NovelToon NovelToon

Sentuhan Cinta Gendis

Rumah Neraka

Langkah kaki Gendis terlihat berat dan malas, menyusuri gang demi gang sempit menuju sebuah rumah yang sama sekali tidak pantas disebut rumah. Bukan karena bangunannya yang teramat sederhana, tapi lebih karena suasana di dalamnya yang terlalu penuh sesak dengan teriakan kemarahan dan pertengkaran.

Rumah sejatinya adalah tempat ternyaman untuk pulang. Tempat untuk beristirahat dari segala kesibukan dan kepenatan. Tempat terindah berbagi kasih sayang dan kehangatan bersama anggota keluarga. Nyatanya? Rumah bagi Gendis tidak lebih dari neraka dunia.

Cacian dari laki-laki yang dipanggilnya bapak, sudah tidak mampu lagi membuat bulir bening dari matanya terjatuh. Cambukan kemoceng dari ibu tirinya kini hanya terasa bagai belaian. Sakit jiwa dan raga yang diberikan bertubi-tubi membuat Gendis kebal dan mati rasa.

Terlahir menjadi anak pertama, dari pasangan yang seharusnya tidak perlu mempunyai anak dalam pernikahan mereka. Buat apa dan bagaimana bisa mereka menobatkan diri sebagai orangtua, kalau semua tanggung jawab justru dialihkan pada Gendis. Jika tidak ada Damar–adiknya. Dia pasti sudah kabur dari rumahnya sejak dulu-dulu.

Gendis mengurangi kecepatan langkah kakinya begitu jarak rumah neraka itu semakin dekat. Terselip sebuah harapan sederhana, meski dia tahu itu tidak mungkin. Malam ini saja, dia ingin rumahnya tenang. Tidak ada teriakan kemarahan dari bapak yang terus meminta uang untuk modal judi atau omelan ibu tiri yang selalu menuntut uang belanja.

Mereka tidak pernah mau mengerti, tugas kuliah dan kerja paruh waktunya sungguh menguras fisik dan pikiran setiap harinya.

"Pulang selarut ini, bawa uang berapa kamu?" tanya Jubaedah–istri baru dari bapaknya. Padahal, Gendis baru masuk dua langkah dari pintu rumah mereka.

Gendis merogoh kantong celananya, lalu menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan pada ibu tirinya itu.

Perempuan yang usianya tidak jauh berbeda dengannya itu seketika tersenyum kecut. "Hanya segini? lagian buat apa kamu kuliah segala. Kerja saja yang benar. Biar bisa membalas budi pada orangtua." Perempuan itu melengos masuk ke dalam kamarnya, setelah mengambil uang tanpa mengucapkan terima kasih.

Gendis sedang tidak ingin berdebat. Saat ini, dia hanya ingin makan, mandi dan tidur. Tubuhnya sudah sangat lengket.

Gadis berusia 21 tahun itu masuk ke dalam kamar yang digunakannya bersama dengan Damar dan langsung mengunci pintunya rapat-rapat.

"Baru pulang, Mbak?" tanya Damar, tanpa menoleh karena sedang serius belajar.

"Iya, Mar. Kamu sudah makan?"

"Belum,Mbak. Tadi siang makan di tempat Mas Bayu." Damar menutup bukunya.

Gendis mengeluarkan dua bungkusan dari dalam tasnya. Hanya penyetan tempe ditambah terong. Sederhana bagi orang lain, tapi bagi Gendis dan Damar itu adalah makanan mewah, sebab di rumah mereka hanya menemui nasi dan ikan asin. Alasan Jubaedah selalu sama, dia tidak memasak karena Darto-ayahnya, tidak pernah memberi uang belanja.

Padahal hampir setiap hari Gendis rutin memberikan belanja pada perempuan pesolek itu. Beginilah jadinya, kalau memiliki orangtua yang hanya menjadi beban keluarga, bukan menanggung biaya anak, ini malah sebaliknya. Bukannya Gendis durhaka, jahat, apalagi tidak tahu diri, tapi ayahnya memang keterlaluan. Tidak bisa terus menerus dibiarkan seenaknya sendiri seperti ini.

