NovelToon NovelToon

SYAHDU DALAM SENDU

Tuhan

"Aku terus berusaha mencari hikmah di balik semuanya, namun, kadang ku berfikir apa takdir sedang mempermainkan ku"

Zain Malik Fahad

"Ku percaya, bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya terjadi atas Kehendak-Nya, kehendak yang maha kuasa atas segalanya. Dan, termasuk perihal dirimu"

Asheqo Zareen

...Part 1...

...🍁🍁🍁...

“Aku tidak akan pernah mencari penggantinya bu, dia adalah yang pertama dan yang terakhir untuk ku, tidak akan ada yang lain”

Suara itu terdengar rendah, dan tenang. Namun berisi penekanan yang cukup untuk menegaskan kehendak hatinya. Ya, bagaimanapun kesalnya, lelaki itu tidak akan pernah meninggikan suaranya didepan perempuan yang ia sebut Ibu.

“Zain sayang,,,, Kamu harus membuka matamu nak, ada yang lebih baik dari dia, Ibu tidak ridho jika kamu harus bersabar hati dan mau menerima dia lagi nak”

“Biarlah terus seperti ini bu, dan akan tetap seperti ini”

Zain Malik Fahad melangkah meninggalkan kemegahan bangunan bertingkat yang membersemai banyak kenangan indah. Dengan rahang yang mengeras serta setetes air bening yang hampir jatuh dari keindahan matanya, ia memacu mobil sportnya dengan kecepatan yang tinggi. Perdebatan dengan wanita yang ia sayangi yang telah melahirkan dan membesarnya selalu membuat hatinya kacau. Ia tidak menginginkan adu mulut dengan wanita paruh baya itu, selama hidupnya sebisa mungkin ia akan menghindari adu mulut dengan sang Ibu, karena sungguh ia tidak ingin Ibu sampai terluka baik karena tindakan maupun ucapannya. Tinggallah Ibu saja yang ia miliki didunia ini, satu-satunya keluarga yang ia miliki.

“Ah ****!!!

Zain membanting dengan kuat stir kemudi kearah Barat. Namun naas, kecepatan putaran tangannya tidak dapat mengindari seorang gadis yang tengah menyebrang. Mobil Zain terpental dengan sangat kuat sampai akhirnya terhenti karena telah menabrak pembatas jalan. Zain mengerjapkan matanya  yang di iringi rasa nyeri di kepala bagian kanan, membuat ia meringis kesakitan. Namun, rasa sakitnya tidak menjadi prioritas utamanya saat ini, ketika sepasang kornea yang berwarna hitam pekat itu menyaksikan tubuh seorang gadis yang berlumuran darah. Darah segar tampak mengalir dari kepala sang gadis, dapat dipastikan bahwa kepala yang dibaluti kerudung navy itu tidak dalam keadaan baik-baik saja. Tatapan itu menggelap seperdetik setelah Zain merasa beberapa orang mengangkat tubuhnya.

...🍁🍁🍁...

Rumah Sakit

“Ya Tuhan,,, bagaimana kabar anak ku?” Teriak Ningsih dengan tangis yang cukup histeris.

“Bu, Ibu tenang dulu, Zain sedang ditangani didalam”

“Zain,,, kenapa bisa jadi seperti ini nak? Tidak seharusnya seperti ini sayang, kamu seharusnya tidak boleh keluar dalam keadaan marah”. Sesal Ningsih ketika mengingat kejadian beberapa jam lalu, dimana dirinya mengingat perdebatan yang terjadi antara mereka.

Dengan dibantu oleh Reza sekretaris sekaligus sahabat Zain, Ningsing duduk dengan tangisan yang masih memilukan hati.

“Keluarga Ibuk Zareen?” Tanya seorang dokter yang baru saja menangani seorang pasien yang masuk ke unit gawat darurat.

Mendengarkan itu Reza dengan segera berdiri dan menghampiri dokter. “Saya dokter”

“Bapak mari ikut ke ruangan saya”

Dengan penuh tanya segera Ningsih menghampiri Reza yang beberapa menit lalu berbicara dengan dokter yang juga menangani putranya.

