Halo, semua!
Ini cerita kedua Ay yang fiks bakalan Ay tulis setelah “Kisah Kita” selesai. Jadi, prioritas Ay tetep “Kisah Kita”, ya.
So, cerita ini bakalan bener-bener slow update.
Kalau mau baca sekarang, ya, silakan. Mau baca setelah banyak chapter, ya, silakan. Atau mau nunggu tamat dulu juga silakan. Itu keputusan kalian, Sayang.
...Happy reading:)...
.......
.......
.......
Brengsek!! Dasar bodoh!
Lelaki itu terus mengumpat dalam hati sambil meneguk ‘minuman’. Dentuman keras musik yang ada di club sama sekali tidak mengganggu aktivitas lelaki yang satu ini. Bahkan, wajah tampannya tampak sayu karena sudah terlalu mabuk.
Empat botol kosong berjejer di meja lelaki itu. Masa bodoh jika sampai mati sekalipun. Ia rela, kok.
“Kenapa, Chels? Kenapa...?” gumam lelaki itu lirih.
“Kenapa kamu khianatin aku?”
“Kenapa kamu lebih milih dia daripada aku?”
“Aku sangat mencintaimu.. kamu tau itu, kan?”
Lelaki itu meneguk lagi ‘minuman’ langsung dari botol. Beberapa bartender yang berjaga nampak memperhatikan lelaki ini.
“Lihat! Dia sudah minum empat botol!” seru bartender 1.
Bartender 2 nampak meneliti penampilan lelaki tadi. Kaus oblong putih berbalut jaket dan celana panjang santai. “Dia orang kaya bukan, sih?” gumamnya.
Bartender 1 menoleh. “Kenapa emang?”
“Nanti kalo dia nggak bisa bayar, gimana?”
Bartender 1 berpikir keras. Lantas mengangguk setuju menyadari perkataan bartender 2 ada benarnya. “Iya juga, ya.”
Kedua bartender tadi sibuk membicarakan lelaki itu. Setelah perundingan yang alot, mereka sepakat mendatangi lelaki itu.
“Maaf, permisi,” ucap bartender 1 sopan. Lelaki itu mendongak. Parasnya yang kusut dan sayu membuat bartender 1 agak kasihan. Kayaknya, dia lagi patah hati, deh.
“Kenapa, sih?” tanya lelaki itu ketus.
“Tuan sudah ‘minum’ banyak, lho. Sudah, ya,” pinta bartender 1.
“Tuan-nya bisa bayar, kan?” ledek bartender 2 dengan pandangan sinis.
Lelaki itu mengerutkan dahi. “Heh! Asal kamu tahu, ya. Hik.. aku bisa beli satu club ini dan, hik.. pecat kamu dari sini!” ancam lelaki itu diselingi cegukan.
Bartender 2 tertawa. Sama sekali tidak percaya dengan penuturan lelaki mabuk ini. “Ya udah, cepat bayar!” Ia menodongkan tangan dengan telapak tangan terbuka.
Lelaki itu merogoh saku celana. Kosong. Hei, di mana dompetku?!
“Tuh, kan! Dia nggak bisa bayar!” gerutu bartender 2 kesal. Ia berbalik, lalu berjalan cepat membelah kerumunan.
“Ada apa, Tuan?” tanya bartender 1 bersimpati.
“Dompet saya nggak ada!” seru lelaki itu sebal.
Bartender 1 terdiam. Di satu sisi, ia kasihan pada lelaki ini. Di sisi lain, ini adalah pekerjaannya. Jika lelaki ini tidak membayar, dari mana ia akan mendapat penghasilan?
“Security, cepat usir dia!!” seru bartender 2 yang datang bersama dua security.
Security tadi mengangguk paham. Keduanya mengapit lelaki tadi dan membawanya paksa keluar club. Semua orang yang melihat tentu memberi jalan. Ada berbagai tatapan yang dilayangkan pada lelaki mabuk tadi.
Kasihan, jijik, dan remeh.
Yah, begitulah sistem kerja impuls manusia. Selalu menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan apa yang dia lihat.
Lelaki tadi memberontak keras. “Lepas! Hei, lepaskan aku!” teriaknya. “Aku akan buat kalian bangkrut, ya! Lepas!”
Bartender 1 dan 2 mengekori security tadi. Setelah tiba di luar, security tersebut menghempas tubuh lelaki tadi ke tanah.
Lelaki tersebut menggeram marah. “Berani sekali kalian memperlakukan seorang Rayhan seperti ini, hah!!!”
