Alexandra Pierce, lima belas tahun. Ayahnya Brandon Pierce empat puluh empat tahun, sedangkan sang ibu Margarita Bowell, empat puluh tiga tahun.
Brandon adalah seorang mafia klan WhiteWolf, klan mafia terbesar, terkuat dan paling berkuasa. Kekayaan melimpah, memiliki dua puluh perusahaan legal besar dan ratusan perusahaan ilegal. Belum lagi, kasino terbesar yang menjadi pemasukan perputaran dan pajak terbesar negara adalah milik dari Tuan Pierce.
Alexa, panggilan gadis itu, tumbuh dengan didikan keras dari sang ayah. Berteman dengan kekerasan dan senjata sudah menjadi rutinitas Alexa sedari ia sudah bisa berjalan. Brandon mengajari putrinya tentang kepemimpinan baik di perusahaan juga mafia.
Hingga pada suatu hari yang indah. Brandon dan Margarita ingin pergi berlibur berdua saja.
"Sayang, kami ingin pergi. Bisakah kau di sini bersama Paman Joe mengawasi semua perusahaan Daddy?" ujar Brandon ketika hendak pergi berlibur.
"Berapa lama?" tanya Alexa tanpa minat.
"Hanya dua minggu, sayang," jawab Margarita, ibunya.
"Baik lah. Ingat, hanya dua minggu. Jika tidak ...!"
"Iya, sayang. Hanya dua minggu," potong Brandon cepat.
"Joe!" panggil pria itu.
Sosok tampan dengan tubuh tegap datang lalu membungkuk hormat.
"Kau awasi semuanya dan pastikan berjalan dengan baik!" titah Brandon lagi.
"Baik Tuan," sahut Joe masih membungkuk hormat.
"Mommy dan Daddy, pergi dulu ya," pamit Margarita.
Keduanya mencium putrinya yang baru lima belas tahun itu.
"Ingat hanya dua minggu!" tekan Alexa lagi.
"Iya, iya!" sahut Brandon, padahal kakinya baru saja melangkah.
Alexa menatap kepergian kedua orang tuanya. Ia pun kini tengah mengerjakan tugas kuliahnya. Otaknya yang berada di atas rata-rata. Membuat ia cepat menempuh pendidikannya. Mengambil kelas akselerasi. Alexa sudah mengajukan skripsi agar lulus di tahun ini.
"Nona, siang nanti akan ada pertemuan dengan para kolega tentang kerjasama pembangunan panel kelistrikan di distrik A," ujar Joe memberitahu.
"Jam berapa?"
"Dua puluh menit dari sekarang," jawab Joe.
Brak!
"Berengsek! Kenapa tidak kau bilang sebelum Daddy pergi tadi!" bentaknya kesal.
Joe hanya menunduk hormat. Memang tadi ia tak berkesempatan untuk menyatakan jadwal.
Alexa menutup laptopnya. Ia pun beranjak dari duduknya.
"Mana berkas-berkas yang harus aku tahu?" sentaknya sambil menengadahkan tangan..
"Ini Nona!"
Joe memberikan satu bundel berkas. Mata gadis itu melebar. Sepuluh file harus dipelajari dalam waktu yang cepat.
"Aaarrghh!" pekiknya kesal.
Gadis itu melirik sebal pada pria tampan yang hanya datar saja, tanpa rasa bersalah. Alexa berdecih tak suka. Dengan terpaksa ia harus membaca cepat semua file itu. Beruntung otaknya yang super genius bisa mengatasi hal itu.
Setelah ia membaca satu file ia melempar berkas itu begitu saja. Hal itu membuat Joe kerepotan karena harus dengan sigap menangkap semua berkas agar tak berhamburan. Itulah aksi balas dendam gadis itu pada bawahan ayahnya yang tampan nan rupawan itu.
Sepuluh berkas ia pelajari. Joe mengusap titik keringat di dahinya. Mengembus napas kuat-kuat agar ia tak terengah-engah. Bayangkan Nona mudanya membuang berkas-berkas yang dibaca tanpa ia tahu arah. Terkadang, Alexa seperti hendak melempar tetapi tidak jadi lalu tiba-tiba kertas itu dibuang begitu saja. Mereka berdua menaiki lift khusus. Alexa hanya memakai kaos oblong bergambar kartun Disney dan celana jeans sedengkul dan sepatu kets warna putih. Rambutnya ia kuncir kuda.
