NovelToon NovelToon

Rumah Tepi Sungai

1. Sepucuk surat

Akhir bulan Desember, hujan begitu lebat mengguyur kabupaten T, di daerah pesisir selatan Jawa Timur. Pagi yang seharusnya membawa semangat untuk mengawali aktivitas seharian, nyatanya terasa lebih muram dan kelam saat ini.

Bayu Khairil, duduk di sofa dengan segelas kopi arabica hangat yang mengepulkan asap putih tipis di hadapannya. Laki laki berusia tiga puluh tahun itu tengah asyik membaca sebuah buku usang. Sesekali dia mengusap kedua mata birunya. Terdengar pula hembusan nafas yang terasa berat, seakan memberi penegasan dia sedang gundah kali ini.

Buku usang yang dia baca hampir sampai di halaman terakhir. Dan kegelisahan semakin terlihat jelas di rona wajahnya. Tinggal beberapa lembar lagi untuk menuntaskan membaca buku yang dia dapatkan beberapa hari yang lalu itu.

Tok tok tok

Terdengar sebuah ketukan dari pintu depan. Bayu memicingkan matanya, bertanya dalam hati, siapa gerangan yang bertamu di tengah hujan seperti saat ini?

Bayu meletakkan buku usang di tangannya. Dia berjalan perlahan ke arah pintu depan. Bayu mengintip dari jendela di samping pintu, dia penasaran siapa yang telah mengetuk pintu rumahnya.

Seorang laki laki, memakai jas hujan berwarna oren terlihat berdiri mematung di depan pintu. Di tangannya nampak sebuah benda terbungkus plastik hitam, digenggam dengan begitu erat.

Tok tok tok

"Permisii, . .pakett,"

Terdengar suara dari balik pintu. Rupanya kurir pengantar paket yang datang. Bayu segera menarik gagang pintu, dan serta merta angin yang sangat dingin menerobos masuk bersamaan dengan pintu kayu jati yang terbuka.

"Paket untuk Pak Bayu Khairil," Ujar kurir membaca tulisan yang tertempel di atas bungkusan berwarna hitam. Tulisan terlihat basah dan sedikit luntur terkena rintik hujan.

"Paket?" Bayu mengernyitkan dahi. Dia merasa sedang tidak memesan apapun.

"Iya, ini ada paket untuk atas nama Bayu Khairil," Ujar sang kurir sambil menyodorkan benda berbungkus plastik hitam di tangannya.

Sedikit ragu, akhirnya Bayu menerima paket tersebut. Sambil tersenyum sekilas, kurir segera beranjak pergi meninggalkan Bayu yang masih berdiri termenung memperhatikan benda hitam yang kini ada di genggaman tangannya.

Sebuah paket berbentuk kotak, semacam box kardus yang terasa ringan. Ada perasaan curiga dan penasaran bercampur menjadi satu di hati Bayu. Sebagai seorang petugas kepolisian, Bayu memiliki insting tajam yang membuatnya lebih waspada dan hati hati. 

"Paket di hari minggu? Oh, tunggu. . .," Bayu terperanjat, seakan baru teringat sesuatu. Dia mengedarkan pandangannya, mencari sosok kurir yang tadi berada di hadapannya. Namun kini, kurir itu sudah lenyap, hilang tak berbekas.

Bayu menyadari, di daerah tempat tinggalnya tak ada ekspedisi ataupun kurir yang mengantarkan paket di hari minggu. Apalagi di jam yang terlampau pagi seperti saat ini.

Bayu akhirnya memutuskan membuka paket yang ada di tangannya itu. Rasa penasarannya sudah tak tertahankan. Dengan sedikit kasar, dia membuka plastik hitam pembungkus benda misterius itu.

Dan benar saja, di dalamnya terdapat sebuah box karton berwarna coklat tua. Ada sebuah pengait di ujungnya. Bayu menarik pengait dan terbukalah box tersebut.

