Sudah setahun lebih aku pergi meninggalkan kota kelahiranku, meninggalkan luka dan rasa sakit atas penghianatan yang mereka berikan, Pergi sejauh mungkin mencoba untuk melupakan kenyataan yang sangat pahit tapi semua percuma, kini Pria yang memberikan luka itu berdiri di hadapanku.
Entah dari mana dia mengetahui keberadaanku di Pantai Palabuhan Ratu Sukabumi tempat yang sangat jauh dengan Kota Surabaya, Aku hampir tak mengenalinya tubuh yang dulu berisi kini semakin kurus, rambut yang selalu tertata rapih kini gondrong dengan tumbuh brewok di sekitar pipi, pakaian yang rapih dan selalu wangi kini terlihat berantakan tak seperti dulu dia sangat menjaga penampilamya.
Aku mengalihkan tatapanku ke hamparan laut di depan, tak mau berlarut-larut menatap pria yang sudah memberikan luka yang teramat dalam, sesak rasanya air mata yang ku tahan sejak tadi tak bisa ku bendung lagi, sungguh ini sangat sakit apalagi mengingat penghiantan mereka berdua, suami dan sahabatku sendiri.
"Maaf," itu kata pertamanya setelah setengah jam kita hanya diam tak bersuara.
"Aku menyesal, sunggguh," ucap Adrian parau.
"Kembalilah padaku dan kita mulai dari awal," lanjutnya kembali
Aku tertawa sarkas, apa katanya tadi memulai dari awal dengan pria brengsek seperti dia sama saja aku merelakan diriku di sakiti untuk kedua kalinya.
Aku melirik dia yang menunduk tak berani menatapku, jujur rasa itu masih ada, ingin aku dekap menyalurkan segala kerinduan selama setahun ini tak bertemu denganya.
"Memulai dari awal buat apa mas, apa belum cukup kamu menyakiti aku dulu?" sinis ku
"Mas menyesal, mas khilaf," ucap Adrian bergetar seperti menahan tangis.
"Enam bulan bukan waktu yang lama dan kamu bilang khilaf, you bastrad," teriak ku marah.
Dia mendongakan kepalanya menatapku, aku terkejut ketika melihat dia menangis menikah selama 2 tahun dengan Adrian dan baru kali ini aku melihatnya mengeluarkan air mata, terlihat jelas penyesalan di matanya.
"Pergi mas," usirku.
"Mas akan pergi, kalau kamu juga ikut dengan mas," pinta Adrian padaku,
"Jangan berharap, itu gak akan pernah terjadi,"
"Mas mohon," Adrian jongkok, dan bersujud di kakiku, sungguh aku tak bisa melihat Adrian memohon sampai bersujud seperti ini.
"Lepasin mas," teriak ku.
"Mas mohon," ucap Adrian terdengar sangat putus asa.
Aku menarik paksa Adrian agar berdiri, "Cukup, apapun yang mas lakukan sekarang tak akan merubah keputasan ku!" ucap ku tegas.
"Mas tau mas salah, mas udah tinggalin dia, jadi mas mohon kamu pulang ke Surabaya sama mas, kita mulai semuanya dari awal," ucapnya dengan nada tinggi
Memuakan! aku benci pria di hadapanku ini, dia seperti menganggapku barang, setelah dia buang yang baru dia ambil kembali yang lama.
"Pergi mas,"
"Gak, sebelum kamu ikut pulang sama mas," kukuh Adrian.
"Aku bilang pergi,"
Adrian menarik paksa lenganku, tak peduli dengan teriakan ku yang minta untuk dilepaskan, cekalannya sangat kuat sampai membuat pergelangan tangan ku terasa sakit.
"Lepasin mas, sakit," ringisku.
"Sakit mas,"
Dia melepaskan tanganku terlihat jelas bekas merah di pergelangan tangan ku atas perbuatanya.
"Pergi mas dan aku harap kita gak akan ketemu lagi,"
"Beri mas kesemantan,"
"Pergi"
"Aruna Ayuningtias mas mohon," ucap Adrian lemah sambil menyebut nama lengkap ku, kebiasaan Adrian bila sudah lelah berdebat.