"Ambilkan blaser ku!" teriaknya.
Seorang maid harus berlari memberikan blaser warna senada dengan celananya.
"No ... na ...," ujar seorang maid dengan terengah-engah memberikan blasernya.
Alexa menyambar begitu saja, lalu memakainya. Tak perlu dandan berlebihan. Ia baru lima belas tahun dan sangat arogan juga bossy.
Sembilan belas menit ia sudah berada di ruangan meeting. Ia pun langsung menyalakan proyektor. Joe menaruh file agar terlihat jelas tulisan poin kerjasama.
"Baik saya mulai saja rapatnya. Tutup pintu, tidak ada yang boleh keluar masuk setelah rapat saya nyatakan mulai!" titah gadis itu dengan arogansi tinggi.
Ia melihat benda melingkar di lengan kirinya. Menatap kursi yang ada satu masih kosong. Dia tersenyum sinis. Ia sangat tahu, milik siapa kursi itu.
"Kita mu ...."
"Tunggu!" pekik seorang pria lalu buru-buru masuk dan duduk.
Napasnya terengah-engah. Keringat bercucuran. Kacamata tebal dan rambut berantakan. Pintu pun ditutup.
"Anda nyaris terlambat Tuan Robinson!" ujar Alexa sedikit kesal.
'Ck ... sedikit lagi padahal!' gerutu gadis itu dalam hati.
Harry Robinson, dua puluh dua tahun. Seorang pengusaha muda yang baru saja mengembangkan bisnisnya. Alexa kurang menyukainya bahkan terkesan ingin mem-buly pemuda itu.
Kacamata tebal, tubuh kurus, jas formal yang sangat kumal. Terlihat jelas jika itu adalah milik ayah dari pria itu. Sepatu pantofelnya juga bukan dari keluaran branded ternama.
"Kita mulai!" ujar Alexa.
Rapat pun berjalan cukup alot. Banyak poin-poin yang ditanyakan oleh Harry. Pemuda itu menanyakan dampak pada lingkungan sekitar dan sumber daya manusia yang digunakan. Pertanyaan-pertanyaan diluar dugaan Alexa. Gadis itu harus memutar otak dan ingatannya pada berkas yang tadi ia baca.
'Ck ... sialan pria ini. Dia mau melihat sejauh mana pengetahuanku, rupanya!' gerutunya kesal lagi-lagi dalam hati.
Puas semuanya bisa masuk dalam proyek besar ini. Harry pun tak lagi mengajukan pertanyaan. Sebenarnya, Alexa ingin sekali menendang perusahaan pemuda itu dari awal kerjasama. Sialnya sang ayah terlalu baik, hingga perusahaan Robinson corp. bisa masuk dalam pembangunan proyek raksasa ini.
"Dia memiliki sumber robot dan kontrol panel terbaik di negara ini. Jika kita tidak mengambil kerjasama dengan perusahaan ini," jelas Joe.
Alexa pun harus mengikutinya. Jika saja proyek ini tak memerlukan sumber daya yang dimiliki oleh Harry, tentu ia akan menendang pemuda culun itu jauh-jauh.
"Membuatku sakit mata saja, melihat penampilannya," gerutunya kesal.
Kedatangan Harry Robinson, membuat mood Alexa berantakan. Ia begitu marah dan ingin sekali membuat kekacauan. Ia mendatangi markas mafia, tempat ia tumbuh dan berkembang. Mengambil pistol lalu berjalan dan melakukan sweeping.
Anak buah yang tengah mengkonsumsi ganja, bermain dengan wanita malam atau yang tengah berjudi, tak segan-segan akan diberi hadiah timah panas darinya.
Perjanjian klan WhiteWolf memang begitu ketat. Semua anak buah dilarang memakai dan bermain barang yang mereka jual.
"Buka pintu itu!" bentaknya.
Brak! Joe menendang pintu itu hingga rusak dan terbuka. tiga pasang beda jenis yang tengah bergumul dan bugil terkejut.
Dor!
"Arrghh!" teriak pria bugil sambil memegang kakinya.