Sepucuk surat dan sebuah foto. Foto yang tidak asing, tercetak kecil dengan resolusi gambar yang diperbaiki. Dalam foto terlihat beberapa anak berseragam putih abu abu berdiri berjajar di depan papan tulis yang bertuliskan XI IPA 5.

Bayu menemukan dirinya dalam foto tersebut. Foto yang membuat Bayu bernostalgia, teringat teman teman sekelasnya waktu di SMA dulu.

Kemudian Bayu beralih memperhatikan sepucuk surat yang di gulung serta ditali dengan seutas benang berwarna emas. Bayu menarik benang tersebut, hingga akhirnya gulungan surat itu terbuka. 

Semakin aneh saja melihat surat yang sudah terbuka. Surat tersebut tidak ditulis tangan ataupun diketik komputer dengan rapi. Tulisan dalam surat terlihat seperti potongan kata dan kalimat di koran yang dipotong kemudian ditempelkan pada selembar kertas.

Bayu bergegas membaca isi surat tersebut.

Hallo

Apa kabar kawan kawanku?

Semoga kalian dalam keadaan sehat dan bahagia ya.

Masih ingat denganku?

Aku adalah orang yang mengambil foto yang sedang kalian pegang dan lihat saat ini

Foto kelas kita, XI IPA 5.

Yah, aku memang nggak ada dalam foto itu, tapi aku yakin kalian tidak lupa denganku

Aku adalah Zainul Rikhman, tapi sekarang semua orang memanggilku Zainul Rich man

Ha ha

Kalian mungkin sudah baca berita, penulis cerita bertema bullying yang bukunya tersohor

Orang paling kaya di Kabupaten T tahun 2021, yang tinggal di rumahnya yang terletak di pedalaman hutan

Yah, itu adalah aku

Untuk apa aku mengirimkan surat aneh ini pada kalian?

Jawabannya karena aku suka sesuatu yang aneh aneh dan unik

Aku berniat mengundang kalian semua ke istanaku

Ke rumahku, rumah yang terletak di tepian sungai di tengah hutan yang sangat eksotis dan damai

Aku ingin berbagi dengan kalian, sungguh

Aku bisa menjadi seperti sekarang ini juga berkat kalian

Kalau kalian bersedia datang, lusa berangkatlah

Ada jamuan special untuk kalian

Juga aku ingin membagi sedikit uangku untuk kalian

Kalau kalian bersedia mengunjungiku aku akan mentransfer 300 juta rupiah ke rekening kalian

Jangan khawatir, aku tidak sedang membual

Begitu kalian sampai di rumahku, 100 juta akan langsung masuk ke rekening kalian

Sisanya akan kuberikan secara cash jika kita sudah bertemu

Sampai jumpa di rumahku ya

Aku rindu kalian, sungguh

Bayu membaca dengan seksama surat tersebut. Dia menopang dagu, terlihat memikirkan sesuatu. Instingnya sebagai seorang petugas kepolisian seperti memberi peringatan untuk berhati hati.

Bayu meraih HP di atas meja. Dia mencoba menelepon seseorang.

"Hallo," sebuah suara yang terdengar lembut menyapa melalui sambungan telepon.

"Hei, emm aku mau tanya. Apa kamu mendapat undangan dari Zainul?" Bayu bertanya, wajahnya semakin terlihat gusar.

"Iya nih. Baru juga aku buka surat undangannya,"

"Baiklah, sepertinya Zainul ingin mengumpulkan teman SMA nya dulu," Bayu menghela nafas.

"Kenapa? Kamu terdengar tidak suka kita reunian?"

"Yah, berkumpul dengan mereka bukan ide bagus menurutku. Masa lalu yang kurang baik untuk dikenang, apalagi untuk Zainul," Bayu terdiam setelah mengucap kalimatnya. Wajahnya terlihat sendu.

"Oke, kita sambung lagi obrolannya lain waktu. Bye," Bayu menutup teleponnya.