"Aku bilang pergi yah pergi, mas gak bisa memaksakan hati yang sudah lama mati!"
Tersirat kekecewan di mata Adrian, dia berbalik dan pergi menaiki mobil BMW berwarna hitam.
Aku melihat sekeliling untung saja sore ini pantai sepi jadi tak ada yang melihat perdebatanku dengan Adrian tadi.
Aku melangkahkan kaki ku kembali ke toko pakaian miliku sendiri, di dekat pantai yang sudah kubangun sejak setahun ini.
Terlihat di depan toko ada Amar yang sedang menunggu dengan gelisah, pria yang sangat berjasa bagiku.
Amar berlari mendekat ke arahku, menatapku dengan penuh tanda tanya, aku melewati Amar tak peduli teriakannya yang terus memanggil namaku.
Cukup lelah hati ini setelah perdebataku dengan Adrian yang cukup menguras emosi.
Amar pasti bertanya siapa Adrian dan ada hubungan apa dengaku, cukup malas menjelaskan pada Amar siapa Adrian sebenarnya, dia yang dari awal membantuku di kota asing ini, dan aku tau dia menaruh hati padaku.
Apa jadinya bila dia tau kalau Adrian pria yang tadi ku temui masih menjadi suamiku, ya suami aku belum resmi bercerai dengannya setelah setahun aku pergi dari rumah.
Hubungan ku dan Adrian gantung, aku tak mau membuat Amar kecewa atau menganggapku berbohong karena tak jujur soal statusku selama ini.
Sulit sungguh sulit untuk apa Adrian mencariku sampai sejauh ini, minta maaf dan memintaku kembali padanya,
Sebercanda itukah! setelah apa yang telah dia lakukan terhadapku.
Aku memutuskan pulang ke kontrakan, tak jauh dari toko baju yang ku punya, hanya 5 menit berjalan dan sudah sampai.
Tak peduli dengan toko yang masih buka ada Amar yang bisa membantuku menutup toko, tak apalah aku merepotkannya.
Aku masuk ke kontrakan yang sudah setahun ini aku tempati, memang tak besar mungkin kecil tapi cukup untukku sendiri.
Tak ada barang yang mewah seperti rumahku di Surabaya tapi aku nyaman dengan semua kesederhanaan ini, aku membaringkan tubuhku di kasur lantai yang sudah tersedia sejak pertama aku tinggali.
mataku terpejam entah apa yang harus aku lakukan sekarang, menetap di sini dan biarkan Adrian menemuiku kembali atau pergi menghindar kembali dari masalah yang belum terselesaikan selama setahun ini.
..........
Aku terbangun dengan nafas terengah engah, keringat mambasahi seluruh tubuh, mimpi itu lagi semakin hari semakin menyakitkan, bahkan dalam tidur pun aku tak bisa beristirahat dengan tenang.
"Sialan," makiku
Ku tutup wajahku dengan bantal, mencoba menenangkan diri, Lelah rasanya trauma ini semakin menyiksa setiap harinya bahkan setiap saat.
"Aruna," panggil seseorang yang suaranya sudah tak asing di telinga.
Aku mendongakan kepalaku ke arahnya memaksakan senyum seolah aku sedang baik-baik saja.
"A Amar ngapain ke sini," tanyaku, karena hari sudah malam ia sibuk menyalakan semua lampu yang masih mati dan menutup hordeng yang belum di tutup termasuk di kamarku.
Sudah biasa Amar ke kontrakanku, bahkan dia sering menginap hanya untuk memastikan aku tidak melakukan hal gila seperti dulu lagi.
"Mau cerita?" tanyanya lembut, sambil duduk di sebelahku.
Dia menatapaku dengan tulus, tatapanya yang lembut dan sikapnya yang perhatian membuatku menaruh hati padanya walau hanya sedikit.
Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaannya, Amar menghirup nafas dalam-dalam berdiri lalu melangkahkan kaki ke luar kamar sambil menenteng plastik hitam entah apa isinya.
Tak lama Amar kembali ke kamarku sambil membawa sepiring nasi dan lauknya serta air putih, ia duduk di sampingku.
"Makan dulu," ucapnya menyerahkan makanan yang ia bawa tadi.
"Aku gak mau makan A," tolakku.
