Happy Reading..
Hari pertama menjadi orang tua. entah kebahagiaan seperti apa yang Dewa rasakan, semuanya tak terungkap dengan kata-kata.
Melihat dua bayinya dari balik kaca tebal, berhasil menerbitkan senyum penuh haru. tak terasa buliran bening menerobos dari mata elangnya yang menatap teduh pada dua sosok mungil yang terbungkus kain bedong warna pink dan biru.
Dewa menggerakkan tangan, membeli kaca yang menghalanginya untuk menyentuh anak-anaknya. seolah kaca itu adalah kulit bayi-bayinya yang lembut.
Senyumnya merekah, ia masih tak percaya jika ia berada di titik ini, saat ini. menjadi orang tua. seorang ayah yang akan menjadi panutan untuk kedua anaknya.
"Anak-anak papi." Dewa bermonolog.
"Semua juga tau, itu anak lo." Dewa berjingkit, entah kapan datangnya pria di samping nya itu. tiba-tiba saja sudah berada di sana.
"Mereka keren ya Lex." ujarnya konyol. meminta persetujuaan dariAlex.
Alex menoleh cepat, keren? keren dari mananya sih, mereka kan masih terlalu piyik untuk di bilang keren.
Tentu saja Alex tak akan mengatakan itu. jika saja kalimat itu meluncur bebas dari mulutnya, bisa saja Dewa akan membelitnya dengan kasa putih dari ujung rambut hingga ujung kaki dan membuatnya menjadi mumi di salah satu ruang rumah sakit ini.
Tiba-tiba bulu kuduk Alex meremang hanya dengan membayangkan ruang yang di maksud.
"Keren dari mananya sih wa, mereka cuma di bebet bedong gitu, gue malah liatnya kayak ulet, kluget-kluget begitu." Alex bergidik membayangkan ada ulat sebesar bayi.
"Kurang ajar lo, mereka itu keren. hasil fermentasi sp**ma gue dalam rahim istri gue."
Fermentasi dia bilang, ha..ha.. Alex ingin sekali mentertawakan bosnya itu. ternyata kebahagiaan juga bisa membuat seseorang kehilangan akal sehatnya dan juga gila.
"Lo kira mereka tetes tebu pilihan apa?" Alex tak tahan. ia harus memuntahkan rasa menggelitik dalam perutnya.
"Cairan gue itu tetes pilihan, jelas lo tahu itu. bibit unggul berkualitas yang akan menghasilkan calon-calon generasi penerus terbaik." kelakar Dewa pongah. membuat Alex semakin tergelak.
"Lo lagi ngiklan?"
"Barang bagus gak perlu di promosiin, mereka itu sudah cukup menjadi refrensi."
Refrensi dia bilang, akal sehat Dewa semakin menipis. dan penyakit narsis mulai menyerangnya.
Alex mengangguk-angguk menyetujui.
Iya-in aja biar cepat.
"Boleh gak gue sumbang nama buat anak-anak berkualitas lo itu?" tiba-tiba saja bola lampu di otak Alex berpijar. terbesit rencana yang tak terlalu keren untuk menggoda bosnya itu. mumpung lagi jinak.
"Apa?" Dewa memicing, melihat Alex tersenyum sembari mengusap-usap dagunya, Dewa yakin jika Alex akan memberikan nama yang aneh untuk anak kembarnya itu. "Gak usah aneh-aneh deh lo." Dewa menatap curiga.
Alex bergeming sok serius.
"Awas saja, lo kasih nama buruk buat anak gue, gue potong gaji lo." ancam Dewa yang sama sekali tak berhasil membuat Alex gentar.
"Tenang aja, ini keren kok. kayak anak lo kualitas jepang!"
Dewa mengernyit, nama dengan kualitas jepang? emangnya merek motor apa. Dewa semakin curiga.
"Lama deh Lex," Dewa menatap garang.
"Gimana kalo nama Anak lo Ajinomoto dan Ajinamiti." Alex berkata dengan wajah tak merasa bersalah sama sekali karena telah mengerjai Dewa.
"Nama apaan tuh?"
"Kan anak lo dari fermentasi tetes berkualitas."
"Terus hubungannya dengan nama itu?"
"Anggep aja anak lo Micin, dari tetes tebu pilihan."
Alex telah bersiap untuk berlari menghindari Dewa yang sedang menatapnya kesal setelah mencerna ucapan Alex padanya.
Sepertinya otak Jenius sang Direktur perlu di pertanyakan kredibilitasnya. kenapa dia lambat sekali.
