"Aku harus gimana Mah,,?" Lirih Yuna dengan nada keputusasaan.
Dia menggenggam tangan Mamanya yang sedang tertidur pulas di ranjang pasien.
Sudah 5 hari di rawat di rumah sakit besar di Jakarta, akibat sakit jantung yang diderita sejak beberapa tahun yang lalu. Tepatnya sejak sang suami bermain perempuan sampai menghabiskan harta benda mereka tanpa sisa. Bahkan sekarang terlilit hutang dengan rentenir yang nilainya hampir 100 juta.
Kini laki-laki biadab itu hilang bak ditelan bumi. Menjadi beban bagi Yuna dan sang Mama karna seluruh hutangnya harus di tanggung oleh mereka.
Sorot mata Yuna dipenuhi kebencian setiap kali mengingat laki-laki yang ditakdirkan menjadi ayah kandungnya.
Kalau saja bisa memilih, Yuna tidak akan sudi memiliki ayah kandung seperti itu.
Laki-laki kejam yang hanya bisa menggoreskan luka di hati anak dan istrinya.
"Sampe kapan kamu mau nangis kayak gini.?!"
"Kamu pikir tangisan kamu bisa buat Mba Rena sembuh dari sakitnya.?!"
Yuna beranjak dari duduknya. Dia menatap Bibinya yang tiba - tiba masuk dan langsung memarahinya.
"Pelanin suaranya Bi, Mama lagi tidur." Tegur Yuna lirih.
Tidak peduli dengan teguran Yuna, Liona justru berdecak kesal. Tatapan matanya pada Yuna penuh dengan kebencian, meski Yuna adalah keponakannya.
Kebencian Liona pada Ayah kandung Yuna, membuat Liona juga ikut membenci Yuna.
Semua itu bermula ketika Ayah Yuna menggadaikan sertifikat rumahnya, juga menggelapkan beberapa harta bendanya yang terbilang cukup mahal.
Dari situlah, Liona membenci keluarga kakaknya.
Bahkan disaat sang kakak sedang membutuhkan uang untuk biaya operasi, Liona enggan mengeluarkan uang sepeserpun.
Dia justru terus mendesak Yuna agar mau menikah dengan rentenir, sebagai pelunas hutang atas nama Ayah kandung Yuna.
"Waktu kamu tinggal 3 hari lagi Yuna.!"
"Kalau kamu mau Mba Rena cepat di operasi, lebih baik terima tawaran Tuan Hutomo."
"Apa salahnya nikah sama dia.? Hari gini nggak perlu mikirin tampang dan umur, yang penting mapan dan bisa bantu kesulitan kamu."
"Hutang Handoko juga akan di anggap lunas.!"
Liona bicara panjang lebar dengan dua manik mata yang membulat sempurna.
Rasa kesalnya pada keluarga sang Kakak sudah di ambang batas kesabaran.
Yuna menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Liona.
Satu-satunya orang yang paling mendukung Yuna untuk menikah dengan laki-laki tua yang sudah memiliki 3 istri.
Otak Yuna masih terlampau waras untuk menikah dengan laki-laki tua itu.
Daripada harus menikah dengannya, lebih baik ikut menghilang bak ditelan bumi seperti yang dilakukan oleh Ayahnya.
"Cukup Bi,,! Aku nggak mau denger lagi Bibi sebut nama laki-laki tua itu.!"
"Sampai kapanpun aku nggak akan mau nikah sama dia.!"
"Aku bisa usaha sendiri buat kesembuhan Mama. Masalah hutang, aku akan mencicilnya sampai lunas."
Liona tertawa meledek. Dia tidak yakin dengan kemampuan Yuna untuk mendapatkan banyak uang dalam waktu singkat. Apalagi untuk mencicil hutang Handoko yang nilainya fantastis.
"Yuna,,, Yuna,,," Liona masih menahan tawa. Menatap Yuna dengan tatapan meremehkan.
"Sekalipun kamu jual diri, kamu nggak akan bisa ngumpulin uang sebanyak itu dalam waktu 3 hari."
Cibirnya tanpa perasaan.