Kalau memang tidak mau menghidupi dan merawat anak-anaknya, setidaknya jangan menambah beban anak. Cukup rasanya Gendis berjuang sendiri mencari makan dan biaya sekolah sendiri sejak dia duduk di bangku sekolah dasar. Sementara bapaknya, sibuk menikah lagi lalu cerai, kemudian menikah lagi dan cerai kembali.

Hingga terlahirlah Damar, yang usianya selisih tiga tahun saja dari Gendis. Entah anak dari istri bapaknya yang ke berapa. Ibunya Damar juga meninggalkan rumah saat usia adiknya itu satu tahun. Sama dengan saat Ibu kandung Gendis, meninggalkannya dulu. Perempuan mana yang sanggup hidup dengan laki-laki pemalas, pemarah dan hobi bermain judi pula.

"Makan dulu, Mar. Mbak juga sudah lapar sekali ini." Gendis membukakan bungkusan untuk Damar.

Keduanya makan bersama tanpa suara. Begitulah kurang lebih keseharian Gendis. Untung saja, hari ini ada pelanggannya yang berbaik hati memberi tips yang lumayan. Kalau tidak cambukan kemoceng akan melayang.

"Bapak keluar ya, Mar? tumben tidak ada. Damai rasanya. Semoga bapak dapat hidayah, siapa tahu besok-besok mau jadi TKI ke Dubai atau Korea. Mbak nggak minta dikirimin uangnya. Cuma pengen tenang."

Damar seketika tersedak. Ingin tertawa, tapi harapan kakak perempuan satu-satunya ini memang patut untuk di aamiin-kan.

"Sekalian ke Palestina atau Israel saja, Mbak. Biar sekalian Jihad."

Damar mengakhiri makannya, tidak ada sebulir nasi pun tersisa di sana, begitu juga dengan Gendis. Keduanya kompak meremas dan bersamaan meletakkan kertas bungkus bekas makanan itu di kantong plastik, lalu menaruhnya di bawah kolong tempat tidur. Cara aman agar, bapak dan ibu tiri mereka tidak mengetahui mereka membeli makanan sendiri.

Baru saja meletakkan handuk di pundaknya, teriakan yang tidak dirindukan terdengar menggelegar memanggil namanya.

"Gendissss! Keluar kamu!" Darto langsung mengetuk pintu kamar dengan tidak sabar.

Dengan santai Gendis membuka pintu kamarnya.

"Sini, kamu ikut Bapak!" Darto menarik tangan Gendis dengan paksa.

"Bapak mau kenalin kamu sama penyalur tenaga pijat di klub ternama di Jakarta. Kalau kamu kerja di sana, uangnya lebih jelas." Lagi-lagi Darto memaksakan kehendaknya pada Gendis.

"Apa maksud, Bapak? Kalau, Bapak mau uang yang jelas. Bapak sendiri yang kerja. Gendis saat ini belum ada kewajiban untuk menghidupi, Bapak." Gadis itu mulai berani bersuara, sepertinya sekarang memang waktu yang tepat untuk membuka mata dan pikiran Darto, bahwa Gendis bukan anak kecil lagi.

"Jangan jadi anak durhaka kamu! Kamu pikir bisa seperti sekarang itu karena siapa?" Darto menghempaskan Gendis di sofa ruang tamunya yang sudah berlobang di mana-mana.

"Karena Gendis sendiri, Pak! Gendis bisa seperti sekarang karena Gendis, bukan karena, Bapak! Apa pernah? Bapak membayar uang sekolah Gendis. Apa pernah? Bapak bertanya, Gendis sudah makan apa belum? Tidak pernah!" Gendis hendak beranjak, tapi tangan Darto kembali menahan tangannya. Lalu, kembali menghempaskan tubuh Gendis ke sofa lebih kasar lagi.