Senjata yang dipegang Alexa, mengeluarkan asapnya. Wajahnya sangat marah. Dua wanita cantik menutupi tubuh telanjangnya dengan seprei, keduanya ketakutan.
"Apa kau orang baru, hingga tak tau apa peraturan klan di sini?!" tekannya datar.
"No ... na ... sa ... sa ...."
"Diam!" bentak Alexa marah.
"Kau darimana?" tanyanya pada salah satu gadis dengan todongan senjata.
"Da ...dari ... dari kota V," jawab gadis berambut cokelat itu.
"Kamu?"
"Ko ... kota ... kota N," jawab satunya lagi.
"Joe?"
"Dua gadis itu baru datang dari kota mereka untuk menjadi wanita penghibur di diskotik kita, Nona!" sahut Joe langsung memberitahu.
"Apa yang pria berengsek itu janjikan pada kalian?" tanya Alexa berang.
"Dia ... dia akan membayar dan menempatkan kami di list gold, Nona," jawab gadis berambut cokelat.
Alexa tertawa terbahak-bahak. Lalu menampar dua gadis ini hingga berdarah.
"Bodoh!" bentaknya marah.
"Apa kalian tak pernah membaca apa persyaratan masuk dalam list gold?" tanya Alexa berang.
Keduanya menggeleng. Mereka memang tidak tahu menahu. Hanya ingin hidup layak tanpa harus bekerja keras. Menjadi pelayan napsu laki-laki, jika beruntung menjadi simpanan boss-boss besar.
"Joe, jelaskan pada dua wanita bodoh ini. Setelah itu kirim mereka ke kampungnya!" titah Alexa lalu meninggalkan kamar itu.
Joe hanya menghela napas berat. Ia pun menjelaskan apa persyaratan untuk masuk daftar emas, di klub elit milik atasannya.
bersambung.
hai ... hai ... ini karya terbaru othor ... yuk dukung
next?
Brandon Pierce, empat puluh empat tahun, memiliki istri bernama Margarita Bowell, empat puluh tiga tahun. Mereka memiliki anak perempuan bernama Alexandra Gabrielle Pierce, lima belas tahun.
Brandon menikahi Margarita ketika masih berusia dua puluh tahun dan istrinya sembilan belas tahun. Sebenarnya Ayah Margarita tak merestui keduanya karena, Brandon seorang mafia. Pemuda itu melarikan sang gadis idaman yang memang cantik jelita. Membawanya ke gereja dan memaksa pendeta menikahkan mereka.
Mereka resmi menikah, lalu Brandon memboyong istrinya ke markasnya. Dulu WhiteWolf belum sebesar sekarang.
Lambat laun, kecerdasan Margarita mengembangkan klan suaminya. Berbagai usaha selalu berhasil dan berkembang. Hingga setahun pernikahan mereka, Margarita memberikan seorang putri yang sangat cantik.
"Aku akan memberinya nama Alexandra Gabrielle Pierce," ujar Brandon dengan senyum mengambang.
"Dia adalah penerusku, titahnya adalah titah ku. Tak boleh ada yang melanggar apa kata dan perintah dari putriku!" tekan Brandon tegas.
Tak ada satupun yang berani membantah. Walau ada beberapa yang ingin menggulingkan pria itu. Tetapi, kekejaman Brandon tak ada yang bisa menandinginya.
"Jadi ada yang ingin menyingkirkanku?" ujarnya dengan seringai sadis.
Brandon pun langsung menghabisi para pengkhianat hingga ke akar-akarnya.
Brak!
Brandon menendang pintu, beberapa pria tampak terkejut. Belum sempat melawan, berondong peluru menembus tubuh keseluruhan pria-pria yang ada di sana.
Mayat manusia bergelimpangan dengan darah di mana-mana. Salah satu diantaranya tengah meregang nyawanya.
"Hai, Morron, bagaimana rasanya nyawa di ujung tanduk?" ujarnya menyeringai.
"Kkkaau ... aarrgghh!"
Morron atau Morton tewas dengan mata membeliak. Brandon menghela napas panjang. Mengambil sesuatu di kantung kemeja pria yang sudah tak bernyawa itu.
"Jadi kalian menyimpan curian kalian di sini?" ia tersenyum miring.