"Li,,Lionnaaa,,," Ucap Rena terbata. Dia sudah bangun sejak tadi dan mendengarkan percakapan anak serta adik kandungnya.
"Mama,,,!" Yuna terlihat panik menatap wajah sang Mama.
"Tega sekali kamu bicara seperti itu sama keponakan kamu sendiri,"
"Mba tau, selama ini Mas Handoko sudah menyusahkan kamu. Tapi bukan berarti kamu bisa melampiaskan kekesalan kamu pada Yuna."
"Cukup lampiaskan saja pada Mba,,"
Rena menangis sambil menatap Liona.
Hubungan dia dan adiknya jadi renggang akibat ulah Handoko.
"Ckk..!!" Liona berdecak sinis.
"Kalian berdua sama saja.!"
"Daripada Mba Rena bicara panjang lebar, mendingan bujuk Yuna biar mau nikah sama Tuan Hutomo."
"Itu juga demi kebaikan Mba Rena sendiri, biar Mba Rena bisa di operasi.!"
Liona bergegas keluar dan menutup pintu dengan kasar.
"Maafin Bibi kamu, dia begitu karna kesal sama Papamu."
"Sebenarnya masih sayang dan peduli sama kita."
Rena mengusap tangan Yuna bermaksud untuk menenangkan, karna Yuna masih menatap kepergian Liona dengan tatapan penuh amarah.
"Nggak usah membelanya Mah, Yuna bukan anak kecil lagi."
"Sudah bisa membedakan mana yang benar-benar peduli dan yang memang nggak peduli."
Yuna menarik nafas dalam, kemudian duduk kembali di samping ranjang sang Mama.
Rena mengusap wajah cantik putrinya yang begitu terbebani. Disaat sulit seperti ini, dia tidak bisa berbuat apapun untuk putrinya. Yang ada hanya menambah beban untuk Yuna.
"Maafin Mama, Yuna,,," Ucap Rena penuh rasa bersalah.
Semua kesulitan yang sedang dihadapi oleh putrinya, semata - mata karna ketidak berdayaannya dalam menjalani pernikahan dengan Handoko.
Jika saat itu dia bisa melawan Handoko, atau melepaskan Handoko, mungkin kesulitan ini tidak akan di alami oleh Yuna.
...******...
"Bagaimana Yuna.? Kamu mau kan menikah sama saya.?" Tatapan Tuan Hutomo begitu menelisik. Memperhatikan setiap inci tubuh Yuna dari atas kepala sampai kaki.
Laki-laki tua itu sungguh tidak malu. Dia mengajak menikah seorang gadis berumur 25 tahun yang lebih pantas menjadi cucunya.
Tubuh mungil Yuna bergidik ngeri. Membayangkan menikah dengan Tuan Hutomo membuat Yuna ketakutan sekaligus jijik.
Bagaimana mungkin dia akan hidup dengan laki-laki tua itu seumur hidupnya.
"Maaf, sekali lagi saya menolak."
"Saya sudah janji akan melunasi hutang Papa saya, beri saya waktu 1 bulan lagi."
"Permisi."
Yuna bangkit dari duduknya. Dia bergegas pergi dari kafe rumah sakit.
Sudah ketiga kalinya Tuan Hutomo datang ke rumah sakit. Selalu mendesak Yuna untuk menikah.
Yuna yang tidak ingin permasalahan ini terus menjadi beban untuk Mama Rena. Itu sebabnya Yuna selalu mengajak Tuan Hutomo agar membicarakan hal ini di tempat lain.
"Bagaimana ini.?" Yuna berhenti di taman rumah sakit. Matanya menerawang jauh. Pikirannya benar-benar kacau saat ini.
2 hari lagi batas operasi yang harus dilakukan oleh Mama Rena, tapi Yuna belum menyetorkan uang sepeserpun untuk biaya operasi itu.
Jika operasi itu tidak dilakukan, sudah pasti akan sangat membahayakan nyawa sang Mama.
"Apa aku harus jual diri.?" Pikiran buruk itu tiba-tiba muncul di benak Yuna.