"Makan dulu nanti sakit, aku suapin yah," bujuk Amar.
"Aku beneran gak mau,"
"Yaudah, aku taruh di sini kalau laper nanti di makan," Ngalah Amar menyimpan makan dan air putih di atas meja kecil di samping kasur.
"Aku nginep di sini yah," pinta Amar padaku.
"Pulang aja , aku mau sendiri A."
"Aku temenin,"
"A please."
"Aku mau nanya boleh?" Amar memegang bahuku dan menatapku serius.
"Cowok yang tadi nemuin kamu dia suami kamu?" tanyanya.
Aku terkejut mendengar pertanyaan dari Amar, tau dari mana dia, apa dia mendengar perdebatanku tadi sore, tapi di perdebatan tadi, aku gak bilang bahwa Adrian suamiku.
"Setelah kamu pergi, cowok tadi datang lagi dia bilang kalau kamu istrinya," jelas Amar sambil melepaskan tanganya di bahuku.
Rahangku menengang, tangaku terkepal menahan marah, bisa-bisanya dia memberitahu Amar bahkan sebelum aku memberitahunya, mau apa sebenarnya manusia itu.
"Aku," ucapku ragu-ragu.
"Jadi bener," ucapnya pelan.
Amar terlihat kecewa sekali, aku tau dia pasti terluka mengetahu fakta yang sebenarnya.
"Jadi selama ini aku sayang sama istri orang," ucap Amar parau.
"Aku minta maaf, aku gak bermaksud bohongin A Amar,"
"It'is oke," Amar memaksakan senyum, yang membuatku merasa menyesal tak memberitahu dari awal.
Andai dari dulu aku bilang bahwa aku masih bersuami, mungkin Amar tak akan terluka seperti ini.
"Aku pergi dulu Run, ini kunci toko," ucapnya sambil memberikan kunci padaku.
Setelah kepergian Amar, aku bener-bener bingung harus gimana, aku menggigit bibir bawah menahan isakan, air mataku semakin deras.
Kenapa semuanya jadi rumit, aku hanya ingin hidup tenang di tempat terpencil ini, Bukan masalah yang terus datang apa aku tak berhak bahagia.
Hanya Amar yang bisa aku percaya dan membuatku merasa di cintai setelah orang terdekat semuanya menghinatiku.
Tapi kini Amar kecewa padaku karena tak jujur padanya selama ini, apa setelah ini sikapnya akan berubah atau dia malah menjauhiku memikirkanya saja membuatku semakin pusing.
Pagi ini hari yang berat bagiku, padahal cuacanya sangat cerah, udara yang sejuk membuatku semakin betah tinggal di sini, langit yang membiru suara ombak laut yang membuat tenang.
Kepalaku terasa pusing, mata sembab akibat menangis semalaman, rasanya sangat malas keluar rumah, ingin diam di kontrakan tanpa melakukan apapun, tapi nanti malah membuatku malah memikirkan kembali kejadian kemarin.
Terpaksa aku keluar rumah, melangkahkan kakiku di hamparan pasir putih yang indah.
Tanganku sibuk dengan ponsel di genggaman, melihat apakah ada panggilan masuk atau sekedar pesan singkat dari Amar, tapi pagi ini tak ada, tumben? apakah Amar masih marah gara-gara masalah kemarin.
Ku lanjutkan perjalananku menuju toko, siapa tau Amar sudah ada di depan toko sedang menungguku dengan wajah kesalnya karena aku telat datang, memikirkanya saja membuatku terkekeh pelan.
Padahal dia sendiri punya usaha rumah makan aneka olahan Seafood di pesisir pantai, tapi Amar malah sering ke sini setiap hari untuk menemaniku, dari buka toko sampai toko tutup kembali.
"Di sana udah ada pegawai yang bisa ngurus semuanya, aku mau di sini nemenin kamu setiap hari, setiap detik bahkan kalau boleh seumur hidup pun aku sanggup," ucapnya dulu ketika aku bertanya kenapa dia sering ke sini menemaniku, jawaban yang membuatku sedikit baper.
Senyumku luntur ketika tak melihat Amar di depan toko, biasanya dia akan menunggu ku sambil duduk di bawah pohon, Aku kembali menghubunginya tapi nomornya tak aktif, beberapa kali di teleponhasilnya tetap sama.