Bartender 2 terbahak. Diikuti oleh kedua security tadi. “Heh, Tuan Rayhan yang terhormat, kalau nggak bisa bayar, nggak usah ke sini lagi, oke,” kata bartender 2 sinis. “Miskin aja belagu banget.”
“Kamu—” geram Rayhan marah.
“Ada apa ini?”
Mereka menoleh bersamaan. Manik bartender 2 juga security yang berada di sana nampak berbinar.
Suara tadi adalah milik gadis cantik dengan rambut panjang bergelombang. Parasnya elok sekali. Apalagi pakaiannya yang elegan. Beuhh... cantiknya bukan main, Bro.
“Selamat datang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” tanya bartender 2 ramah.
Rayhan yang melihat tersebut berdecih sinis. Dasar mata keranjang! Penjilat!
Gadis tadi masih sibuk mengamati Rayhan yang tersungkur di tanah. Sepertinya, lelaki itu tidak kuat berdiri karena mabuk. “Tuan?” panggilnya.
Rayhan menoleh. Melihat paras cantik gadis tersebut, ia ikut terpukau. “Cantik sekali,” katanya tanpa sadar.
Gadis itu tersenyum manis. “Terima kasih.” Ia beralih menatap bartender tadi. “Ada apa sebenarnya? Kenapa kalian mendorong Tuan ini?”
“Begini, Nona, lelaki ini sudah banyak ‘minum’, tapi tidak membayar. Maka dari itu, kami mengusirnya,” jelas bartender 2.
Gadis itu mengangguk paham. Dia mengeluarkan dompet dari tas selempangnya. “Biar saya yang bayar. Berapa totalnya?”
“Eh?” Bartender dan security tadi terkejut.
Rayhan mencoba bangkit, ingin menahan gadis yang ingin membayarkan ‘minuman’nya. Namun, tubuhnya malah sempoyongan dan tidak bisa seimbang. Refleks, gadis tadi menopang tubuh Rayhan. “Biar saya bantu, Tuan.”
Rayhan menatap lekat wajah cantik gadis itu dari dekat. “Nama kamu siapa?”
Gadis itu tersenyum pada Rayhan yang menatapnya sayu. “Aqilla.”
“Nama saya Aqilla, Tuan.”
...👑👑👑...
Sebenarnya tujuan Aqilla datang ke club bukan untuk bersenang-senang. Dia punya tugas lain di sini. Namun, meninggalkan Rayhan yang mabuk tanpa didampingi siapa pun juga membuat dirinya tak tega.
Rasa kemanusiaan Aqilla begitu besar.
Dia memang dilatih seperti itu sejak kecil, jadi jangan heran.
“Manusia itu makhluk sosial. Kita tidak bisa hidup sendirian. Jadi, sebisa mungkin, bantulah orang-orang di luar sana, La. Mungkin dengan begitu, orang tersebut juga akan membantu kita di masa depan.”
Itu adalah kalimat yang selalu Aqilla ingat sepanjang masa.
Usai membayar biaya ‘minuman’ Rayhan, Aqilla membawa lelaki itu ke bagian VIP di club tersebut agar Rayhan bisa beristirahat. Aqilla meminum jus jeruknya seraya memperhatikan Rayhan.
Sekarang Rayhan tengah mengoceh tentang seorang gadis bernama Chelsea. Dari apa yang Aqilla dengar, ia bisa menyimpulkan bahwa Rayhan sedang patah hati. Chelsea adalah pujaan hatinya. Dan, gadis itu mengkhianati Rayhan dengan bersanding bersama lelaki lain.
Lelaki mana yang tidak sakit hati coba?
“Tuan baik-baik saja, kan?” tanya Aqilla sopan.
Rayhan menatap Aqilla sendu. “Apa aku tidak tampan?” tanyanya meracau.
Aqilla memperhatikan paras Rayhan dengan saksama. “Tampan, kok.”
“Apa aku kurang kaya?”
“Ah, saya tidak tahu. Saya tidak mengenal Anda, Tuan.”
Rayhan merengut. “Jahat sekali kamu tidak mengenalku.”
Aqilla terkekeh. “Baik, maafkan saya.”
“Baik, baik. Aku akan memperkenalkan diri.” Rayhan berlagak memperbaiki pakaiannya yang kusut. “Aku Rayhan Albar Refalino, putra sulung keluarga Refalino, Presdir RH Group.”
Aqilla membelalakkan mata. A–apa?
Rayhan tersenyum lebar. “Apa sekarang kamu mengenalku?”
Aqilla ikut tersenyum. “Iya, Tuan. Saya mengenal Anda.”
