Menjemput Impian Adik
Terik matahari yang sedang ganas-ganasnya, tiba-tiba meredup terhalang awan hitam yang berarak. Langit seketika mendung dan bumi pun ikut-ikutan kelam. Namun, tak menyurutkan tekad seorang anak lelaki berseragam putih abu-abu untuk terus memacu motor maticnya.
Setelah berbelok sekian derajat ke samping kiri, anak lelaki itu memacu kembali motornya memasuki kawasan perumahan elite. Melewati pos penjagaan pertama dan selanjutnya dia harus mengikuti prosedur pemeriksaan keamanan lainnya di pos penjagaan kedua yang lebih ketat. Untungnya para petugas di pos dua jauh lebih bisa dinikmati pandangan mata dan lebih humanis.
Remaja berusia 17 tahun itu, harus sedikit meningkatkan kesabarannya. Di pos pemeriksaan kedua, selain wajib menunjukan tanda pengenal, nomor telepon, mengisi registrasi tamu termasuk menyebutkan maksud dan tujuan, dia juga harus menunggu persetujuan dari tuan rumah yang akan dikunjunginya.
Menunggu sedikit lama, tidak terlalu membosankan. Karena petugas wanita yang cantik dan ramah akan menemaninya.
Walau usianya sudah kepala tiga, namun kecantikan dan penampilannya sangat menyegarkan mata.
Semua petugas di pos dua pasti wanita yang sudah berkeluarga. Aturannya sudah ditentukan demikain. Entah apa tujuannya.
“Jovan Fuad Kurniawan, silahkan isi dulu buku tamunya.” Petugas cantik dengan seragam secuirity dan kerudung hitamnya itu, bicara seraya membaca nama yang tertera pada kartu pelajar yang disodorkan Jovan.
Tanpa menunda waktu, Jovan segera mengisi form di depannya dengan sedikit terburu-buru, karena langit semakin menghitam. Tampaknya hujan sudah tak tahan lagi ingin segera turun membasahi bumi yang sama sekali tidak sedang gersang.
‘Jadi orang kaya itu ternyata ribet juga. Mau nerima tamu aja seperti mau kedatangan penjahat tingkat dunia. Padahal gua datang dengan cara baik-baik, pakaian rapi, wajah ganteng walau sedikit bau keringat, hihihi.’ Jovan bicara dalam hati seraya berkekeh mentertawakan dirinya sendiri.
Sesaat setelah selesai mengisi form, hati Jovan tiba-tiba berdebar harap-harap cemas. Berharap tidak ditolak lagi, karena jika itu terjadi, maka hilanglah kesempatannya untuk bisa bertemu ayahnya.
‘Semoga hati dan jiwa nenek sedang dihinggapi Malaikat atau setidaknya Ibu Fery yang baik hati, amiin.’ lanjutnya berdoa dalam hati.
Ya, Jovan sedang mencoba peruntungan hendak bertamu ke rumah neneknya.
Empat kunjungan terdahulu, hanya sekali diizinkan masuk. Yang tiga kali lainnya ditolak mentah-mentah, karena Nenek Soraya, sedang tidak mood untuk menerima tamu, apalagi Jovan.
‘Mungkin hanya gua, cucu yang mau nemui neneknya wajib mengajukan permohonan terlebih dulu. Itu pun belum tentu disetujui. Dunia oh dunia... kamu terkadang lucu menggemaskan, namun kadang membuat hati terluka bagai disayat sembilu, hehehe.’ Jovan kembali mentertawakan nasib tragisnya.
“De Jovan, kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bertamu dengan Nyonya Soraya Alarkam?” tanya petugas cantik yang kemungkinan sudah memiliki dua balita itu, dengan senyum manis dan tatapan lembutnya.
“Sepuluh menitan, Bu. Ya kurang lebih segitu,” jawab Jovan tak yakin. Lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Dia bingung, berapa lama waktu yang dibutuhkan. Andai neneknya berbaik hati, tentu saja seharian pun ngobrol tak ada masalah. Namun jika hati neneknya sedang kerasukan iblis, satu menit pun terlalu lama. Jovan hanya ingin menanyakan sesuatu, tidak lebih.
“Oke tunggu sebentar ya, Nyonya Soraya sedang mengatur scedulenya. Silakan duduk dulu,!” tawar petugas ramah itu dengan senyumnya yang memesona.