"Mau, Bapak apa sebenarnya? Kurang apa selama ini Gendis jadi anak? Tidak dikasih makan Gendis dan Damar tetap bisa besar. Tidak di sekolahkan, Gendis dan Damar pun bisa tetap sekolah. Apa bapak tidak malu sama kami?!" Kesabaran Gendis rasanya sudah habis. Amarah yang selama ini dia pendam diluapkan begitu saja.

Sebuah tamparan keras tangan Darto tepat mengenai pipi kanan Gendis, meninggalkan jejak jari kemerahan di pipi mulus gadis yang sangat tegar itu. Meski matanya berkaca-kaca menahan sakit dan nyeri, tapi dia masih mampu menatap bapaknya dengan penuh kebencian.

Damar yang dari tadi hanya mengintip, akhirnya keluar untuk melindungi kakaknya. Padahal selama ini, Gendis selalu melarangnya agar tidak keluar kamar saat ada Darto di rumah.

"Masuk ke kamar, Mar! Masuk!" teriak Gendis.

Jubaedah datang bersama perempuan berpenampilan menor. Perempuan itu langsung menelisik pandang ke arah Gendis.

"Berapa?" tanya Jubaedah seraya melirik Gendis yang sedang menatapnya tajam.

"Barang bagus ini. Lakunya mahal. Kalian minta berapa?" perempuan menor itu mencoba mendekati Gendis.

Darto dan Jubaedah, tampak senyum-senyum bahagia melihat perempuan itu sangat menyukai anak gadisnya. Di otak mereka sekarang, sedang membayangkan tumpukan rupiah memenuhi lemari pakaian milik keduanya.

"Jangan sentuh saya!" Teriak Gendis, menolak keras begitu perempuan itu hendak menyentuh paras ayunya.

Pergi dari rumah

Perempuan itu hanya tersenyum sinis mendapat penolakan dari Gendis.

Darto dan Jubaedah tanpa perasaan menyebut sebuah nominal yang membuat Gendis rasanya ingin menyumpal mulut kedua orang itu dengan uang hasil keringatnya sendiri.

"Kenapa harus Gendis yang dijual? Bukankah istri bapak ini juga masih muda? Dia masih laku, meski mungkin memang tidak terlalu menarik untuk di beli." Gendis sengaja memancing emosi bapaknya. Berharap suara ribut dari rumahnya, bisa menarik perhatian dari tetangga dan membantunya lolos dari rencana busuk bapak kandung dan ibu tirinya sendiri.

Sebuah tamparan keras kembali mendarat di pipi kanannya. Kali ini dari tangan Jubaedah. Membuat sakitnya makin terasa sempurna. Cukup sudah Gendis bertahan.

"Dengar baik-baik, Gendis bukan anak kecil yang bisa kalian gertak dan siksa seenaknya lagi. Kali ini, Gendis tidak akan diam." Suara Gendis semakin keras dan meninggi, tetangga sebelah rumahnya pun mulai terusik.

Biasanya, mereka tidak peduli. Karena teriakan Darto dan Jubaedah sudah biasa mereka dengarkan. Bahkan sampai bosan. Tapi kali ini suara Gendis yang mengusik telinga mereka, suara yang tidak pernah mereka dengar meski siksaan kadang sedang dirasakan. Sebuah pertanda, para tetangga harus turut campur.

"Dasar anak tidak tahu diri, sudah untung Bapak mau membesarkan kamu. Ibumu saja membuang dan meninggalkanmu begitu saja." ucap Darto mulai kembali tersulut emosinya.

"Membesarkan Bapak bilang? Membesarkan seperti apa?" tanya Gendis, matanya menatap tajam pada Darto.

Laki-laki itu tidak menjawab dengan kata-kata. Tapi malah melepas ikat pinggangnya, hendak memukuli Gendis dengan benda tipis panjang terbuat dari kulit itu.

Perempuan menor tadi menahan tangan Darto. "Jangan lukai lagi barang bagus ini."

"Anda menginginkan saya bukan?" tanya Gendis pada perempuan itu.

Dengan seringai licik, perempuan itu mengangguk sambil berkata, "Tentu saja."

Di luar beberapa tetangga sudah ramai di depan beranda rumah Gendis, mereka saling berbisik menerka-nerka apa yang sedang terjadi di dalam .