“Zareen siapa Reza?”

“Dia gadis yang ditabrak Zain bu”

“Astaghfirullahal adzim...”

Air mata Ningsih kembali membasahi pipinya. Menangisi nasib putranya, dan juga nasib gadis malang yang menjadi korban kecelakaan tragis senja itu. Yang ada dipikiran Ningsih saat ini adalah bagaimana perdebatan diantara dia dengan putranya bisa sampai berakibat buruk seperti ini, dan juga membawa seseorang ke dalam hal yang tidak diinginkan siapapun, dan hal ini menjadi sesalan di hati Ningsih.

“Bawa Ibu padanya”. Dengan langkah yang cepat Ningsih menarik Reza untuk membawanya ke Zareen. Perasaan bersalah tentu, dan Ningsih harus mengetahui secepatnya keadaan gadis itu.

Lagi, air matanya tak mampu lagi di bendung, Ningsih membelai pipi gadis yang tidak sadarkan diri, selang oksigen yang membantunya untuk bernafas, perban yang melilit kepalanya, serta alat pendeteksi detak jantung menjadi alat terakhir yang suster pasang.

“Apa kata dokter?”

“Dia harus segera di operasi, benturan yang sangat kuat membuat penggumpalan darah di kepala bagian belakangnya bu”

“Lakukan yang terbaik”

Pinta Ningsih kemudian berlalu meninggalkan ruangan yang membuatnya tidak bisa membendung air mata.

...🍁🍁🍁...

Iris hitam pekat itu terbuka, perlahan ia mengitari seluruh sisi ruangan dan netranya menangkap sosok Ibunda yang nampak lelah terlihat dari raut wajah yang tengah tertidur.

“Bu...”

Panggilan lirih Zain seketika membangunkan ibunya

“Zain... Alhamdulillah, kamu sudah bangun nak”

“Aku kenapa bisa ada di rumah sakit bu”?

Pertanyaan yang pertama kali terlontar dari mulut Zain. Tentu, kebingungan karena dirinya terbaring lemah di brankar rumah sakit ini, karena kesadarannya belum sepenuhnya kembali sehingga ia tak dapat mengingat apa yang telah dilaluinya.

“Kamu makan dulu ya nak, nanti habis itu baru Ibu cerita”

Zain hanya mengangguk dan mengiyakan ucapan Ibunya.

Beberapa saat kemudian Reza secara perlahan membuka pintu dan mengabarkan sesuatu yang ditunggu Ningsih.

“Bu, operasinya telah selesai, dan sekarang gadis itu telah bisa kita besuk”

Ningsing menoleh dan berucap syukur dengan apa yang barusan ia dengar.

“Alhamdulillah, terimakasih ya Allah” Ucap syukur Ningsih.

“Gadis, siapa?

Guratan kebingungan terpampang jelas di wajah pucat Zain

“Dia adalah anak yang kamu tabrak malam itu”

Deg..

Zain membisu, jadi penyebab ia berbaring di sini karena ia mengalami kecelakaan, dan yang membuat ia terenyuh bahwa dia juga mengakibatkan seseorang terluka, bahkan parah, karena sampai harus terbaring di meja operasi.

“Kamu istirahat dulu disini, Ibu mau lihat Zareen dulu”

Ucap Ningsih lembut sambil mengelus pipi putra semata wayangnya.

Sepeninggalnya Ningsih Zain hanya diam, pikirannya berkecamuk dengan hati yang gusar..

“Apa yang saya lakukan?”.

Zain mengusap kasar wajahnya, dia benar-benar merutuki kebodohannya, dan menyesali, benar-benar menyesal.

*

Ningsih menghela nafas dan kembali menenangkan diri, perlahan menarik knop pintu ruangan yang cukup besar itu, dengan fasilitas yang teramat lengkap dan hanya Zareen seorang yang berdiam disana. Benar, Ningsih akan memberikan pengobatan dan pelayanan yang terbaik untuk Zareen. Dia harus melakukannya, bentuk tanggung jawabnya, dan tentu rasa kemanusiaan yang tersembunyi di hatinya, “kasihan”, tentu, ia sangat merasa iba pada nasib yang menghampiri Zareen, nasib tragis yang menjadi musabab adalah darah dagingnya sendiri.