‘Mau ketemu nenek sendiri bahkan time scedulenya pun wajib diatur dulu. Gila! cucu yang lain mah bebas main di rumah neneknya. Bahkan tak sedikit yang tinggal bersama. Nah gua? oh my God!’ Jovan ngedumel dalam hati sambil menjatuhkan pantatnya pada kursi chitose yang tersedia.
“De, Nyonya Soraya hanya mengizinkan 6 menit saja. Dihitung sejak ade memijat bel pintu gerbang.” Petugas bernama Sonia itu kembali bicara setelah membaca pesan singkat pada layar ponselnya.
“Siap Bu!” Jovan langsung berdiri dengan sikap sempurna, laksana pemimpin upacara. “Terima kasih atas bantuan Ibu,” lanjutnya sambil menyalami Bu Sonia. Dan senyum balasan yang tak kalah manisnya, terbit dari bibir lelaki putih abu-abu itu.
“Maaf, De Jovan putranya Pak Fuad, bukan?” Bu Sonia bertanya seraya melekatkan pandangannya meneliti sekujur tubuh Jovan dari ujung rambut hingga lantai yang diinjaknya. Dahinya berkerut.
“Betul, mirip ya, Bu? hehehe.” Jovan menjawab santai.
“Yes,” Bu Sonia antusias. “Andai saja usia kalian sama, pasti disangka kembar identik. Tapi...” Bu Sonia tak melanjutkan kata-katanya.
“Tapi kenapa, Bu?” Jovan penasaran.
“Tapi, kenapa mesti pakai kartu guest. Bukankah bisa langsung masuk dengan kartu family? Masa mau ke rumah nenek sendiri harus pakai kartu tamu?” Bu Sonia kembali mengernyitkan dahi, pandangannya masih tetap terfokus pada wajah dan sekujur tubuh Jovan.
“Saya cucu spesialnya. Jadi, harus memakai kartu guest. Oh iya maaf, takut keburu ujan, saya ke rumah nenek dulu, Bu.” Jovan pamit mundur.
“Oh iya silakan.” Bu Sonia tersenyum mengantar Jovan yang menaiki kembali motornya.
‘Sabar, Jo. Jangan ciut nyali and jangan menyerah. Ini demi masa depan lu dan kedua ade lu. Sekali layar terkembang pantang surut perjuangan apalagi harus pulang dengan bimbang. Perjuangkan hak-hak lu sebagai cucu keluarga Ibrahim Alarkam, juragan minyak dari Timur Tengah, hehehehe.’ Sisi kiri hati Jovan ikut manas-manasin.
Sekian detik kemudian, matic yang sudah setia menemani Jovan sejak kelas satu SMP itu, melaju perlahan meninggalkan pos pemeriksaan. Melanjutkan perjalanannya menuju salah satu rumah yang lokasinya paling ujung di kompleks perumahan elite itu.
“Walau hanya sekilas, siapapun bisa menebak kalau dia anaknya Pak Fuad. Cakepan anaknya sih, mungkin karena masih muda. Tapi, aku yakin, Pak Fuad pasti segateng itu waktu SMAnya. Aneh, kenapa harus mengikuti prosedur kunjungan tamu? Bukankah semua anggota keluarga sudah punya kartu family. Ada apa dengan Pak Fuad dan anaknya?” Bu Sonia bergumam seorang diri seraya menatap kartu pelajar yang ditinggalkan Jovan.
Dengan kecepatan yang sesuai instruksi dan peraturan tidak lebih dari 30KM/Jam, Jovan melintasi jalan aspal yang super rata dan licin. Jika matahari sedang bersinar terik, maka sepanjang jalan itu akan tetap terasa teduh. Rimbunan Bougainvil, Nusa Indah, Kayu Manis dan Palm Raja yang berjejer rapi akan melindungi siapapun yang melintas di bawahnya dari panasnya sang surya.
"Mau ketemu siapa, Jo? Nenek. Sejak kapan dia mengakui lu sebagai cucunya. Lu masih belum nyadar juga? Ngaca bro, ngaca! Gak mungkin Nenek Soraya yang terlahir dari keturunan darah ungu dengan harta warisan yang gak bakal habis sembilan turunan, punya cucu semiskin lu! Lihat motor lu? Itu udah gak layak disebut motor. Tapi besi tua! hahahaha’ Jovan masih tak puas mengejek dirinya sendiri.
Tak sampai lima menit, Jovan sudah sampai di depan sebuah rumah yang model dan ukurannya sedikit berbeda dari bangunan yang lain. Pintu gerbangnya pun terlihat sangat menonjol. Lebih kokoh, megah dan mewah dengan ornamen khas Timur Tengah yang didominasi warna gading dan kuning keemasan.