Aku membuka toko sendirian, jujur terasa ada yang hilang biasanya Amar yang selalu membantu.
Bahkan dia tak mengabariku, bila dia tak akan datang hari ini.
Membosankan menunggu toko sendirian, biasanya selalu ada Amar yang menemani dengan obrolan konyolnya yang bisa membuatku tertawa.
Tak terasa hari sudah menjelang sore, aku memutuskan menutup toko.
Aku berniat menemui Amar ke rumahnya, lumayan jauh memang harus naik angkot dulu selama lima Menit baru sampai di rumahnya yang minimalis asri dan terlihat nyaman.
Aku melangkah dengan ragu-ragu, takut kedatanganku malah menggangunya.
Tok tok tok.
"A Amar," panggilku di depan pintu rumahnya.
"A," panggil ku kembali.
Tapi tak ada yang menjawab atau membukakan pintu, apa Amar tak ada di rumah?
Aku duduk di kursi yang sudah tersedia memutuskan menunggu Amar sampai dia kembali.
Untuk menghilangakan jenuh aku mengambil ponsel yang ku simpan di sling bag yang selalu aku bawa keman mana.
Tak ada apapun di ponselku bahkan aplikasi sosmedpun tak ada, sejak setahun aku pergi dari Surabaya aku memutuskan berhenti menggunakan sosmed untuk menghilangkan jejak, aku memilih melihat video di aplikasi You Tube.
Sedang asik melihat video, aku terkejut dengan suara bising motor yang menuju kesini, ku pikir Amar! aku berdiri dengan senyum mengembang tapi senyum ku perlahan luntur, bukan dia bukan Amar tapi temanya Amar, Joni yang memang tinggal disini bersama Amar.
Aku duduk kembali dengan lesu, sudah sejam aku menunggu Amar, tapi dia tak kunjung pulang bahkan nomornya masih tak aktif.
"Eh Run, ngapain disini?" tanya Joni melangkah mendekat ke arah ku.
"Aku pikir tadi Amar yang pulang," ucapku lemas.
"Amar dari semalem belum pulang, gue pikir dia nginep di kontrakan lo,"
"Serius, dia belum pulang?" tanya ku panik.
"Kenapa sih?" tanyanya penasaran.
"Udahlah biarin, udah gede juga tuh bocah gak mungkin ilangkan," ucap Joni yang malah membuatku makin gelisah.
"Gue masuk dulu, gerah mau mandi, lo mau ikut masuk atau mau sekalian mandi bareng gue?" ucapnya genit.
Aku menatapnya sinis, sudah terbiasa dengan ucapanya yang selalu membuatku marah.
Tapi kali ini beda Amar tak ada, bahkan nomornya tak bisa di hubungi tapi Joni masih bisa bersikap santai seolah tak terjadi apa-apa, dasar temen laknat mau aja gitu Amar punya temen seperti Joni.
Aku memilih pulang berjalan kaki dari pada diam disini mendengar ocehan Joni yang membuat ku semakin emosi.
Lumayan lama aku berjalan langit pun mulai gelap, Aku mampir ke Mini Market membeli minuman dan makanan untuk di kontrakan.
Sedang sibuk memilih aneka snack aku melihat Adrian yang sedang antre di meja kasir, ku kira sudah pulang ke Surabaya ternyata masih ada disini.
Setelah Adrian keluar dari Mini Market dan pergi menggunakan mobilnya, aku kembali memilih makan, lumayan banyak yang aku beli untuk stok supaya tak bolak balik ke Mini Market.
Untung saja sudah dekat dengan kontrakan, jadi tak terlalu lelah menenteng dua kantong kresek yang sangat berat.
Sudah dekat dengan kontrakan aku menghentikan langkahku, dan melihat sekitar takut bila Adrian sedang menunggu di kontrakan, tapi nihil tak ada siapapun disana mungkin aku saja yang terlalu khawatir.
Sampai di kontrakan aku menyimpan semua belanjaan ku di dapur, memutuskan mandi dan langsung berbaring di kasur sambil menonton televisi.
