoleh. Tuan Pras menghampirinya.
"Ada apa lagi, Paman."
"Tidak apa apa, hati hati di jalan." Jawab Tuan Pras, Gane langsung pergi begitu saja.
Bukan tidak hormat, memang seperti itulah sikap dari seorang Gane. Tidak menyukai basa basi, apa lagi harus membicarakan sesuatu yang tidak penting, tidak ada untungnya, pikir Gane.
"Sudah lah, anak itu memang seperti itu. Tidak perlu kamu pikirkan, yang harus kita pikirkan adalah kedatangan kak Hardika dan Vandu." Ujar sang istri menenangkan hati suaminya.
"Ya, benar. Aku hanya memikirkan bagaimana Gane mau mempunyai istri, coba. Jika sikap dinginnya masih saja dikuasai, perempuan mana yang mau menikah dengan dirinya."
"Tidak perlu pusing, nanti juga bakalan menikah." Kata sang istri, Tuan Pras membuang napasnya kasar.
Sedangkan dalam perjalanan, Gane tengah sibuk dengan benda pipihnya. Kemudian ia menghubungi seseorang.
"Tunggu saja di Kantor, aku akan segera datang. Tetap lah di situ, jangan pergi dulu." Kata Gane memberi perintah kepada seseorang diseberang telpon. Setelah itu ia mengirimkan pesan text.
Lain tempat, Regar masih dalam perjalanan menuju pulau terpencil. Disaat itu juga, Regar merasakan sesuatu pada ponselnya. Regar segera merogoh dan melihat ada pesan masuk.
"Kak Gane tumben banget kirim pesan, ada apa ya?" gumam Regar saat melihat nama kontak pesan yang masuk.
"Ada apa, sayang?" tanya Nanney.
"Tidak ada apa apa, ini ada pesan dari kak Gane."
"Apa katanya?" Nanney pun penasaran.
"Aku belum membacanya, tunggu sebentar." Ucap Regar, kemudian ia segera membuka pesan masuk dari sang kakak.
"Paman Hardika datang ke rumah? sama Vandu juga." Ucapnya lirih setelah membaca pesan dari sang kakak, Nanney sendiri dapat mendengarkannya.
"Siapa paman Hardika, sayang? terus sama Vandu."
"Adik dari Papa, tapi keberadaannya di kota sebrang. Aku juga tidak tahu maksud kedatangannya bersama Vandu, mungkin sedang berlibur." Jawab Regar, Nanney masih menyimpan rasa penasarannya.
"Vandu itu siapa?" lagi lagi Nanney kembali bertanya.
"Sepupu aku, seperti aku dengan David. Papa anak pertama, paman Hardika anak kedua, paman Pras anak ketiga. Mereka sama sama mempunyai anak laki laki, tidak ada keluarga kami keturunan anak perempuan."
"Wah, keren juga ya."
"Hem, sudahlah. Sini bersandar dibahuku, biar tidak capek." Ucap Regar, Nanney hanya bisa nurut dan akhirnya bersandar dibahu milik suaminya.
Cukup lama dalam perjalanan menuju pelabuhan, kini Nanney telah tidur dipangkuan suaminya dan tidak lama kemudian telah sampai ditempat penyebrangan.
"Sayang, kita sudah sampai." Panggil Regar sambil menepuk pipi milik istrinya berulang ulang, Nanney masih tidur dengan pulasnya.
Regar yang juga tidak mendapati istrinya bangun dari tidurnya, segera ia berbisik di dekat daun telinganya.
"Sayang, kita sudah sampai. Katanya kita mau berbulan madu, hem." Ucap Regar, Nanney yang merasa geli saat mendengar sesuatu didekat telinganya segera membuka kedua matanya pelan pelan.
Saat kedua matanya terbuka, Nanney menyempurnakan pandangannya. Kemudian ia membenarkan posisinya yang semula dan menoleh pada suaminya.
"Sayang, kita sudah sampai ya?" tanya Nanney sambil melihat disekeling mobil yang ia naiki.
"Ya, sayang. Dari tadi aku tuh bangunin kamu, tetap aja kamu tidur pulas. Ayo kita turun, nanti keburu hujan loh. Lihat lah, cuaca sedang tidak bersahabat." Kata Regar.