Jovan memarkir maticnya di samping kanan pintu gerbang. Motor tua itu tidak diizinkan masuk ke halaman dalam rumah neneknya. Walau tidak tertulis dalam aturan yang disodorkan bagian keamanan tadi, namun dia sudah tahu.
Setahun yang lalu, saat kunjungan yang pertama. Jovan terpaksa mengeluarkan kembali motornya, karena tidak dibenarkan ada barang rongsokan terparkir di halaman rumah yang hampir mirip dengan istana negeri dongeng Abu Nawas itu.
Sebenarnya Jovan sedang menjalankan misi konyol dan nekat. Sudah berulang kali mamanya melarang dia mendekat apalagi masuk ke rumah neneknya. Walau ada kepentingan yang sangat mendesak sekalipun.
Jovan tetap terpaksa melanggar pesan mamanya, karena tak tega melihat adiknya yang sakit keras, merengek dan menangis setiap waktu memanggil ayahnya.
Sudah lebih dari sebulan. Pak Fuad, ayahnya tak pulang-pulang. Tanpa kabar dan tanpa meninggalkan serupiah pun uang untuk istri dan ketiga anaknya. Jovan datang tidak untuk meminta uang. Hanya ingin ayahnya pulang menemui adiknya yang berusia 5 tahun. Kehadiran ayahnya diyakini akan menjadi obat paling mujarab untuk adiknya.
Jovan membuka helm dan merapikan rambut, wajah serta pakaiannya. Lalu berjalan mendekati tombol bel yang menempel di salah satu pilar pintu gerbang.
Seulas senyum tersungging di bibirnya. Sebuah harapan tersirat di wajahnya.
Nenek Sorya yang sudah tiga kali menolaknya, hari ini berbaik hati mengizinkannya untuk memijat bel sakti itu. Walau hanya 6 menit, namun itu jauh lebih baik daripada tidak diterima sama sekali.
Anak lelaki nekat itu menarik napas panjang, lalu mengarahkan tangannya pada tombol kuning merah.
“Bismillahi rohmani rohim” gumamnya.
Dan suara bel pun berbunyi tiga kali.
Jantung Jovan tiba-tiba berdetak kencang. Pikirannya mendadak kalut, menerka-nerka apa yang akan terjadi di dalam nanti. Apakah sang nenek akan memperlakukannya lebih baik atau lebih buruk dari sebelumnya?
'Ya Allah, lindungi hambaMu dari segala hal yang menakutkan dan menyakitkan, Amin ya Robal Alamin.' Jovan berdoa dalam hati, seraya menatap langit yang kian menghitam. Embusan angin pun semakin kencang menggoyangkan seluruh pepohanan yang ada di sekitarnya.
Tak berapa lama, pintu samping gerbang yang lebarnya kurang lebih satu meter, terbuka secara perlahan.
'Semoga upayaku menjemput impian si adik tidak berakhir sia-sia.' Jovan masih sempat berharap sebelum memasuki pintu yang hanya muat untuk satu orang dewasa itu.
Bersambung - “Akar Segala Derita”
Akar Segala Derita
Jovan segera membungkuk dan mengangguk hormat pada seorang wanita berusia kurang lebih 35 tahun yang membuka pintu kecil itu.
Setelah dipersilakan masuk, dia pun berjalan ragu dan canggung mendatangi seorang wanita berusia 68 tahun yang sedang berdiri angkuh di beranda rumah megahnya.
"STOP!” Bentakan Nenek Soraya sontak menghentikan langkah Jovan pada jarak kurang lebih dua meter dari beranda.
“Jovan! sebenarnya maunya kamu apa? Sudah berapa kali aku melarangmu datang ke sini? Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumahku yang megah dan suci ini!” lanjut Nenek Soraya menyambut Jovan dengan hardikan.
“Saya hanya mau menanyakan keberadaan ayah, Nek.” Jovan menjawab santun. Dia tertegun di tengah halaman, walau sudah menduga bakal mendapat hardikan namun tidak menduga secapat itu datagnya.
Nenek Soraya bahkan tak mempersilakan Jovan untuk menginjak lantai keramik berandanya yang mengkilap.
“Hah! anakku Fuad tidak pulang lagi ke rumahmu? Sudah berapa lama?” Nenek yang memakai kaftan tanpa kerudung dan masih terlihat cantik itu bertanya dengan nada mencibir.
