Seorang gadis tengah duduk di taman sendirian, ia sedang berusaha untuk meredam kesedihan yang tengah dirasakannya. Beberapa saat yang lalu, dirinya mendapat kabar jika sang mama masuk rumah sakit karena di temukan pingsan oleh tetangganya.
Gadis itu bernama Allura Saputri, dia tinggal berdua dengan mamanya yang bernama Ibu Ani. Ibu Ani mengidap penyakit jantung. Semenjak sang ayah meninggal, dialah yang bekerja keras banting tulang punggung keluarga.
Allura memang sudah terbiasa hidup susah, tapi kali ini ia merasa seakan dunianya bertambah hancur tak kala melihat mamanya terbaring lemah tak sadarkan diri.
Dokter menyarankannya untuk segera melakukan operasi terhadap Ibu Ani. Jika tidak, kemungkinan nyawanya akan semakin terancam, sedangkan saat ini Allura tidak mempunyai uang banyak. Jangankan untuk biaya operasi, untuk bayar kontrakan bulan ini pun dia tidak ada.
Selama ini dirinya hanya bekerja sebagai kasir di sebuah toko baju yang jaraknya tak jauh dari rumah kontrakan. Allura tidak mempunyai ijazah tinggi, hingga dia cukup kesulitan dalam mencari pekerjaan.
Ya Tuhan, aku harus kemana mencari biaya untuk operasi Mama? Biayanya juga sangat besar pula, gumam Allura seraya menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangan.
Allura merupakan anak tunggal, ia tak mempunyai keluarga dekat di kota itu. Keluarga ibunya pun sama susahnya seperti dia, sedangkan ia sendiri tak mengetahui tentang keluarga sang ayah. Sejak kecil Allura hanya hidup bertiga dengan ayah dan ibunya di kota itu.
Setelah kepergian sang ayah akibat kecelakaan beberapa bulan lalu, kehidupan ia dan Ibu Ani semakin terasa sulit, di tambah kondisi mamanya yang kini semakin memburuk.
Saat Allura masih terdiam, tiba-tiba Viana datang menghampirinya. Viana merupakan teman paling dekat Allura, gadis itu tak pandai bergaul, jadi dia hanya memiliki satu teman saja.
"Ra, bagaimana keadaan Ibu Ani saat ini?" tanya Viana yang berhasil membuat Allura terkejut lantaran kedatangan gadis secara tiba-tiba.
"Ya Tuhan, Na. Bisa tidak jangan mengejutkanku seperti itu?" Allura sampai memegangi dadanya yang berdegup kencang.
"Ck, ya maaf, Ra. Lagi pula kenapa kamu melamun kaya gitu? Sampai-sampai aku datang dan duduk pun kamu tidak menyadarinya." Viana menunjukkan raut wajahnya yang tengah merajuk. Sebenarnya ia tidak benar-benar merajuk, hanya saja ia ingin sedikit menghibur sahabatnya yang tengah bersedih dengan raut wajah lucunya.
"Ya maaf, Na. Aku tidak bermaksud untuk mendiamkanmu. Tapi sat ini aku sedang sangat-sangat bingung," jawab Allura dengan kepala yang menunduk dalam.
Viana menatap iba sahabatnya. Andai dia orang kaya, pasti akan segera membantunya.
"Ra, maaf. Lagi-lagi aku tidak bisa membantumu di saat susah seperti ini." Viana mengusap bahu Allura pelan, ia sangat faham dengan kesusahan yang tengah di rasakan oleh kawannya itu.
"Tidak apa-apa, Na. Justru aku berterima kasih karena kamu tidak meninggalkanku di saat aku kesusahan seperti ini," jawab Allura seraya menampakkan senyum terbaiknya, meskipun matanya sudah bengkak akibat terlalu lama menangis dan jejak air mata yang mengering, ia tidak ingin semakin terlihat menyedihkan di mata sahabatnya.
"Kemari, biarkan aku memelukmu. Meskipun aku tidak bisa membantumu membiayai pengobatan Ibu Ani, tapi aku tidak keberatan untuk mendengarkan ceritamu. Aku juga akan berusaha untuk mencarikanmu pekerjaan tambahan," ucap Viana yang kini tengah memeluk sahabatnya, Allura.
