Lily berlari-lari kecil menuju kafe yang berada di sebelah gedung kantornya.
Hujan rintik-rintik membasahi wajahnya dengan lembut. Perlahan dia mengusap wajahnya yang basah dengan tisu.
Hari ini dirinya sudah ajukan ijin pulang cepat setelah seminggu kemarin lembur menyelesaikan laporan akhir tahun.
Dia harus pulang ke Bandung karena Papa masuk rumah sakit lagi. Kak Angga, Kakak laki-lakinya, tadi mengabari Lily.
Namun sebelum ke Bandung, Lily ada janji bertemu dengan seseorang.
Setibanya di depan cafe, Lily menghela nafas sejenak untuk menenangkan diri.
Seorang pria melambaikan tangan ke arahnya. Lily perlahan berjalan ke arah kursi meja sebelah jendela kafe. Dia sudah hafal meja itu. Viewnya paling bagus karena bisa menikmati pemandangan ke luar.
Sebelum berangkat tadi, Lily sudah pesan makanan dan minuman kesukaannya melalui aplikasi. Jadi tidak perlu mengantri lama. Makanya begitu tiba, coklat hangat dan croissant keju kismis kesukaannya tinggal diambil di counter pengambilan.
"Apa kabar, Ly?" sapa pria itu saat Lily tiba di meja. Dia adalah Rakha. Laki-laki yang beberapa Minggu lalu masih Lily anggap sebagai calon suami.
"Aku baik. Kamu bagaimana?" Lily bertanya balik.
Rakha hanya tersenyum seraya mengangkat pundaknya.
"Makanlah dulu" ucap Rakha.
Lily memang tadi sengaja tidak makan siang.
Sambil menikmati croissant keju kismis kesukaannya, Lily sesekali melirik jari manis Rakha yang memakai cincin berwarna silver.
Lima hari yang lalu Rakha menikah dengan mantan kekasihnya, Dina. Meninggalkan Lily. Dengan alasan terpaksa menikahi Dina karena katanya wanita itu mengancam akan bunuh diri memotong nadinya dengan benda tajam.
Terdengar seperti drama. Tapi itu yang terjadi. Rakha meninggalkannya dengan alasan seperti itu.
Mereka bahkan mempersiapkan pernikahan saat Rakha masih bersama Lily. Sering antar jemput Lily. Seolah tidak ada sesuatu yang terjadi.
Bahkan dua minggu sebelum mereka menikah, Rakha masih menemani Lily pulang ke Bandung bertemu Papa.
Lily mengetahui rencana pernikahan Rakha dan Dina dari dua sahabat Rakha. Dion dan Billy. Lalu seminggu sebelum mereka menikah, Rakha memberikan surat undangan kepadanya.
Lily datang ke pernikahan Rakha bersama Billy dan Dion. Dirinya ingin membuktikan bahwa dia kuat dan tidak terpuruk walau Rakha meninggalkannya.
Walau sebenarnya, Lily menangis semalaman. Kecewa dan sakit hati sudah pasti. Yang membuatnya sangat berat adalah memikirkan bagaimana caranya memberitahukan Papa dan keluarganya mengenai Rakha. keluarganya tahu bahwa Rakha adalah laki-laki yang sedang dekat dengan Lily dan berencana akan melanjutkan ke jenjang lebih serius
Namun di malam setelah pernikahannya, Rakha menelepon Lily. Meminta waktu bertemu di hari kamis.
Dan hari ini dia sudah ada di depan Lily. Entah apa tujuannya.
"Ada yang mau disampaikan?" tanya Lily setelah makanannya habis.
"Mmhhh..aku minta tolong. Lily jangan dekat dengan laki-laki lain dulu" ucap Rakha membuat Lily bingung.
"Maksud kamu apa?"tanya Lily.
"Tunggu aku. Aku mau bercerai dari Dina." lanjutnya membuat Lily semakin bingung.
"Aku tahu aku salah. Aku jahat ke Lily. keputusanku menikahi Dina itu kesalahan besar dalam hidupku"
"Berikan aku waktu tiga bulan untuk menyelesaikan proses perceraianku dengan Dina"
"Tolong jangan menerima cinta dari siapapun. Tunggu aku ya, Ly"
Rakha menatap Lily. matanya penuh harap.