“Iya Nek, ayah tidak pulang sudah hampir sebulan, barangkali dia ada di rumah nenek.” Jovan berusaha menguasai diri dan menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Firasat buruknya langsung bekerja. Kali ini tidak lebih baik dari sebelumnya.
“Ya! Fuad anakku sudah hampir empat kali datang ke sini, suka-suka dia saja. Kamu tidak perlu mencarinya karena ini rumah orang tuanya. Jadi wajar kalau Fuad datang ke rumah ini.” Nenek Soraya menyilangkan kedua tangan di dadanya. Sorot mata yang bening dan tajam di bawah alis tebalnya, mengintimidasi Jovan.
Sementara wanita yang tadi membukakan pintu, berdiri ketakutan di belakang sang majikan.
“Iya Nek, kalau nanti ayah datang lagi ke sini, tolong sampaikan pada beliau untuk segera pulang walau sebentar. Si Dede sedang sakit keras, setiap hari nanyain ayah. Dia benar-benar kangen sama ayah.” Jovan menyatukan dua telapak tangannya, lalu meletakkan depan wajahnya yang menunduk. Memohon dengan amat sangat.
“Hah! enak aja kamu nyuruh-nyuruh. Kamu pikir siapa dirimu?” ketus Nenek Soraya sambil mendongak angkuh.
Sikap santun dan hormat Jovan, sama sekali tidak berkenan di hatinya. Wanita bengis yang hatinya sudah membatu itu tidak pernah mau mengabulkan segala permohonan Jovan. Bahkan untuk yang paling sederhana sekalipun.
Jovan mengangkat wajah, menatap wanita yang garis pipi dan dagunya sama persis dengan ayahnya, bahkan dengan dirinya.
“Saya mohon kesediaan nenek untuk sedikit saja membuka hati demi si Dede, cucu nenek dan darah daging ayah Fuad.” Jovan kembali memelas.
“Heh! Jangan ngomong sembarang kamu!” Nenek Soraya tiba-tiba menyalak dan berkacak pinggang.
“Ingat Jovan! Aku tidak pernah mengakui ibumu sebagai menantu. Jadi kalian bertiga bukan cucuku. Kamu jangan bermimpi dan besar kepala menyandang nama Fuad bin Alarkam. Seenaknya saja mengakui aku sebagai nenekmu. Fuad Bin Alarkam anakku itu masih bujangan. Belum memiliki istri apalagi anak.” Nenek Soraya makin lantang.
“Masya Allah, Nek. Apa sebenarnya kesalahan mama saya, hingga nenek begitu membencinya.” Jovan mencoba bertanya. Titik titik air hujan mulai turun menimpa rambutnya.
“Terlalu banyak kesalahan si Anita itu! Dia telah menghancurkan kehormatan dan harga diri keluargaku. Sekaligus memupuskan semua harapan dan cita-cita besar Fuad, anakku.” Nenek Soraya menunjuk wajah Jovan yang mulai basah dengan air hujan.
“Asal kamu tahu! Gara-gara si Anita, aku gagal besanan dengan seorang menteri! Dan gara-gara si Anita yang kampungan itu, anakku gagal jadi orang penting di negeri ini. Satu lagi! gara-gara si Anita, anakku Fuad menjadi pengangguran dan hidup sengsara, hampir saja dia dipecat dari keluarga Alarkam. Kamu pikir itu tidak menyakitkan?” Telunjuk Nenek Soraya makin jentik menunjuk wajah Jovan yang masih tetap pada jarak semula.
“Hilang harga diri bagaimana, Nek?” Jovan mencoba menantang, kepalang tanggung. Berharap bisa sedikit meruntuhkan tembok kesombongan wanita tua yang super arogan itu.
“Kamu mau tahu?” Nenek Sorya terpancing.
“Iya, Nek.” Jovan menjawab kalem.
“Kamu siap gak ngedengernya? atau memang kamu sudah tahu dan pura-pura bodoh. Masa si Anita tidak pernah ngasih tahu sama kamu?” Nenek Soraya balik bertanya.
“Belum tahu, Nek.” Tangan kanan Jovan berkali kali mengusap wajahnya yang basah dengan air hujan. Beruntung hujan kali ini tidak disertai sambaran petir dan halilintar.
“Jovan, kamu itu anak haram!” lengkingan Nenek Soraya membahana.
Duar!
Laksana suara petir yang sangat keras, menyambar gendang telinga Jovan di antara hujan dan angin yang berhembus makin kencang.