Mendengar tetangga sudah berdatangan, kini saatnya Gendis menjalankan rencana sesuai dengan yang ada di pikirannya.

"Mar ... Damar ..." Teriaknya.

Dengan terburu-buru Damar mendekat, hanya teriakan Gendis yang dia takuti. Karena hanya kakaknya lah yang selalu memberinya kasih sayang dan perhatian.

"Kemasi semua baju dan buku milikmu, jangan lupa punya mbak sekalian. Kita pergi dari Neraka ini sekarang!" perintah Gendis tanpa ragu dan sangat tegas.

"Jangan berani-beraninya kamu keluar dari rumah. Bapak bunuh kalian!" ancam Darto, rahangnya semakin mengeras dengan raut wajah merah merona. Tangannya sudah kembali mau melayang, tapi tiba-tiba Pak RT dan Pak RW masuk, menahan tangan Darto dengan kuat.

"Jangan ikut campur kalian! Ini urusanku, mau aku apakan anakku, itu hakku!" Darto terus berontak.

"Maaf, justru bapak yang bisa kami laporkan ke KPAI. Karena pak Darto selalu menyuruh anak-anak bekerja dan menyiksa mereka di rumah," tegas Pak RT.

Darto terdiam. Laki-laki itu memang hanya besar di mulut dan nyali, sebenarnya tidak punya modal wawasan atau apapun yang bisa digunakan untuk membenarkan perbuatannya.

"Kamu mau ke mana sama adikmu, Nduk?" tanya pak RW dengan lembut.

"Yang penting keluar dari rumah ini dulu, Pak. Gendis banyak teman. Bapak tidak perlu khawatir. Gendis sudah biasa hidup keras, keluar dari rumah ini pasti akan membuat langkah Gendis semakin mudah. Terimakasih bantuan Bapak dan warga selama ini," ucap Gendis dengan santun.

Pak RT dan Pak Rw melepaskan pegangan tangannya pada Darto. Terlihat laki-laki itu sedang tidak bisa berkutik sekarang. Entah nanti-nanti.

"Bu ... Mbak ... Tunggu saya di depan gang, Tidak perlu memberi uang sepeserpun pada bapak dan Bu Jubaedah. Jika saya memang harus menjual diri, saya yang harus menikmati uangnya. Bukan mereka," tegas Gendis pada perempuan menor tadi, dia ragu harus memanggil apa.

Perempuan itu mengangguk senang, dengan senyuman lebar. Dia keluar meninggalkan rumah. Tidak mempedulikan sama sekali puluhan pasang mata yang melihatnya dengan pandangan aneh dan sedikit merendahkan.

Semua bergeming melihat ketegaran dan keputusan Gendis yang berani, kasak-kusuk mulai terdengar. Tentu saja sebagian mereka langsung memvonis Gendis pasti menjerumuskan diri ke kehidupan kelam. Secara tampilan perempuan tadi juga sudah tidak benar di mata mereka. Seperti wanita-wanita malam penjaja kenikmatan sesat dan sesaat pada umumnya.

Damar terlihat sudah bersiap. Tas ransel sudah di pundak, tas Gendis sudah ditenteng dengan tangannya. Sedangkan baju-baju sudah ada di dalam seprei yang dijadikannya sebagai buntelan. Tidak banyak baju yang dimiliki oleh mereka berdua. Mungkin tidak sampai tiga puluh pasang, satu buntelan seprei cukup untuk baju mereka berdua.

Gendis berpamitan pada seluruh tetangga yang ada di sana, tidak lupa mengucapkan terimakasih karena selama ini ada beberapa dari mereka yang benar-benar peduli. Tidak hanya sekedar membantu memberi umpatan pada sang bapak dan si ibu tiri, tapi sering kali juga berbagi makanan untuknya dan Damar.

"Ndis ... Jangan kerja yang aneh-aneh. Kamu itu pinter dan cantik. Jaga harga dirimu baik-baik. Jangan gelap mata, Jangan keluar dari neraka lalu kamu malah masuk ke neraka lain yang lebih dalam," pesan bu Rida, istri dari pak RW.

