Rin berlari secepat mungkin untuk menghindari kejaran orang-orang yang akan menangkapnya, tanpa mempedulikan penampilannya yang berantakan dia terus saja berlari, untungnya sudah tengah malam jadi tidak ada orang yang lalu lalang di hotel itu.
Rin tak habis pikir, kenapa Albert Rivers ayah tirinya, yang selama ini selalu bersikap baik padanya ternyata sungguh tega menjebak dan menjual dirinya kepada seseorang hanya untuk melunasi hutang perusahaannya. Dia baru sadar kalau selama ini ayah tirinya hanya berpura-pura baik saja.
Rin terus berlari, ketika melihat pintu keluar secepatnya dia menuju ke sana. Tanpa melihat keadaan sekelilingnya, Rin terus saja berlari.
TIIIINNNNN...... Nyaris saja Rin tertabrak mobil yang akan keluar meninggalkan hotel itu. Untungnya pengemudi mobil itu dengan sigap menginjak pedal rem. Pengemudi mobil itu pun segera keluar dari mobilnya.
"Kau mau mati?!" Seru Reiz, pengemudi mobil tersebut. Rin yang masih terkejut, hanya terdiam. Dia berdiri kaku tepat di depan mobil Reiz.
"Menyingkir dari sana! Kau menghalangi jalanku!" Seru Reiz lagi, dia benar-benar kesal terhadap Rin yang hanya diam mematung di depan mobilnya. Rin tersadar, secepatnya dirinya menghampiri Reiz.
"Tuan, tolong saya. Ada orang yang mengejar saya, mereka mau melecehkan saya..." Rin mengatupkan tangannya di depan Reiz, dia tidak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa.
Dan anehnya dia merasa kalau laki-laki di hadapannya adalah orang baik, sehingga dirinya berani meminta pertolongan pada laki-laki itu.
Reiz menatap aneh pada gadis itu, dia memperhatikan penampilan Rin yang memang berantakan. Bajunya nampak robek di beberapa bagian.
"Itu masalahmu, dan aku tidak peduli." Jawab Reiz dengan dinginnya. Reiz membuka pintu mobilnya, tapi Rin malah memegangi lengannya.
"Tuan, saya mohon..." Rin kembali memelas.
"Lepaskan tanganmu! Berani sekali kau menyentuhku!" Reiz menghempaskan Rin hingga gadis itu terjatuh, dia sangat tidak suka bila ada perempuan asing yang berani menyentuhnya.
"Aduh.... Sakit...." Lirih Rin.
"Tuan, anda kasar sekali..." Sambungnya, Rin masih jatuh terduduk di jalan.
Tapi Reiz tidak peduli, dia lebih memilih masuk ke dalam mobilnya.
Rin segera berdiri, dan seketika itu juga orang-orang yang tadi mengejarnya ternyata sudah ada di sampingnya. Dan membuatnya kembali terkejut.
"Nona, ayo ikut kami. Bos kami sudah menunggu anda." Ujar salah satu pria yang tadi mengejarnya.
"Aku tidak mau!" Tolak Rin. Sementara Reiz masih diam memperhatikan mereka dari dalam mobilnya.
"Nona, mohon kerja samanya. Jangan membuat Bos kami marah. Anda tentu tahu apa yang akan terjadi nanti kalau Bos kami sampai marah, bukan?" Ancam pria itu lagi.
"Aku tidak peduli, aku tidak pernah berurusan dengan Bos kalian. Aku mohon lepaskan aku..." Rin mencoba untuk memohon, ia tak akan rela jika harus kembali pada laki-laki yang hampir melecehkannya itu.
''Siapa Bos kalian?" Tanya Reiz, membuka kaca jendela mobilnya.
"Anda jangan ikut campur, Tuan!" Seru pria itu.
"Aku tanya, siapa Bos kalian?" Reiz kembali mengulang pertanyaannya.