"Kenapa mau bercerai. Kamu baru menikah 5 hari" tanya Lily merasa aneh.
"Aku tidak mencintai dia, aku terpaksa, Ly"
"Sejak hari pertama menikah, kami sudah bertengkar hebat hanya karena hal sepele. Dia sama sekali tidak bisa berbicara dengan lembut, selalu kasar"
"Aku sadar, yang aku cintai adalah kamu" Rakha menatap Lily penuh harap. Namun ekspresi Lily tetap datar.
"Aku minta maaf ya, Ly. Aku mohon jangan tinggalkan aku ya"
"Tunggu aku, Ly. please"
Lily tidak menjawab. Dia menatap ke luar jendela cafe seraya mencoba menghabiskan coklat hangatnya yang berangsur dingin.
"Aku tidak bisa, Rakha" ucap Lily dingin.
"Tolong kamu pikirkan lagi, Ly. Berikan aku kesempatan sekali lagi. Please" Rakha menatap Lily setengah memaksa.
"Aku tidak bisa, Rakha. Kamu sudah menikah. Aku juga punya hak untuk melanjutkan kehidupanku dengan tenang" jawab Lily tanpa ekspresi.
"Aku rasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. aku mau pulang" Lily bangkit dari duduknya.
"Aku antar pulang ke kos-an kamu, ya"Rakha meraih kunci mobilnya yang tergeletak di meja.
"Tidak perlu. Setelah ini aku mau pulang ke Bandung. Papaku masuk rumah sakit" Lily melirik jam tangannya. Jam 15.22. Masih ada waktu baginya ke kantor travel.
"Maaf, aku tidak bisa antar. Karena aku harus jemput Dina di kantornya" Rakha menatap Lily dengan perasaan bersalah.
"Aku tidak memintamu mengantarku. Aku bisa sendiri. Sudah pesan kursi Ztrans travel di gedung sebelah" sahut Lily sambil melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
"Lagipula, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa kan?" Lily melanjutkan ucapannya ketika menyadari bahwa Rakha mengikutinya.
"Keluargaku tidak ada yang mengetahui soal pernikahanmu" sambung Lily.
"Kamu tidak usah menemuiku lagi"
Bagaimana mungkin Lily memberitahu soal ini di saat papa sedang sakit.
Rakha tertunduk. Sikapnya nampak gelisah dan kecewa dengan sikap Lily.
"Baiklah, aku pergi dulu. Selamat tinggal" pamit Lily bergegas.
"Aku antar ke kantor travel, Ly" Rakha menyusul Lily yang sudah melangkah pergi tanpa menghiraukannya.
Cukup jalan kaki menuju kantor travel minibus Ztrans. Karena hanya berjarak 20 meter dari Kafe tempat mereka barusan bertemu.
"Sampai jumpa, Lily" ucap Rakha saat Lily hendak naik ke dalam minibus.
Lily hanya melambaikan tangannya dengan wajah tanpa ekspresi dan tanpa mengucapkan apapun. Sama seperti dalam perjalanan singkat tadi, Lily hanya terdiam.
Dirinya hanya memikirkan kondisi Papa.
Sepanjang perjalanan, pikiran Lily melayang memikirkan Papa. Semoga Papa keadaannya tidak terlalu buruk dan lekas kembali sehat.
Lily menyandarkan punggungnya di kursi , lalu mencoba memejamkan mata sebentar untuk melepaskan penat. Tapi dia berusaha untuk tidak tertidur selama perjalanan. Dia sangat takut jika bepergian seorang diri lalu tertidur di perjalanan apalagi di angkutan umum.
Ada enam penumpang di minibus dengan tiga baris kursi penumpang. Setiap baris hanya diisi oleh dua orang.
Lily duduk di kursi barisan pertama di belakang pengemudi persisi di samping pintu keluar.
Penumpang di sebelahnya seorang pria berbadan tinggi, berkulit putih seperti bukan orang Indonesia asli. Mungkin ada keturunan Eropa, seperti Perancis atau Inggris. Dia sedang asik membaca buku dengan posisi duduk tegak.