Allura kembali meneteskan air matanya saat ia mendengar ucapan Viana.
"Terima kasih, Na. Kamu memang sahabat terbaikku."
Allura dan Viana sudah cukup lama berteman, Allura juga sangat kenal dengan keluarga Viana. Keluarga gadis itu selalu bersikap baik dan ramah padanya, bahkan kakak laki-laki Viana ada yang memendam rasa padanya.
Setelah perasaan Allura lebih baik, ia pun melepaskan pelukan Viana sembari mengusap matanya yang kembali berair.
"Na, tolong kamu bantu aku untuk mencarikan pekerjaan lain, ya! Aku tidak apa-apa jadi pembantu juga, yang penting halal," pinta Allura, dia tahu jika ada salah satu kerabat Viana yang bekerja di sebuah rumah mewah, ia berharap bisa bekerja di sana karena konon katanya gajinya sangat besar.
Viana menimang permintaan Allura, saat terakhir kali ia bertemu dengan kerabatnya, memang ia mendengar selewat jika di rumah itu sedang membutuhkan pekerja tambahan. Namun bukan layaknya pembantu biasa, melainkan baby sitter yang merangkap sebagai 'Ibu Susu'.
"Iya, nanti akan kucoba tanyakan pada sepupuku yang bekerja di sana, semoga saja masih membutuhkan tenaga pekerja," jawab Viana sembari tersenyum tipis.
Sepertinya aku tidak mungkin memberitahukan Allura tentang pekerjaan itu. Aku merasa sayang, dia 'kan masih gadis, meskipun masih bisa menyusui tanpa harus hamil terlebih dulu, batin Viana.
"Terima kasih, Na."
Allura terlihat mendesah kasar saat mendengar jawaban Viana, tak mudah baginya mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar. Latar pendidikan memang tidak menjamin sebuah kesuksesan, tapi tidak adanya latar pendidikan yang memadai juga membuat sebagian orang sulit mendapatkan pekerjaan yang layak.
Keduanya sama-sama terdiam, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Setelah beberapa saat dalam keheningan, Allura pun mengajak Viana untuk menemui mamanya yang sedang di rawat di ruang perawatan bersama tujuh pasien lainnya.
Ibu Ani di tempatkan di ruang umum, sehingga terkadang membuat Allura harus bersabar jika ada pihak pasien lain yang berbincang dengar suara keras. Bukan ia tak mau menempatkan mamanya di ruangan yang bagus, tapi ia tak mempunyai biaya lebih untuk membayarnya.
Saat Allura dan Viana memasuki ruangan, ada beberapa kerabat pasien lain yang tengah berbincang dengan nada tinggi dan tertawa terbahak-bahak tanpa memedulikan kenyamanan pasien lain. Terkadang Allura heran dengan sikap mereka, meskipun di sana ada tanda yang berupa stiker dilarang berisik, tapi tidak dihiraukannya.
Allura sedikit beruntung karena Ibu Ani kali ini di tempatkan di sisi paling ujung ruangan itu, sehingga tidak terlalu membuatnya terusik dengan kebisingan yang dibuat oleh keluarga pasien lain.
Allura dan Viana menatap monitor yang terus memantau detak jantung Ibu Ani. Setiap kali matanya tertuju ke sana, sewaktu itu pula hatinya berdebar khawatir jika tanda itu tiba-tiba menjadi garis lurus.
Viana menatap Ibu Ani dengan sedih, ia sudah menganggap Ibu Ani layaknya ibu sendiri. Wanita paruh baya itu selalu ramah padanya, bahkan saat dirinya tengah memiliki masalah, sebelum ia berbicara pada keluarganya, pasti Ibu Ani—lah tempat pertama kali ia mengadu.
"Ra, kamu yang sabar, ya ... semoga Ibu cepat sembuh dan bisa kembali lagi berkumpul," ucap Viana seraya menyentuh bahu Allura yang tengah duduk di kursi samping ranjang Ibu Ani.
"Aku juga berharap seperti itu, Na. Aku benar-benar tidak tega melihat Mama terbaring seperti ini," jawab Allura.