Aku menatap langit-langit kontarakan ku, memikirkan Amar sedang apa dia dan di mana, aku sungguh Khawatir takut terjadi apa-apa denganya.
Aku mengambil ponsel berniat menghubunginya kembali tapi masih sama nomornya tak aktif, bahkan pesan yang ku kirim sejak pagi masih belum ia baca.
"Kamu di mana sih A?" ucap ku gelisah.
Aku mengambil figura yang berisi fotoku dan Amar berapa bulan yang di tepi pantai dengan pemandangan senja di belakangnya yang sangat indah.
"Jangan buat aku khawatir gini dong, bahkan Joni juga gak tau kamu di mana," lirih ku.
Tak terasa air mataku jatuh, rindu entahlah tapi aku merasa ada yang hilang, mungkin tak terbiasa tanpa kehadiran Amar yang biasanya selalu ada disini menemaniku.
.........
Pukul dua dini hari aku terbangun karena mimpi sialan itu, kenapa mimpi itu selalu ada bahkan terasa nyata.
Aku menjambak rambut menyalurkan emosi yang ku tahan sejak kemarin, mengambil sesuatu di laci meja dekat kasur, beda tajam dan dingin menggores lenganku, darah segar mulai keluar, pisau cutter semakin ku tekan darah semakin banyak keluar bahkan menetes mengenai kasur.
Sakit, perih tapi lebih sakit hidupku sekarang ini.
Aku melihat bekas luka yang masih penuh darah, bukan kali ini aku melakukanya bahkan sering dan ini sudah terjadi sejak Sepuluh tahun lamanya sejak trauma itu datang.
Mereka bilang aku kurang iman, lebay, cari sensai, tapi mereka tidak tau semua ini sudah menjadi candu bagiku.
Setiap goresan yang aku lakukan terasa menenangkan buatku.
Aku menikmati setiap goresan yang aku lakukan.
Aku suka ketika melihat darah terus mengalir.
Dan aku suka sensasi sakit dan perih ini.
Aku kembali menggoreskan pisau cutter di perut, paha dan bagian yang lainya.
Lihatlah sekarang! bahkan aku terlihat menjijikan dengan penuh darah di tubuh ku.
Air mata sialan ini terus saja mengalir tak mau berhenti.
Masalah terus saja datang bertubi-tubi, seolah enggan melihat ku hidup dengan tenang, apa tak cukup dulu membuat aku tepuruk hingga aku sering ingin mengakhiri hidupku.
Dan kini ketika aku pikir bisa memulai hidup dengan tenang, orang yang memberi luka itu datang kembali dan memintaku kembali padanya.
Aku sering bertanya apa ini karma? karma karena Ibu sering berselingkuh dan berpacaran dengan suami orang, ketika aku masih sekolah Smp, hingga aku di benci oleh teman-teman dan di jauhi.
Tapi kenapa harus aku? Kenapa bukan Ibu sendiri yang mengalaminya, dia yang melakukannya tapi kenapa harus aku yang merasakan sakitnya.
Bahkan sampai detik ini aku belum bisa memaafkan Ibu atas ulahnya.
Ayah meninggal karena Ibu, hidupku hancur karena Ibu dan dia mati segampang itu, sementara aku yang mencoba bunuh diri berkali-kali masih hidup sampai saat ini.
Isakan ku makin kuat, aku terus memukul dan menjambak rambutku, suara-suara dalam pikiran ku membuatku menggila.
Suara ******* Ibu dengan pria lain yang sedang bersetubuh, tangisan Ayah dan makian teman-temanku membuatku bener-benar muak.
Yang salah Ibu tapi kenapa harus aku yang menderita di saat umur ku masih muda.
Sialan dunia bener-bener jahat!
Ketika Ayah meninggalpun Ibu tak terlihat sedih malah ia pergi berhari-hari dengan teman prianya yang sudah beristri.
Gila! Ibu ku memang gila bahkan aku tak sudi memanggilnya dengan sebutan Ibu.
Dia hanya wanita yang melahirkanku tapi untuk membesarkanku dan memberikan aku kebahagian dia jauh dari kata itu.
Di malam pertama aku dengan Adrian dulu, Ibu malah terang-terangan menggoda Adrian dengan sengaja menyentuh Adrian dan memakai baju yang memperlihatkan organ intimnya.
aku bener-bener marah, emosi ku sudah tak terbendung aku menghampiri ibu dan menamparanya.