“Kamu itu anak yang dilahirkan di luar nikah. Si Anita hamil sebelum nikah dengan Fuad, anakku!” Suara Nenek Soraya makin tinggi, seolah ingin didengar oleh seluruh isi dunia.
“Masya Allah.” Jovan mengusap wajahnya.
“Itu fitnah, Nek! Tidak benar. Saya terlahir, satu setengah tahun setelah ayah dan mama menikah. Bisa dibuktikan dengan akte kelahiran dan surat nikah resmi mereka.” Jovan menahan tubuhnya yang sedikit mengigil. Bukan karena dingin diguyur hujan, namun menahan amarah. Tak terima mamanya dihina dan difitnah sebegitu kejinya.
“Alah! kamu tahu apa? Kamu itu anak kemarin sore. Mana ngerti urusan begitu. Kamu itu cuma tahunya makan, tidur, main game dan menghamburkan uangnya Fuad, anakku. Sama seperti ibumu. Wanita miskin itu maunya hidup enak, numpang pada keluarga kaya, sampai-sampai anakku difitnah dan dijebakanya.”
“Astagfirallah, Nek. Itu sama sekali tidak benar!” Jovan menyangkal keras. “Ayah sengaja mengarang cerita itu, supaya nenek mengizinkan dia menikahi mama. Bukankah nenek dan keluarga waktu itu tidak merestui hubungan mereka?” Jovan menyampaikan fakta kebenaran yang diketahuinya.
“Dan sampai kapan pun aku tidak akan pernah merestuinya. Sudah tahu aku dan seluruh keluargaku tidak merestuinya, kenapa si Anita maksa? Harusnya dia sadar diri dengan keadaannya. Seorang pelayan rumah makan, pake sok-sok-an ingin menikah dengan anak keluarga kaya raya. Dasar wanita gak punya otak!” Nenek Soraya terus mengeluarkan hujatan kejinya.
Jovan terdiam tak sanggup bicara.
“Dia kira, kami orang bodoh yang bisa dibohongi sama wanita bodoh! Dasar wanita tak berpendidikan. Pake acara pura-pura hamil segala untuk menjebak anakku. Bilangin sama mamamu itu, kalau ngemis jangan begitu caranya. Kalau ingin merasakan tinggal di rumah orang kaya, sudah jadi pembantu aja di rumahku. Jangan menjebak anakku segala!” Nenek Soraya menumpahkan segala kekesalannya.
“Allahu Akbar. Yang membuat cerita itu ayah, Nek. Sejak pertama kenal, mama memang sudah sadar diri, dia sudah meminta ayah untuk tidak melanjutkan hubungannya, apalagi sampai menikah. Tapi ayah tetap maksa, karena dia sangat mencintai mama.” Jovan mencoba mengklarifikasi walau tak yakin suaranya bisa terdengar jelas oleh Nenek Soraya. Deru angin dan hujan yang makin deras telah menenggelamkan sebagian suaranya.
“Eh, Jovan. Aku mau tanya sekali lagi. Kamu datang ke sini mau apa?”
“Mau nyari ayah, Nek.”
“Kenapa harus kamu cari?”
“Karena sudah hampir sebulan tidak pulang.”
“Nah, terjawab kan? Kalau anakku, benar-benar cinta sama si Anita. Dia tidak mungkin pergi meninggalkannya. tidak mungkin tidak pulang sampai berbulan-bulan!” Bibir Nenek Soraya makin jebreng mencibir.
“Kamu mau tahu kenapa Fuad anakku itu sekarang pergi dari rumah kalian? Karena dia mulai sadar, selama ini telah ditipu dan diperdaya oleh si Anita dan keluarganya, mungkin juga termasuk kalian anak-anaknya,” lanjutnya.
Nenek Soraya membisikkan sesuatu pada asisten rumah tangga yang berdiri di belakangnya. Dengan wajah yang sedikit tegang ketakutan, wanita itu tergopoh gopoh masuk ke rumah majikannya.
Mulut Jovan masih menganga dan matanya membesar. Sekujur tubuhnya menggigil. Bibir membeku, lidah pun kelu. Tak mampu lagi untuk membela atau bicara apapun. Pikirannya membayangkan, bagaimana ekspresi wajah kedua adiknya jika mendengar langsung penghinaan yang keluar dari mulut Nenek Soraya.
"Sekarang kamu sudah tahu.” Nenek Soraya kembali melanjutkan bicaranya. “Itulah alasannya mengapa aku sangat membenci mamamu. Dan tidak mau mengakui kalian sebagai cucuku. Aku bahkan tidak yakin kalau kalian darah dagingnya Fuad, anakku.” Nenek Soraya mengehntikan ucapannya.