Atau mungkin pingsan beberapa saat lalu telah memutuskan salah satu syaraf otaknya sehingga membuat Dewa kehilangan sebagian kecerdasannya.
Diam beberapa saat, hingga akhirnya Dewa menyadari jika Alex sedang mengerjainya.
"Sialal an!"
Dewa sangat kesal, dengan wajah marah dan seringai menyeramkan, Dewa meneriaki Alex yang sudah berlari menjauh.
Tak peduli jika siang hari menjelang sore itu banyak orang yang masih berlalu lalang. Dewa tetap mengejar Alex untuk memberi asistennya itu pelajaran.
Berani sekali ia memberikan nama Aneh untuk keturunan ketiga nama besar Herlambang.
"Balik lo Lex!" teriak Dewa dengan berjalan cepat mengejar Alex
" Ogah, nanti lo gebukin." sesekali Alex menoleh untuk memastikan dirinya tak terkejar.
"Emang!"
"Makanya ogah!"
"Berhenti lo setaaaaan!"
Apa lo panggil-panggil gue. makhluk astral yang sedang berada di sekitar kamar jenazah itu pun menyahut.
Dua orang Dewasa sedang berlarian di koridor rumah sakit. mereka tak sadar jika tingkah konyol mereka sedang menjadi tontonan sebagian warga rumah sakit.
Part ini mengulang dari buku pertama, dan beberapa tambahan. boleh di skip bila telah membaca. tapi di mohon tetap memberikan dukungan sebagai mood booster.
***
Happy Reading...
Pagi masih terlalu dini, tapi Cintya telah terbangun. di kamar rawat inap VVIP yang lebih mirip dengan kamar hotel itu, ia hanya di temani oleh Dewa. sedangkan ibu dan yang lainnya telah pulang sejak semalam.
"Kak, lihat deh, ini kok sakit banget." Cintya menunjuk ke arah dadanya yang terasa penuh.
"Sakit kenapa? biar kakak panggil kan dokter dulu." Dewa segera memencet tombol yang ada di samping atas tempat tidur Cintya.
"Nyeri banget!" keluh Cintya menunjukkan buah dadanya yang bengkak di balik pakaiannya.
"Coba lihat," Dewa menarik sedikit krah baju rumah sakit yang Cintya kenakan. "Glek." Dewa menelan ludah saat melihat area pribadi favoritnya itu semakin besar dan penuh. "Kok makin gede." Dewa membelalak.
"Ish, mulutnya, rusuh banget deh." jawab Cintya sewot.
"Rusuh gimana, kenyataan kok. sini kakak mau pegang." Cintya menepis tangan Dewa dengan kasar saat suaminya itu hendak menyentuh dadanya.
"Gak boleh, gak punya hak." Cintya merapatkan kembali kemeja rumah sakitnya dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Kok gitu sekarang?"
Dewa berujar sedikit cemburu.
"Mau rebutan sama Twins? gak malu?"
"Ya eng_"
"Selamat pagi..." seorang Suster masuk dengan mendorong baby box yang membawa bayi kembar mereka.
"Selamat pagi suster."
"Apa Asi-nya sudah keluar bu Cintya?" tanya suster.
"Sepertinya begitu, karena ini terasa berat banget."
"Kalau begitu bagus, karena bayi ibu ada dua, jadi akan lebih banyak nasi yang di butuhkan. apa terasa nyeri?" Cintya mengangguk.
"Kalau begitu silahkan berikan Asinya sekarang ya bu, sudah bisa kan?"
"I_iya suster." Cintya menoleh Dewa yang hanya terdiam.
Suster tersenyum, "Bapak bisa di bantu Ibunya."
"I_iya suster." Dewa gelagapan karena sejak tadi tidak menyimak apa yang di bicarakan oleh suster. ia hanya sedang fokus memperhatikan bayi ya yang di bedong warna pink dan biru.
"Kalau begitu saya permisi." Suster meninggal kan Cintya dan Dewa bersama bayinya.
"Kak, bawa sini adek nya."
"Hah, gak mau, kakak takut." Dewa menggeleng, tangannya yang sejak tadi menoel-noel pipi si bayi mendadak ia sembunyi kan di belakang tubuhnya.
"Terus gimana mau nyusuin kalo adeknya masih di dalam box."
Mendadak keduanya bingung. karena Dewa sama sekali tak berani mengangkat bayi merah itu.
"Ambil dong Cinta."
"Kakak ih, tanganku kan gak nyampe. emang ibu belum balik ya kak."