Tapi lihatlah? Ibu sama sekali merasa tak bersalah ia malah mengedipkan mata ke Adrian sambil berlalu pergi.
Ingin rasanya aku bunuh wanita itu.
Yang membuat trauma itu semakin dalam dan semakin nyata.
Terimakasih Ibu membuat masa remajaku bener-bener hancur.
Meskipun Ibu telah tiada tapi luka yang ibu berikan masih terasa.
Ini sudah seminggu sejak Amar menghilang tanpa kabar, nomornya sampai sekarang masih tak bisa di hubungi.
Aku datang ke rumahnya kembali, sepi tak ada siapapun di sana bahkan jonipun tak ada, entah kemana manusia biadab satu itu.
Padahal aku ingin sekali meminta bantuan dia untuk mencari Amar, pegawai Amar di rumah makan pun tak tau kemana bos mereka pergi.
Aku menatap langit sore yang sangat indah sambil duduk di bawah pohon yang selalu Amar tempati, aku menahan air mata yang siap keluar kapan saja, entahlah akhir-akhir ini aku begitu cengeng.
Bahkan luka goresan ditangan, perut dan kakiku semakin banyak dan terasa menyakitkan, biasanya Amar yang selalu mencegah ku untuk melakukannya atau dia yang selalu mengobati setiap lukaku.
Rindu? Seminggu Amar menghilang aku sadar bahwa aku memang merindukanya, bahkan aku membutuhkan dia di hidupku.
Apa kesalahan ku kemarin tak jujur padanya membuatku harus kehilangkan Amar untuk selamanya, aku tak sanggup bila bukan Amar yang selalu ada buatku lalu siapa lagi aku tak punya siapa-siapa selain Amar.
"Aku mohon kembali," pintaku penuh harap.
Hidupku terasa hampa tanpanya, tak ada semangat untuk melakukan apapun.
Aku rindu semuanya tentang Amar bahkan omelan dia yang selalu memarahiku karana telat makanpun aku merindukannya.
"Aruna," panggil seseorang di belakangku.
Aku membalikan tubuhku, mataku melebar aku benar terkejut dengan kehadirannya, apalagi sekarang dia membawa bayi di gendongan baby sister yang memakai baju serba putih.
Pikiran buruk mulai datang, apa mungkin bayi itu hasil perselingkuhan mereka berdua?
Dengan langkah tegar aku melangkah mendekati mereka, pandangaku masih sama tertuju pada bayi mungil itu.
"Kenapa? kanget," tanyanya sinis.
Aku melirik wanita itu sekilas lalu melihat kembali bayi itu.
"Dia anak gue sama suami gue, Adrian," ucap Zia kembali.
Aku tak terkejut dengan pengakuannya, dulu aku sudah bisa menebak dan ternyata sekarang bener.
Ucap Adrian yang sudah meninggalkan Zia kemarin ternyata semua bohong bahkan mereka sudah punya bayi yang mungkin baru beberapa bulan
Aku mengamati Zia, sahabatku tapi itu dulu, kini dia terlihat terawat dengan pakainnya yang serba mewah dan branded mungkin karna dia sudah menikah dengan Adrian pengusaha kaya raya.
Aku memutar kedua mataku malas meladeni dia, sikap, cara bicaranya bener-benar berbeda, dia bukan Zia yang aku kenal selama ini.
"Dimana Adrian?" tanya Zia
"Aku gak tau," ucapku datar.
"Lo gak usah bohong, gue tau dia kesini buat nemuin lo," Teriaknya sambil menunjuk ku, matanya berkilat menahan marah.
"Kemarin dia memang ke sini, tapi sekarang aku gak tau," jelas ku padanya.
Dia tersenyum miring, mencengkram dagu ku dengan sangat kuat, kukunya yang panjang melukai pipiku hingga darah mengalir karna ulahnya.
Sudah ku bilang dia bukan Zia yang aku kenal, sikapnya kini yang bar-bar dan tanpa ragu melukai seseorang, dulu dia sangat lemah lembut dan penyayang bahkan ke binatang sekalipun dia tak berani melukai.