Gendis hanya tersenyum dan mengangguk. Sesungguhnya, dia juga masih berfikir. Perempuan tadi bisa jadi masih menunggunya di depan gang.

"Pastikan kalian bisa menjaga diri baik-baik. Kalian harus sukses dengan cara yang benar. Terlahir dari seorang J4l4ng dan besar di tangan preman, tidak boleh membuat kalian berkecil hati. Banyak jalan yang baik, pastikan kamu memilih jalan itu," Bu Mali, tetangga Gendis samping rumah persis, memeluk gadis itu dengan erat.

Gendis kembali hanya tersenyum, melepaskan badannya perlahan lalu membungkuk sebentar sebagai tanda hormatnya. Gadis itu kemudian mengambil buntelan yang di bawa Damar.

Keduanya melangkahkan kaki perlahan meninggalkan kerumunan dan rumah mereka. Tidak ingin menoleh ke belakang lagi, bahkan untuk sekedar melihat bapaknya yang terdengar sedang mengamuk, membanting barang-barang pecah belah yang terlihat oleh mata yang sedang kalap.

Kata-kata J4lang sudah familiar di telinga siapapun yang dekat dengan rumah Darto. Yang selalu menuding Gendis dan Damar adalah anak perempuan j4lang.

Hati Gendis sebenarnya sangat sedih dan sakit sekarang. Kata-kata mereka yang menguatkan, sejatinya semakin mengingatkan dari rahim siapa dia terlahir. Damar mengikuti langkah kaki Gendis yang agak terseok karena buntelan seprei yang dibawanya ternyata lumayan berat.

Sedikitpun tidak ada air mata yang menetes dari pipi Gendis ataupun Damar. Hati mereka yang terluka dan hidup yang terlunta-lunta tidak membuat air mata mereka mudah jatuh. Tempaan dan kerasnya hidup benar-benar sudah mengikis rasa sensitif mata mereka pada kesedihan.

"Mbak, kita mau ke mana sebenarnya?" tanya Damar, kekhawatiran jelas terlihat di wajahnya.

Mulai bekerja

Belum sampai Gendis menjawab pertanyaan Damar, dia sudah melihat perempuan menor tadi melempar senyuman padanya.

"Kamu tidak berbohong rupanya. Panggil aku mbak Titi, aslinya Surti. Tapi nama Surti kurang sesuai dengan pekerjaanku. Ayo kalian ikut, mbak! Jangan takut, Aku tidak sekejam ibu tiri kalian atau setega bapak kandung kalian. Aku bukan perempuan baik-baik, tapi aku tidak akan memanfaatkan tenaga orang gratisan." Perempuan itu terus berjalan, menyusuri jalan menuju jalanan utama.

Gendis dan Damar mengikuti saja langkah kaki Surti alias Titi tanpa banyak tanya. Di saat kondisi mendesak dan sudah tidak ada lagi yang diandalkan, percaya tapi tetap waspada pada pertolongan di depan mata adalah keharusan.

Surti membuka pintu mobil dengan menggunakan kunci sensor di genggamannya. "Masuk saja," perintahnya.

Gendis dan Damar menuruti perintah Surti. Gendis di bangku depan, sedangkan Damar di bangku belakang mobil Honda Jazz RS warna merah itu.

"Kita ke kontrakan, Mbak. Tidak jauh dari sini." Surti memasang seat belt dan segera menyalakan mobilnya. Lalu menginjak gas perlahan.

"Kalian sudah makan?" tanya Surti.

"Sudah, Mbak. Tapi saya pengen mandi. Badan saya sudah lengket. Sore tadi saya dapat pelanggan lumayan banyak. Meski agak pelit-pelit." Gendis menjawab dengan jujur.

"Kamu kerja di Tikea Shiatsu kan?"

"Kok mbak Titi tau?"

Damar hanya menyimak pembicaraan dua orang dewasa itu. Dia percaya sepenuhnya dengan langkah apapun yang akan diambil Gendis.