"Ya ya, sepertinya mau turun hujan." Ucap Nanney saat melihat cuaca lewat kaca mobil.
Setelah merapihkan pakaiannya, Regar dan Nanney segera keluar. Dilihatnya pemandangan yang begitu memukau saat pandangannya lurus pada sebuah pulau terpencil.
"Sayang, bagus banget pemandangannya. Wah ... jadi tidak sabar deh, pingin cepat cepat sampai di pulau itu." Kata Nanney sambil memuji keindahan pulau terpencil yang akan ia datangi.
"Nanti akan banyak kejutan didalamnya, ayo kita menuju kapal yang akan mengantarkan kita ke pulau itu." Ucap Regar sambil menunjuk pulau yang ia maksudkan dan juga mengajak istrinya untuk segera naik ke kapal.
Sedangkan di lain tempat, tepatnya di sebuah gedung yang menjulang tinggi, tempat mana lagi kalau bukan kantor perusahaan milik keluarga Huttama.
Dengan langkah kaki yang terburu buru, Gane segera menuju ke ruang kerjanya. Tidak memakan waktu yang lama karena melewati jalan pintas, disaat itu juga Gane telah berdiri didepan pintu ruang kerjanya.
"Selamat pagi, Tuan." Sapa seorang kepercayaannya.
"Kemana perginya Ciko? katanya sudah datang." Bukannya menjawab, justru Gane langsung mencari keberadaan Ciko.
"Pagi, Bos Gane." Sapa Ciko yang sudah berdiri di belakangnya, dan tidak lupa juga sambil tersenyum mengembang. Bukannya balas senyum, justru Gane hanya meliriknya tajam.
"Ayo masuk. Dan kamu Doin, kembali ke tempat kerjamu." Ajak Gane kepada Ciko, dan juga memberi perintah pada Doin. Kemudian Gane segera masuk bersama Ciko ke ruang kerjanya. Seorang lelaki yang sudah dianggapnya saudara dan tidak lain remot kontrolnya dalam bidang yang digeluti bersama.
"Bos Gane sedang tidak dilema, 'kan?" tanya Ciko setengah meledek. Gane menatapnya heran, kemudian meletakkan ponselnya dimeja kerjanya.
"Maksudnya sedang tidak dilema, apa Ciko?" Gane balik bertanya.
"Dilema ditinggal menikah, maksudku Bos." Jawab Ciko sambil mengalihkan pandangannya ke sudut ruangan.
"Tidak lucu, sudahlah cepetan duduk. Tidak perlu kamu membahas sesuatu yang tidak penting, lebih baik kita bicarakan tujuan kita." Ucap Gane yang tidak menyukai sesuatu yang membuang buang waktu. Namun tidak dengan Ciko, sedikitpun tidak ada rasa takut ketika meledek Gane dengan sepuasnya.
"Kalau tidak lucu, sekali kali melucu kenapa Bos." Kata Ciko sambil mengedipkan matanya, Gane bergidik ngeri melihat Ciko yang mulai kambuh sifat kejahilannya.
"Makanya buruan kamu menikah, nanti aku bakal menyusul kamu menikah, puas."
"Belum puas Bos, soalnya belum punya calonnya Bos." Kata Ciko yang terus mengerjai Bos nya sendiri.
"Makanya sukses dulu, baru menikah." Ucap Gane seolah memberi nasehat bijak kepada Ciko.
"Perasaan kita ini sudah sukses loh Bos, kita tinggal menikmatinya saja." Jawab Ciko dengan asumsinya sendiri.
"Sukses kamu bilang, hem. Apakah kamu sudah lupa, kita ini sedang tidak baik baik saja." Ucap Gane mengingatkan.
"Ya sih Bos, kita sedang dalam incaran. Sekali kena, maka habis lah riwayat kita." Kata Ciko yang juga sudah menyadarinya.
"Nah, itu kamu tahu."
"Terus, apa yang harus kita lakukan Bos. Apakah aku perlu turun tangan? ah tidak mungkin, sia sia mempunyai anak buah kalau tidak digunakan." Ucap Ciko, Gane tetap fokus dengan sesuatu yang sedang ia kerjakan sambil berbicara dengan Ciko.