"Ini masih pagi Cinta, mungkin nanti sekalian sama abang berangkat ke kantor."
"Terus mama kemana?"
Dewa mengedik, "masih ngurusi Isabel kayaknya. tadi telpon, kesini siang sama papa."
"Gimana sekarang Isabel ya kak,"
"Gak tau," jawab Dewa cepat. "udah gak usah mikirin Isabel, ini aja adeknye keburu aus."
"Ya makanya ambilin kak, bawa sini."
"Kakak gak bisa Cinta, ini kecil banget. takut nyakitin ini." Dewa ragu antara mengangkat bayinya apa tidak.
"Ya sudah, tunggu ibu datang aja dulu"
"Eh kasihan sayang, keburu lapar nanti."
"Makanya angkat kak, buruan ih."
"Angkat sendiri saja sama kamu."
"Ya udah bantuin turunnya."
Dewa membantu Cintya turun dari ranjang dan mendekatkan box bayi mereka ke arahnya.
"Lucu ya kak, lihat deh hidung sama matanya mirip kakak!" Dewa mengangguk menyetujui.
Cintya lantas mengambil bayi laki-laki nya terlebih dahulu, lalu membawanya ke dalam pelukannya. ibu muda itu mengulas senyum haru. tak menyangka jika kehidupannya berubah secepat ini. rasanya baru kemarin ia berfoto dengan memakai toga dan sekarang ia justru memeluk bayinya sendiri.
"Mau di sofa?"
"he em, biar lebih nyaman."
"Bisa jalan sendiri?"
Cintya nyengir karena masih kesulitan berjalan.
"Pegang adeknya yang kuat." Cintya merasakan tubuhnya melayang. Dewa membawanya dengan menggendongnya ke Sofa yang berjarak agak jauh dari tempat tidurnya. lalu menurunkannya perlahan. dan membantunya duduk dengan nyaman.
Cintya membuka kancing depan bajunya dan mengarahkan mulut bayinya ke dadanya. namun bayi itu seolah menolaknya. kepalanya bergerak-gerak serta mulutnya terbuka berusaha mencari sumber kehidupannya.
Dewa berjongkok tepat di hadapan Cintya. memperhatikan bayinya yang berusaha menggapai sumber makanannya.
"Ayo dek, agak naik dikit. tuh punya mami gak pindah kok." Dewa berbicara pada bayinya, seolah makhluk mungil itu mengerti apa yang di ucapannya.
"Apaan deh kak!"
"Ayo Akky, tangkep itu punya Mami, apa Papi aja yang habisin."
"Ih, mulutnya. telinga adek gak boleh denger yang begituan."
"Naik dikit dek, eh.. ke kanan sayang. duh, salah nak, ke kiri dikit. ih anak papi kok belum bisa. ayo jagoan usaha lebih keras. apa mau Papi ajarin dulu. Papi pinter lo."
Dewa masih sibuk dengan ocehannya sendiri, sementara Cintya sudah lelah. apalagi bayinya sudah mulai menangis.
"Loh kok malah nangis, cinta cepetan sayang adeknya nangis itu."
"Iya kak tau," suara Cintya bergetar. "kok gak nyaman gini sih kak, gimana ini." Cintya hampir menangis merasa kesulitan karena satu tangannya menahan tubuh bayinya serta satu tangannya berusaha mendekatkan putingnya, namun bayi kecil itu tak mampu menggapainya hingga membuatnya menangis semakin keras.
"Ayo cinta, itu adeknya kejer."
Kepanikan dari keduanya membuat keadaan semakin buruk. Bukannya membantu Dewa malah semakin ngerecoki dengan ocehannya.
Buk!
Cintya memukul bahu Dewa kencang sampai membuat Dewa berjingkit.
"Ya udah susui sendiri."
Eh,,
***
Masih mengulang dan ada sedikit tambahan.
Happy Reading...
Hari ini Cintya dan kedua bayinya sudah di perbolehkan pulang. dan untuk seminggu ke depan Dewa hanya akan berada di rumah. menemani Cintya dan membantunya untuk mengurus si kembar karena pengasuh bayinya batu akan mulai bekerja minggu depan. dan itu semua atas permintaan Dewa. dengan dalih bahwa ia ingin menjadi orang tua yang sempurna, selama seminggu ia akan memaksimalkan waktu untuk menemani si kembar dan Cintya.