"Dimana Adrian?" ucapnya kembali sambil menguatkan cengkramanya di dagu ku.
Aku meringis pelan, tapi tak berniat melawan sedikit pun.
"Aku gak tau," jawabku.
"Sialan," Zia mendorongku hingga jatuh ke pasir, dia menatapku marah seolah-olah ingin membunuhku detik ini juga.
Aku terkekeh pelan," Zia yang dulu lembut bisa kasar juga," aku berdiri lalu menatapnya kembali.
"Dia suami kamu, kenapa nanya sama aku, seharusnya istrinya yang lebih tau," sindirku
"Dasar pelacur," maki dia.
Aku tersingsung dengan ucapanya, apa tadi dia bilang aku pelacur! Lantas dia apa? yang berani tidur dengan suami sahabatnya sendiri.
Wajah ku mengeras aku tak terima dengan ucapnya.
"Pelacur, kalau aku pelacur lantas kamu apa Zia, bahkan kamu lebih dari seorang pelacur, di bandingin dengan kotoran masih lebih mulia kotoran dari pada kamu," teriakku marah.
Dia mendekat ke arah ku dengan matanya yang terlihat semakin emosi, tanganya melayang ke arahku bersiap menamparku saat ini juga, refleks aku memejamkan mataku, tapi aku tak merasakan apapun.
Aku membuka mata, ku lihat Zia yang tangannya di pegang oleh seseorang di sampingku, aku menoleh ternyata Amar dengan wajah marahnya.
Amar mengehempaskan tangan Zia kasar.
"Aww," ringis Zia.
Zia menatap Amar dengan pandangan tak suka yang di balas tatapan tajam oleh Amar.
"Lo siapa?" teriak Zia.
"Pergi," usir Amar
"Oh apa jangan jangan lo salah satu pelanggan pelacur ini?" tunjuk Zia ke arah ku.
"Pergi dan jangan buat gue semakin marah," bentak Amar.
Tanpa perlu di perintah dua kali Zia dan bayi serta baby sisternya pergi meninggalkan ku dan Amar.
Amar mengehembuskan nafasnya, mencoba menenangkan dirinya.
"Run, kamu gak papa?" tanyanya padaku.
Tak peduli pertanyaan Amar aku langsung memeluk pria yang sangat aku rindukan selama seminggu ini, Amar mengelus lembut Kepalaku dan balas memeluku, Amar melepaskan pelukannya dan menatapku teduh.
"Kenapa?" tanyanya kembali.
Tapi aku langsung memeluk Amar kembali, yang membuat Amar terkekeh pelan, aku memejamkan mataku, entahlah aku rasa ini terakhir kalinya aku bisa memeluk Amar seperti ini.
"Kenapa, kamu kangen yah," ejek Amar.
Aku melepaskan pelukanku dan mendelik ke arahnya.
"Gak, aku gak kangen," bohong ku.
"Masa," ucapnya lagi dengan senyum mengejek.
Menyebalkan memang, tapi aku sangat bersyukur bisa melihatnya lagi.
"A Amar kemana aja?" tanyaku.
"Nanti aku ceritain,"
"Kenapa gak sekarang,"
"Sekarang obatin luka kamu dulu, tuh pipi kamu berdarah,"
"Yaudah kita pulang aja ke kontrakan, udah sore juga," ucapku.
Aku menutup toko dengan bantuan Amar sehingga perkerjaan ku cepat selesai dan bisa cepar-cepat ke kontrakan untuk mengobati lukaku, lebih tepatnya aku penasaran seminggu ini dia kemana saja.
..........
Sesampainya di kontrakan Amar dengan cekatan mengobati luka di pipiku, lukanya pasti akan lama hilang! kenapa juga harus pipi yang jadi sasarannya.
Aku menatap Amar tanpa berkedip, dengan jarak sedekat ini, hembusan nafas Amar langsung menerpa wajahku.
Amar membalas tatapan ku, wajahnya semakin dekat hingga hidungku dan Amar saling bersentuhan.
Amar menempelkan bibirnya di bibirku, dia ******* pelan bibirku, aku memejamkan mata menikmati setiap ******* yang Amar berikan, aku terbuai dengan yang dia lalukan sekarang.