Ningsih membelai dengan penuh kasih sayang kepala Zareen, tak bisa ia tahan, genangan cairan bening di pelupuk matanya jatuh dan membasahi pipi wanita, dengan senyum lirih, ia merapalkan do’a dan harapan, semoga Zareen lekas bangun dan melihat keindahan dunia lagi.

TO BE CONTINUE...

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Kegundahan

...Part 2...

...🍁🍁🍁...

“Bagimana keadaanya”?

Zain tampaknya sudah tidak bisa menunggu lagi, dan langsung menanyakan perihal keadaan Zareen kepada Reza yang baru memasuki ruang rawatnya. Sungguh, dia teramat merasa bersalah.

“Dia masih belum siuman”

Zain membuang nafas kasar, dia terus memikirkan, kenapa hal ini bisa terjadi. Kenapa musibah tampak senang menyinggahinya, datang silih berganti. Baru dua bulan sang Ayah yang amat dicintainya pergi untuk selamanya, di susul dengan kekasih hati yang kepergok bermain di belakangnya untuk yang kesekian kalinya. Dan sekarang, ia hampir saja mati dan membawa nyawa orang lain. Sungguh menyesakan.

“Kau perlu ku panggilkan Ilna”?

“Jangan”

“Hmm baiklah, kau beristirahatlah, nanti aku kembali”

Reza hanya mengangguk paham, dia cukup tau apa yang terjadi dengan sahabatnya ini. Dan kemudian berlalu meninggalkan Zain sendiri dengan kegundahannya.

“Sayang, kau tidak menanyakan kabar ku, apa kau benar-benar bahagia dengan dia hm?, sampai sekedar menanyakan kabar ku saja kau tidak ada waktu”? Lirih Zain sebelum kembali memejamkan matanya.

“Dimana kakak, dimana?”

Dengan tidak sabaran lagi Gema berlari menyusuri lorong rumah sakit tersebut, meninggalkan Reza yang terus mencoba menghentikan dengan terus memanggil namanya.

“Gema, kamu harus tenang ya, gak boleh seperti ini, nanti gak diizinan masuk”. Rayu Reza sembari memegang kedua bahu bocah yang manis itu.

“Hufhh,,, Dengan mengatur nafasnya kembali, Gema kemudian mengangguk

“Anak yang pintar, baiklah mari ikut kakak”

Reza membimbing bocah laki-laki yang berusia delapan tahun itu menuju ruang rawat Zareen, sesampainya di depan ruangan Reza mendorong pelan pintu yang bewarna putih itu. Tidak seperti beberapa saat yang lalu, Gema tampak sangat tenang, dengan pelan ia menuju brankar sang kakak. Tatapan sendu itu, iya, bagaimanapun pribadi Gema yang memang terlihat sangat dewasa dari umurnya, tetap saja ia adalah anak kecil, yang tidak bisa menyembunyikan emosinya terlalu lama. Satu tetes air mata yang keluar begitu saja tanpa seizinnya membasahi pipi mulus bocah yang masih mengenakan seragam merah putih itu. Mengenggam lembut tangan sang kakak, Gema bergumam,

“Kakak udah tidur berapa lama?, kakak bangun yuk, yuk kita pulang, gak enak kakak tiduran di sini, sempit kak kasurnya, Gema gak bisa meluk kakak lagi deh”.

Lirih Gema yang terdengar memilukan, menyeka air mata yang terus mengalir, dengan senyum yang entah apakah masih dapat dikatakan senyuman. Gema terus mengenggam tangan wanita yang amat ia sayangi, tangan yang telah melindunginya dari kerasnya dunia selama ini.

“Tuhan, apa yang sudah saya lakukan?”.

Sekali lagi, lirihnya

Zain hendak berbalik dari posisi berdirinya beberapa saat lalu, namun suara Ningsih menghentikannya.

“Zain...Kamu ngapain disini nak?”

Sejenak, seketika Ningsih paham dan kembali menatap Zain.