"Kau kira aku bisa kau pecundangi, Morron? Ah maksudku Morton?"
Pria itu berdiri dan mengambil senjata MG-42. Senjata ini Diproduksi untuk tentara Nazi Jerman "Wehrmacht" dan pasukan pengawal Adolf Hitler "Waffen SS" pada paruh ke-2 Perang Dunia II (PD2), Maschinengewehr/MG (senapan mesin/machine gun) 42, sesuai namanya, diproduksi pada 1942. MG-42 diproduksi untuk menjadi pengganti MG-34 yang lebih mahal dan susah diproduksi.
Dijuluki "Gergaji Hitler" karena suaranya yang unik, MG-42 mudah ditembakkan dan dapat menembakkan 1.200 butir peluru 7.92×57mm Mauser per menit, dibandingkan 850 peluru oleh MG-34. Laras MG-42 mengandalkan udara agar mendingin. Bahayanya, besi laras MG-42 bisa meleleh jika ditembakkan non-stop selama 5 menit. Karenanya, pasukan Nazi memiliki laras cadangan untuk MG-42 setiap waktu. Brandon mendapatkannya di pasar gelap.
Bisa dibayangkan betapa mengerikannya pembantaian ini. Pria itu meninggalkan ruang penuh darah itu. Ia memantik api, lalu melemparkannya di bangunan itu. Dalam sekejap bangunan itu terbakar, hingga menjadi abu.
"Kau membunuh mereka semua?"
Tiba-tiba seorang anak laki-laki menjadi saksi peristiwa itu. Brandon menatap anak laki-laki berkisaran tiga belas tahun.
"Kau melihat semuanya?" anak itu mengangguk dan kini ada genangan di pelupuk matanya.
Brandon menyamakan tubuhnya dengan tinggi remaja tanggung pemberani itu. Netra amber milik Brandon memandang iris gelap yang begitu jernih.
"Siapa namamu?"
"Joenathan Forman," jawab bocah itu.
"Apa ada yang kau kenali di sana?" lagi-lagi bocah itu mengangguk.
"Salah satu dari mereka membunuh ayah ibuku dengan kejam," ujarnya memberitahu.
"Aku berhasil selamat karena ibuku menyembunyikan ku di atap rumah," lanjutnya dengan nada sendu.
Brandon bernapas lega. Ia telah membantu Joe membalas dendam. Ia mengusap genangan di pelupuk remaja itu.
"Kalau begitu, ikutlah denganku. Aku akan mengurusmu," ajaknya.
Joe mengangguk. Ia akan belajar giat agar bisa membanggakan dan membalas budi pria yang telah membantunya untuk menghabisi pembunuh kedua orang tuanya.
Brandon menggandeng tangan Joe.
"Sekarang namamu adalah Joe Forman Pierce kau menjadi adikku!" ujar Brandon menegaskan siapa diri remaja kecil itu.
Joe tersenyum lebar. Ia mengangguk senang. Keduanya pulang ke rumah. Semua musuh ditumpas oleh Brandon dengan tangannya sendiri.
"Sayang, perkenalkan ini adikku yang kutemukan Joe Forman Pierce!"
Margarita tersenyum dan menyambut remaja kecil itu. Ia memeluk dan mengelus. Wanita itu memandikan dan memberi pakaian mahal. Margarita menyuapi Joe penuh kasih sayang.
Joe tumbuh bersama Alexandra. Brandon mengajari keduanya dengan berbagai keahlian.
Joe di sekolahkan di salah satu asrama pria dan dididik menjadi sosok kuat. Menempuh pendidikan yang membentuk manusia-manusia kuat, cerdas dan tangguh, selama tujuh tahun.
"Tuan, aku sudah kembali!" ujarnya ketika masuk ke markas.
Brandon begitu bangga dan senang. Joe kembali padanya. Remaja kucel dulu kini menjadi sangat tampan dan rupawan. Netra pekatnya mampu membius lawan.
"Kau sangat tampan," puji Margarita.
Brandon setuju hal itu. Joe membungkuk hormat sebagai ucapan terima kasih.
"Sayang, kemari!" panggil Margarita pada gadis kecil berusia tujuh tahun.