Tapi beberapa detik kemudian, Yuna mengacak-acak rambutnya sendiri. Dia menyesali ucapannya. Karna sesulit apapun kondisinya, dia tidak akan pernah menjual diri.
"Semoga saja aku masih bisa berfikir waras," Yuna kembali merapikan rambutnya. Dia hendak beranjak dari taman, namun seseorang menahan bahunya dari belakang.
"Tunggu,,"
Yuna bisa mendengar dengan Jelas suara besar dan tegas yang terdengar gagah.
Yuna menoleh, menatap tangan berotot yang menempel di bahunya.
Selang beberapa detik, Yuna bisa melihat sosok pemilik tangan itu.
Laki-laki bertubuh tinggi dan tegap, membuat Yuna yang memiliki tubuh 160 cm harus mendongak untuk menatap wajahnya.
Yuna terkesima, mengagumi ketampanan laki-laki di hadapannya.
"Prookk,,,!"
Tepuk tangan laki-laki itu membuat Yuna sadar dari lamunan.
"A,,ada apa.?" Yuna berucap gugup. Bukan hanya kaget karna tiba-tiba ada seseorang yang menahan bahunya, melainkan kaget bercampur grogi lantaran wajah tampan dan aura yang berkharisma dari laki-laki itu.
"Bisa bicara empat mata.?"
"Ada hal penting yang ingin aku bicarakan."
Setiap kata yang keluar dari mulutnya, terdengar sangat menenangkan di telinga Yuna. Tipe suara seperti ini yang sudah jelas menggambarkan seorang laki-laki bertanggungjawab dan lembut.
Bukan asal menebak, tapi Yuna memiliki feeling yang kuat.
"Maaf, apa sebelumnya kita pernah kenal.?" Tanya Yuna. Dahinya mengkerut, mencoba untuk mengingat - ingat.
"Aku rasa,,,"
"Ini pertemuan pertama kali." Potongnya cepat.
"Mungkin terkesan aneh karna tiba-tiba aku datang dan mengajakmu bicara empat mata."
"Ada seseorang yang bilang padaku kalau kamu butuh biaya untuk operasi Mama kamu."
"Aku bisa membantu kamu."
Yuna hanya melongo. Pikirannya tidak sampai sejauh itu untuk memahami orang asing yang tiba-tiba datang untuk menawarkan bantuan padanya.
Mungkin terlalu dermawan, atau ada udang dibalik batu.
"Bukan cuma aneh, tapi mencurigakan." Yuna menatap tajam.
"Kamu berfikir seperti itu karna belum dengar alasannya."
"Lebih baik pindah ke restoran depan, kita bicara empat mata." Ajaknya.
Yuna menatap ragu. Pikirannya malah jadi tidak karuan. Takut laki-laki itu akan membawanya kabur dan berbuat jahat padanya. Atau bisa jadi laki-laki itu suruhan Tuan Humoto.
Dia akan di culik dan di bawa kehadapan Tuan Hutomo untuk di nikahi.
"Maaf, aku permisi,,," Yuna malah berniat melarikan diri dari hadapan laki-laki itu. Tapi baru berjalan beberapa langkah, dia malah menabrak bodyguard Tuan Hutomo.
"Kenapa buru-buru.?" Kata Tuan Hutomo. Dia mendekati Yuna, membuat Yuna berjalan mundur.
"Ja,,jangan mendekat." Pinta Yuna memohon.
Dia terus berjalan mundur sampai berakhir dengan sembunyi dibalik tubuh besar laki-laki tadi.
"Tolongin aku,," Pinta Yuna lirih. Dia yang awalnya mencurigai laki-laki itu bersekongkol dengan Tuan Hutomo, sekarang malah meminta bantuannya.
"Kemari Yuna, kamu harus menikah sama saya."
"Karna sampai kapanpun kamu nggak akan bisa melunasi hutang - hutang Handoko."
Hutomo masih terus mendekat. Membuat Yuna semakin ketakutan. Sedangkan laki-laki yang dia jadikan tempat sembunyi, sama sekali tidak membantunya.
"Berapa hutangnya.?"