"Tuan Edra William. Anda pasti tahu, siapa Tuan Edra William bukan?" Jawab lelaki itu dengan sombongnya.
Edra William adalah salah satu pengusaha berpengaruh di negara itu, dan namanya sudah cukup terkenal. Sementara Reiz hanya tersenyum sinis mendengar nama yang tidak asing baginya.
"Bilang pada Bos mu itu, kalau sekarang gadis ini sudah menjadi milikku." Ucap Reiz dengan tatapan tajamnya.
"Siapa kau? Berani sekali memerintah kami?!" Hardik pria itu.
"Katakan saja pada Edra William, gadis ini sudah menjadi milik Reiz Anderson." Jawab Reiz dengan dinginnya, sedingin tatapannya. Seketika itu juga para lelaki itu melebarkan matanya.
"Anda Tuan Reiz Anderson?" Tanya salah satu dari mereka.
"Apa aku masih harus menjelaskan sesuatu yang sudah jelas?" Wajah Reiz terlihat kesal.
Para lelaki itu menelan saliva nya, jangan sampai mereka berurusan dengan seorang Reiz Anderson. Itu yang selalu di ucapkan oleh Bos mereka, Edra William.
"Hei kau! Masuklah kedalam mobilku." Ucapnya pada Rin yang sedari tadi diam menyimak percakapan mereka. Tanpa pikir panjang Rin masuk kedalam mobil Reiz, dan Reiz segera memacu kendaraannya meninggalkan hotel dan para lelaki tersebut.
**********
"Tuan, terima kasih sudah menolong saya..." Ucap Rin dengan senyum tulusnya. Sementara Reiz hanya diam saja, ia tidak mempedulikan Rin sama sekali dan lebih memilih fokus mengemudi.
Rin mengerucutkan bibirnya, tak apa kalau lelaki itu tak merespon ucapan terima kasihnya. Yang penting ia sudah selamat dari lelaki yang bernama Edra William.
Mobil yang dikendarai Reiz tiba-tiba berhenti di pinggir jalan yang lumayan gelap.
"Tuan, kenapa berhenti?" Tanya Rin. Tapi Reiz diam saja.
"Tuan kenapa berhenti di sini?" Tanya Rin lagi. Mendadak pikiran buruk melintas di pikirannya, apa jangan-jangan lelaki ini juga sama seperti Edra? Hendak melecehkannya juga? Bukankah itu artinya dirinya lolos dari kandang buaya tapi masuk ke kandang harimau.
Kali ini dirinya tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. Bagaimana kalau Reiz benar-benar akan melecehkannya di sini? Jalanan cukup sepi dan gelap, sama sekali tidak ada orang. Sangat mendukung sekali untuk berbuat yang tidak-tidak.
"Keluar dari mobilku. Aku tidak suka ada orang asing di dalam mobilku." Ucap Reiz datar tanpa melihat kearah Rin. Rin melebarkan matanya, apa dia tak salah dengar kalau lelaki ini mengusirnya?
"Maksud Tuan?" Rin ingin memastikan ucapan Reiz.
"Apa perkataanku kurang jelas? Aku menyuruhmu keluar dari mobilku!" Seru Reiz, mulut Rin menganga tak percaya, lelaki itu benar-benar mengusirnya.
"Tuan, kau tega sekali mau menurunkan ku di jalanan sepi seperti ini." Rin kembali mengiba. Ia benar-benar takut,
"Aku tidak peduli, keluar sekarang atau aku yang akan menyeret mu!" Tegas Reiz, menatap tajam pada Rin. Ia sama sekali tidak ingin berurusan dengan yang namanya wanita. Wanita hanyalah masalah baginya.
Rin terlonjak mendengar perkataan Reiz. Mau tak mau dia keluar dari mobil Reiz, begitu Rin keluar Reiz langsung memacu mobilnya kembali membelah jalanan yang sepi dan gelap.