Allura terdiam, setelah ia mengantarkan Viana sampai ke parkiran, dirinya terus termenung memikirkan pekerjaan yang di tawarkan oleh Viana padanya beberapa saat lalu.
Flashback on
Saat hari mulai beranjak petang, Viana berpamitan pulang pada Allura. Dengan segera Allura mengantarnya hingga parkiran motor. Namun, setelah sampai di sana Viana tidak segera menaiki kendaraannya, justru gadis itu terlihat gelisah sehingga membuat Allura penasaran.
"Na, kamu kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Allura seraya menatap serius Viana.
"Aku ... aku ... sebenarnya ada yang mau aku sampaikan padamu," jawab Viana dengan gugup.
Allura mengernyitkan keningnya, ia semakin menatap lekat sahabatnya itu.
"Ada apa? Bicaralah, jangan membuatku penasaran seperti ini," pinta Allura.
"Sebenarnya kemarin sepupuku baru saja datang ke rumah, dia meminta bantuanku untuk mencarikan orang yang berniat menjadi ibu susu untuk anak majikannya."
"Lalu, apa hubungannya denganku?"
"Aku ... aku fikir kamu mau menerima pekerjaan itu. Lagipula gajinya sangat besar. Jika kamu berniat, aku akan segera menghubungi sepupuku. Harap-harap pekerjaan itu masih ada dan belum terisi oleh orang lain." Viana menjawab pertanyaan Allura dengan cepat, ia tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan sahabatnya dengan pekerjaan itu. Namun, setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya jika dia menyampaikan tawaran itu pada Allura.
Allura semakin menautkan keningnya setelah mendengar jawaban dari Viana, dia memang sangat membutuhkan pekerjaan, tapi pekerjaan yang Viana tawarkan itu menurutnya sangat gila dan anti mainstream.
"Aku tidak bermaksud untuk menyinggungmu, Ra. Hanya saja, menurutku kamu perlu memikirkan kembali tawaranku ini. Bayaran yang akan dia berikan itu tiga kali lipat dari bayaran baby sitter biasa," ucap Viana sebelum Allura menjawab ucapannya.
"Bagaimana caranya aku bisa menyusui, sedangkan aku sendiri masih gadis? Jika hanya untuk menjadi baby sitter, mungkin aku akan segera menerimanya. Tapi untuk ibu susu ... aku tidak yakin bisa," jawab Allura pelan.
Menjadi ibu susu saat masih gadis? Bagaimana rasanya? batin Allura.
Viana membuang tatapannya ke arah lain, ia tidak bisa memaksa Allura untuk melakukan pekerjaan itu. Karena menurutnya pekerjaan itupun sangat aneh didengar oleh kalangan masyarakat sepertinya. Meskipun memang pekerjaan itu ada, tapi jumlahnya sangat sedikit. Orang-orang lebih memilih untuk memberikan susu formula pada bayinya, jika dia tidak mampu memberikan ASI. Jadi, menurutnya hal itu sangat aneh.
"Coba kamu fikirkan lagi, Ra. Dia juga tidak sembarang akan memberikan ASI itu. Dia akan menyuruh orang itu untuk memeriksakan kesehatannya dan menjalani terapi sebelum waktu lahiran tiba. Saat ini wanita itu sedang hamil tujuh bulan dan dia tidak berniat untuk menyusui anaknya. Jadi, dia meminta sepupuku untuk mencarikan ibu susu secara diam-diam," jawab Viana sembari menyentuh kedua bahu Allura.
"Baiklah. Aku akan memikirkannya lagi. Tapi aku tidak berjanji akan menerima pekerjaan itu," ucap Allura sekenanya. Ia sudah tidak nyaman dengan pembicaraannya saat ini.
"Ya sudah, aku pulang dulu. Fikirkan baik-baik tawaranku ini. Semua yang kamu lakukan saat ini untuk Ibu Ani." Viana mulai memakai helm-nya sebelum ia menghidupkan mesin motor, lalu menjalankan kendaraannya diantara kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya itu.
Allura menatap kepergian Viana dengan pandangan yang sulit diartikan. Setelah melihat kendaraan Viana yang sudah jauh, Allura pun kembali ke ruangan tempat mamanya berada.