“Jadi, apa aku kurang kaya?”
“Tentu saja tidak, Tuan.”
Rayhan berdecak. “Sudah kuduga!”
Aqilla tertawa pelan mendengar gerutuan Rayhan. “Gadis itu yang bodoh karena meninggalkan Tuan yang sangat mencintainya. Jadi, Tuan lupakan saja gadis bodoh itu. Tuan bisa mencari gadis yang lebih pintar, kan?” ucap Aqilla memberi saran.
Rayhan mengangguk antusias dengan mata sayunya. “Kamu benar, Aqilla! Aku akan cari gadis yang pintar.”
Aqilla mengacak rambut Rayhan gemas. Lelaki ini juga tidak menolak—malah nyaman-nyaman saja.
Menyadari sesuatu, Rayhan menoleh pada Aqilla dengan raut serius yang terlihat lucu.
“Bagaimana kalau kamu saja yang menjadi kekasihku? Kamu gadis yang pintar menurutku!”
^^^To be continue...^^^
...👑👑👑...
Welcome di “Aqilla’s Story” semuanya!
Ini cerita tentang perjalanan hidup Aqilla yang penuh dengan konflik. Semoga kalian suka, ya.
See you di chapter selanjutnya:)
“Bagaimana kalau kamu saja yang menjadi kekasihku? Kamu gadis yang pintar menurutku!”
Aqilla mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Detik berikutnya, ia tertawa lepas. “Haha, candaan Anda tidak lucu, Tuan. Hahahaha...”
Rayhan melotot dengan manik sayunya. “Hei, aku tidak bercanda, ya.”
Terdiam. Aqilla mulai menatap Rayhan serius. “Maaf, Tuan, saya tidak mau.”
Rayhan terkulai lemas. “Kenapa kamu juga menolakku?” tanya lelaki itu sendu.
“Saya sudah punya kekasih, Tuan.”
Rayhan mengerucutkan bibirnya. “Apa dia lebih tampan dariku?”
“Di mata saya, iya, Tuan.”
Rayhan berdecak. Ia yang semula duduk di seberang meja—berhadapan dengan Aqilla—kini berpindah ke sebelah Aqilla. Sontak, gadis itu memasang ancang-ancang jika Rayhan macam-macam dengannya.
Masa bodoh jika Aqilla harus melawan keluarga Refalino nanti. Harga dirinya lebih penting di sini.
“Tuan? Anda mau ap—”
Cup!
Mata Aqilla membelalak sewaktu merasakan bibir Rayhan memagut bibirnya. Lama-kelamaan bibir Rayhan mulai bergerak, ******* lembut bibir Aqilla yang terdiam kaku. Apalagi mendengar melodi degupan jantung Aqilla yang kencang.
Haishh... Rayhan bisa ketagihan nanti.
Karena tidak mendapat respon, Rayhan langsung mendorong tubuh Aqilla hingga bersandar di bahu sofa. Bibirnya mulai beraksi lebih berani. Mengecapi rasa manis di bibir Aqilla.
Seolah mendapat kesadarannya semula, Aqilla segera mendorong Rayhan menjauh. Bibirnya yang basah diusap kasar untuk menghilangkan bekas. Sial, apa aku menikmatinya tadi?
Aqilla menggeleng kuat, menolak asumsi otaknya.
Cih, kamu menikmatinya tadi, Aqilla.
Hei, Otak! Berhentilah menggangguku!!
“Tuan, Anda jangan keterlaluan, ya. Saya tidak akan segan terhadap Anda,” ancam Aqilla. Tatapannya mulai tajam.
“Ayolah, jadi kekasihku saja, ya,” pinta Rayhan memelas. Sorot mata sayunya dibuat seimut mungkin—jurus puppy eyes yang melemahkan.
Aqilla menghela napas kasar. Mendadak ia menyesal sudah membantu Rayhan. Harusnya aku biarin aja tadi. Nggak usah dibantuin, haishh..
Oke, Qill. Cowok sialan ini lagi mabuk. Dia nggak akan inget apa yang terjadi.
“Hm, terserah.”
“Yeayy...” sorak Rayhan senang. “Aku punya kekasih baru, hihi.” Rayhan terkekeh pelan.
Aqilla tergelak melihat tingkah kekanakan... kekasihnya(?)
Hei, hei, Aqilla mengiyakan permintaan Rayhan karena terpaksa, ya. Jadi, tolong semua, jangan menganggap hal tadi serius.
“Sayang,” panggil Rayhan seraya mengusap pipi Aqilla pelan.
Aqilla mengulum bibir gemas—lama-lama Rayhan terlihat lucu juga. “Iya?”