Bayu kembali meraih buku usang yang tadi dia letakkan di sudut sofa. Dia meneruskan membaca buku yang tadi sempat tertunda. Sampailah dia di halaman terakhir, dan tiba tiba saja butir air mata menetes perlahan membasahi pipi petugas kepolisian yang masih betah melajang itu.

Sementara itu di tempat lain, satu persatu alumni kelas XI IPA 5 mendapatkan paket yang sama dengan yang didapatkan oleh Bayu. Sebuah box dengan foto dan sepucuk surat di dalamnya.

Setiap orang yang mendapatkan surat undangan itu terkecuali Bayu, nampak senang dan bahagia. Uang yang dijanjikan dalam surat tersebut memang menggiurkan. 

Tak ada yang curiga bahwa surat undangan itu akan mengantarkan mereka pada sebuah tragedi. Manusia seringkali lupa dengan kejahatan yang telah diperbuatnya. Mereka sering membungkus perilaku buruk dengan dalih bergurau. Namun mereka lupa, hati yang terlanjur luka bagaikan bara api yang tetap menyala menunggu pemantik untuk membakar semua yang telah melukainya.

Bersambung ___

2. Guru BK

Pukul tiga sore, Bayu memacu motor maticnya membelah kabut yang entah bagaimana nampak begitu tebal menutupi jalanan. Jalan yang tak rata dengan beberapa lubang dan genangan air sesekali membuat Bayu mengumpat dalam hati.

Udara dingin juga terasa menusuk ke dalam tulang meskipun saat ini Bayu mengenakan jaket kulit yang cukup tebal. Jari jari tangannya yang mencengkeram stang motor nampak sedikit membiru. Bayu mencoba mengacuhkannya, dia tetap memacu motornya dengan kecepatan tinggi.

Tiga puluh menit berikutnya sampailah Bayu di sebuah rumah yang terletak di area pemukiman yang terlihat suram. Rumah dengan halaman yang cukup luas. Pohon turi dengan bunganya yang bermekaran berwarna putih pucat, nampak berjejer sebagai pagar.

Rumah yang cukup besar, namun terlihat lawas. Banyak retakan pada temboknya yang bercat abu abu serta terkelupas di beberapa bagian. Juga sampah daun kering seakan di biarkan menumpuk di halaman dan teras rumah. Sekilas pandang pun semua orang akan menduga rumah itu sudah tidak dihuni oleh manusia.

Bayu turun dari motornya, mengibas ibaskan tangannya yang sedikit mati rasa. Hembusan nafasnya nampak mengeluarkan kepulan uap air putih nan tipis. Bayu memandang rumah di hadapannya, dia menghela nafas pelan.

Bayu berjalan sambil memasukkan tangannya di saku celana. Dia menuju teras rumah dan berdiri tepat di sebuah pintu tua yang terlihat kusam dengan gagang pintu dari besi yang terkelupas dan sedikit berkarat.

Tok tok tok

Bayu mengetuk pintu dengan perlahan. Detik berikutnya terdengar suara langkah kaki yang diseret dari dalam rumah.

Cklik. . .kriieettt

Pintu terbuka dari dalam. Seorang nenek tua dengan rambut penuh uban membuka pintu. Melihat kedatangan Bayu, nenek itu nampak sedikit terkejut. Bola matanya bergetar menatap petugas kepolisian di hadapannya itu.

"Apa kabar Bu Ami?" Bayu tersenyum masam.

"Baik," Nenek yang bernama Bu Ami itu menjawab singkat.

"Mari, silahkan masuk," 

Bayu mengangguk, berjalan mengikuti sang tuan rumah. 

Bagian dalam rumah Bu Ami terlihat serupa dengan bagian luarnya. Tak terurus. Sarang laba laba menempel di setiap sudut rumah. Udara juga terasa pengap karena rumah minim ventilasi dan pencahayaan, serta lebih sering tertutup sepanjang hari.