Semuanya terasa baru bagi Dewa dan Cintya. keduanya tak memiliki pengalaman apapun. mereka hanya menuruti nasihat dari ibu dan mama selebihnya mereka hanya mempelajari dari internet. termasuk cara memandikan dan merawat bayi mereka.
Untuk hal-hal yang lainnya, Cintya hanya mengandalkan nalurinya sebagai seorang ibu. saat si kembar menangis karena lapar ataupun saat mereka ingin di gendong dan di timang, Cintya pasti mampu melakukannya. dan ia sangat yakin Dewa tak akan meninggalkannya. Dewa akan selalu di sampingnya. bahkan saat ini, Cintya yang lebih banyak tidur dan Dewa berjaga hingga dini hari.
Hari masih terlalu pagi, dan Dewa hanya terpejam selama tiga jam. dan sekarang matanya sudah kembali segar. ia sudah siap dengan tantangan baru dalam hidup nya. menjadi ayah yang sempurna.
"Aza sayang, please dong nak jangan nangis, nanti Mami marah," Dewa kelimpungan karena bayi perempuannya menangis kencang karena ulahnya.
Padahal Cintya sudah memintanya hanya menjaga bukan mengganggu tidur bayi itu.
Tapi bukan Dewa namanya jika membiarkan jarinya menganggur tanpa menoel-noel pipi bayi cantik itu.
"Papi janji deh gak akan ganggu Aza lagi," Dewa masih berupaya untuk menghentikan tangis melengking itu. "diem bentar aja, nanti kakaknya bangun itu dek. kasihan nanti kakaknya." bujuknya lagi seolah bayi itu mengerti apa yang di ucapannya.
"Gimana kalo kita bikin kesepakatan, adek berhenti nangis, habis itu papi kasih hadiah." andai saja bayi berumur empat hari itu mampu menjawab, pastinya dengan lantang gadis itu akan menjawab 'No papi resek suka ganggu cewek.'
Dan bukan nya berhenti, bayi perempuannya itu semakin kencang menangis. dan Dewa yang sudah lelah membujuk pun akhirnya memilih untuk memanggil Cintya.
"Cinta,," panggilnya dengan suara sedikit keras "cepetan dong, ini adeknya nangis."
Cintya yang baru saja berendam harus kembali keluar dari air. padahal air hangatnya belum juga dingin dan dia harus segera menyelesaikan mandinya.
"Aku kan udah bilang sama kakak, jangan gangguin adek. pasti kakak toel-toel kan tadi?" tuduhnya dari dalam kamar mandi.
"Gak ada ya kakak iseng gitu, ini Aza emang lagi haus kali." kilahnya tak ingin di salahkan.
Tuh dek, mami kamu marah sama papi. kamu sih nangisnya kenceng banget. ucapnya lirih pada bayi yang kini meronta dalam box nya.
"Tadi kan dia anteng bobok, pasti kakak bangunin." ketus Cintya dari dalam.kamar mandi. bahkan Dewa bis membayangkan saat ini pasti istri cantiknya itu sedang mengerucutkan bibir.
"Enggak sayang, tadi kakak cuma intip saja kok gak pegang, iya kan dek," Dewa meminta persetujuan dari bayi yang bahkan membuka mata saja masih kesulitan. sekonyol itu memang seorang Dewa.
"Gak percaya!"
"Kok gak percaya,tanya saja sama adeknya. ya kan Aza, tadi papi cuma intip doang sama cium dikit." Dewa harus mengigit lidahnya sendiri karena menyadari kekeliruannya. semoga saja Cintya tak mendengarnya.
"Dek, janji ya sama Papi jangan bilang sama Mami kalo tadi papa cium sedikit. bisa-bisa ngamuk tuh singa betina."
Setelah mengucapkan itu, Dewa memukul-mukul pelan paha bayi kecil itu untuk menenangkannya. tanpa menyadari jika ada wanita yang mungkin saja sedang kerasukan arwah singa betina.
"Jadi aku singa betina gitu?"
Cintya manggut-manggut, jangan tanyakan bagaimana muka Dewa saat ini. sudah pasti wajahnya tegang dan memaksakan senyum untuk menutup ketakutannya.
Mampus lo Wa. rutuknya dalam hati.
Cintya selangkah mendekati box bayinya dimana bayi-bayi nya sedang terdiam dengan mata terbuka. sepertinya mereka merasakan aura-aura mencekam dalam ruangan itu. mereka seperti mengerti dengan apa yang terjadi, bahkan bayi perempuannya itu sedang menampilkan wajah lucu seolah menertawakan keadaan Dewa.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!