Empat orang di belakangnya sepertinya anak SMA yang sedang mau berlibur ke Bandung. Sepanjang jalan obrolan mereka sangat seru khas anak SMA, membuat Lily terhibur mendengarnya. Celoteh-celoteh khas anak sekolah yang ceria.
Sekitar setengah jam lagi kendaraan tiba di shuttle Ztrans Cihampelas. Lily sudah mengabari kak Angga, supaya Pak Min, Sopir Papa bisa menjemputnya.
Tiba-tiba, ponsel khusus pekerjaan miliknya berbunyi. Pak Bram, atasan Lily sekaligus direktur perusahaan menelepon.
Tadi pak Bram sedang meeting saat dirinya pulang. Namun sudah mengirim pesan via whatsapp bahwa Lily ijin pulang cepat karena papa sakit. Semua laporan sudah Ia selesaikan dan sudah diletakkan dengan rapi di meja pak Bram.
"Selamat sore, pak Bram. Saya ijin pulang cepat hari ini. Papa saya terkena serangan jantung" ucap Lily.
"Baik, Lily. Saya baru baca pesan kamu. Kamu ajukan cuti saja sampai papamu pulih"
jawab Pak Bram.
"Baik, Pak. Nanti saya ajukan cuti. Terimakasih ya, Pak"
"Sama-sama, Ly. semoga Papamu lekas pulih" ucap pak Bram.
Pak Bram memang orang baik. Walaupun seorang direktur, tapi selalu memperlakukan semua karyawan seperti teman.
Baru saja Lily menutup ponsel pekerjaan o, ponsel pribadinya berbunyi.
Sebuah pesan dari Rakha
"Aku akan merindukanmu, Lily sayang"
"Semoga Papa lekas sehat ya" pesan kedua.
Hhhhhh...Lily masih bingung dengan semua yang terjadi. Dia bahkan tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini terhadap Rakha setelah pertemuan tadi. Rasanya dia semakin enggan melihat Rakha. Pembicaraan tadi mengganggunya. Kata-kata permintaan Rakha membuat harga dirinya tersinggung. Setelah meninggalkan nya begitu saja, tiba-tiba dia datang dan memintanya menunggu. Dia pikir dia itu siapa? Lily menghela nafas perlahan, berusaha meredam rasa marah di dadanya.
Lily tak membalas membalas pesan Rakha lalu memasukan ponselnya ke dalam tas.
Ciiiiiit.....braaak. Terdengar suara benturan keras dari arah depan minibus.
dan kendaraan yang ditumpanginya berhenti mendadak membuat semua penumpang terkejut. Keempat anak sekolah yang duduk di belakang berteriak ketakutan.
"Mohon maaf semuanya, kendaraan di depan kita menabrak motor jadi saya terpaksa tiba- tiba berhenti" Bapak pengemudi nampak merasa bersalah.
"Harap tidak panik ya Aa, teteh dan adik-adik.
Alhamdulillah Kita aman. Sebentar lagi kita sampai" lanjut sang pengemudi.
Suasana dalam mobil yang tadi riuh berangsur kembali tenang.
Lily meraih tasnya yang terjatuh ke bawah kursi. Penumpang pria di sebelahnya juga melakukan hal yang sama. Dia hendak mengambil bukunya yang terjatuh. Sehingga kepala mereka beradu.
"Aduuh" Lily meringis pelan memegang kepalanya.
"Sorry...sorry" ucap pria tersebut. Lily menoleh dengan wajah masih meringis. Namun pandangan Lily seketika terhenti pada kedua bola mata didepannya "Matanya....." batin Lily.
"kamu baik-baik saja?" pria itu bertanya. Membuat Lily kembali tersadar dengan rasa sakit di kepalanya.
"Lumayan sedikit sakit"ucap Lily sambil mengusap kepalanya yang berdenyut. Benturannya cukup keras.
"Tapi tidak apa-apa. Hanya sakit biasa" lanjut Lily saat pria tersebut merasa kebingungan dan salah tingkah.
"Syukurlah" gumamnya lega."Maafkan saya. Saya tadi tidak sengaja" ucap pria itu.
"Tidak apa-apa. Bukan salah anda. Memang kebetulan kita mau ambil barang di bawah di saat yang sama"sahut Lily.