“Kamu jangan tinggalin aku kayak gadis bodoh itu, ya.”
Aqilla mengangguk patuh.
“Kamu nggak boleh deket-deket lelaki lain, ya.”
“Iya.”
“Awas, ya, kalau kamu sampai berpaling. Aku akan buat kamu nggak bisa jalan!” ancam Rayhan dengan manik semakin sayu.
Aqilla tergelak kencang. Ia menepuk-nepuk kepala Rayhan gemas. “Iya, Sayang. Nggak akan berpaling, kok.”
Rayhan tersenyum lebar. Dia mendekati Aqilla hingga jarak mereka begitu tipis. Aqilla sudah ingin meninju Rayhan karena sangat lancang mendekatinya seperti ini. Sayangnya, lelaki itu lebih dulu kehilangan kesadaran.
Bruk!
“Eh?”
Aqilla mengerjapkan matanya lucu. Rayhan jatuh tepat di atas tubuhnya. Kepala lelaki itu bertopang di bahunya. Kedua tangan Rayhan melingkar di pinggang Aqilla—seolah tengah memeluk guling.
Gadis itu terkekeh. Merasa lucu dengan situasi saat ini.
Aqilla membaringkan tubuh Rayhan di sofa. Selepas itu keluar dari ruang VIP untuk menjalankan tugas.
Aqilla berpura-pura berlagak seperti pengunjung lain. Ia membeli air putih dengan es sebagai penyamaran. Gerakan tangan dan tubuh Aqilla terlihat santai, seolah gadis itu memang tengah minum seperti yang lain. Sayangnya, lirikan mata Aqilla benar-benar tajam, seperti elang yang mengincar mangsanya.
Tidak ada? Apa orang itu tidak datang ke sini?
Tangan Aqilla merogoh tas selempang, mencari benda pipih kesayangan. Sudah pukul sepuluh malam. Hm, aku tunggu sampai jam sebelas, deh.
Aqilla kembali meneguk minumannya. Pandangannya masih awas ke sekeliling.
Semoga aku nggak kecolongan tadi.
...👑👑👑...
Satu jam berlalu...
Hasilnya nihil.
Aqilla tidak mendapat hasil apa pun malam ini. Dia ingin bertanya ke petugas yang ada atau mengecek CCTV. Sayangnya, Aqilla lupa membawa lencana miliknya.
Hufftt... nggak ada hasil hari ini. Mungkin aku harus ke sini lagi besok.
Aqilla memanggil bartender 1—orang yang melayani Rayhan sebelumnya.
“Iya, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” tanya bartender itu ramah.
Aqilla memperhatikan bartender itu dengan saksama. Tubuh lelaki itu nampak proporsional. “Anda bisa beladiri?” tanya Aqilla melenceng. Padahal, dia tadi ingin bertanya soal mangsa incaran.
Bartender tersebut tampak bingung. “Em, saya bisa, Nona.”
“Taekwondo? Silat? Karate? Atau... seperti apa?”
“Saya pernah mempelajari ketiganya, Nona. Hanya saja, tidak semahir itu,” jawab bartender 1 tetap sopan walaupun bingung kenapa ditanyai seperti itu.
Aqilla manggut-manggut. “Saya Nona Qaill dari Kepolisian Nasional Indonesia.”
Bartender 1 melotot kaget. Dia langsung bersikap tegak dan membungkuk hormat pada Aqilla. “Maaf, Nona. Saya tidak tahu jika Anda adalah Nona Qaill.”
Aqilla tersenyum tipis. “Saya butuh rekan baru. Datanglah ke kepolisian pusat Jakarta besok. Saya ingin Anda menjadi salah satu anggota rekan kepercayaan saya.”
Manik bartender 1 berbinar. “Be–benarkah, Nona?”
Aqilla mengangguk mantap. “Ini hari terakhir Anda bekerja di sini. Besok jam sepuluh pagi datang! Saya akan langsung mengusir Anda jika terlambat 1 detik saja,” ucap Aqilla serius.
“Baik, Nona!”
Akhirnya! Aku bisa keluar dari tempat terkutuk ini—batin bartender 1 senang.
Setiap malam melihat lelaki dan perempuan bercumbu bukanlah hal yang patut dibanggakan. Apalagi perempuan yang datang memakai pakaian kurang bahan—alias terlalu seksi. Tanpa tahu siapa yang berada di sebelahnya, mereka menari berlenggak-lenggok di lantai dansa.
Haishh... bartender 1 bisa terkena serangan jantung jika melihat itu terus.