"Saya yang akan melunasi semua hutangnya."
Yuna dibuat keget. Dia sampai keluar dari persembunyian dan berdiri disamping laki-laki itu sambil menatapnya dengan kedua mata yang membulat sempurna.
"A,,apa kamu bilang.? Kamu mau melunasi hutang - hutangku.?" Tanya Yuna tak percaya.
Berbeda dengan Yuna yang keget. Tuan Hutomo justru tertawa terbahak-bahak. Dia tidak percaya laki-laki itu akan melunasi semua hutang Handoko.
"Hutangnya 97 juta, yakin kamu mau melunasi hutangnya.?" Tanya Tuan Hutomo.
Dia langsung merogoh saku jasnya, mengeluarkan selembar cek dan langsung menuliskan angka 100 juta di sana. Lalu memberikan cek itu pada Hutomo setelah ditandatangani.
"100 juta, Lunas.!!" Ucapnya tegas.
"Apa.?!!" Pekik Yuna tak percaya.
Dia sampai menepuk pipinya berulang kali, merasa bahwa apa yang sedang terjadi saat ini hanyalah mimpi belaka.
Di jaman yang serba mahal seperti ini, rasanya sangat mustahil ada orang yang membayarkan hutang orang lain senilai 100 juta.
Tuan Hutomo berdecak kesal. Dia gagal menikah dengan Yuna. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi karna hutang itu sudah dilunasi.
...*****...
Yuna sedang berada di restoran bersama laki-laki yang sudah melunasi hutang ayahnya.
Yuna tentu saja di buat bertanya - tanya, alasan laki-laki itu mau melunasi hutangnya.
"Barra."
Ucap laki-laki itu sembari mengulurkan tangan pada Yuna. Mengajak Yuna untuk berkenalan.
Sedikit ragu, tapi akhirnya Yuna menjabat tangan Barra.
"Yuna."
Yuna segera melepaskan tangannya.
"Hutang kamu sudah aku lunasi."
"Seperti tawaranku di awal, aku bisa membantu biaya operasi Ibu kamu."
"Tapi ada syaratnya,," Kata Barra tegas.
Yuna tersenyum smirk. Sejak awal dia memang sudah menduga ada sesuatu yang diinginkan oleh Barra.
Karna tidak mungkin seseorang yang tidak dia kenal sebelumnya, akan menawarkan bantuan tanpa imbalan.
Tapi walau bagaimana pun, bantuan Barra telah menyelamatkan dirinya dari Tuan Hutomo. Setidaknya laki-laki tua itu tidak akan lagi muncul di hadapannya.
"Apa syaratnya.?"
"Aku belum tau syaratnya, tapi kenapa sudah membantuku.? Bagaimana kalau syarat yang kamu minta nggak bisa aku penuhi.?"
"Aku jadi punya hutang sama orang yang nggak aku kenal."
Yuna dibuat penasaran sekaligus takut. Takut jika Barra akan meminta hal - hal aneh sebagai syarat atas bantuan yang dia berikan.
"Menikah denganku." Ucap Barra dengan entengnya. Membuat wanita yang dia ajak nikah langsung terperanjat.
"Apa.?!!" Pekik Yuna. Dia dibuat syok, suara teriakanya sampai didengar oleh pengunjung restoran hingga menarik perhatian mereka.
"Pelanin suara kamu." Lirih Barra sembari menundukkan pandangan. Tatapan orang - orang membuat Barra tidak nyaman.
"Maaf, aku reflek." Ucap Yuna malu. Dia sampai tidak berani menatap sekitar karna sudah bisa merasakan kalau semua orang menatap ke arahnya.
"Kamu hampir membuatku jantungan." Tutur Yuna. Doa tidak habis pikir dengan jalan pikiran Barra. Belum pernah bertemu sebelumnya tapi sudah mengajaknya menikah.
Yuna juga dibuat bertanya, entah siapa orang yang memberitahukan masalahnya pada Barra sampai Barra tau kalau Yuna sedang butuh biaya.
"Jangan bercanda, menikah itu bukan untuk main-main. Kamu mengajak wanita menikah, serasa sedang mengajak wanita kencan."
