NovelToon NovelToon

Harga Diri Seorang Lelaki Adalah Bekerja

Pernyataan yang menyesakan dada

Sakit hati yang mendera, tak sanggup membuatku berkata lagi. Segera ku pinta Mas Ardi untuk mengantar kami pulang.

"Antar aku pulang Mas, kasihan si dede sudah ngantuk." aku beralasan pada suamiku.

"Ibu, Mas Adam nginep di tempat nenek boleh? besok kan mas ga ada sekolah online." Pinta putra sulungku, dengan sedikit memelas.

"Mas boleh nginep, tapi jangan nakal, jangan nyusahin Nenek. Mas jangan minta jajan terus ya, Mbah kan sudah gak kerja. Mainnya juga jangan jauh-jauh, inget waktu sholat ya Mas." Nasihat ku sambil ku usap rambut hitam tebal anak pertama kami. Tak lupa, ku kecup keningnya.

Aku ingin segera pulang, semua kekesalan yang aku rasa saat ini. Membuat ku tak bisa berlama-lama bermain dirumah orang tua mas Ardi selaku mertua ku. Sesampainya dirumah, mas Ardi langsung pergi lagi.

"Mau kemana lagi, kalau bukan ke rumah orang tuanya, mas Ardi tidak pernah bisa tinggal berlama-lama dirumah yang lebih pantas disebut gubuk ini"

Setelah menidurkan bayi ku, dalam keheningan malam rasa sakit itu muncul kembali. Terngiang jelas, ucapan Mas Ardi mengatakan.

"Aku sudah tidak mau bekerja lagi dek, Mas sudah cape. Kalau kamu mau, kamu saja yang bekerja!"

Serasa sakit dada ini, kenapa sampai hati dia berucap demikian. Padahal, masih ada aku dan dua anak sebagai tanggungannya.

Anak pertamaku Adam, baru saja naik kelas dua. Sesudah liburan, aku harus membeli buku Lks sebagai panduan belajarnya. Satu paketnya, bisa berkisar dua ratus ribu lebih.

Semenjak Mas Ardi kena PHK dua tahun yang lalu, dia selalu menolak untuk mencari pekerjaan baru. Sudah banyak lowongan, yang ditawarkan padanya. Tapi dia tak pernah bergeming.

Sampai aku jengah, dan meminta bantuan ke dua mertuaku untuk membujuknya supaya, dia mau mengambil peluang itu.

Bukannya menurut, dia malah membuat pernyataan yang membuat bola mataku membulat. Aku terbelalak dan sakit di dada, mendengar penjelasannya.

"Aku sudah tak mau bekerja lagi dek, mas sudah cape. Kalau kamu mau kamu saja yang bekerja."

Tak terasa bulir bening disudut mata mulai berjatuhan. Runtuh sudah kesabaranku selama ini menghadapi Mas Ardi, bagaimana bisa dia berpikiran seperti itu. Sedangkan kami masih punya 2 tanggungan putra, terlebih bayi kami Rasyid dia masih terlalu kecil.

Bagaimana aku bisa menghadapi kehidupan kami kedepannya, selama Mas Ardi tidak bekerja kami dibantu orang tuanya untuk kebutuhan sehari - hari seperti beras dan sembako lainnya.

Itupun bila orang tuanya memiliki rezeki lebih.

Tapi untuk biaya tak terduga seperti biaya sekolah, bayar iuran listrik, atau anak sakit aku tak berani mengeluh, meminjam atau meminta sekalipun.

" Ya Allah apa yang harus aku lakukan.."

ku seka air mata yang masih menganak sungai dipipi bohong kalau aku tidak sakit hati, bohong kalau aku tidak marah. Dengan alasan capek dia sama saja telah lepas tangan akan kehidupan kami.

Dia masih muda usia nya baru 35 tahun dibulan ini dan dia tidak mempunyai riwayat penyakit apapun.

Apa pantas dia memberikan alasan seperti itu.

Aku bisa saja mencari kerja, tapi bagaimana dengan bayiku Rasyid dia masih memerlukan ASI tapi bila aku tidak bekerja bagaimana aku bisa membiayai anak-anakku.

Andai aku tidak punya bayi, mungkin aku sudah kesana kemari mencari pekerjaan apapun itu selagi itu masih halal.

Dalam kalut aku menerawang ke atas melihat tali tambang bekas ayunan Rasyid yg sudah tak terpakai lagi.