Lumatannya semakin dalam dan semakin menuntut, nafasnya mulai memburu, tangan Amar membelai lembut pipi ku, turun ke leher dan semakin turun ke pundakku.
"Aww," ringis ku pelan.
Amar menghentikan aktivitasnya dan menatapku Intest, tangan Amar masih tetap di bahuku.
"Kamu ngelakuinnya lagi?" tanyanya datar.
"Iya ," jawabku pelan.
"Buka," perintah Amar.
Aku membuka bajuku dan terlihat Amar terkejut dengan pemandangan yang ia lihat sekarang, bukan terkejut melihat aku telanjang, aku masih pakai tank top di dalam baju ku.
Tapi Amar terkejut dengan tubuhku, penuh goresan yang masih memerah, bukan satu atau dua mungkin puluhan luka yang masih baru dan bekas lukanya.
Tubuhku tak mulus seperti wanita di luar sana, banyak goresan seperti ini bahkan sampai ke kakiku, itu sebabnya aku sering pakai baju dan celana panjang bila keluar rumah.
"Perut kamu,"
Aku menyibakan bawah tank top dan terlihat banyak goresan juga di perut.
Amar mendesah, tangannya terkepal.
"Kenapa ngelakuin lagi," tanya Amar putus asa.
"Aku minta maaf,"
"Aku gak butuh maaf kamu, aku cuman mau kamu berhenti ngelakuin hal bodoh kayak gini," bentak Amar.
Aku menunduk tak berani menatap Amar sekarang, berhenti? ini semua seperti candu bagiku.
"Aku gagal jagain kamu lagi,"
"Bukan salah A Amar," ucapku.
Amar selalu begitu setiap ia melihat goresan di tubuhku, dia akan menyalahkan dirinya sendiri, atau lebih parahnya dia akan melakukan hal yang aku lakukan, melukai dirinya sendiri.
"Aku gak mau kamu kenapa-kenapa Run,"
"Aku sayang sama kamu," ucapnya parau.
"Aku tau," ucapku.
"Jangan ngelakuin lagi yah," ucapnya lembut.
"A Amar pasti udah tau jawabnya,"
Amar berdecak, ia memejamkan matanya terlihat sekali raut bersalah di wajahnya.
"Yaudah aku obatin," ucapnya setelah beberapa detik Amar hanya terdiam.
Aku mengangukan kepala tanda setuju.
"A Amar seminggu ini kemana?" tanya ku setelah Amar selesai mengobati seluruh lukaku.
"Aku pulang ke Bandung," ucapnya.
Yah Amar memang bukan orang asli sini dia sama seperti ku, merantau ke tempat ini karena tempatnya yang sangat menenangkan.
"Bunda kecelakaan," aku terkejut mendengarnya.
Mungkin baru beberapa kali aku bertemu Bunda Amar tapi aku merasa sudah dekat dengan Bunda, apalagi aku memang sudah tak punya orang tua.
"Kok bisa," tanya ku.
"Kamu taukan Bunda itu pecicilan gak bisa diem, sebelum kecelakaan dia minta di beliin seblak sama Ayah, tapi Ayah menolak karena hujan deras, Bunda nekat beli seblak sendiri naik motor padahal Bunda gak bisa naik motor," jelas Amar.
Aku terkekeh, ada-ada saja Bunda Amar ini, udah tau gak bisa bawa motor masih nekat aja.
"Jadi rindu sama Bunda,"
"Mau ketemu? Bunda udah sehat kok," tawar Amar.
"Kapan-kapan aja," jawabku.
"Kamu udah makan?"
"Belum,"
"Kebiasaan, aku pergi beli makan dulu, nanti ke sini lagi, pakai bajunya Run nanti masuk angin "
"Tunggu dulu A," cegahku saat Amar akan melangkah keluar.
"Kenapa lagi, mau requaes mau makan apa?"
"Enggak, aku mau nanya?"
"Kenapa?"
"Ponsel A Amar kemana, kenapa gak bisa di hubungin?"
"Ponsel aku hilang, mungkin di curi orang tapi nanti mau beli baru lagi kok," jelasnya sambil berlalu pergi.
Aku mangut mangut mendengar jawabannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!