Sayangnya, ia terpaksa menerima pekerjaan ini demi sang ibu. Ayahnya sudah tiada dan dirinya adalah anak tunggal. Jadi, bartender 1 merasa bertanggung jawab untuk menjadi tulang punggung keluarga dan mencari uang untuk ibunya.
“Siapa namamu?” tanya Aqilla mulai rileks.
“Reno Pratama, Nona!” jawab Reno tegas.
Aqilla tersenyum. “Saya suka orang yang tegas. Pertahankan! Mengerti?”
“Siap! Dimengerti, Nona!”
“Baiklah, berapa tagihan minumanku ini?”
Reno memberikan rincian pembelian minuman Aqilla dengan cermat walaupun hanya beberapa botol air biasa dan es batu. Ia akan berusaha menunjukkan kemampuannya dalam mengingat yang memang sangat baik sejak kecil. Aqilla sampai dibuat kagum.
“Ingatanmu sangat kuat, Reno. Kamu akan sangat berguna di pasukan nanti,” puji Aqilla tanpa segan.
“Terima kasih, Nona. Saya akan berusaha agar dapat berguna di pasukan Anda nanti.”
Aqilla mengangkat tangannya cepat—isyarat untuk berhenti. “Masih akan ada seleksi nanti. Saat ini, ada dua puluh orang yang akan mengikuti seleksi menjadi pasukan khusus di bawah pimpinan saya. Kamu akan mengikuti seleksi dahulu untuk bergabung menjadi pasukan saya. Saya hanya akan memilih 8 orang terbaik.”
“Terima kasih informasinya, Nona. Saya akan berusaha sebaik mungkin.” Reno membungkuk hormat.
Aqilla berdiri dari duduknya. Ia menepuk pundak Reno hingga lelaki itu terkejut.
Hebat! Kekuatan Nona Qaill sangat besar!
“Saya berharap bisa melihat kamu, Reno.” Aqilla tersenyum tipis.
Melihat hal tersebut, Reno seperti dibakar api semangat. Dia akan berusaha agar bisa masuk ke dalam pasukan khusus di bawah kepemimpinan Aqilla.
“Terima kasih, Nona Qaill.”
...👑👑👑...
Aqilla kembali ke ruang VIP. Di sana, Rayhan masih tertidur di sofa. Bedanya, posisi lelaki itu jadi meringkuk. Sontak Aqilla membekap mulutnya—berusaha menahan tawa.
Ternyata Presdir RH Group yang terkenal itu bisa ngiler juga, haha.
Aqilla menghampiri Rayhan. Tangannya terulur menepuk bahu lelaki yang tengah terjun ke dunia mimpi. “Tuan, bisa bangun sebentar? Saya akan antar Tuan kembali ke rumah.”
Tidak ada reaksi.
Aqilla menghela napas. “Kayaknya emang harus dipapah ke mobil.”
Aqilla berusaha mendudukkan tubuh Rayhan. Lanjut menariknya hingga berdiri dengan tumpuan tubuhnya sendiri. Lantas memapah Rayhan keluar dari ruang VIP.
“Kenapa tubuh Anda seperti gajah, sih, Tuan?” dumel Aqilla merasa keberatan.
Keduanya menerobos kerumunan lelaki dan perempuan yang tengah berlenggak-lenggok mengikuti irama lagu yang DJ bar mainkan. Aqilla merasa jijik pada setiap lelaki yang menatapnya dengan seringaian. Ingin menonjok mereka, tapi kedua tangannya sibuk.
Setelah perjuangan yang besar, Aqilla berhasil membuat Rayhan masuk ke dalam mobilnya. “Haahh... aku tua mendadak, nih. Punggungku sakit, ih.”
Menggeleng kuat, menolak perkataannya sendiri.
Aqilla masih mau muda. Jangan tua dulu.
Dia, kan, masih mau merasakan yang namanya menikah dan hidup bahagia.
...👑👑👑...
Di mansion keluarga Refalino...
“Saya tidak mau tahu, ya! Kalian semua telusuri setiap sudut kota ini dan temukan putraku!” perintah lelaki yang memiliki kisaran umur 35-45 tahun itu. Sayangnya, wajahnya masih terlihat tampan, hihi.
“Baik, Tuan!” sahut seluruh anggota.
Di belakang lelaki tadi, ada satu wanita dan satu gadis tengah saling menguatkan. Wanita itu khawatir pada keadaan putra sulungnya. Sedangkan si gadis berusaha menenangkan maminya itu.