Tali tambang itu menjuntai seolah melambai dan berkata.

" Akhiri saja hidupmu, dunia ini terlalu kejam. Bahkan suamimu saya sudah tak perduli dengan kalian."

Sakit ini membuat ku putus asa

Akupun mendekat mencoba untuk meraih tali itu ku pandangi dari atas hingga ujung tali.

Terdengar beberapa kali suara pintu diketuk.

Tok..tok..tok

"Dek.. ini Mbakyu kamu sudah tidur tah?"

Anganku masih melayang, menatap tali tambang yang kini sedang ku pegang hingga aku tak mendengar dengan jelas suara panggilan dari luar.

"Dek.. pintunya gak dikunci toh Mbakyu masuk ya!"

Aku masih terdiam mematung dan mencoba melilitkan tali tambang ke leherku.

"Astagfirullahalazim..!!! Indri Ya Allah gusti istigfar Dek jangan kaya gini nduk kasian anak-anakmu!!"

Histeris Mbak yeni memeluk dan berusaha melepaskan lilitan tali tambang yg sudah mulai erat dileherku.

"Mbakyu.. aku titip anak - anak ya, aku sudah ga kuat Mas Ardi ko jahat ya sama aku" ucapku sambil diselingi tangisan.

"Istigfar Dek kasian anak- anak semua masalah pasti ada jalan keluarnya Dek" jawab Mbak yeni sambil memegangi tangan kanan ku.

Rasyid bayi kecilku terbangun dan menangis dengan kencang, karna keributan yg kami buat.

"Lihat Dek bayimu nangis dia pasti takut klo ditinggal, siapa lagi yang peduli dengannya jika kamu tiada."

Ku pandangi Rasyid bayi yang baru berusia 18 bulan, terduduk diatas kasur menangis dengan kedua tangan diangkat keatas seperti ingin meraihku.

"Mbu... mbu.. mbu huaawaaa"

tangisannya memanggil namaku seketika aku tersadar ku longgarkan ikatan tali tambang yang menjerat leherku, ku gendong Rasyid yang masih menangis dan akhirnya kami menangis bersama.

"Kamu boleh menangis Dek,menangislah.."

"Jadikan tangisan ini kekuatan, agar kamu lebih tabah lagi menjalani ujian yang gusti Allah berikan. Ujian itu datang karna gusti Allah yakin sampean bisa, dengan diuji kamu harus lebih baik dari sebelumnya. Ingatlah gusti Allah selalu bersama orang- orang yang sabar." Ucap Mbak Yeni sambil mengelus- elus rambutku.

"Oh iya Mbak ke sini bawa sayur asem sama ikan goreng kesukaan kamu dimakan ya Dek." Mbak yeni menunjukan rantang yang ia bawa tadi.

"Tadi mba udah kesini sore tapi ndak ada orang, jadi mba bawa lagi makanannya ke rumah. Mba simpen ning dapur yo Dek"

Mbak yeni tetangga yang paling dekat dengan ku, Dia sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri karna menurutnya wajah ku mirip dengan wajah adiknya yang sudah meninggal 5 tahun lalu karna sakit.

Rasyid sudah tenang dan terlelap kembali setelah ku berikan ASI. Aku masih melamun karna kejadian tadi, andai tindakan bunuh diri ku tadi terjadi entah bagaimana dengan anak- anak ku.

Karna kesal dan marah dengan mudahnya setan menyelinap ke pikiranku.

Kembali aku terisak dalam diam, menyadari betapa bodohnya aku.

Bila aku melakukan itu apa bedanya aku dengan Mas Ardi yang lepas tanggung jawab akan kami. Aku harus kuat demi anak - anak ku.

"Kamu sudah lebih baik Dek?" Tanya Mbak Yeni sekembalinya dari dapur.

"Mbak terima kasih yo mba.." jawabku masih diselingi isak tangis dan air mata yang masih menganak sungai dikedua pipi ku.

"Kamu masih belum temukan titik terang atas masalahmu Dek?" Ucapan Mbak Yeni membuatku kembali terisak lebih keras.

Ya hanya Mbak Yeni yang selama ini mendengar keluh kesahku semenjak ibu meninggal karna sakit paru - paru dan dinyatakan positif covid oleh pihak rumah sakit.