"Ooh oke. Terimakasih" dengan canggung, pria itu tersenyum
"Sama-sama" Balas Lily dengan ramah.
Tak lama kemudian, kendaraan sudah memasuki shuttle Cihampelas. Lily melihat Pak Min sudah menunggunya di tempat parkir bagi penjemput
Begitu Lily turun, Pak Min segera meraih tas bawaan Lily dan mempersilakannya menuju mobil.
Merekanlangsung menuju rumah sakit.
***
Papa berada di ruang ICU. Ada pak Yan di sana. Pak Yan adalah asisten papa sejak dulu. Selalu menemani papa kemanapun. Pak Yan dan Bu Halimah, istrinya, memang tinggal di rumah papa. Mereka tidak memiliki anak. Bu Halimah adalah orang yang membantu Mama di rumah sejak dulu.
Saat Mama meninggal Bu Halimah pun merasakan kesedihan mendalam, karena selama hidupnya Mama memperlakukan bu Halimah seperti keluarga.
Meskipun Papa tidak bisa terus ditemani di dalam ruangan. Setidaknya ada keluarga yang berjaga-jaga di ruang tunggu jika sewaktu-waktu diperlukan.
Menurut pak Yan, Papa tiba-tiba sesak nafas sewaktu berkeliling pabrik. Saat itu juga langsung dilarikan ke rumah sakit. Sehingga Papa cepat mendapatkan pertolongan.
Lily melihat Papa dari balik jendela kaca. Papa sedang tertidur. Ditubuhnya terpasang beberapa alat dan kabel-kabel.
Lily merasa hatinya teriris. Papa memang menjadi sering sakit sejak kepergian Mama dua tahun yang lalu. Bagaimana tidak, Mama menemani Papa selama 32 tahun. Pastilah Papa merasakan kehilangan yang amat mendalam.
***
'Drrrttttt....'
Panggilan masu dari Ka Angga.
"Kakak nanti malam sekitar jam sepuluh ke rumah sakit. Tadi ada meeting penting yang tidak bisa dibatalkan. Kakak harus gantikan Papa tadi"
"Kamu pulanglah dulu. Istirahat"
"Lily mau bertemu Papa, Kak" sahut Lily
"Besoklah kamu ke rumah sakit lagi, sekarang sudah malam"
"Kita harus tetap sehat supaya bisa jaga Papa. Makanya kamu sekarang pulang. Makan lalu tidur yang cukup"
"Besok kita ketemu di rumah sakit"
"Baik, Kak. Lily pulang sekarang" Sahut Lily patuh
***
Lily merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Badannya terasa letih sekali.
Kepalanya pun terasa sakit sekarang. Beruntung dia tadi menuruti kata Kak Angga untuk pulang dan istirahat. Kalau memaksakan menunggu di rumahsakit, bisa-bisa dia jatuh sakit.
Syukurlah pak Bram menyuruhnya cuti.
Jadi Lily bisa setiap hari mengunjungi Papa di rumah sakit untuk beberapa hari ke depan. Dan yang paling penting, dia bisa melupakan masalah Rakha sementara waktu.
Ah, dia lupa belum menghubungi HRD kantor mengenai cutinya. Yang penting info melalui whatsapp dulu. Formulir cuti bisa menyusul.
Lily meraih tasnya. Mencari ponsel kantornya tapi tak ada. Lily mengeluarkan semua isi tasnya, tak nampak juga ponselnya di sana.
Seingat Lily, selama di rumah sakit dia tidak mengeluarkan ponsel kantornya. Terakhir dia menggunakannya sewaktu di dalam kendaraan travel. Tapi dia yakin sudah menyimpannya dalam tas. Apakah mungkin terjatuh di dalam kendaraan travel?, pikir Lily.
Atau di mobil papa saat pak Min jemput, bisa jadi.
Lily meraih ponselnya, menghubungi nomor ponsel kantornya. Berharap ponselnya masih bisa ditemukan.
Panggilan terhubung.
"Hallo.." suara seorang pria.
"Hallo. Maaf, Ini dengan siapa? Saya Lily pemilik ponsel yang sedang anda pegang."