Flashback off
Apa aku terima saja tawaran itu? Tapi, bagaimana bisa aku menjadi ibu susu di saat aku sendiri masih gadis? Bayarannya memang besar dan mungin akan cukup untukku dan Ibu. Aku juga bisa menabung untuk biaya operasi, Tapi, jika ibu mengetahuinya suatu saat nanti bagaimana? Apa yang harus aku katakan? pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang di kepalanya bak kaset rusak dan membuatnya sedikit pening.
Di sisi lain, Allura juga tidak bisa mengabaikan kondisi ibunya yang semakin memburuk. Jika tidak ditangani secepatnya, mungkin ia akan kembali kehilangan orang yang selama ini menjadi tempatnya bersandar.
"Ibu, aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?" tanya Allura pelan seraya mengecup punggung tangan Ibu Ani yang mulai keriput.
Saat ini dirinya tidak bisa menghubungi keluarga pihak mamanya, ponsel jadul yang ia miliki sudah di jual untuk membeli obat Ibu Ani beberapa hari lalu. Jadi, saat ini Allura sama sekali tidak memiliki alat komunikasi apapun.
Lagi-lagi hanya suara embusan napas kasar dan berat yang Allura lakukan. Hati, pikiran, serta tubuhnya sudah sangat terasa lelah, tapi ia masih berusaha untuk tetap tegar di sela-sela kesulitan yang menerpa hidupnya.
Kamu bisa Allura, kamu kuat, kamu bukan wanita yang lemah. Ingat Ra, Mama masih sangat membutuhkanmu, kamu harus kuat demi Mama. Jangan sampai kamu kehilangan beliau karena terlalu lama berfikir.
Kata-kata itu terus Allura rapalkan dalam hatinya saat ia sedang dalam keadaan yang lemah dan ingin menyerah. Setidaknya Allura menuntut dirinya sendiri untuk selalu berusaha agar melakukan apa yang bisa saya lakukan, meskipun pada akhirnya dia harus menerima kenyataan lain nantinya.
Saat masih sedang termenung, tiba-tiba monitor yang terpasang untuk memantau detak jantung Ibu Ani berbunyi sangat nyaring, hal itu membuat Allura terkejut dan segera memencet tombol darurat yang ada di samping brankar mamanya.
Hingga tak lama kemudian, datanglah dokter jaga beserta perawat yang akan memeriksa keadaan Ibu Ani.
Allura terus memerhatikan semua kegiatan dokter itu dengan khawatir dan cemas, hatinya sangat tidak menentu. Sedangkan saat ini tak ada orang yang bisa memberikan semangat padanya, hingga membuat Allura hanya bisa terdiam ditemani air mata yang kembali menetes.
Ya Tuhan, Mama ... semoga Mama cepat sembuh. Aku akan melakukan apapun yang terbaik untuk Mama. Maafkan aku jika keputusanku kali ini membuat Mama kecewa, batin Allura.
Ibu Ani kembali tenang setelah tadi dokter memeriksanya. Beliau sempat mengalami kejang-kejang dan hal itu yang membuat monitor tadi berbunyi.
"Dokter, apa yang terjadi pada Mamaku?" tanya Allura dengan khawatir saat ia melihat dokter itu membereskan kembali stetoskopnya.
"Ibu Ani mengalami kejang-kejang. Beliau memang tidak sadarkan diri, tapi pendengarannya masih tetap berfungsi. Jadi, usahakan untuk selalu berbicara positif di depannya agar alam bawah sadarnya tetap tenang dan tidak membuat beliau merasa tertekan," pesan dokter itu.
"Baik, Dok. Saya mengerti, terima kasih atas sarannya."
"Sama-sama, tetap sabar, ya!"
Allura hanya tersenyum tipis sembari mengangguk samar menanggapi ucapan dokter itu. Ia kembali duduk di kursi samping brankar mamanya, ia kembali menggenggam tangan Ibu Ani setelah dokter dan perawat yang menanganinya pergi.
Aku akan menerima tawaran Viana. Demi bisa mengobati Ibu, aku akan melakukan apapun yang masih bisa kulakukan, batin Allura penuh tekad.
Keesokan harinya, Allura menunggu Viana yang akan kembali datang ke rumah sakit. Dia bertekad akan menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh Viana kemarin padanya.