Bahkan diacara pemakaman aku tidak bisa ikut hadir untuk melihat ibu tuk terakhir kalinya memang saat itu aku sedang hamil Rasyid usia 4 bulan dan masih sering mual dan pusing.

Sementara Bapak sudah menikah lagi dan tinggal bersama istri barunya diluar kota. Rumah ini sengaja Bapak berikan karna aku adalah anak satu - satunya. Rumah mungil ukuran 4 x 7 meter yang kami sekat 3 inilah yg menjadi tempat berlindung kami kini.

"Mbak aku pengen punya penghasilan, aku gak bisa terus berharap sama Mas Ardi. Mbak bisa bantu aku?"

Akan ku terima semua takdirMu

Ku raih kedua tangannya memohon untuk bisa memberikan masukan untuk jalan keluar dari semua masalahku.

"Kamu yakin? Klo kamu sudah benar- benar yakin sekarang Mbak mau tanya kamu punya keahlian apa? Misalnya masak atau jahit gtu.." tanya Mbak Yeni padaku

Keahlian, Aku tak punya keahlian apapun sebagai anak satu-satunya dulu Ibu dan Bapak selalu memudahkanku meski kami hidup dalam kekurangan Ibu selalu melarang bila aku ingin membantu pekerjaannya didapur.

Seketika air mata pun berlinang kembali mengingat bagaimana aku disayang dan dimanja oleh orang yang paling ku rindukan setelah kepergiannya.

"Mbak aku gak bisa apa-apa, apa aku kerja di orang saja ya Mbak?" isak tangis ku hentikan mencoba tuk lebih tenang.

"Klo kamu memang mau kerja kamu harus cari yang bisa dikerjakan dirumah supaya anak - anak kamu tetap ada yang jaga." Ucapan Mbak Yeni membuatku berpikir keras, kerja apa yg bisa dilakukan dirumah.

Ya memang dimasa pandemi ini pemerintah menetapkan protokol kesehatan sangat ketat hingga disarankan untuk bekerja dirumah saja.

"Sudah jangan dipikirkan malam ini, kamu sudah terlalu banyak berpikir hingga batinmu tertekan. Pesan Mbak, saat kamu sendiri dan kamu merasa semua orang tidak perduli jangan buang sia-sia air matamu lebih baik kamu bersujud mencurahkan keluh kesahmu sama gusti Allah. Allah lah sebaik-baiknya penolong."

Bersujud.

Deg

Entah kapan terakhir kali aku beribadah dan melaksanakan kewajibanku. Mungkin ini sentilan dari gusti Allah karna aku lalai dan ingin aku kembali bermanja berlama-lama memanjatkan doa dan bermunajat kepada Robb ku.

Semenjak Ibu meninggal dan dinyatakan positif covid lalu Mas Ardi di PHK lantaran pandemi aku lebih memilih berfikir pakai otak tanpa melibatkan Allah dengan segala urusanku.

Keadaan membuatku seolah lupa siapa Rajanya disini, siapa yang bisa aku pinta tolong kapan pun tanpa harus menunggu waktu yang baik untuk bertemu.

Tapi..

apa masih pantas aku meminta setelah aku melupakanNya sekian lama. Setiap hari setiap saat Allah selalu memberi tanpa aku berterimakasih. Dan disaat kesulitan seperti ini ada, baru aku teringat kembali padaNya.

Sepertinya aku sudah sangat tidak tahu diri. Tapi siapa lagi yang bisa aku pinta tolong saat orang terdekat ku saja sudah tidak bisa aku jadikan sandaran, sudah tidak bisa aku harapkan.

Tekanan dan emosi yang aku dapatkan saat ini membuat tenaga dan pikiran ku terkuras habis hingga lelah yang ku rasakan.

Ku coba berbaring disamping bayi ku Rasyid, sejenak ku pandangi dia ku belai pipi tembamnya.

"Maafkan Ibu ya Dek.."

Tak terasa mata ku mulai terlelap dan terbuai mimpi.

Terdengar sayup - sayup suara orang salawatan mencoba membangunkan orang - orang yang masih terlelap untuk bersiap - siap mengerjakan shalat subuh.

Akupun terbangun dan berusaha untuk duduk sambil memijit pelan kening dan pelipis secara bergantian karna sisa tangis semalam.

Mencoba berdiri untuk membersihkan diri dan bersiap - siap untuk shalat subuh.

Ku bentangkan sajadah.