"Silahkan duduk," Bu Ami mempersilahkan Bayu duduk di sebuah kursi rotan yang nampak usang. Bayu mengangguk, menuruti perintah tuan rumah.

"Mau minum apa Nak Bayu?"

"Nggak Bu. Ndak usah repot repot. Aku cuma sebentar kok ini nanti," Jawab Bayu mencegah nenek renta itu berjalan ke dapur.

"Memangnya ada perlu apa Nak Bayu kemari?"

Bayu menghela nafas sebentar, kemudian merogoh saku celananya.

"Aku ingin Bu Ami membaca ini" Bayu menyodorkan secarik kertas pada Bu Ami.

Secarik kertas, yang merupakan surat dari Zainul yang tadi pagi Bayu terima dari seorang kurir. Bu Ami membacanya, tangannya nampak gemetar. Sementara bola matanya terlihat sedikit melotot.

"Apa Bu Ami juga mendapatkan surat yang serupa?" Bayu bertanya, sambil menatap tajam pada Bu Ami.

"Tidak," Bu Ami menggeleng perlahan.

"Jadi, bagaimana menurut Ibu?" Bayu mengubah posisi duduknya. Badannya dicondongkan ke depan. Kini dia lebih dekat untuk mengamati nenek di hadapannya itu.

"Apa maksud pertanyaanmu Nak?" 

"Ibu adalah guru BK kami waktu itu. Zainul dekat dengan Ibu. Setiap masalah yang dia dapatkan di kelas selalu dia ceritakan pada Ibu. Bagi Zainul Bu Ami sudah seperti ibunya sendiri" Bayu memberondong Bu Ami dengan pernyataannya.

Bu Ami hanya diam saja. Mulutnya terkatup rapat.

"Kenapa Zainul mengundang teman sekelasnya dulu untuk datang ke rumahnya? Bagi bagi uang pula. Kupikir Ibu akan tahu apa tujuan dikirimkannya surat ini. Kupikir Ibu bisa memahami perasaan Zainul saat ini," Bayu berdiri dari duduknya. Dia merasa sia sia telah datang ke tempat Bu Ami, karena dia tidak mendapat keterangan dan jawaban apapun.

"Mungkin sebaiknya kamu jangan datang Nak. Aku takut dengan kesuksesannya sekarang, dengan pengaruhnya sekarang, Zainul akan berbuat jahat, untuk membalas sakit hatinya di masa lalu. Firasatku tidak enak," Bu Ami nampak berkaca kaca.

"Jika demikian, maka aku harus datang. Pertama, karena aku sekarang adalah seorang polisi. Kedua, mungkin memang aku perlu menebus kesalahanku pada Zainul di masa lalu," Bayu kembali menghela nafas.

"Apakah Bu Ami tidak merasa harus menebus kesalahan juga?" Bayu kembali menatap tajam mantan guru SMA nya itu.

"Kesalahan?" Tanya Bu Ami, suaranya terdengar bergetar.

"Kupikir, Ibu tidak perlu berpura pura tak tahu ataupun lupa. Kejadian yang terjadi tiga belas tahun silam ada andil Ibu di dalamnya," Bayu melangkah pergi.

Bayu keluar dari rumah Bu Ami. Udara yang begitu dingin kembali menyergap, seakan merangkulnya hingga membuat tubuhnya kembali menggigil. Bayu menoleh sejenak ke dalam rumah, Bu Ami terlihat masih diam di tempat duduknya. 

Bayu kembali berjalan menuju motornya. Dengan sedikit terburu buru, dia menyalakan motornya dan kembali melesat menembus kabut yang semakin pekat.

Sementara itu, Bu Ami masih belum beranjak dari tempat duduknya. Pintu depan dibiarkan terbuka, sehingga udara yang dingin menerobos masuk ke dalam rumah. Bu Ami tidak peduli, dia tenggelam dalam lamunan.