Wanita, asisten rumah tangganya yang tadi masuk tergopoh-gopoh, telah kembali dan menyodorkan sesuatu pada Nenek Soraya.
“Keluarga kakekmu yang di Bandung, telah menghalalkan segala cara hingga Fuad anakku rusak dan hancur. Gagal jadi menantu menteri, gagal jadi pejabat negara dan kini perusahaannya pun hancur berantakan. Fuad sangat menyesal. Dia frustasi dan stres bahkan hampir bunuh diri akibat ulah si Anita, wanita pembawa sial." Suara Nenek Soraya sedikit tercekat, tampaknya dia pun tak kuasa menahan tangisnya.
Jovan terperangah, pandangannya seketika kabur. Air matanya tak bisa lagi ditahan. Mendesak keluar mengalir deras menyatu dengan air hujan yang terus menguyurnya tanpa ampun.
“Hai anak pengemis hina!” bentak Nenek Soraya kemudian.
Jovan kembali meluruskan wajahnya menatap neneknya yang sudah kehilangan iman, etika dan hati nuraninya.
“Ambil tuh uang sedekah dariku!” Nenek Soraya bicara sembari melemparkan gulungan uang yang sudah diremas-remasnya.
“Bawa adikmu berobat ke dukun dan jangan pernah datang lagi ke sini. Si Anita, kamu dan kedua adikmu, haram menginjakkan kaki di rumah ini termasuk halaman sekitarnya!” pungkas Nenek Soraya
Sejurus kemudian, wanita berhati sekeras baru karang di lautan dan gemar memakai perhiasan layaknya toko mas berjalan itu, membalikan badan lalu masuk ke rumahnya dituntun asisten rumah tangganya.
Jovan pun membalikkan badan. Keluar dari halaman tanpa mempedulikan gulungan uang biru yang basah dan telah hanyut terbawa air hujan.
‘Ya Allah, ujian apalagi yang sedang Engkau berikan pada hambaMu ini. Hamba rela dengan semua ujian ini, tapi hamba mohon jangan Engkau berikan penderitaan yang sangat menyakitkan pada mama dan kedua adik hamba yang masih kecil. Berilah hamba petunjuk dan bebaskanlah keluarga hamba dari akar segala derita ini’
Jovan segera menstarter motor tuanya. Berlari kencang meninggalkan rumah neraka neneknya. Menembus hujan dan angin yang makin kencang menuju pos penjagaan untuk mengambil kembali kartu pelajarnya.
Jovan kembali melarikan motornya, setelah itu. Pulang ke rumahnya dengan membawa sejuta hati yang terluka dan berdarah darah.
"Dede, maafkan Aa yang belum bisa membawa ayah pulang. Sabar ya Sayang. Segeralah sembuh, kasihan mama." Jovan kembali menyeka air matanya seraya mencium Naufal yang terbaring lemah dengan suhu tubuh yang masih tinggi...
Bersambung - “Kejutan Cewek Nekat”
Kejutan Cewek Nekat
Setahun telah berlalu. Kehidupan bergulir apa adanya. Jovan menjalani hari-harinya sama seperti yang lain. Di sela-sela kesibukannya sebagai pelajar dia masih menyempatkan diri membantu mamanya mengurus warung dan merawat serta membimbing kedua adiknya.
Sebuah peristiwa yang berakar dari kenekatan seorang Angel. Sampai saat ini masih membekas dalam ingatan semua guru dan siswa SMA Garuda yang menyaksikan. Mungkin akan terus diingat sampai kapan pun, terutama oleh Jovan.
Insiden yang cukup menggegerkan dan berhasil menorehkan malu yang tiada terhingga untuk seorang Jovan. Salah satu siswa SMA Garuda yang terkenal memiliki urat malu yang cukup tebal.
Jovan hampir mogok sekolah setelah itu. Untungnya, dia seorang pemalu tapi bukan cowok yang susah move on atau mudah terhanyut dan terjebak dalam kebaperan yang berlarut larut. Cukup satu jam dia tenggelam dalam kolam ketidak-berdayaan.
Peristiwa terjadi sebulan yang lalu. Tepatnya hari Senin tanggal 12 Agustus, pukul 08.35 WIB.
Sesaat setelah Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih selesai. SMA Garuda, sekolah bonafied yang terkenal dengan penerapan aturan disiplin yang super ketat. Dikejutkan dengan sebuah aksi teatrikal dari Angel dan kawan-kawan.