"Kencan saja harus saling kenal sebelumnya, kita bahkan baru pertama kali bertemu. Yang benar saja." Ucap Yuna tak habis pikir.
"Siapa yang main - main.?"
"Kamu nggak bisa bedain wajah serius sama bercanda.?" Nada bicara Barra semakin naik.
"Tawaran cuma berlaku 1 kali. Mau atau nggak.?"
"Ingat, orang tua kamu butuh penanganan secepatnya."
Barra merogoh dompet, mengeluarkan kartu nama dan menyodorkannya didepan Yuna. Dia bermaksud pergi setelah memberikan kartu namanya pada Yuna.
Namun Yuna langsung mencegahnya.
"Aku setuju.!" Ucap Yuna tegas.
Setelah mendengar kalimat terakhir yang di ucapkan oleh Barra, Yuna langsung mengambil keputusan tanpa pikir panjang. Dia hanya memikirkan kesembuhan sang Mama, tidak peduli jika dia harus menikah dengan laki-laki yang baru dia kenal.
Lagipula, Yuna bisa menilai kalau Barra laki-laki baik. Setidaknya, pernikahan itu tidak akan membuat Yuna tersiksa.
Barra menarik sudut bibirnya, dia mengulas senyum tipis.
"Baiklah, aku akan mengurus semuanya."
"Tapi ada perjanjian tertulis yang harus kamu tanda tangani."
"Nanti malam aku akan datang lagi."
"Kamu cuma perlu menyiapkan wali, besok kita langsung menikah di ruang rawat inap orang tua kamu sebelum beliau di operasi."
Barra pergi bagitu saja setelah menjelaskan panjang lebar pada Yuna. Meninggalkan Yuna yang semakin tidak karuan karna pernikahan akan dilangsungkan besok.
Yuna kebingungan, tidak tau harus mulai darimana untuk menjelaskan semua ini pada Mama Rena.
Sedangkan selama ini Mama Rena tau kalau Yuna tidak pernah memiliki pacar.
Beliau pasti akan berfikir macam-macam kalau tiba-tiba Yuna bilang akan menikah besok pagi.
Yuna malah takut untuk memberitau. Takut kondisi Mama Rena malah semakin memburuk setelah mendengar berita pernikahan kilat anaknya.
Yuna segera kembali ke rumah sakit selepas kepergian Barra. Dia buru-buru kembali karna tidak bisa meninggalkan Mama Rena terlalu lama sendirian di sana.
Tentang pernikahan mendadaknya dengan laki-laki asing, Yuna memilih untuk tidak memberitahukannya saat ini. Dia akan menunggu keputusan Barra nanti malam dan meminta tolong pada Barra untuk menjelaskan permasalahan ini agar Mama Rena tidak berfikir macam-macam tentang pernikahannya nanti.
Yuna membuka pintu ruangan dengan hati-hati, takut mengganggu istirahat sang Mama. Tapi rupanya Mama Rena sudah bangun.
Yuna langsung tersenyum lebar. Dia selalu menunjukkan senyum ceria pada Mama Rena, setidaknya senyum Yuna bisa sedikit memberikan energi positif untuk Mama Rena.
"Mama butuh sesuatu.?" Tawar Yuna sembari mendekat ke arah ranjang. Dadanya selalu sesak melihat kondisi Mama Rena yang belum juga mendapat penanganan untuk operasi.
"Pacar kamu sudah pulang.?" Pertanyaan Mama Rena membuat dahi Yuna berkerut.
Pacar.? Pacar yang mana.?
Yuna bertanya - tanya dalam hati. Entah siapa yang dimaksud oleh Mama Rena.
Kenapa tiba-tiba menanyakan pacar sudah pulang. Padahal Yuna tidak membawa sorang lain kerumah sakit ini.
"Pacar.?" Ujar Yuna heran. Sesaat kemudian langsung terlihat kaget.
"Maksud Mama, Tuan Hutomo.?" Tubuh Yuna bergidik ngeri. Setau Yuna, hanya Tuan Hutomo yang tadi datang ke rumah sakit.