"Syukurlah. Saya Yudhistira. Sejak tadi saya tunggu kamu menghubungi. Karena saya juga tidak tahu harus antar dan hubungi kemana"
Lily bernafas lega. Ponselnya ditemukan oleh orang yang baik.
"Sepertinya terjatuh sewaktu tadi tasmu terjatuh di dalam mobil travel" sambung pria itu.
"Saya menemukannya di lantai mobil. Tapi tadi kamu sudah terlanjur pergi"
"Saya yang duduk di sebelah kamu"
Ooh ternyata pria itu.
"Alhamdulillah. Terimakasih sudah mengamankannya, Pak" Lily berucap.
"Mau saya kirimkan kemana ponselmu?" tanya pria itu.
"Mohon maaf jadi merepotkan Bapak"
"Tidak usah sungkan. Bisa sebutkan alamat pengirimannya?"
"Saya minta tolong kirimkan ke rumahsakit Permata Hati. Nanti biaya kurirnya saya bayar di tempat" ucap Lily.
"Atau saya yang pesan kurir untuk ambil di tempat Bapak?"
"Oke, tidak apa-apa. Saya yang kirim saja. Besok saya kabari kalau sudah siap dikirim ya"balas pria itu.
"Terimakasih banyak ya, Pak Yudhistira"
"Sama-sama, Lily" jawabnya.
Syukurlah. Banyak orang baik di dunia ini. Yang Lily sangat khawatirkan adalah ada data-data penting pekerjaan di ponsel tersebut.
Lily terdiam sambil mencoba mengingat wajah pria yang tadi siang duduk dia sebelahnya di dalam minibus.
Tapi nama pria tersebut sepertinya tidak sesuai dengan penampilannya yang cenderung seperti keturunan eropa. Walaupun hanya sekilas, tapi Lily cukup jelas mengingatnya. Karena postur tinggi dan wajah eropanya itu sangat mencolok dan membuat orang mudah mengingatnya. Matanya juga juga terlihat berbeda.
Aah tapi apa haknya mengurusi nama pria itu. Lily terkekeh sendiri.
***
Keesokan hari
Lily sedang di Lobby rumah sakit menunggu kurir. pengantar ponselnya. Tadi dia sudah memberi kabar kalau dia sudah di rumah sakit. Pria bernama Yudhistira itu menjawab bahwa ponselnya akan tiba sekitar tiga puluh menit lagi.
Sekarang baru dua puluh menit.
Lily menunggu di lobby sambil membaca group chat yang anggotanya adalah dia dan ketiga sahabatnya. Anna, Lita dan Wini.
Ketiga sahabatnya sejak bangku SMA itu sama-sama tinggal di Jakarta. Sekalipun mereka tinggal di kota yang sama, namun karena kesibukan masing-masing jadi jarang sekali bisa berkumpul bertemu.
"Hari Sabtu kita jenguk papa Lily, yuk" Lita mengirimkan pesan suara.
"Maaf ya pakai pesan suara, sambil ketik tugas kuliah di laptop nih" pesan suara dari Lita lagi.
"Siaap, aku mah. Sabtu ya, pagi-pagi kumpulnya. Jadi kita bisa temenin Lily juga seharian" Anna mengirimkan pesan teks.
"Wini mana, Niih?" Anna memanggil Wini.
Nampak terlihat, Wini sedang mengetik.
"Hadiiiir...aku jumat sore jalan ke Bandung sama suamiku. Sabtu pagi kita ketemuan yaa sayang-sayang akuu" tulis Wini.
"Lily, yang sabar yaa sayang. SemogaPapa lekas sehat" Ketik Wini lagi.
Dari ketiga sahabat Lily, Wini paling manis sikapnya. Dia sangat penyayang dan sikapnya selalu lebih dewasa.
Dari mereka berempat, Lita dan Wini yang sudah menikah. Anna baru bertunangan setahun yang lalu. Calon suaminya sedang menyelesaikan studi S2 di Inggris. Rencananya tahun ini mereka menikah setelah studi suaminya selesai.
Dan Lily, baru saja ditinggal nikah oleh Rakha. Hiks.
Lily menghela nafas panjang. Aaah ingin rasanya membuang semua ingatan tentang Rakha. Tapi di saat ini, Lily memilih tak memikirkannya. Kepalanya mendadak sakit.