Biar Ay perkenalkan. Lelaki yang memberi perintah barusan adalah Robert Van Refalino, kepala keluarga Refalino. Lalu wanita tadi merupakan istri Robert, Reva Putri Refalino. Dan, si gadis, putri bungsu Robert dan Reva, Jessica Refalino—panggilannya Jessie, oke?
Sementara Robert berseru memberi perintah kepada anak buahnya, Aqilla baru saja tiba di depan gerbang mansion Refalino.
Keluarga Refalino adalah keluarga yang paling disegani. Bahkan, ya, pemerintah di Indonesia saja menghormati keluarga tersebut. Jadi, Aqilla tahu letak mansion ini.
Tinggal cari di internet, kan.
“Itu rame-rame kenapa, ya? Masa iya bagi-bagi sembako?” gumam Aqilla bingung melihat kehebohan di luar mansion. Ia mengedikkan bahu tak acuh. “Bukan urusanku juga. Lagian, mana ada bagi-bagi sembako malem-malem.”
Aqilla turun dari mobil dan melangkah kecil ke depan gerbang. “Permisi!” serunya.
Suara Aqilla membuat semua pasang mata menoleh. Mereka terkejut melihat gadis cantik seperti Aqilla berdiri tengah malam di depan mansion Refalino.
“Permisi, maaf saya mengganggu. Saya ingin mengatakan kalau Tuan Muda Rayhan bersama saya.”
Bukan sambutan manis berupa kata terima kasih yang Aqilla terima. Melainkan todongan pistol dari semua anak buah Robert.
Deg!
Hei, hei, ada apa ini?
“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Robert dingin.
Menyuruhku? Maksudnya apa?
Hei, ada apa di sini?!!
^^^To be continue...^^^
...👑👑👑...
Chapter 2 sudah meluncur, hehe. Ini masih chapter awal, jadi masih belum terlalu kelihatan seperti apa ceritanya nanti. Masih penuh misteri, wkwkwk.
See you di chapter selanjutnya:)
Kemungkinan, ini chapter terakhir Ay tulis untuk “Aqilla’s Story”. Habis ini mau fokus nulis “Kisah Kita” dulu, ya.
...Happy reading:)...
.......
.......
.......
“Permisi!” seru Aqilla menggema.
Suara Aqilla membuat semua pasang mata menoleh. Mereka terkejut melihat gadis cantik seperti Aqilla berdiri tengah malam di depan mansion Refalino.
“Permisi, maaf saya mengganggu. Saya ingin mengatakan kalau Tuan Muda Rayhan bersama saya.”
Bukan sambutan manis berupa kata terima kasih yang Aqilla terima. Melainkan todongan pistol dari semua anak buah Robert.
Deg!
Hei, hei, ada apa ini?
“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Robert dingin.
Menyuruhku? Maksudnya apa?
Hei, ada apa di sini?!!
“Tangkap gadis itu!” perintah Robert tegas.
“Baik, Tuan!”
Tak ingin membiarkan sang gadis kabur, beberapa lelaki berbadan besar yang merupakan anak buah Robert segera menerobos gerbang dengan cepat. Dua dari mereka menahan Aqilla dengan mencengkeram lengannya.
“Maaf, Tuan semua. Sentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya itu dosa. Tolong, ya, hargai itu.” Aqilla melepas tangannya dengan pelan.
Dua lelaki yang tadi menahan Aqilla pun melepas cengkeraman. Hanya saja, mereka tetap berjaga di samping gadis itu.
Fiuhhh... selamat. Trik yang satu itu emang ampuh untuk menyelamatkan diri, hahaha.
Robert berdeham kencang. “Sekarang jawab, bagaimana putraku bisa bersama denganmu?” tanyanya tajam.
“Ah, begini, Tuan. Saya bertemu dengan Tuan Muda di Club Fress. Tuan Muda sedang mabuk, Tuan Besar. Jadi, saya membawa Tuan Muda kemari,” jelas Aqilla berusaha meluruskan kesalahpahaman di sini. “Tuan Muda ada di mobil saya,” tambahnya lagi seraya menunjuk mobilnya yang berada di depan gerbang.
Robert memicing curiga. Namun, tak urung mengikuti langkah Aqilla yang mendekati mobil. Pintu samping di sebelah pengemudi terbuka. Rayhan ada di sana tengah tertidur pulas.
“Ray?!” pekik Robert cemas. “ALVIN!!”
“Saya, Tuan Besar?” sahut Alvin segera menuju sang majikan.
“Bantu aku memindahkan Ray ke kamarnya.”
“Baik, Tuan.”
“Dan, kamu!” Robert menunjuk Aqilla.