"Perkenalkan ini pamanmu, Joe. Dulu kau dan dia sama-sama belajar. Tetapi, kau baru lahir, jadi kau tidak ingat dia," ujarnya memperkenalkan pria tampan itu.
"Paman!" sambut Alexa dengan tatapan ingin tahu.
Joe hanya membungkuk hormat lagi. Pria itu benar-benar terlatih untuk datar dan menjadi sosok dingin.
"Kau sudah punya pacar, Joe?" tanya Margarita usil.
Joe menatap datar wanita yang menahan senyum itu.
"Jangan kau tatap istriku seperti itu, Joe!" peringat Brandon.
"Maaf, Tuan!" ujar Joe lagi dan lagi membungkuk hormat.
"Hentikan sikap formalmu, Aku kakak angkat mu, jika kau ingat itu!" protes Brandon lagi.
"Sekarang, kau ikut aku. Akan kuperkenalkan dirimu pada halayak," ajak Brandon.
Kedua pria tampan itu pun berjalan keluar dari markas. Brandon melempar kunci mobil pada Joe yang langsung ditangkap olehnya.
"Kita ke markas utama!" titah Brandon.
Joe mengangguk dan menjalankan mobil itu. Butuh waktu sepuluh menit, untuk sampai pada markas utama. Sebuah bangunan mirip aula. Semua anggota klan berkumpul dan tengah merencanakan sebuah pergerakan pencurian senjata ilegal.
"Tuan besar datang!" seru penjaga.
Semua berdiri dan menyambut ketua mereka. Brandon datang bersama Joe. Semua membungkuk hormat.
"Selamat datang Tuan besar!" sambut semua anggota.
Ada sekitar tujuh ratus orang yang sudah bergabung menjadi anggota klan WhiteWolf.
"Aku akan memperkenalkan adikku. Dia akan menjadi tangan kananku. Hukumannya adalah hukumanku, titahnya sama dengan titahku!"
Semua diam. Joe maju ke depan. Semua mengenali pria itu. Joe sering dibawa ke markas utama tujuh tahun yang lalu.
"Joe Forman Pierce!"
"Selamat datang Tuan muda!" sambut para anggota.
"Terima kasih!" ujar Joe.
"Sekarang, apa pergerakan senjata itu sudah bisa ditemukan?" tanya Joe.
Semua terhenyak. Pergerakan senjata baru mereka dengar beberapa jam sebelumnya.
"Jangan bertanya aku tahu darimana. Sekarang, kalian bentuk menjadi empat kelompok!" titah pria itu.
Lalu meluncurlah sebuah strategi bagaimana pergerakan pencurian mereka tak terdeteksi oleh lawan lainnya.
"Kita bergerak ... sekarang!" titahnya.
Semua bergerak sesuai instruksi ketua mereka. Hanya dalam waktu singkat. Semua senjata bisa diambil tanpa ada yang menjadi korban.
Keberhasilan mereka menjadi buah bibir para klan mafia. Mereka mulai mengibar bendera perang. Tentu saja, Joe adalah Brandon dan. Brandon adalah Joe.
Hanya dalam jangka waktu tiga tahun. Mereka menguasai pasar gelap dan mengumpulkan pundi-pundi uang.
Membangun beberapa perusahaan legal dan kasino. Alexa sang putri diturunkan langsung untuk menjadi pemimpin beberapa perusahaan. Siapa sangka bocah perempuan berusia sepuluh tahun itu mampu mengoperasikan perusahaan dan menjadi berkembang dan memonopoli pasar bisnis.
bersambung.
Waktu berlalu, Alexa sedang mengerjakan tugasnya. Gadis kecil itu tampak serius dengan semua pelajaran yang ia terima.
"Alexa, ikut Daddy!" ajak Brandon.
"Oke, Dad!" sahut Alexa.
Brandon menggandeng putrinya dengan menopang senjata laras panjang. Mereka menuju sebuah tempat latihan tembak. Ketika di sana. Alexa diberi rompi anti peluru dan pelindung kepala. Gadis kecil itu sudah terbiasa sejak ia baru bisa berjalan.
"Sekarang, kau harus menghadapi musuh yang datang tiba-tiba," ujar Brandon.