Semoga pekerjaan itu masih ada, aku sangat berharap masih bisa menyelamatkan Mama melalui pekerjaan itu, batin Allura dengan penuh harap.
Setelah Allura mengelap tubuh Ibu Ani, dia kembali terdiam sembari menatap kosong wanita yang sudah mengandung dan melahirkannya. Meskipun kini kemungkinan Ibu Ani untuk sembuh sangatlah kecil, tapi dia masih ingin berusaha untuk melakukan yang terbaik. Apapun yang akan terjadi setelahnya, dia masih berharap Ibu Ani bisa diselamatkan.
Hingga waktu menunjukkan pukul sepuluh, barulah Allura bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kantin rumah sakit untuk mengisi perutnya yang sudah mulai keroncongan. Bahkan untuk makan pun jatahnya kini dikurangi demi bisa berhemat.
Hari ini Allura memilih untuk bekerja masuk siang, beruntung atasannya mengerti keadaan dia dan mengizinkannya masuk siang, lalu akan pulang setelah malam hari.
Sesampai di kantin, Allura segera memesan mie instan cup yang harganya lebih murah di bandingkan dengan nasi. Bukan Allura tak ingin makan nasi, tapi uang tabungan yang ia miliki semakin menipis.
Saat Allura masih menikmati makanannya, tiba-tiba seseorang datang mengejutkannya dengan menepuk bahu gadis itu dan hampir membuatnya tersedak. Beruntung mie yang Allura makan itu tidak pedas karena ia bukan pecinta rasa itu. Namun, tetap saja membuatnya cukup tersiksa.
"Ya Tuhan, Viana! Kamu sengaja mau buat aku tersedak, ya!" sergah Allura saat ia menoleh dan melihat Viana yang tengah berdiri dengan wajah bersalahnya.
"Maaf, Ra. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu tersedak seperti tadi," ucap Viana seraya mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Lalu, tatapannya teralihkan pada cup mie instan yang hampir tandas.
"Kamu makan mie instan lagi, Ra?" tanya Viana.
Tanpa aba-aba, gadis itu menyambar mie cup di hadapannya dan hendak dia buang. Namun, gerakannya terhenti saat Allura mencengkeram pergelangan tangannya.
"Kamu mau bawa kemana mie cup itu?"
Viana menyimpan kotak makanan yang dibawanya di hadapan Allura. Tadi dia memang berniat untuk membawakan makanan pada sahabatnya.
"Nih, makan nasi! Kamu jangan sampai sakit akibat terus-menerus mengkonsumsi mie instan," ucap Viana.
Allura menatap haru sahabatnya, dia merasa menjadi orang yang sangat beruntung karena memiliki sahabat seperti Viana.
"Terima kasih, Na. Kamu benar-benar sahabat terbaikku." Allura memeluk Viana, dia tidak peduli jika sudah menjadi tontonan orang-orang yang sedang berada di kantin itu.
"Sama-sama, Ra. Sekarang, kamu makan dulu," ucap Viana seraya mulai membuka kotak makanan yang dibawanya.
Allura mengangguk menyetujui ucapan Viana, dia sendiri pun sudah sangat kelaparan karena tadi malam Allura melewatkan makan malamnya.
Viana terus memerhatikan Allura yang tengah menikmati makanannya, ia merasa sangat iba sekaligus takjub pada wanita itu. Andai dirinya berada di posisi Allura, belum tentu ia akan sekuat dan setabah temannya saat ini.
Selesai dengan makanannya, Allura segera merapikan kembali kotak makanan itu. Dia juga menyisakan sebagian makanannya untuk dinikmatinya malam hari nanti.
"Ra, kenapa kamu tidak menghabiskan makanannya?" tanya Viana saat dia melihat masih ada makanan yang tersisa di dalam kotak itu.
"Sengaja aku sisihkan untuk nanti malam, Na."
Lagi-lagi Viana menggeleng pelan setelah mendengar jawaban Allura. Menurutnya ini masih sangat siang, tapi Allura sudah memikirkan untuk nanti malam.
"Tapi sekarang masih siang, Ra. Sayang kalau tidak habis, untuk nanti malam aku akan membawakannya lagi," ucap Viana, kemudian ia membuka kembali kotak itu dan menyuruh Allura untuk menghabiskan makanan yang disisakannya tadi.