Aqilla gelagapan. “Saya, Tuan?”
“Kamu tidak boleh pergi dari mansion ini sebelum saya memastikan bahwa anak saya baik-baik saja, mengerti?”
Bernapas lega. “Mengerti, Tuan.” Aqilla menatap dua orang yang menjaganya bergantian. “Apa tidak ada orang seperti kalian yang berjenis kelamin perempuan?”
Diam.
“Kalian pendiam ternyata, hihi.” Aqilla terkekeh pelan.
Susah payah Robert dan Alvin mengeluarkan Rayhan dari mobil. Usai menutup pintu dan mengunci mobil, Aqilla mengikuti langkah orang-orang di depannya memasuki mansion keluarga Refalino.
Ckckck, rumah orang kaya emang beda.
Bukan rumah kalo begini. Istana namanya.
Robert dan Alvin membaringkan tubuh Rayhan di kamar lelaki itu. Lanjut menghubungi dokter keluarga untuk datang dan memeriksa kondisi putra sulung keluarga Refalino. Sembari menanti, Robert, Reva, dan Jessie duduk di ruang tamu bersama Aqilla.
Glek!
Ini kenapa, sih? Ya Allah, salah Hamba cantikmu ini apa..?
Tatapan Robert dan Reva begitu mengintimidasi. Seolah ingin mencabik-cabik tubuh Aqilla yang langsing nan semampai ini. Semua anak buah Robert juga berdiri mengelilingi Aqilla dengan tatapan datar.
“Halo, Kak,” sapa Jessie ramah.
Aqilla balas tersenyum. “Halo juga.”
“Nama Kakak siapa?”
“Aqilla.”
Jessie manggut-manggut. “Kak Aqilla kerjanya apa?”
Aqilla terdiam. Aishh... aku lupa bawa lencana polisiku, huaa..
“Em, apa, ya?” ucap Aqilla kikuk. “Saya sulit menjelaskannya, Nona.”
Jessie menatap Aqilla bingung. “Kakak ketemu Kak Ray di club?” Aqilla mengiyakan. “Buat apa Kakak ke club? Kakak terlihat alim sekali tadi.”
Robert yang baru menyadari hal tersebut semakin menatap Aqilla tajam. Dia berpikir, gadis ini adalah salah satu suruhan musuhnya. Dan, jika itu benar, Robert pastikan, Aqilla akan keluar dari mansion hanya tubuhnya saja.
Iya, badannya aja. Nyawanya udah melayang soalnya, wushh...
“Saya ke sana karena pekerjaan saya, Nona,” jawab Aqilla apa adanya.
“Iya, tapi kerjaannya apa?”
Jawab nggak, ya? Kalo aku bilang polisi, mereka percaya nggak, ya?
“Em, saya—”
“Tuan Besar, Nyonya Besar, Dokter Yan sudah datang,” ucap Alvin menyela jawaban Aqilla.
Robert segera meminta Dokter Yan memeriksa sang anak. Reva yang khawatir pun turut mengekori suaminya menuju kamar Rayhan. Sementara Jessie masih di ruang tamu, menyerbu Aqilla dengan banyak pertanyaan.
“Tadi kerjaannya apa, Kak Qill?”
“Em, saya polisi, Nona,” jawab Aqilla pelan.
Jessie terkejut. “Polisi, Kak?”
Bukan polisi juga, sih. Tapi, itu identitasku selama di sini.
“Iya, Nona.”
Jessie mengangguk paham. “Kalau gitu, kenapa Kakak nggak jawab aja dari tadi? Polisi, kan, pekerjaan yang keren,” seru Jessie menggebu-gebu.
Aqilla tersenyum tipis melihat tingkah Jessie yang nampak berbinar menatapnya. “Saya tidak membawa lencana saya, Nona. Saya takut Anda tidak percaya,” jawab Aqilla jujur.
Jessie tergelak melihat sorot mata polos Aqilla. “Kak Aqill lucu, ya.”
Aqilla mengerjap bingung. “A–Aqill?”
“Iya. Aqilla, jadi Aqill.”
“Jangan dong, Nona. Qilla saja, jangan Aqill. Itu aneh di telinga saya.” Nada suara Aqilla terdengar sedikit merengek.
Jessie tertawa. Kak Aqilla-nya ini memang menggemaskan. “Oke, oke. Kak Qilla?”
“Yes, Nona. Hehe.”
Selepas itu, Jessie dan Aqilla berbincang santai layaknya sahabat. Mereka terlihat sudah tidak canggung satu sama lain. Pembawaan Aqilla yang selalu friendly dan ramah pada siapa pun membuat Jessie menyukai gadis itu dengan teramat.