“Kamu mau liat Zareen?, ayuk masuk”

“Tidak bu, Zain balik kekamar dulu”

Ningsih termengu melihat kepergian putranya, nampak jelas jika Zain sangat terpuruk oleh kejadian ini. Dia tau putranya itu, lelaki yang tak sering menampakan exspresi untuk orang-orang diluar sana, yang terkenal dengan sifat dinginya, hanya ada ketegasan dan keseriusan untuk orang asing yang mengenalnya, namun Ningsih sangat mengetahui putranya, Zain sangatlah bertanggung jawab.

Menghapus air mata dan merapikan sedikit penampilannya, Ningsih masuk dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kebisingan untuk gadis didalam.

“Assalamu’alaikum..” Salam Ningsih dengan seulas senyum

“Waalaikumsalam..” Jawab kompak dua lelaki yang berbeda usia tersebut.

“Wahh udah nyampe ya nak, namanya siapa”? Sapa Ningsih dengan antusias terhadap Gema yang masih mengenggam tangan kakaknya.

“Nama saya Gema buk, saya adiknya kak Iza”, terang Gema sambil menyalami tangan Ningsih dengan hormat, setelah itu dia kembali ke samping sang kakak.

“Jadi ini toh adiknya Zareen, tampan ya kamu nak, santun lagi” Puji Ningsih sembari mengelus kepala Gema.

“Terimakasih buk” Jawab Gema dengan senyum ikhlas dibibirnya.

“ O iya, Gema sudah makan?”, Belum pasti ya, karena sehabis sekolah lansung ke sini kan”

Gema hanya mengangguk

“Yuk kita cari makan dulu”

“Gak apa-apa buk, saya makannya nanti saja, saya disini saja menemani kakak”

Tampak jelas, jika Gema sangat merindukan kakaknya. Ningsih yang menyadari itu, kemudian mengambil langkah, dia tidak akan memaksa tentunya, biarkan saja, Gema benar-benar anak yang baik pikirnya.

“Hmmm baiklah, Gema mau makan apa? Biar kak Reza saja yang pergi membelikan”

Nampak berfikir sejenak, Gema menjawab,

“Apa saja buk, Gema gak milih-milih makan kok”

“Baiklah, kita beli nasi padang saja”, putus Ningsih dengan semangat. Gema hanya tersenyum mengiyakan.

Di sisi lain, Zain menatap sendu pada benda pipih yang di pegangnya sedari tadi, panggilan atau sekedar pesan singkat yang ia tunggu-tunggu tak kunjung juga datang, sangat iba. Kemana gadisnya, kenapa tak kunjung juga mengabarinya, tidak, dia tidak mengaharapkan gadis itu menanyakan kabarnya, justru, yang sangat ia inginkan adalah kabar gadis itu, apakah dia baik-baik saja atau tidak, karena sejak ia mendapatkan insiden tiga hari yang lalu yang membuat ia terbaring lemah di rumah sakit ini, ia tidak mengetahui kabar wanita yang ia cintai tersebut. Ah ini sungguh membuatnya frustasi.

Memilih merebahkan diri lagi ke brankar, Zain meletakan sebelah tangannya di kepala, menatap langit-langit ruang rawat itu.

Gusar, bimbang, itulah yang ia rasakan saat ini. Hati dan pikirannya terus berkecamuk seakan tidak membiarkannya beristirahat barang sejenak.

“Kenapa seperti ini? Aku benci” Keluhnya sebelum mencoba memejamkan kembali dua netra hitam itu.

*

Ningsih tak henti-hentinya memandangi interaksi antara adik dan kakak yang tersuguhkan di depan matanya. Tidak, mungkin belum dapat dikatakan interaksi, sebab, hanya Gema seorang yang terus berbicara, sementara sang kakak, masih setia memejamkan mata indahnya. Ningsih benar-benar suka melihat ini, dua anak manusia, dengan kesederhanaan hidupnya, namun benar-benar kaya akan kasih sayang. Lihatlah, bagaimana yang satu sangat terpukul, dengan keadaan yang satunya.