Group chat masih seru dengan obrolan. Lily merasa terhibur.
Semua mendoakan kesehatan untuk Papa.
"Terimakasih atas doa kalian. Aku tunggu hari Sabtu ya" Lily mengetikkan balasan.
***
"Bunga Lily?" suara seorang pria memanggilnya.
Pria itu berdiri di depan Lily. Lily mendongak, lalu segera berdiri. Masih mendongak, karena tubuh pria itu jauh lebih tinggi dari Lily.
Dia kan, pria yang kemarin duduk di sebelahnya di mobil travel, pikir Lily.
Aaah, ternyata dia mengantarkan sendiri ponselnya. Lily merasa tidak enak jadi merepotkan.
" Iya, saya Bunga Lily"
"Saya Yudhistira"
"Anda jadi mengantarkan sendiri ponselnya. Saya kira pakai jasa kurir" ucap Lily tak enak hati.
"Supaya lebih yakin kalau ponselnya diterima baik oleh kamu, jadi saya antar sendiri. Tidak apa-apa kan?" pria itu menyerahkan ponsel Lily.
"Justru saya merasa tidak enak merepotkan pak Yudhistira" sahut Lily.
"Panggil saya Yudhistira saja" ucapnya.
"Saya masih single, belum jadi bapak-bapak" dia tersenyum. Lily jadi malu dibuatnya.
Memang sih usianya mungkin sekitar 29 tahun. Selisih 5 tahun sepertinya dengan Lily.
"Kemarin saat kamu menelepon, muncul nama Bunga Lily di ponsel ini" kata Yudhistira.
"iya, nama saya Bunga Lily" jawab Lily. Pantas saja dia tahu nama lengkapnya. Lily memang menyimpan nama lengkapnya di kontak ponsel kantornya.
"Nama yang cantik" gumam Yudhistira membuat pipi Lily yang putih menjadi merona tersipu malu.
"Iih kenapa aku jadi begini sih?" pikir Lily. Hanya dibilang namanya bagus saja langsung tersipu malu.
"Lebih baik kita duduk" Yudhistira mengajak Lily duduk. Lily yang masih tersipu ikut duduk.
"Saya tahu ini ponsel kamu, karena ada fotomu di sana" Yudhistira mengarahkan telunjuknya ke layar ponsel yang sekarang sudah berada di tangan Lily.
Wallpapernya memang foto Lily sedang duduk di balik meja kerjanya.
"Tapi, tenang saja. Saya tidak buka isi ponselmu" ujarnya menenangkan Lily. Lily tersenyum mendengarnya.
"Terimakasih sudah menolong saya"ucap Lily.
"Sama-sama" sahut Yudhistira
"Oh, iya. Papamu sakit apa?" tanyanya.
Lily menoleh. Tak langsung menjawab. Bagaimana dia tahu kalau papa sakit, gumam Lily dalam hati.
"Maaf saya lancang. Sewaktu di perjalanan dari Jakarta kemarin, saya tidak sengaja dengar kamu berbicara dengan seseorang bahwa papamu sakit"
Aah iya. Lily ingat sewaktu Pak Bram meneleponnya.
"Sakit jantung papa kambuh" jawab Lily.
Pagi tadi Lily sempet melihat papa, masih tertidur. Tapi kata pak Yan, menurut dokter yang merawat papa keadaan papa sudah lebih baik. Kemungkinan lusa sudah bisa masuk kamar perawatan.
"Bagaimana keadaan beliau sekarang?"
"Menurut dokter sudah lebih baik. Kemungkinan lusa sudah bisa masuk kamar perawatan"
"Papa juga sudah bisa komunikasi, hanya saja masih dibatasi. Supaya mempercepat pemulihan, harus lebih banyak istirahat"
"Semoga segera sehat dan pulih kembali. Sabar, ya" ucap Yudhistira.
"Aamiin. Terimakasih atas doanya" Lily memandang sekilas Yudhistira.
Hhhm Lily kembali melihat sesuatu yang beda di mata Yudhistira. Bola matanya berwarna silver. Indah sekali matanya. Sejak kemarin di mobil travel, Lily memang melihat sesuatu yang menarik pada mata itu.