"Bukan, itu pacar kamu yang baru pulang dari lua5 negeri. Siapa tadi namanya, Mama lupa,,"
Mama Rena terlihat sedang mengingat-ingat sesuatu. Begitu juga dengan Yuna yang semakin dibuat bingung.
"Ba,,, Ba siapa ya. Kalau nggak salah Barra,," Ujarnya. Kali ini ekspresi wajahnya menunjukkan keyakinan. Yakin kalau tidak salah menyebutkan nama.
"Barra.? Barra datang kesini.?" Yuna hampir tidak bisa berkata-kata. Bayangan Barra yang bicara macam-macam dengan Mama Rena, membuat pikiran Yuna menjadi kalut.
"Iya, 1 jam yang lalu di menemui Mama."
"Kenapa kamu nggak bilang kalo selama ini punya pacar.?"
"Sudah 1 tahun pacaran, bahkan Barra mau menikahi kamu, tapi kamu nggak cerita apa-apa ke Mama.?"
"Kenapa Yuna.?"
Serentetan pertanyaan itu hanya berputar-putar di kepala Yuna. Dia terkejut mendengar kebohongan yang dilakukan oleh Barra. Bahkan bertemu dangan Mama Rena tanpa seijin dirinya, lalu menceritakan kisah percintaan palsu yang di ciptakan sepihak.
Yuna tak habis pikir. Kalau memang sudah bertemu Mama Rena dan mengutarakan niatnya untuk menikah, kenapa tadi tidak menceritakan hal itu padanya.? Kenapa tidak bilang kalau sudah membuat drama seperti ini depan Mama Rena.
Meskipun apa yang dilakukan oleh Barra sedikit memberikan keuntungan padanya, karna Mama Rena tidak akan berfikir buruk tentang pernikahan mendadak yang akan terjadi.
Setidaknya Mama Rena berfikir kalau Yuna dan Barra sudah saling mengenal dan mencintai.
"Maafin Yuna Mah."
"Yuna nggak bermaksud merahasiakan hubungan Yuna dan Barra. Yuna pikir, Barra nggak akan serius jalanin hubungan sama Yuna. Jadi nggak ada alasan buat cerita lebih jauh sama Mama."
"Karna Yuna nggak pernah berharap lebih sama hubungan ini."
Yuna hampir tidak bernafas selama memberikan cerita palsu pada Mama Rena. Dia terpaksa ikut berbohong seperti yang dilakukan oleh Barra demi membuat Mama Rena percaya pada hubungan mereka.
"Tapi tadi nak Barra bilang kalau dia serius sama kamu."
"Dia minta ijin dan restu sama Mama buat nikahin kamu."
"Mama bersyukur kamu bertemu laki-laki yang baik dan bertanggungjawab."
"Cuma karna ingin membiayai operasi Mama, Barra rela mempercepat pernikahan dan rela menikah di rumah sakit."
"Barra bilang, kamu nggak mau menerima bantuan dia karna Mama bukan tanggungjawabnya. Itu sebabnya dia mau cepat-cepat menikahi kamu, jadi kamu nggak punya alasan buat menolak bantuannya."
Yuna hanya diam memaku. Penuturan Mama Rena tentang Barra membuat Yuna tidak bisa berkata-kata. Barra benar-benar sudah merencanakan semua itu dengan matang, sampai bisa mengambil hati Mama Rena dan meninggalkan kesan baik di pertemuan pertama mereka.
Yuna semakin dibuat bingung dan penasaran dengan sosok Barra.
Entah siapa Barra sebenarnya.?
Barra bak malaikat yang datang untuk menyelesaikan segala kesulitan yang dihadapi oleh Yuna. Tapi Barra juga menciptakan misteri yang akan sulit di mengerti oleh Yuna.
...****...
Saat menjelang malam, Yuna memilih keluar dari ruangan. Dia ingat kalau Barra akan datang malam ini untuk memberikan surat perjanjian yang harus di tanda tangani.