Sedangkan di lain tempat, Regar dan Nanney sudah berada di dalam kapal. Keduanya benar benar menikmati liburan untuk berbulan madu.
"Sayang, mau berapa lama kita akan berada di pulau terpencil itu?" tanya Nanney sambil menunjuk pulau yang dimaksudkan.
"Satu minggu, dua minggu, atau ... kita akan menetap disana." Jawab Regar, justru Nanney tersenyum kecut mendengarnya.
"Hem, memangnya kamu tidak akan kerja?"
"Ya kerja lah sayang, aku tadi cuman bercanda. Kita akan berbulan madu selama satu minggu, bisa jadi sepuluh hari." Kata Regar dan kembali memeluk erat istrinya.
Disaat keduanya saling memeluk, tiba tiba Regar menghirup sesuatu yang membuatnya penasaran.
"Tuan! awas, Tuan." Panggil sala seorang dari kejauhan, Regar menoleh ke sumber suara.
"Kebakaran, Tuan."
"Apa! kebakaran? ditengah laut seperti ini, oh! tidak mungkin." Ucap Regar seperti tidak percaya saat kepulan asap begitu cepat mengudara.
Regar semakin panik saat dirinya terjebak api bersama istrinya, keberadaannya bersama anak buah dari keluarganya kini terpisah.
"Tuan, tangkapa pelampungnya." Seru seorang anak buah sambil melempar beberapa pelampung.
Naas, pandangan Regar dan Nanney tidak mampu untuk menembus dari kepulan asap yang mulai merata di sekitarnya.
"Sayang, bagaimana ini? kenapa kapalnya tiba tiba terbakar? kita harus bagaimana? aku takut." Ucap Nanney sambil memegang erat lengan suaminya.
"Kita tidak punya cara lain selain melewatinya. Ayo ikut aku, kita kesana."
"Tidak, itu bahaya." Kata Regar untuk menembus asap yang ada dihadapannya.
"Kita tidak mempunyai jalan lain, sayang. Semua pelampung ada disana, bersama yang lainnya." Ucap Regar yang tidak mempunyai cara lain selain terpaksa menembus asap yang cukup tebal di hadapannya itu.
"Tidak, aku takut terbakar." Kata Nanney yang terus menolak ajakan dari suaminya.
"Terus kita harus bagaimana? ayo lah, ayo kita kesana. Kamu tidak perlu cemas dan khawatir, kamu bersamaku." Ucap Regar meyakinkan sang istri, Nanney tetap saja merasa takut.
"Tuan!" ayo terjun, Tuan." Seru dari banyak orang dari bawah yang rupanya sudah terjun ke laut. Nanney semakin ketakutan saat dirinya dan suami masih berada di kapal.
"Sayang, kita tidak mempunyai cara lain selain ikut mereka terjun."
"Tidak, aku tidak berani."
"Kamu jago renang, kenapa mesti takut? sama aja, itu air."
"Aku takut jika terpisah dengan mu, itu saja. Aku tidak ingin berpisah denganmu, matipun aku bersedia, asal bersama kamu."
"Sayang, kita tidak perlu berdebat seperti ini. Percayalah denganku, kita akan selamat. Mereka semua pasti sudah menghubungi keluarga, termasuk kak Gane. Ayolah kita loncat bersama, kita berpegangan."
"Tidak, aku tidak berani." Ucap Nanney yang terus menolak.
Regar yang tidak mempunyai cara lain selain mengajak paksa pada istrinya untuk terjun, Regar langsung menarik tangan istrinya.
"Tunggu,"
"Apa lagi, sayang.
"Kita tidak mungkin terjun asal terjun, kita juga harus berpikir."
"Maksud kamu itu apa? kita tidak mempunyai waktu lagi untuk berpikir, lihat api itu." Sambil menunjukkan kobaran api, Regar kembali menarik tangan istrinya.
"Sayang, itu ada dirigen." Ucap Nanney sambil menunjuk kearah yang ada beberapa dirgen di sudut kapal.
"Untuk apa?"
"Ya untuk terjun, apa lagi."
Disaat itu juga, Nanney dan Regar segera mengambilnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!