“Gema, mau balik dulu nak”? Gema udah lelah banget kayak nya”

“Oh enggak buk, Gema disini aja, Gema gak capek kok”

“Gema udah dari siang begini terus nak, masak iya gak capek duduk sambil megangin tangan kakak terus, nanti pegel-pegel lo” Bujuk Ningsih sambil mengusap kepala Gema.

“Gema pulang yah, mandi, sholat, abis itu lansung tidur, kan besok Gema harus ke sekolah lagi”

“Gak apa-apa sayang, kan ada Ibu di sini” Sanggah Ningsih lansung ketika Gema nampak masih enggan meninggalkan kakaknya.

“Gema titip kakak ya sama ibuk, sampai Gema besok balik lagi kesini”

“Iya sayang, Ibu bakalin jaga kakak, Gema tenang aja, oke?”

“Baiklah, makasih ya buk, Gema izin pulang dulu”

“Iya nak, sama-sama, jangan lupa sampai rumah lansung bobok ya”

“Iya buk”

“Dah sana, kak Reza udah nungguin”

“Baik Buk, Assalamu’alaikum”

“Waalaikumsalam”, hati-hati bawa mobilnya Za.

“Cepat sadar nak, Ibu penasaran liat kamu, kepribadian kamu, bagaimana kamu mendidik Gema, sampai bocah yang masih berusia delapan tahun itu tumbuh menjelma menjadi anak yang begitu santun, baik, dan sholeh. Kamu pasti kakak yang sangat baik nak”.

Ningsih tersenyum manis setelah mengusap kepala Zareen yang tertutup khimar.

TO BE CONTINUE

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Pernikahan

...Part 3...

...🍁🍁🍁...

Siang pergi, senja menghampiri, rembulan muncul untuk menggantikan sang mentari.

Hari berganti, kini telah genap empat belas hari Zareen terlelap.

Ya, Zareen tak kunjung juga membuka matanya. Yang ada hanya reaksi-reaksi kecil yang diperlihatkan tubuhnya, seperti jarinya yang tiba-tiba bergerak kecil ketika Gema mengajaknya berbicara, atau tetesan air mata sesekali juga ikut menjadi bukti, seakan ingin menyampaikan pada mereka, bahwa gadis ini, tetap mendengarkan setiap sapaan sayang untuknya. Atau bisa jadi, ia merindukan orang-orang yang ia sayangi.

Sementara itu, di bagian bumi lain, pemuda yang bertubuh tegap dengan aura seorang pemimpin yang begitu kuat melekat padanya, tengah berdiri di jendela ruangan kerja yang didesain sedemikian megahnya. Pandangan sejauh penglihatan mata, netra hitam itu dapat menyaksikan seluruh bagian kota metropolitan , Jakarta.

Dengan sunggingan senyum yang merekah di wajahnya, ia terus meneliti kesibukan dunia yang tampak dari ruang kerjanya dengan tidak sabaran. Hmmm, nampak seperti ABG yang dilanda cinta saja. Namun, begitulah ia, mengingat tentang kekasih hati yang katanya akan datang hari ini menemuinya, tentunya ia sangat bahagia untuk itu, karena sudah cukup lama gadis itu tidak menampakan batang hidungnya. Sungguh dia sangat merindu

Dan benar saja, beberapa saat kemudian, terdengarlah langkah memasuki ruangan sang CEO. Langkah itu semakin mendekat, ia tau itu siapa.

“Sayang...” Gadis itu juga tidak dapat mengontrol perasaannya rupanya. Ia langsung memeluk Zain dari belakang dan menyenderkan kepalanya di punggung lebar pria muda itu.

“Aku merindukanmu” Katanya mencoba mengungkapkan isi hati

Zain tersenyum simpul mendengar ucapan lembut itu, ah dia benar-benar bahagia.

“Kau tau seberapa lebih aku merindukanmu!”. Ucap Zain membalikan badan dan menatap netra sang pujaan.

Ilna hanya tersenyum, ia tahu lelaki itu sangat mencintainya.

“Tapi, aku gundah dan bertanya, apakah kau benar-benar merindukan ku”?

Jujur Zain sambil melangkah menuju sofa yang ada di ruangan yang luas itu.