Ucapan Bayu sangat mempengaruhi perasaannya. Dia kembali teringat dengan kejadian belasan tahun lalu yang selama ini berusaha sekuat tenaga dia lupakan. Rasa bersalahnya begitu besar. Dia telah gagal melindungi seorang murid yang mengalami perundungan.

Bu Ami menghela nafas, dia beranjak dari duduknya. Dia hendak menutup pintu depan, tak tahan dengan hawa dingin yang menambah rasa nyeri di hatinya. 

Sekilas terlihat, di halaman depan, di antara pekatnya kabut, seseorang memakai seragam putih abu abu duduk bersimpuh di tanah. Bu Ami tertegun, hatinya terasa gusar. Keringat mulai membasahi keningnya di tengah udara yang terasa sangat dingin.

Sosok berseragam SMA itu terdengar menangis, lirih. Terdengar pula sosok itu meracau tak jelas. Bu Ami mencoba mendengarkan, kalimat apa yang terucap dari sosok misterius di halaman rumahnya itu.

"Ibu, kenapa Bu? Kenapa kamu tak menolongku?"

Sepenggal kalimat yang terdengar seakan dari tempat yang jauh, namun kini tertangkap jelas di indera pendengaran Bu Ami.

Bu Ami masih tak bergeming, diam terpaku di tempatnya berdiri. Sosok di halaman rumahnya itu masih tertunduk dan menangis tersedu. Hingga secara tiba tiba, sosok itu menoleh ke arah Bu Ami. Betapa terkejutnya pensiunan guru BK itu saat melihat wajah sosok yang menangis tadi. Wajah yang hangus terbakar, dengan kulit yang terkelupas dan melepuh.

"Ahhh," Bu Ami terpekik. Seketika dia membanting pintu rumahnya, menutupnya rapat rapat.

"Maafkan aku, maafkan aku," Bu Ami meracau. Dia terlihat sangat ketakutan.

Bu Ami berjalan gontai ke arah dapur. Tatapannya kosong, nampak seperti orang linglung. Bu Ami mengambil kursi plastik yang ada di sebelah kompor. Dia memanjat kursi tersebut, meraih tali tambang yang tertancap kuat pada langit langit dapur.

Sebelum Bayu datang berkunjung tadi, Bu Ami memang sudah menyiapkan segalanya. Kedatangan Bayu semakin meyakinkan dirinya untuk mengakhiri rasa sakit di hatinya. Bu Ami sudah tak mampu lagi bertahan dari bayang bayang kesalahan masa lalu.

Glodaakk

Kursi pijakan Bu Ami jatuh terjungkal. Wanita tua itu mengerang sesaat, kemudian tubuhnya mulai berubah menjadi kaku. Di meja dapur tergeletak sebuah buku bersampul merah. Sebuah buku dengan pengarang yang tercetak tebal di bagian depan. Zainul Rikhman.

Bersambung . . .

3. Perjalanan melewati hutan

Sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. Beberapa genangan air bekas hujan semalam beberapa kali dilewati, meninggalkan noda kecoklatan pada velg yang sebelumnya bersih mengkilat.

Si pengemudi adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun. Rambut pendek sebahu, dengan warna pirang kecoklatan. Iva Nora seorang pementas di panggung teater, dengan segudang prestasi yang diraihnya beberapa tahun belakangan ini.

Dengan segala keberhasilan yang telah diraih, Iva menyimpan sebuah masalah pelik. Suaminya adalah seorang pemabuk berat, sekaligus tukang judi akut. Saat ini keluarga kecilnya sedang terlilit hutang yang cukup besar. Keuangan keluarga Iva sedang dalam kondisi sangat buruk. Bahkan mobil yang dia kendarai saat ini adalah mobil rental.