Sebelum Barra masuk ke dalam ruangan dan bertemu Mama Rena, Yuna ingin lebih dulu meminta penjelasan Barra atas cerita palsu yang Barra ungkap di depan Mama Rena.
Yuna merogoh tas kecil. Mengeluarkan kartu nama milik Barra yang sejak tadi siang belum sempat dia lihat.
"Barra D. Bagaskara" Yuna membaca nama yang tertera di sana. Kini dia sudah tau nama lengkap Barra. Laki-laki yang besok akan meminangnya.
Yuna menarik nafas dalam. Hatinya dipenuhi kebimbangan. Banyak pertanyaan yang dia sendiri tidak tau harus menanyakan hal itu kepada siapa.
Yuna butuh pendapat tentang pernikahannya dengan Barra. Dia takut salah dalam mengambil keputusan cepat ini. Tapi disisi lain tidak ada jalan keluar untuk permasalahannya kecuali menikah dengan Barra. Dua permasalahan yang sedang menimpanya bisa diatasi dalam satu waktu.
Bahkan jika menikah dengan Tuan Hutomo, tidak akan bisa membantu pengobatan Mama Rena. Karna Tuan Hutomo hanya akan menganggap lunas hutangnya.
"Ehheem,,,"
Deheman Barta membuat Yuna sedikit terperanjat. Kartu nama yang dia pegang sampai jatuh ke lantai. Barra yang berdiri didepan Yuna, langsung berjongkok dan mengambilkan kartu nama itu.
"Jangan lupa simpan nomor ponselku." Kata Barra dengan suara datar. Dia menyodorkan kartu nama itu pada Yuna.
"I,,iya,," Suara Yuna terbata. Entah kenapa selalu grogi saat berhadapan dengan Barra. Mungkin karna sebelumnya Yuna jarang berinteraksi dengan lawan jenis diluar masalah pekerjaan.
"Bagaimana, kamu sudah ada wali buat besok.?" Barra duduk disebelah Yuna tanpa di persilahkan lebih dulu. Dia terlihat santai dan tenang.
"Papa menghilang," Ucap Yuna. Dia ingin memberi tau kalau sang Papa tidak bisa menjadi wali karna tidak diketahui keberadaannya.
"Aku tau." Balas Barra. Yuna reflek menatap dengan kedua mata yang membulat sempurna.
"Kenapa kamu tau.? Apa Mama ku yang memberi tau.?" Tanya Yuna penasaran. Barra menggelengkan kepalanya.
"Nggak penting aku tau dari siapa. Yang jelas aku tau history keluarga kamu."
"Lalu siapa yang akan jadi wali.? Bukannya masih ada pamanmu.?"
Yuna mengangguk. Dia tidak terlalu fokus karna dibuat penasaran dengan Barra. Entah bagaimana bisa Barra tau tentang kehidupan dia dan keluarganya.
"Bagus, kita bisa langsung menikah besok."
"Sekarang baca perjanjian ini dan tanda tangani."
Barra mengeluarkan selembar kertas beserta bolpoin dari saku jaketnya, kemudian menyerahkannya pada Yuna.
Yuna mengambil kertas itu. Dia mulai membaca poin pertama yang menguntungkan dirinya.
Pihak pertama akan menanggung semua kebutuhan pihak kedua dan keluarganya selama masih dalam masa pernikahan.
Yuna kembali membaca poin berikutnya, Lagi-lagi poin itu juga menguntungkan dirinya.
Barra akan memberikan tempat tinggal untuk Yuna dan keluarganya.
"Yu,,na,, Yunnaaa,,," Panggilan Mama Rena membuat Yuna berhenti membaca surat perjanjian itu pada poin ke 4. Masih ada 2 poin lagi yang harus dia baca.
"Yu,,naaa,,," Kali ini Yuna tidak bisa mengabaikan panggilan sang Mama yang terdengar membutuhkannya.
"Ya,, sebentar Mah,,"
Yuna bergegas menandatangani surat itu dan memberikannya pada Barra.
"Tunggu disini, ada hal yang ingin aku tanyakan." Pesannya sebelum masuk ke ruangan.
Barra hanya memberikan anggukan kecil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!