“Sayang, apa maksudmu?,Kau tau kalau aku bicara jujur mengenai perasaanku”

Ilna cukup terkejut mendengar keluhan Zain barusan, lelakinya tidak pernah seperti ini sebelumnya, ia akan selalu berucap lembut dan penuh kecerian ketika bersamanya, tidak seperti ini, untuk yang pertama kalinya ia melihat kekasih hati berkeluh dengan gundah. Ia menghampiri Zain

“Sayang, kau tau kalau aku tidak pernah bisa menutupi bagaimana perasaanku, aku manusia yang exspresif hm, kau tau itu”

“Look at me baby, ada apa”? Ilna menangkup wajah Zain untuk menghadap padanya

Terdiam cukup lama, Zain menatap dua mata biru yang menyejukan itu, ya, dia sangat menyukai dua mata ini, sangat menyejukan baginya.

“Tidak ada apa-apa, aku hanya teramat merindukanmu, oleh sebab itu jangan seperti ini lagi hm, tidak menghubungi ku selama seminggu, kemudian tiba-tiba saja mengatakan kalau kau sudah di Amsterdam, itu sangat tidak adil untuk ku, aku tidak menyukainya”. Keluh Zain sambil memegang kedua tangan Ilna.

Benar, ia mengurungkan niatnya untuk mengintrogasi Ilna, jujur saja ia sangat terusik oleh pikiran-pikiran buruknya akhir-akhir ini mengenai Ilna. Ia tahu, bahwa gadis yang ada di depannya saat ini sudah tidak setia lagi menunggunya, dan itu telah ia ketahui sejak lama. Namun tetap, ia tetap mencinta Ilna, teramat.

“I love you”. Akhir Zain dan memeluk Ilna erat.

...🍁🍁🍁...

“Kak, kakak gak lupa kan sama Gema?, kakak ingat kan di sini ada Gema, adik kakak. Kakak kok betah sih tidurnya?. Kakak gak rindu sama Gema?, bangun donk kak, udahan tidurnya kak. Kalau kakak gini terus makannya kapan?, nih kakak udah kurus banget, pucat lagi”.

Gema menangis tersedu-sedu, tidak, ia tidak akan lagi menahan air matanya, ia benar-benar takut kehilangan kakak. Kakak semakin hari semakin kurus, dan sangat-sangat pucat, dan Gema cukup paham dengan keadaan seperti itu.

“Kakak Gema rinduuuu....” Ungkap akhirnya kemudian ia memeluk erat tubuh Zareen kepelukannya, dan menangis di dada sang kakak.

Di luar, di balik jendela, Ningsih melihat semua itu, ia mendengarkan semua ungkapan lirih Gema.

Tidak, ia tak akan sanggup lagi, ia tak akan menunggu lebih lama lagi, ia harus mengambil keputusan dengan segera. Suka, atau tidak, putranya harus bisa menerima, karena ini adalah tanggung jawab yang harus ia pikul, karena bagaimanapun, ini semua berawal dari dirinya. Dan, Zain harus bertanggung jawab.

Setelah selesai bergulat dengan hati dan perasaanya, Ningsih pergi meninggalkan ruangan yang rutin ia kunjungi selama dua minggu terakhir ini. Dengan langkah yang tenang, namun menampakan ketegasan, Ningsih lansung menuju bacement dan berharap Reza telah ada di sana untuk menjemputnya.

*

“Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam”

Zain menyalami tangan Ibundanya

“Kamu capek nak?” Ibu mau bicara sesuatu”

“Bicara apa bu?”

“Kamu harus segera menikahi Zareen”, tutur Ningsih langsung

“Hah apa!? Ibu ngomong apaan sih?

“Iya, nikahi Zareen”

“Enggak, nggak, aku gak bisa”, Zain kalut, ia berdiri dan hendak meninggalkan Ibunya.

“Zain, kamu harus melakukan ini nak, dia itu tanggung jawab kamu”

“Aku akan bertanggung jawab bu, tapi tidak dengan menikahinya”. Putus Zain dengan tegas

“Kamu lihat a? Kamu lihat bagaimana kondisinya saat ini, sudah dua minggu, namun ia tak sadar-sadar juga, badannya makin melemah, makin pucat. Dan adeknya yang hanya bisa menangisi keadaan Zareen seperti itu setiap harinya, apa kamu gak liat itu ha? Buka mata hati kamu nak, apa hatimu gak merasa tersentuh sedikitpun untuk melihat itu a?”