Ku mulai berniat lalu bertakbir, yang terjadi setelahnya aku terisak dan menangis.

Seperti malu untuk memulai kewajiban yang selama ini pernah aku tinggalkan.

"Ya Allah hamba malu, hiiikkkh.. hiiikkkh.. maafkan hamba ya Allah..." sedu sedan tangis ku coba tahan, ku tarik nafas panjang dan ku coba hembuskan perlahan.

Ku mulai kembali dari awal dengan keadaan cukup tenang hingga salam mengakhirkan shalat subuhku.

Ku berdoa dan memohon belas kasih pengampunannya atas segala dosa - dosa ku semua aku tumpahkan hingga isak tangis itu terdengar kembali.

" Ya Allah maaf hamba telah lalai dalam kewajiban hamba.

Hamba lupa Engkaulah yang selalu ada untuk hamba.

Kekecewaan yang aku terima mampu membuat aku berpaling dariMu.

Hingga akhirnya aku sadar bahwa beban ini tidak bisa aku tanggung sendiri bahkan berharap meminta tolong pada manusiapun hanya kekecewaan dan sakit hati yang aku dapatkan.

Dari sini aku sadar bahwa tidak seharusnya aku berharap lebih pada seorang mahluk yang jelas masih bergantung padaMu.

Dengan adanya cobaan ini aku hanya bisa berpasrah atas takdirMu aku akan berusaha ikhlas dalam ketetapanMu.

Dan bila memang ini yang harus aku jalani, aku mohon bimbinglah hati ini untuk bersabar dan tawakal.

Tuntunlah aku dalam setiap masalah agar aku dapat menemukan jalan yang Engkau ridhoi.. Ammiin."

Pecah sudah rasa yang aku tahan didalam dada isak tangis kini sudah seperti raungan tangisan penyesalan dan keputusasaan.

Beberapa kali ku coba menarik nafas dan hembuskan perlahan mencoba menetralkan isi hati sedikit meredam emosi. Ku lipat sajadah dan mukena, ku simpan diatas nakas.

Dari semalam hingga sore hari ini Mas Ardi tak kunjung kembali, aku akan mencoba untuk tidak terlalu peduli. Mungkin dengan sedikit memberi ruang dan jarak padanya aku akan lebih mudah dalam menjaga batas sabar. Mencoba mengalihkan perhatian karna masalah yang ada, ku coba mengendong si kecil sambil bermain berjalan - jalan ke taman bermain disekitar rumah ku.

Teguran dan sapaan para tetangga membuat Rasyid tertawa dan berceloteh riang seketika aku lupa dengan kesedihan.

"Ternyata lelah ibu terbayar lebih dengan senyummu dek.. " batin ku

Disaat hati dalam tekanan dan terlalu banyak masalah yang dipikirkan memang lebih baik keluar meski hanya berjalan - jalan disekitaran rumah bersosialisasi dengan sekitar sedikit membantu membuat pikiran dan hati terbuka kembali.

Dari kejauhan tercium harum parfum seseorang yang pernah ada dalam ingatan membuat ku mengerutkan kening dan mengendus serta memejamkan mata.

"Assalamualaikum humairah.." sapa seorang lelaki tinggi tegap berbalut koko putih dengan sarung berwarna coklat keemasan.

Aku hanya mengerutkan kening dan memiringkan kepala sedikit tak bisa mengenali siapa dia karna tertutup masker.

Dia hanya terkekeh geli melihat kelakuanku.

"Maaf anda bicara dengan saya?" Tanyaku sambil menengok ke kanan dan ke kiri karna yang aku tau ditaman ini yang dekat dengan pria ini hanya aku dan anak ku Rasyid

"Tentu saja nona cantik berpipi kemerah-merahan.." jawab nya

Aku tersentak kaget saat tau bahwa pria di depan ku mencoba merayu apalagi dengan pakaian yang dia kenakan.

" Maaf bisa Bapak berbicara dengan sopan?!"

Ucap ku tegas karna mulai risih dengan kelakuannya apa lagi dari kejauhan beberapa ibu - ibu yang sedang bermain bersama anak - anak mereka memperhatikan pria ini.