Beruntung, disaat kesulitan sedang membelit dan mencekiknya datang sebuah undangan dari teman semasa SMA nya dulu. Sebuah undangan jamuan makan, sekaligus bagi bagi uang. Sebenarnya Iva sempat berpikir aneh, kenapa tiba tiba saja, tak ada angin tak ada hujan teman SMA nya itu mengundangnya? Namun, seakan tak ada pilihan lain dan tak ada alasan untuk menolak, Iva saat ini menuju ke rumah Zainul Rikhman.

Iva menghentikan mobilnya di sebuah tanah lapang di pinggir sungai. Terdapat rumpun bambu yang lebat berayun ayun tertiup angin. Bambu yang berfungsi sebagai pagar hidup agar tanah tepian sungai tidak mengalami erosi saat musim hujan dan banjir datang. Ada beberapa motor yang sudah terparkir disana.

Tak jauh dari tempat Iva berhenti, terlihat dua orang yang sedang berdiri sambil memperhatikan kedatangannya. Iva segera turun dari mobil, mengambil tas ransel di kursi belakang dan menggendongnya. Dia berjalan mendekati dua orang yang melambaikan tangan ke arahnya.

"Hallo Iva," Sapa salah satu orang yang melambaikan tangan. Dia adalah Bayu.

Sedangkan satu orang lagi adalah Mella. Seorang perawat di rumah sakit terbesar di kabupaten T. Dua orang yang merupakan teman sekelas Iva di XI IPA 5 dulu.

"Kalian juga dapat undangan dari Zainul?" Iva bertanya penuh selidik.

"Yap. Undangan yang menggiurkan bukan? Benar benar Zainul Rich Man," Mella tersenyum.

"Setelah menerima surat undangan itu, aku langsung menelepon Mella. Menanyakan padanya apakah mendapat undangan yang sama, mengingat dalam surat itu Zainul tidak menggunakan 'kata' kamu, melainkan 'kata' kalian. Jadi aku yakin ada orang lain yang diundang selain aku. Apalagi dalam paket itu juga menyertakan foto kita yang berpose di kelas IPA 5," Bayu menimpali.

"Analisis seorang petugas kepolisian memang tajam. Tadinya aku sempat ragu untuk datang, tapi dengan adanya seorang polisi disini aku jadi lebih tenang," Iva menghela nafas, ekspresinya nampak lega.

"Memang apa yang membuatmu ragu? Dan kenapa kamu harus tenang saat ada seorang polisi?" Bayu bertanya penuh penekanan.

"Ah, ya gimana ya. Bukankah kita dulu kurang baik pada Zainul ya," Ucap Iva ragu ragu.

Suasana langsung hening seketika. Semua terdiam, sibuk dengan pikirannya masing masing. Masa lalu yang ingin mereka lupakan, kini terbayang kembali.

"Ah, sebaiknya kita ngobrol sambil jalan deh," Ucap Mella mengalihkan perhatian.

"Ya, mungkin teman teman yang lain sudah ada yang sampai di rumahnya Zainul," Bayu menimpali.

Semua setuju untuk melanjutkan perjalanan. Mereka bertiga menggendong tas ransel masing masing menyusuri jalan setapak dengan pemandangan pepohonan jenis sengon dan akasia yang menjulang tinggi dan rapat.

Suara tonggeret dan serangga serangga lain terdengar bersahutan, seakan begitu bahagia melihat kedatangan para manusia. Udara yang begitu sejuk dan sedikit lembab terhirup oleh indera penciuman setiap orang yang sedang berjalan menyibak rerumputan di mata kaki mereka.

Sinar mentari pagi menerobos masuk di celah antara pepohonan menghasilkan gambar gambar abstrak di tanah. Kicau burung sesekali juga terdengar di ketinggian. Mungkin hewan yang tak pernah fals itu, melompat dari satu dahan ke dahan yang lain, menikmati pagi bersama kawanannya.

Bayu berdecak kagum. Begitu tenteram hatinya menikmati hiburan alam yang demikian itu.

"Hei, ngomong ngomong udah pada baca berita kemarin belum? Rame banget di medsos" Mella bertanya memulai pembicaraan.