Aqilla itu sosok yang apa adanya.
Sementara itu, di kamar Rayhan, Robert dan Reva masih menanti Dokter Yan memeriksa Rayhan. Tak urung pula Alvin juga berada di sana.
“Bagaimana, Dok? Anak saya baik-baik saja, kan?” tanya Reva khawatir.
Dokter Yan tersenyum kepada Reva. “Tuan Muda baik-baik saja, Nyonya Besar. Sepertinya, Tuan Muda terlalu banyak ‘minum’ dan membuat dirinya sendiri mabuk berat, Nyonya, Tuan.”
Reva menghembuskan napas lega. Begitu pula Robert.
“Terima kasih, Dok,” balas Robert tulus.
“Sama-sama, Tuan. Sudah menjadi kewajiban saya. Kalau begitu, saya pamit pulang,” pamit sang dokter usai merapikan beberapa alat pemeriksaan.
Robert mempersilakan. Ia meminta Alvin untuk mengantar Dokter Yan sampai ke mobil. Alvin menyanggupi dengan patuh.
Robert dan Reva turun ke lantai pertama, di mana ruang tamu berada. Keduanya melihat putri mereka tengah mengobrol heboh dengan Aqilla—gadis yang membantu Rayhan.
“Jessie,” panggil Robert.
Jessie menoleh. “Papi? Gimana keadaan Kak Ray, Pi?”
“Kakakmu baik-baik saja.”
Jessie tersenyum lebar. “Syukurlah.”
“Nak Aqilla,” panggil Reva lembut. Ia berjalan menghampiri Aqilla dan membuat gadis itu berdiri tegak dengan cepat.
Aqilla tersenyum kikuk. “Iya, Nyonya?”
“Terima kasih, ya, sudah membantu anak Tante,” pinta Reva tulus. Menggenggam kedua tangan Aqilla.
Aqilla segera menarik perlahan kedua tangannya. Ia sedikit membungkuk pada Reva. “Tidak masalah bagi saya, Nyonya.”
“Imbalan apa yang kamu mau?” tanya Robert yang sedari tadi diam.
“Hah? I–imbalan?” beo Aqilla tak paham.
“Iya, imbalan.” Robert mengulang katanya. Ia menganggap Aqilla sama seperti gadis luaran sana. Mencari muka di hadapannya, memberi bantuan secara cuma-cuma awalnya, lalu meminta imbalan besar pada akhirnya.
Percayalah, gadis seperti itu sangat menyebalkan.
“Saya hanya ingin pulang saja, Tuan,” pinta Aqilla yang memang tidak ingin mendapat imbalan apa pun. Dia membantu Rayhan karena belas kasihan yang dimiliki.
“Pulang?” tanya Robert ragu.
Aqilla tersenyum lebar. “Karena semua sudah baik-baik saja, saya boleh pulang, kan, Tuan?”
Robert mendadak paham. “Oh, begitu. Ya sudah, kamu boleh pulang.”
“Ah, syukurlah.” Aqilla tersenyum lega. “Kalau begitu, saya pamit, Tuan Besar, Nyonya Besar, Nona Jessie.”
“Yah, Kak Qilla mau pulang?” tanya Jessie yang merasa tak rela Aqilla pergi. Ia sangat menyukai gadis itu dan ingin terus berbicara banyak hal.
“Maaf, Nona. Ini sudah hampir tengah malam, saya harus segera pulang. Nona juga harus beristirahat, kan?” ucap Aqilla berusaha menjelaskan. Walaupun berat, Jessie melepas Aqilla agar pulang.
Setelah berpamitan pada semua orang sekali lagi, Aqilla keluar dari mansion sembari bersenandung lirih. Tatapan datar dari para anak buah Robert ditanggapi dengan senyum manisnya. Ia segera melesat pergi dari mansion tersebut dengan mobilnya.
Fiuhh... syukurlah. Aku bisa keluar dari kurungan cantik itu.
Aqilla berdecak mengingat betapa megahnya mansion keluarga Refalino.
“Orang kaya mah bebas. Beli ini tinggal jentikkan jari, barangnya udah ada.”
“Ckckck, lah aku?”
Aqilla tergelak. “Beli HP aja nunggu sampe bener-bener nggak bisa dipake baru beli baru, haha.”
^^^To be continue...^^^
...👑👑👑...
Wah, kalo itu, sih, Ay juga gitu, Qill. Beli HP nunggu rusak dulu, wkwkwk.
See you di chapter selanjutnya:)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!