Baru kali ini Lily melihat bola mata berwarna silver.
"Apakah sebenarnya banyak yang memiliki bola mata warna silver? mungkin hanya aku saja yang kurang banyak ketemu orang? Atau aku jarang memperhatikan bola mata orang?. Tapi, sepertinya aku memang baru kali ini melihat bola mata seperti ini" gumam Lily dalam hati.
"Kamu kerja di Jakarta?" tanya Yudhistira. Lily tersadar dari pikirannya yang sibuk tentang bola mata silver milik pria itu.
"Iya" jawab Lily.
Mata silver itu menatapnya lekat. Lily segera mengalihkan pandangannya. Menunduk sebentar mencoba menenangkan ritme detak jantung yang tiba-tiba terasa lebih kencang tak terkendali.
"Bisa-bisanya jantung ini berdetak kencang di saat yang tidak tepat" batin Lily seraya terkekeh sendiri.
"Di daerah mana?"
"Di sekitar jalan Fatmawati" jawab Lily.
"Ooh, jalan Fatmawati..i see" ucap Yudhistira seraya melipat kedua tangannya di depan dadanya.
Ekspresi wajah Yudhistira nampak terkejut, namun juga seperti senang. Lily agak susah mengartikan ekspresi wajah pria di sampingnya.
"Tahu kafe Blume?" tanya Yudhistira.
"Tentu saja. Itu cafe terkenal di sana. Dekat dengan kantorku. Kalau kamu kesana, kamu bisa coba croissant keju kismisnya. Itu enak sekali." ucap Lily sambil membayangkan rasa croissant kesukaannya itu. Rasanya seperti terbit di lidah. Lily terpejam membayangkan nikmatnya.
Yudhistira nampak terkejut lagi. Tapi dia lantas tergelak pelan melihat ekspresi Lily.
Lily dengan cepat memperbaiki sikapnya.
"Aah bagaimana bisa aku bersikap kekanak-kanakan seperti tadi" pikir Lily.
Tiba-tiba Lily melihat Rakha muncul memasuki lobby rumah sakit. Dari kejauhan Rakha sudah melihat Lily lalu berjalan ke arahnya.
"Apa yang dia lakukan di sini?", batin Lily.
Perasaan Lily menjadi tak karuan.
Semua perasaan bercampur aduk tidak jelas rasanya.
Entah kenapa Lily merasa kesal. Saat ini dia sudah tidak mau berhubungan dengan Rakha. Tapi sekarang dia malah muncul di sini. Semoga saja dia tidak membuat masalah.
"Bagaimana kabar papamu, Ly?"
Lily masih terdiam.
"Maaf, Ly. Aku tidak mengabari kalau mau datang"
"Tadi aku menelepon ke rumahmu. Kata pekerja di rumahmu Papamu dirawat di sini"
ucap Rakha, Lalu dia memandang Yudhistira yang duduk di sebelah Lily.
Lily tahu Rakha sengaja tidak memberi kabar akan datang karena pasti Lily melarangnya.
Dia pasti menghubungi Bu Halimah di rumah. Karena Bu Halimah tidak tahu apa yang terjadi antara Lily dan Rakha, sudah pasti Bu Halimah menjawab semua pertanyaan Rakha.
"Papa masih di ruang ICU. Tapi keadaannya sudah lebih baik" jawab Lily.
"Aku harap kamu segera kembali ke Jakarta. Tolong jangan kembali lagi. Kita sudah selesai"ucap Lily pelan seraya menahan kekesalannya. Namun cukup bisa didengar oleh pria bermata silver di sebelahnya.
"Lily, saya izin pamit. Karena masih ada urusan pekerjaan. Semoga Papamu lekas sehat" Yudhistira berhasil membuat Lily merasa reda dari rasa kesalnya.
"Baik, Pak Yudhistira. Terimakasih banyak"
"Siapa dia?" Selidik Rakha menatap pria jangkung itu dengan curiga.
"Perkenalkan, saya Yudhistira. Teman Lily"
Yudhistira mengulurkan tangannya.
Disambut Rakha dengan pandangan tak suka dan terlihat tidak mendengarkan apa yang diucapkan Yudhistira.