Alexa mengangguk tanda mengerti. Ia mulai membaca map jalur yang harus ia lalui nanti. Ruangan berbentuk labirin itu memiliki jalan-jalan berliku dan buntu. Setelah menghapal dan tau cara keluar. Alexa mulai masuk.
Brandon mengawasinya dari layar. Ia akan datang jika putrinya benar-benar kesulitan.
"Tuan, apa Nona sudah masuk?" tanya salah satu instruktur perang.
"Ya baru saja. Ada apa?"
"Kita keluarkan Nona kembali. Tempat itu disusupi musuh dan menggunakan peluru tajam!" ujar pria itu memberitahu.
Bug! Bug! Bug!
Brandon langsung menghajar pria itu. Ia begitu marah dan berang.
"Bangsat! Bagaimana bisa ada musuh masuk ruangan itu!" bentaknya.
Instruktur itu meringis kesakitan Bibirnya sobek dan berdarah, tubuhnya diangkat ke atas oleh Brandon.
"Saya ... saya baru mengetahuinya tadi ketika memeriksa peralatan yang biasa di pakai masih lengkap dan menemukan peluru tajam!" jawabnya ketakutan.
"Aku tak peduli! Bagaimana bisa musuh masuk ke tempat ini?!" bentak Brandon marah besar. Ia melempar pria itu hingga membentur dinding dengan keras. Brandon mengambil ponsel dan melakukan panggilan.
"Joe bawa lima puluh anak buah ke tempat latihan tembak, putriku dalam bahaya! Cepat!" titahnya lalu langsung memutuskan sambungan.
Dengan penuh kecemasan, ia melihat layar di mana putrinya menembak patung-patung yang muncul mendadak. Senjata yang digunakan Alexa merupakan senjata paintball. Jadi hanya peluru cat berwarna merah. Tentu tak membuat orang terluka. Walau ia memakai rompi anti peluru dan pelindung kepala. tentu tak bisa seratus persen melindunginya.
"Ya Tuhan ... selamatkan putriku," pinta pria itu memohon.
Tak lama Joe datang bersama para anak buah. Mereka langsung masuk dan mencari keberadaan nona mereka. Joe yang memimpin.
Brandon memperhatikan saja dari layar. Ia melihat pria instruktur itu masih tak sadarkan diri. Ia mendatangi pria itu, dan ....
Dor! Dor!
"Aarrghh!" teriak pria itu.
Brandon menghadiahkan dua peluru di kaki kanan dan kiri pria bernama Leo.
"Dengan begitu kau tak akan lari ke mana pun," ujar Brandon santai.
Pria itu kembali ke depan layar melihat pergerakan. Di sana, Alexa berkelahi di sebua jalur yang hanya beda satu jalur dengan rombongan. Brandon begitu kesal. Ia menelepon Joe dan mengatakan jalur yang harus dilalui adik angkatnya.
Beberapa anak buah Joe menemukan jalur Nona mereka. Di sana langsung terjadi adu tembak. Pihak lawan langsung kalah. Joe yang datang mengungsikan Alexa. Ia membawa lari gadis kecil itu di antara desingan peluru.
"Turunkan aku Paman!" pekik Alexa.
"Maaf, Nona. Anda harus keluar dari tempat ini dengan aman!" ujar Joe tak mau menuruti perintah Alexa.
Brandon lega karena putrinya bisa diselamatkan dengan cepat. Begitu Joe keluar. Ia langsung memeluk putri dan memeriksanya.
"Kau tidak apa-apa, Sayang? Apa ada tubuhmu yang terluka?" tanyanya beruntun.
"Aku tidak apa-apa, Daddy," jawab Alexa.
Brandon menciumi wajah putrinya, lalu ia mengajak pulang.
"Urus pria itu!" titahnya sambil melihat Leo yang pingsan.
Joe membungkuk hormat. Brandon pun berlalu dan pulang segera.
Sampai rumah. Ternyata berita Alexa yang nyaris dibunuh oleh musuh sampai pada Margarita, sang ibu. Wanita itu berdiri dengan cemas.
"Sayang, aku pulang!"
Brandon datang menggandeng putrinya. Margarita langsung berlari dan memeluk putrinya. Ia menciumi dan penuh kelegaan.