"Berita apaan?" Tukas Iva, sambil mengatur nafas. Jalanan yang mereka lewati mulai menanjak.

"Bu Ami meninggal gantung diri di dapur rumahnya," Mella menjawab setengah berbisik.

"Bu Ami? Guru BK kita dulu?" Iva bertanya memastikan.

Mella mengangguk, sementara Bayu nampak tidak peduli dengan percakapan dua wanita di depannya itu.

"Yang bikin rame di pemberitaan itu adalah di meja sebelah tempat Bu Ami bunuh diri, ada novel terbaru karya Zainul. Novel yang hanya dicetak seratus eksemplar," Mella menghela nafas.

"Menurutmu gimana Bay?" Iva melempar pertanyaan pada Bayu yang sedari tadi diam saja.

"Hah? Apanya?" Bayu mengernyitkan dahi.

"Sebagai seorang polisi kamu pasti sudah tahu kan kasus bunuh diri Bu Ami?" Iva terlihat agak jengkel.

"Ya, aku sudah tahu. Terus kenapa? Itu murni bunuh diri."

"Alasan bunuh diri Bu Ami apa Bay? Kenapa juga harus ada novel karya Zainul disana?" Iva kembali mencecar Bayu dengan pertanyaannya.

"Tidak ada hubungannya. Bisa jadi itu hanya kebetulan. Bu Ami itu hidup sendirian di usia senjanya. Suaminya dulu meninggalkannya dan dia tidak memiliki anak. Mungkin saja dia tertekan dengan itu semua kan. Lagipula aku dari kemarin sudah mengajukan cuti untuk berkunjung kemari. Aku tak tahu detailnya seperti apa," Tukas Bayu.

"Ngomong ngomong, kenapa kamu sampai rela mengambil cuti demi ke tempat Zainul Bay?" Mella menyela pembicaraan.

"Ya, karena aku ingin ketemu Zainul. Bagaimana dengan kalian? Apa karena tergoda dengan uang imbalan?" Bayu tersenyum masam.

Mendengar pertanyaan Bayu, Iva terlihat salah tingkah. Dia bersedia datang memang demi uang yang dijanjikan Zainul di suratnya. Iva sama sekali tak peduli dan tak ingin tahu keadaan Zainul. Dia hanya peduli dengan imbalan uangnya.

Sementara Mella menghentikan langkahnya. Dia berjongkok di tengah jalan setapak yang hendak mereka lalui.

"Sudahi percakapan nggak guna ini. Mari kita istirahat dulu. Betis ini rasanya mau meledak," Mella meringis, dia kelelahan.

"Baru juga separuh jalan Mel," Bayu memprotes, namun pada akhirnya dia berhenti juga menuruti permintaan Mella.

"Kalian terlihat akrab. Masih sering WA nan atau gimana nih?" Iva menggoda Bayu dan Mella.

"Iya. Soalnya selain Bayu, temen sekelas pada ganti nomor semua termasuk kamu. Kita juga nggak punya Group chat," Mella mendengus kesal.

"Yah, saat kita berumah tangga dunia itu akan berubah. Prioritas hidup akan bergeser. Aku memutuskan membatasi pertemanan dan dunia media sosialku. Kalian belum merasakannya, karena kalian berdua masih asyik melajang kan hingga sekarang," Ucap Iva kalem, namun kata katanya menusuk. Mella hanya diam saja kali ini.

Bayu tak terlalu ambil pusing dengan ucapan Iva. Dia sibuk mengamati sekeliling. Pepohonan yang menjulang tinggi, hanya ada jalan setapak yang sedikit tertutup rumput di bagian tengahnya. Manusia seperti apa yang menyukai tinggal di tempat terisolasi seperti ini? Bayu melihat HP nya, ternyata tak terjangkau sinyal.

Zainul Rikhman. . .orang seperti apa dirimu sekarang?

Bersambung . . .

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!