“Bawa ia ke rumah sakit di Jerman, dan kamu, kamu harus menjadi mahromnya”.

Zain diam, tangannya mengepal, menahan sesak di dadanya.

“Ini satu-satunya jalan, agar ia segera mendapatkan pengobatan terbaik nak. Ibu tidak bermaksud memaksamu sayang, cuma memang ini jalan satu-satunya dan ini memang tanggung jawab kita nak’. Ningsih mengusap pipi putranya, dengan senyuman, ia beranjak meninggalkan Zain yang hanya diam terpaku.

“Ibu, kau tau kalau aku tak akan bisa melakukan ini, aku tidak akan menikahi seseorang selain Ilna”. Dia benar-benar lelah dengan semua ini, kenapa harus seperti ini, kenapa takdir mempermainkannya, ia benar-benar jengah.

...🍁🍁🍁...

“Saya terima nikahnya putri bapak Asheqo Zareen, dengan mas kawin seperangkat alat sholat, dan 25 gram emas dibayar tunai”

“Bagaimana saksi?”

“Sah, sah”

“Alhamdulillahirobbil alamin”

Kemudia Zain menyalami dan mencium tangan kedua orang tua yang baru saja menjadi mertuanya. Dengan air mata yang masih berurai Fatma menerima uluran tangan pemuda yang telah sah menjadi menantunya itu. Ia tidak menyangka, bahwa putrinya akan mengalami semua ini, hatinya benar-benar terluka saat mendengar kabar yang di sampaikan lansung oleh Ningsih saat itu.

*

“Kamu tega ha, kamu tega sama aku, kamu jahat, aku benci kamu”.

Ilna terus memukul dada lelaki yang terus mencoba memeluknya itu.

“Sayang, please, maafkan aku, jangan menangis lagi, aku mohon”

Akhirnya Ilna luruh dalam dekapan erat Zain, ia masih terisak, namun juga sudah lelah untuk memberonta, lelah fisik dan juga lelah hati.

“Maafkan aku, please jangan tinggalkan aku”. Zain tak hentinya mencium kepala kekasihnya.

“Aku hanya mencintaimu, dan akan terus seperti itu”

“Kalau kamu benar mencintaiku, kenapa kamu menikahi gadis lain?”, apa arti cinta untukmu ha?”

“Aku gak bisa berbuat apa-apa sayang, aku juga tidak mau ini terjadi, bagaimana bisa aku menikahi orang yang tidak aku sayangi, hanya kamu sayang, hanya kamu satu-satunya wanita yang ingin aku nikahi, membangun mimpi bersamamu, hanya saja... aku tidak punya pilihan, aku harus bertanggung jawab dengan apa yang aku lakukan”.

“Tapi percayalah, aku hanya mencintaimu”

“Jangan tinggalkan aku, aku benar-benar membutuhkanmu, tolong teruslah di sisi ku, aku mohon”

Lirih Zain dan kembali mengeratkan pelukannya untuk gadis yang telah mengisi hatinya selama tujuh tahun ini.

Hanya satu, hanya satu yang sangat ia inginkan dalam hidupnya ini, ialah membangun rumah tangga dengan Ilna, wanita yang sangat ia cintai setelah Ibunda yang melahirkannya. Cinta pertamanya, yang begitu membekas di hatinya. Sejak pertama kali ia melihat gadis ini waktu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, hanya kejadian kecil, saat gadis yang masih mengenakan seragam putih dongker itu rela basah kuyup karena menempuh derasnya hujan hanya untuk mengambil box usang yang di dalamnya terdapat sepasang anak kucing yang di tinggalkan pemiliknya di tepi jalan. Sejak saat itu, Zain sangat menyukai Ilna, gadis yang penyayang pikirnya. Kasih sayangnnye benar-benar telah tercurahkan untuk gadis ini

TO BE CONTINUE

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!