"Syukur lah kau tidak apa-apa, sayang," ujarnya lega.
Alexa memeluk ibunya.
"Mommy, aku lapar," ujarnya.
"Ayo, kita makan. Mommy udah masak makanan kesukaanmu," ajak wanita cantik itu.
Margarita menggandeng putri dan suaminya. Ia mencium bibir sang suami.
"Terima kasih, telah membawa putriku pulang dengan selamat," ujarnya tulus.
"Sama-sama sayang," sahut Brandon.
Mereka pun makan dengan tenang. Alexa begitu menyukai makanannya. Usai makan, Alexa langsung kembali mengerjakan tugasnya. Ia sampai tertidur.
Brandon yang memeriksa tersenyum. Ia memindahkan tubuh putrinya di tempat tidur.
"Apa dia sudah tidur?" tanya Margarita.
"Sudah sayang," jawab pria tampan itu.
"Sayang," panggil Margarita dengan suara manja.
Brandon sangat tahu apa yang istrinya inginkan. Ia pun menggendong sang istri ala pengantin. Ia pun membawa Margarita ke kamar mereka.
Sedang di tempat lain. Musuh-musuh yang hendak membunuh nona mudanya sudah habis. Joe sudah membereskan Leo, dengan mengirimnya ke rumah sakit dan menjebloskan pria itu nanti di penjara mereka.
Joe memandang ruangan ini. Ia menuju lantai atas untuk memeriksa keadaan. Ia cukup terkejut melihat pemandangan.
Area atas merupakan tempat pemandian sauna, banyak gadis-gadis tanpa busana hilir mudik. Hanya beberapa pria yang tengah asik menikmati ******* para gadis di benda milik mereka.
Joe didatangi sosok cantik dengan tubuh yang menggiurkan. Buah dada silikon menggantung bebas. Wanita itu berbicara dengan ******* manja.
"Tuan, apa yang bisa aku bantu?" wanita itu meraba dada Joe.
Sebagai seorang lelaki, tentu hal itu membakar sesuatu dalam dirinya. Bahkan, ketika dengan berani wanita itu menyambar bibirnya dan memberikan ciuman panas di sana. Tangan wanita itu mampu membangkitkan batang yang tertidur. Joe menarik tubuh seksi itu dan mulai melancarkan aksinya. Remasannya membuat sang wanita melenguh.
"Tuan, buka bajunya, aku ingin merabanya," rengek wanita itu.
Joe melihat arah lain. Tak ada pergerakan, insting pria itu sangat tajam. Satu tombol ia tekan. Ketika wanita itu hendak mencium bibirnya. Ia langsung menolak dan mendorong tubuh wanita itu hingga jatuh ke lantai.
"Tuan ... apa anda gila?" pekik wanita itu kesakitan.
Joe menyeringai sadis. Ia menatap para pria yang pura-pura menikmati layanan mesum tempat itu.
"Keluar kalian, sebelum aku membunuh kalian!" ancam Joe.
"Tuan, apa yang engkau bicarakan?" sahut wanita itu berdiri.
Ia kembali dengan berani, mengamit tangan Joe dan menaruhnya di dadanya. Pergerakan wanita itu memancing gairah siapapun.
Tadinya, Joe terpercik gairah. Tetapi, satu gerakan mencurigakan membuatnya sadar jika tempat ini benar-benar telah dikuasai oleh musuh.
Joe menodongkan senjatanya di kepala wanita yang menggodanya.
"Apa masih ingin kulanjutkan?"
Wanita itu bergetar ketakutan. Beberapa anak buah Joe naik ke atas. Terjadilah aksi saling tembak. Para wanita berteriak berlarian dan berlindung di mana pun agar tak terkena peluru nyasar.
Tiga pria tergeletak bersimbah darah. Joe menatap wanita yang tadi baru saja membakar hasratnya. Wanita itu juga sudah menjadi mayat.
"Aku harus lebih berhati-hati lagi," gumamnya bermonolog.
Joe pergi meninggalkan tempat. Para anak buah membereskan ruangan hingga bersih dari mayat dan darah. Sedangkan Joe pergi ke rumah kakak angkatnya untuk memberi laporan. Walau ia harus menunggu lama, karena Brandon tengah bermesraan dengan sang istri.
bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!