Allura tidak segera menuruti keinginan Viana, sudah bisa makan nasi hari ini pun, ia sangat bersyukur. Akan tetapi jika harus menyusahkan temannya lagi, tentu saja Allura tidak mau.
"Sudahlah, cepat habiskan makanan itu!" perintah Viana saat melihat Allura yang hanya diam saja.
"Tapi, Na–"
"Tidak ada tapi-tapian, Ra. Mama sudah memasakkan makanan itu untukmu, dia pasti akan sedih jika tahu kamu tidak memakan habis masakannya." Viana menampilkan wajah sedihnya sembari mengambil ponsel yang akan ia gunakan untuk menelepon mamanya.
Allura segera menghentikan gerakan Viana, ia kembali menghabiskan makanan itu dalam beberapa suapan sehingga membuat Viana tersenyum lebar dibuatnya.
"Sudah puas, cantik?" tanya Allura dengan menatap kesal Viana, sedangkan Viana sendiri segera mengangguk beberapa kali sambil tersenyum lebar.
Setelah makanan itu benar-benar tandas, Allura dan Viana pun menyempatkan diri untuk berbincang sesaat. Allura juga mengutarakan niatnya yang akan menerima tawaran Viana kemarin sore.
"Na, apa ... apa ... sepupumu sudah menemukan orang yang tepat untuk menjadi ibu susu anak majikannya?" tanya Allura dengan gugup.
Viana menatap lekat temannya, tadinya ia pikir Allura tidak akan pekerjaan itu. Apalagi setelah melihat reaksinya kemarin sore yang langsung menolaknya tanpa berpikir terlebih dahulu.
"Hei, jangan menatapku seperti itu," sergah Allura saat melihat Viana yang menatap lekat dirinya.
"Bukan. Apa kamu serius mau menerima tawaran kerjaan itu?" tanya Viana untuk memastikannya lagi.
Allura menunduk sesaat, keputusannya kali ini sudah bulat, ia akan melakukan apapun agar bisa membiayai pengobatan mamanya, Ibu Ani.
"Aku harus mendapatkan uang untuk biaya pengobatan Mamaku. Jika hanya mengandalkan gajian dari toko baju, sampai kapanpun uangnya tidak akan cukup. Jadi, aku akan berusaha melakukan apapun semampuku," jawab Allura pelan.
Viana mengusap bahu Allura, ia berusaha menyalurkan semangat untuk sahabatnya.
"Kamu yang sabar, Ra. Yakinlah jika Ibu Ani pasti akan kembali sembuh," ucap Viana. Kemudian gadis itu mengambil ponsel untuk menghubungi sepupunya yang masih bekerja.
Allura terus memerhatikan gerak-gerik Viana, cukup lama mereka menunggu hingga panggilan itu di jawab oleh sepupu Allura.
Viana mulai membicarakan niat Allura yang bersedia untuk menjadi ibu susu anak majikannya, bahkan Allura juga sempat berbicara sesaat dengan majikan sepupu Viana. Setelah perbincangan itu selesai, mereka sepakat untuk bertemu besok siang.
"Ra, kamu benar-benar serius akan melakukan pekerjaan itu? Waktunya sampai dua tahun, lho. Lalu, bagaimana nanti dengan pasanganmu? Apa kamu tidak takut dia akan curiga?" cecar Viana.
Allura kembali memikirkan ucapan Viana, apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu ada benarnya. Namun, untuk saat ini Allura belum memikirkan hubungan yang lebih serius. Lagi pula ia yakin, jika pria yang akan menikahinya akan mau menerima semua kekurangannya.
"Aku akan tetap jujur padanya, Na. Jika dia memang jodohku, maka dia tidak akan keberatan dengan kondisiku. Lagi pula saat ini aku belum memikirkan hal itu, Na." Allura tersenyum kecil di akhir kata.
Viana tidak mengetahui perasaan Allura yang sebenarnya, tentu saja gadis itu merasa gugup, cemas, bahkan ada setitik ketakutan yang hinggap di hatinya. Namun, bukan Allura namanya jika ia tidak bisa menutupi semua perasaan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!