" Bapak ..!! Ayolah Indri aku tidak setua itu selisih umur ku dan kamu hanya 18 bulan." Jawabnya sedikit kesal

" Muhammad husein abdilah bin KH. Abdul kadir " mata ku terbelalak hingga akhirnya aku tertawa terbahak - bahak

" Kebiasaan kalau sebut nama orang pasti pakai nasab nya" gumamnya pelan

"Heh tidak semua orang, hanya kamu saja." Jawab ku masih terkekeh dan senyum - senyum

" Kapan sampai di Indonesia?" Karna setau ku anak kesayangan KH. Abdul kadir ini kuliah di Kairo Mesir

"Hampir satu tahun yang lalu sih, saat tiba disini karna dalam keadaan pandemi jadi aku dikarantina di kota Bandung lalu membantu Paman mengajar di Bogor, pesantren yang dipimpin beliau atas perintah Abi "

Kami berbincang sambil berjalan - jalan sekitaran taman bermain karna Rasyid yang cukup aktif berlarian kesana - kemari.

" gumushh banget sih anak kamu humairah liat pipi tembamnya aku jadi ingin mencubitnya.." ucap Husein tangannya mencoba meraih Rasyid.

"Eh jangan coba - coba ya..!"

"Tapi dia Gumushh banget, kalau aku gendong kira - kira dia mau ga?"

" Aku gak bisa jamin sih, biasanya kalau sama orang baru dia diem gak mau deket bahkan lebih parahnya lari sambil nangis."

" Aku coba dulu yah..?!"

Ku acungkan jempol sebagai pertanda setuju.

" Assalamualaikum.. ganteng lagi apa?" Sapa Husain berjongkok menyeimbangi tinggi badan Rasyid yang sedang melihat kupu-kupu hinggap disalah satu bunga Marigold berwarna kuning terang. Seketika Rasyid menoleh dan menjawab salamnya

"Kum.. yam.. " sambil menatap Husein dan kemudian terdiam

"Satu.. dua.. tigg.." Belum selesai ku menghitung Rasyid menangis dan berlari ke arah ku sejenak ku tatap Husein dengan tatapan mengejek.

Ku raih Rasyid dan ku gendong untuk menenangkannya.

"Sayang ibu.. cup..cup..cup udah gak usah nangis lagi ya ibu kan ada, itu temannya ibu namanya paman Husein. Rasyid ga usah nangis dan takut lagi ya" kutepuk pelan punggung Rasyid mencoba menyalurkan rasa aman padanya.

Tapi tetap saja yang namanya anak kecil kadang takut dengan seseorang yang baru ia kenal.

Hingga akhirnya aku berencana untuk pamit dan pulang karna waktu sudah mulai senja.

"Husein sebaiknya aku pamit pulang hari sudah mulai senja, terima kasih sudah menemani aku bermain dengan Rasyid"

"Hmmmm.. bermain apa nya baru di sapa saja sudah nangis, ya sudah hati - hati ya sampai berjumpa kembali jagoan Assalamualaikum"  aku terkekeh geli dengan ucapan Husein yang lebih tepatnya menggerutu.

"Wa' alaikumus salam" jawabku diiringi lambaian tangan Rasyid yang aku goyangkan ke arah Husain kami pun berpisah.

Malam menjelang aku mencoba melantunkan ayat - ayat suci Al - quran setelah shalat isya yang ku kerjakan mangkrak 2 jam karna rengekan Rasyid yang mulai mengantuk minta di temani tidur. Terdengar suara deru bunyi mesin motor berhenti didepan rumah, ku coba akhiri bacaan ku. Tak lama terdengar suara Adam memanggil ku.

"Ibu.. Ibu.. Mas Adam pulang..!" suaranya nyaring memenuhi rumah yang memang luasnya tidak seberapa

"Hush.. pulang bukannya ucap salam Mas, malah teriak - teriak. Itu Rasyid tidur nanti kebangun" jawab ku sambil mencubit pelan pipi Adam yang dijawab cengengesan oleh putra ku.

" Pak.." ku raih tangan kanan Bapak mertua ku ku cium punggung tangannya dengan takzim.

"Habis shalat nduk?" yang hanya dijawab anggukan pelan dari ku

"Alhamdulilah, yang sabar ya nduk. Maafin Bapak sama Ibu mertua mu yang tidak bisa mendidik Ardi menjadi Ayah yang bertanggung jawab terhadap kalian." lirihnya pilu.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Bukan sepenuhnya salah Bapak, lebih tepatnya tidak ada yang bisa disalahkan atas keputusan Mas Ardi."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!