Aksi yang cukup menggemparkan. Diliput salah satu stasiun televisi swasta nasional, dengan tajuk acara yang sedang booming di kalangan anak gaul 'Cintai Aku, Jebret!'.
Semua orang terperanjat. Dalam aksi dadakan dan super gila itu, Jovan menjadi pelengkap penderita. Lebih tepatnya jadi korban. Setidaknya itu yang dia rasakan.
Bagaimana tidak?
Tak ada hujan tak ada angin. Angel yang didukung puluhan bahkan mungkin ratusan siswa, berteriak-teriak di tengah lapangan sekolah, tanpa ragu dan malu. Menyatakan cintanya pada Jovan. Celakanya, Angel memaksa Jovan untuk menjawab atau lebih tepatnya menerima cintanya saat itu juga. Disaksikan semua orang dan pemirsa televisi di seluruh Indonesia.
Jovan melongo. Shock, bingung setengah mati dan tidak mengerti. Mentalnya down dan benar-benar tidak siap dengan drama itu. Yang ada justru jantungnya hampir copot dari singgasananya.
Angel bukan siapa-siapanya. Tanpa pendekatan dan komitmen sebelumnya, tidak mungkin dia tiba-tiba menerima atau menolak cinta seseorang. Jovan dan Angel memang pernah sangat dekat saat kelas sepuluh. Namun, hanya sebatas teman biasa. Bahkan keduanya tidak pernah membicarakan urusan asmara, walau hanya sekedar iseng.
Jovan tak menerima. Dia merasa seolah mendapat frank dari Ferdian Paleka, bahkan lebih. Dia merasa dipecundangi dan dipermalukan di depan umum oleh cewek yang paling tidak disukainya akhir-akhir ini.
Jovan pergi meninggalkan arena. Menghindar dan bersembunyi dalam kelasnya ditemani seorang siswi, pacar rahasianya. Tak mempedulikan aksi dan teriakan Angel yang makin menggila. Jovan tidak mengindahkan rayuan tim kreatif stasiun televisi. Sang mantan ketua OSIS pun tak menggubris dorongan dan paksaan teman-temannya untuk berpartisipasi dalam drama konyol itu. Sekedar memeriahkan.
Alih-alih ikutan gila, Jovan memilih merapikan semua perlengkapan belajarnya. Berniat bolos atau setidaknya bersembunyi di tempat yang lebih aman. Walau belum bisa menemukan dimana tempat yang aman di sekolahnya.
Di toilet? sangat tidak mungkin. Sama saja dengan bunuh diri. Di sepanjang koridor menuju ke toilet, saat ini sedang dijejali para siswa kelas sepuluh dan sebelas yang antusias menyaksikan acara edan besutan Angel itu.
Ketika masih berpikir keras memutar otak mencari tempat aman, tiba-tiba terdengar keriuhan dan keributan. Jovan mendongak. Matanya mengitari sekeliling. Seketika matanya terbelalak, mulut menganga dan sekujur tubuhnya panas dingin. Tak percaya dengan kelas yang beberapa menit lalu kosong melompong, kini riuh rendah dijejali siswa dan kru televisi.
BRAK!
Suara keras mengiringi sebuah tamparan kasar pada meja belajarnya.
Jovan tertegun. Mengumpulkan nyawanya yang sempat berantakan. Dia bahkan tak menyadari sang pacar rahasianya telah menghilang dari sisinya. si dia berbaur dengan barisan penonton dan pendukung Angel.
Jovan memandangi Angel yang berdiri pongah dan berkacak pinggang di samping depan mejanya. Dadanya turun naik, napas memburu dan wajah merah padam perpaduan marah dan malu.
Beberapa saat Jovan dan Angel saling bertatapan. Laksana dua musuh bebuyutan yang tak sengaja bertemu di tengah jalan. Suasana hati dan sorot mata keduanya memancarkan kemarahan dan kebenciannya masing-masing.
Angel mengangkat sebelah tangannya ke udara. Memberi kode pada semua hadirin agar tak mengeluarkan suara. Tangan sang aktris utama itu seperti mengandung daya magis yang dahsyat. Suasana ruangan kelas tiba-tiba hening sunyi senyap.
“Heh, Jovan!" bentak Angel memecah keheningan. "Apa susahnya, lu terima cinta gue?" lanjutnya dengan intonasi lebih tinggi.
Jovan menghela napas panjang. Menahan amarah yang hampir lolos dari pengawalannya. Kedua tangannya mengepal bulat. Bersiap melayangkan tinju atau menghadiahkan tamparan keras pada wajah siswi tercantik di sekolahnya itu.