"Siapa lagi yang ngasih tau kalau bukan Jubaedah. Dia minta kamu kerja sama mbak. Tapi melihat bagaimana kalian diperlakukan tadi, aku kok jadi tidak tega. Kamu mbak kenalin sama miss Alika saja. Dia manager di pusat pemijatan shiatsu yang pelanggannya kalangan atas semua." Surti menjeda bicaranya sebentar, sekedar ingin mengatur nafasnya.

"Sekalipun tidak di kasih tips. Bayaranmu sudah lumayan. Tapi lihat kemampuanmu dulu, mbak saja nggak lulus. Tangan mbak mungkin cocoknya memang buat ngelus-ngelus keris om-om buncit saja. Gak cocok megang kulit orang tajir kayak yang di sana." Surti mengatakan dengan gayanya yang tanpa basa basi.

"Mbak, Di sana mbak Gendis tidak akan ada yang berani macam-macam kan?" Kali ini Damar sedikit khawatir dan terusik untuk bertanya.

"Tidak akan! Mereka bukan dari kalangan biasa, kalaupun mau macem-macem jelas untung dikita. Uang mereka banyak, kalau sudah sreg. Jangankan uang, bulu-bulunya juga dikasih." Surti membelokkan setir mobilnya ke sebuah pekarangan rumah tidak berpagar.

"Kalian turun dulu, kontrakan mbak yang ketiga dari kanan." Tangannya menunjuk bangunan berwarna hijau dengan lampu kelap kelip layaknya tempat remang-remang.

Gendis dan Damar lagi-lagi menurut saja. Tidak ingin membantah. Selain tidak ada pilihan, kelihatannya, Surti juga baik dan tulus. Meski bicaranya tidak disaring sekalipun ada Damar di antara mereka.

"Kamu mandi dulu, malam ini kita langsung ketemu miss Alika. Kalau siang dia sibuk." Surti membuka pintu rumah yang sebenarnya tidak pernah dia kunci.

Sampai di dalam Gendis langsung membuka buntelan sepreinya, mengambil baju terbaik menurut versinya.

"Kamar mandinya di ujung situ! Kamu Damar kan? Kamu langsung istirahat di kamar itu, besok kamu harus tetap sekolah. Biar kami saja yang berjuang, kamu jangan. Belum saatnya. Nanti ada saatnya kamu harus mengangkat derajat dan membanggakan mbakmu." Surti menunjuk kamar mandi dan kamar yang letaknya berdampingan.

Gendis langsung menuju kamar mandi, menyegarkan dirinya. lalu memakai rok plisket panjang warna hijau botol di padu kemeja longgar sepinggang dengan warna senada. Pakaian terbaik yang dia punya. Gendis sering memakainya saat kuliah.

Di luar gandis mengoleskan lotion di tangan dan kakinya, lalu menyemprotkan body cologne seharga dua bungkus nasi padang lauk telur dadar.

Surti tercengang melihat penampilan Gendis, bukan karena parasnya yang memang sudah cantik apa adanya. Tapi dengan baju yang dipakainya, seolah dia sedang mengajak gadis culun.

Dengan cepat Surti membuka lemari, dilihatnya postur badan Gendis tidak jauh berbeda dengan dirinya. Beda di bagian dada saja. Dada Surti sudah berubah dua ukuran lebih besar berkat implan yang dilakukannya di negeri gajah putih. Berkat kebaikan salah satu Sugar uncle pecinta big size, tapi tidak mau ke lain body selain Surti. Dia akhirnya mampu mengupgrade size bagian dadanya yang menonjol. Ternyata dengan begitu pelanggannya semakin bertambah.

Surti memberikan dress selutut berwarna merah marun pada Gendis. Dress berbahan brokat halus itu hanya dia pakai sekali saat candle light dinner dengan Naryo, satpam club malam yang ternyata sudah beristri dan hanya menguras isi dompetnya saja.