"Rakha. Calon suami Lily" ucap Rakha.
"Eeeh, calon suami?" Lily menatap Rakha kesal.
"Bukan calon suami. Bukan siapa-siapa" Lily menggelengkan kepalanya.
"Kamu jangan bertingkah macam-macam ya, Rakha. Jangan mencemarkan nama baik aku" ucap Lily pelan dengan nada kesal. Lalu menghela nafas.
Yudhistira melihat kekesalan Lily. Dan dia cukup jelas mendengar ucapan Lily
"Saya pamit ya, Lily." Yudhistira sekali lagi berpamitan kepada Lily, lalu menganggukan kepala ke arah Rakha, matanya menatap sekilas ke jari manis Rakha.
Ada cincin melingkar di sana.
Dan Lily melihat tatapan Yudhistira. Seketika dada Lily terasa sesak. Ada buliran air mata yang seperti hendak memaksa keluar tiba-tiba. Namun Lily tahan seraya menghela nafas dan menampilkan senyum. Apa yang akan dipikirkan Yudhistira tentangnya, seorang calon istri dari laki-laki beristri? Fffffhhh Rakha benar-benar mempermalukannya.
"Sudahlah. Tak apa. Lagipula dia dan pria bermata silver itu tidak akan bertemu lagi. Mereka hanya kenal tanpa sengaja. Pasti apa yang terjadi saat ini akan segera terlupakan juga oleh pria itu" Lily menghibur diri dari rasa malu.
"Semoga kamu baik-baik saja ya, Ly. Tetap semangat untuk papamu" Yudhistira menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya tanda berpamitan.
"Baiklah. Terimakasih banyak ya" sahut Lily.
Rakha memandang Yudhistira yang berjalan keluar rumah sakit dengan pandangan tidak suka.
"Aku kemarin sudah katakan bahwa aku tidak bisa penuhi permintaanmu. Jadi kamu tidak berhak berkata seperti tadi" Lily memulai pembicaraan.
"maafkan aku, Ly" Ucap Rakha pelan.
Lily hanya menghela nafas.
"Selama ini aku belum pernah melihat dia. Kamu kenal dimana?" tanya Rakha penuh selidik.
"Aku tidak ada kewajiban untuk memberitahumu"jawab Lily.
"Kenapa kamu datang ke sini? bukankah setiap hari harus antar dan jemput istrimu pulang kerja?" Tanya Lily.
"Jangan bicara sinis sperti itu" Rakha menghela nafas panjang.
"Aku tidak sinis. Bukankah pertanyaanku memang benar?" sahut Lily.
"Dia sedang tidak bekerja. sedang pergi belanja bersama ibunya"
"Besok aku dan dia pergi ke Bali. Orangtuanya sudah mempersiapkan liburan ke sana selama satu minggu" Rakha berbicara pelan.
"Ooh bulan madu ya?" Lily tersenyum.
"Tapi kami tidak benar-benar bulan madu, Ly"sanggah Rakha.
"Rakha, aku minta tolong. Jangan temui aku lagi. Silahkan urus keluargamu untuk saat ini" Ucap Lily.
"Tapi, Ly. Aku kan sudah bilang ke kamu untuk minta waktu tiga bulan. Aku akan bercerai dari Dina"
"Lakukan apa yang menurutmu baik untuk dirimu sendiri, bukan karena aku"
"Jangan jadikan aku sebagai alasan perceraianmu"
"Lalu, bisnis bersama kita bagaimana, Ly?"
"Itu nanti bisa diurus" Ucap Lily berlalu meninggalkan Rakha.
"Lily, tunggu sebentar. Aku belum selesai bicara" Rakha hendak menyusul Lily.
Lily berbalik. Rakha tersenyum senang saat Lily berbalik mendekatinya. Lily memang mudah luluh hatinya. Rakha yakin Lily pasti menerimanya lagi.
"Lain kali jika ingin mengaku sebagai calon suami seorang perempuan, lepas dulu cincin pernikahanmu itu" Lily berucap sambil berlalu pergi.
Rakha terkesiap. Baru tersadar bahwa cincin pernikahannya masih melingkar di jari manisnya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!