“Jadi gua mesti pura-pura, gitu?” Jovan balik tanya.
"Ya, walau hanya sekedar pura-pura. Tapi itu jauh lebih baik daripada mempermalukan gue di depan umum begini. Ini acara disiarkan langsung di televisi!" Angel berteriak menunjukan urat lehernya yang menonjol. Gelombang kekecewaan dan kemarahannya terlepas dari kontrolnya.
"Yang nyuruh bikin drama beginian, siapa?" Jovan kembali menarik napas panjang, "harusnya, kalau mau ngajak gua jadi pemerannya, kasih tahu dong sekenario dan naskahnya. Kalau perlu sekalian dengan kontraknya yang jelas. Berapa lu mau bayar gua untuk episode gila ini?" Jovan berusaha mengontrol suaranya agar tidak menjadi makian atau teriakan.
Dalam keadaan sedikit panik, dia tetap harus mengontrol diri dan sadar kamera. Jangan sampai nilainya menjadi minus, gara-gara terbawa emosi yang andai dituruti ingin dia lampiaskan secara membabi buta.
"Eh Jovan, ini namanya surprise! You know surprise? kalau lo dikasih tahu, apa namanya?” Angel memiringkan kepala, menatap wajah Jovan yang sudah mulai sedikit datar. Tidak terlalu tegang dan merah padam.
“Gue gak nyangka, ternyata juara umum SMA Garuda, orangnya gak gaul banget! Masa gak ngerti dengan acara sekeren ini?” Angel membuka lebar kedua tangannya seraya memandangi semua penonton, meminta dukungan. Namun semua orang tetap senyap. Mereka tak berani secara terang-terangan menunjukan keberpihakannya pada salah seorang aktror utanya.
BRAK!
Angel kembali memukul meja. “Dasar norak lo!" makinya kemudian degan sangat keras.
"Hah! emang gua pikirin! Itu sih derita lo!" Jovan menjawab santai sambil mencibir. dia tampak tenang karena sudah bisa menguasai dirinya.
"Eh, Jovan!" Angel menghela napas. Dadanya masih turun naik tak beraturan, menahan amarah. "orang lain mana mampu bikin acara kek gue, gini?” lanjutnya seraya kembali berkacak pinggang, “gue sengaja ngeluarin duit gede ngundang kru tv, biar lo merasa tersanjung dan tahu siapa gue sebenarnya," Angel mencemooh.
Semua mata makin fokus. Tertuju pada dua insan berlainan jenis yang bersitegang. Sejumlah siswa yang tidak bisa masuk ke dalam kelas, terpaksa nemplok di jendela. Semua orang kukuh teguh menahan diri agar tidak mengeluarkan suara yang bisa mengganggu konsentrasi semua pemain dan kru yang bertugas.
Dua orang kru lapangan, beberapa kali memberikan isyarat agar penonton agar tidak berisik. “Ini live,” kode salah seorang di antara dua kru itu dengan hanya menggerakkan bibir tanpa suara.
Semua orang makin penasaran. Bagaimana kelanjutan dan ending drama korea ala Angel and gengs yang sedang live show ini.
Beberapa guru tampak berdiri dan tersenyum malu-malu dalam barisan penonton. Mereka menikmati episode paling ditunggu-tunggu ini. Bertemunya tokoh protagonis dan antagonis dalam satu frame. Beradu akting tanpa rekayasa, tanpa skrip, tanpa naskah dan tanpa pengatur gaya. Adegan paling natural yang tentu saja bisa masuk dalam nominasi Oscar tahun berikutnya. Adegan yang terbebas dari intervensi sutradara yang memiliki kalimat sakti 'cut!’
"Gua gak ngerti!“ Angel kembali bicara setelah terdiam beberapa saat, “zaman now, ternyata masih ada manusia yang gak mau dikasih surprise." Nada suara sang dara mulai menurun. Mulai menyadari, teriakan dan caci makinya hanya ditanggapi biasa-biasa oleh siswa yang tak pernah mendapat julukan cowok kulkas itu.
"Oke!” Jovan kembali angkat bicara, kedua matanya tajam menatap mata Angel yang sedikit berkaca-kaca menahan kesal. "Gua ucapin terima kasih atas surprise-nya, tapi..." Mantan ketua OSIS itu menahan ucapannya.
"Tapi apa?" Angel kembali menyalak.
Berambung - “Hanya Satu Kekurangan”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!