Gendis menerima dress itu, lalu memakainya di kamar mandi. Sangat pas di badan, wajahnya terlihat semakin bersinar dengan warna baju yang mencolok seperti itu. Kulit Gendis yang putih bersih membuat warna itu terlihat kontras, semakin menegaskan bahwa Gendis memang berlian yang tertimbun batu koral.

Surti tersenyum puas melihat penampilan Gendis. Kini semua bergantung kemampuan tangan gadis cantik dengan hati setegar batu karang itu.

Gendis dan Surti kembali naik ke dalam mobil. Surti mengendarai dengan kecepatan lumayan tinggi, karena sudah pukul sembilan malam, jalanan cukup lengang.

Tidak sampai satu jam perjalanan, mereka sampai di sebuah bangunan tinggi. Terlihat seperti gedung perkantoran exclusive memang, mobil yang terparkir di halaman depan dan juga lalu-lalang di lobby pun bisa dikatakan termasuk mobil-mobil built up dan mewah.

Rupanya ada yang terlewatkan dari penampilan sempurna Gendis malam ini. Sepatu flat yang dikenakannya sangat usang. Bahkan jempol kakinya sedikit menyembul keluar.

Tidak ada waktu lagi untuk membeli atau sekedar mengganti sepatu itu, Surti membiarkan begitu saja. Pura-pura tidak melihat, adalah cara Surti untuk tetap tenang agar tidak gugup saat menghadapi miss Alika yang sangat perfeksionis.

Tidak mudah untuk menemui miss Alika, insting dan jiwa cenayang Surti sedang dipertaruhkan. Kalau sampai kedatangannya dianggap sia-sia dan membuang waktu perempuan keturunan Jepang - Irlandia itu, maka kesempatannya untuk menjadi penyambung tugas Terapis akan hilang. Tidak semua Terapis di tempat ini, bisa melayani pelanggan lebih. Untuk itulah jasa penyambung tugas Terapis di butuhkan.

Miss Alika langsung memutari tubuh Gendis ketika tiba di sana. Mengamati dengan teliti dari ujung kaki hingga ujung kepala, sedikit tersenyum mengejek ketika melihat jempol kaki Gendis.

"Lihat tanganmu," ucapnya.

Gendis mengulurkan kedua tangannya tanpa ragu. Dia memang bukan pribadi yang ragu ataupun malu-malu meskipun baru pertama kali bertemu dengan seseorang.

"Sini pijat pundakku." Miss Alika menepuk bagian yang dia maksud.

Gendis melangkah pelan, bukan ragu. Hanya sedikit memperpanjang waktunya untuk berdoa. Berharap Tuhan menuntun tangannya agar pijatan yang diberikan bisa menenangkan, menyegarkan dan menyembuhkan.

Gendis mulai menggunakan ibu jarinya nya untuk menekan pundak miss Alika. Jemarinya yang lain juga kadang ikut bergerak. Wajah perempuan indo oriental yang dipijatnya nampak menunjukkan kepuasan.

"Cukup!"

Seorang pegawai kepercayaan langsung masuk, mendekati dan membisikkan sesuatu pada miss Alika.

"Kamu mulai bekerja malam ini, aku langsung memberimu kepercayaan memijat pelanggan VVIP kami. Jangan kecewakan dia, jika dia puas. Mulai besok, selain bekerja kamu juga akan mendapatkan pelatihan khusus dari ahli Shiatsu dari Jepang langsung. Kamu harus sangat ahli jika tidak ingin menjadi Terapis plus-plus. Karena itu kamu juga harus belajar. Bagaimana?" tanya miss Alika.

Gendis menoleh pada Surti, sekedar ingin meminta pendapat dan pertimbangan. Urusan kuliah, Gendis akan mengabaikan dan mengurus cuti sementara. Tapi melayani pelanggan VVIP di hari pertama bekerja. Tentu membuatnya sangat tidak percaya diri.

Miss Alika menyodorkan sebuah foto di ponsel miliknya. "Ini pelanggan yang akan kamu layani."

Gendis melangkahkan kaki ke belakang, menutup mulutnya yang menganga dengan satu tangan.

'Astaga, kenapa dunia ini sempit sekali,' batinnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!