Mata Rin berkaca-kaca, kenapa dirinya sial sekali. Sudah di jual oleh ayah tirinya, hampir dilecehkan, dan sekarang ketika ada orang yang menolongnya orang tersebut benar-benar kejam. Dengan teganya menurunkan dirinya di jalanan seperti ini.
Rin menangis tersedu, baru kali ini dia perlakukan seperti ini oleh seorang pria. Dulu sang ayah tiri selalu bersikap baik padanya, walaupun semua itu ternyata hanya pura-pura.
Rin melangkah dengan gontai, dirinya tak tahu lagi harus pergi kemana. Pulang ke rumah? Tidak mungkin, yang ada nanti dia akan jual lagi oleh ayah tirinya.
Pergi ke luar kota juga tidak mungkin, dia bahkan tak mempunyai uang sepeser pun. Air mata Rin terus mengalir, di tambah dinginnya malam, sungguh sempurna sekali penderitaan Rin.
Bajunya yang minimalis dan robek di beberapa bagian membuatnya tubuhnya bertambah dingin. Untung saja tidak turun hujan, kalau sampai turun hujan Rin pasti sudah pingsan karena kedinginan.
"Apa salahku, Tuhan...? Kenapa hidupku jadi begini...?" Lirih Rin. Dia terus saja berjalan tanpa arah menyusuri gelapnya malam.
"Apa salahku, Tuhan...? Kenapa hidupku jadi begini...?" Lirih Rin. Dia terus saja berjalan tanpa arah menyusuri gelapnya malam.
Langkahnya mendadak terhenti ketika dirinya melihat beberapa orang yang tampak seperti preman berdiri hadapannya. Rin menelan saliva nya, apalagi yang akan terjadi pada dirinya.
"Hei cantik.... sedang apa sendirian di sini?" Tanya salah satu dari mereka. Rin diam saja, dia merasa sangat takut sekarang.
"Nona, bagaimana kalau kau ikut kami saja? Kita bersenang-senang bersama?" Goda lelaki itu lagi dengan seringai mesumnya, membuat Rin bergidik ketakutan.
"Tuan, tolong jangan ganggu saya. Biarkan saya pergi..." Rin mengatupkan tangannya seiring dengan kakinya yang melangkah mundur.
"Kenapa mundur Nona? Kemari lah ikut kami, kita bersenang-senang." Ketiga lelaki itu terus maju mendekati Rin, Rin semakin ketakutan, ia memutar langkahnya dan berlari secepat mungkin. Dan ternyata para preman itu malah ikut mengejarnya.
"Ya Tuhan... Tolong aku... Aku tidak ingin di lecehkan lagi... " Rin tak hentinya merapalkan doa sambil terus berlari. Rin menoleh ke belakang ternyata para preman itu sudah semakin dekat.
"Tuan Reiz... Ku mohon kembalilah...." Rin semakin ketakutan, hanya nama Reiz yang ada di pikirannya. Berharap Reiz akan datang kembali dan menolongnya lagi. Tiba di tikungan jalan tubuh Rin terjingkat kaget karena menabrak seseorang.
"Jangan apa-apakan saya... Saya mohon...." Rin yang ketakutan menutup wajahnya sambil berjongkok, tanpa melihat siapa yang ditabraknya.
"Hei kau...! Serahkan dia pada kami!" Ketiga preman itu sudah ada berdiri tak jauh dari mereka.
"Dia milikku!"
Rin menurunkan tangannya mendengar suara yang sepertinya tak asing baginya. Matanya berbinar melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Ia segera bangkit mendekati lelaki itu.
"Tuan Reiz...?" Lirihnya. Antara percaya dan tidak, pria itu datang kembali untuk menolongnya. Reiz menarik lengannya, menyembunyikan tubuh Rin di balik punggungnya.
"Jangan ikut campur urusan kami, Tuan. Sebaiknya segera berikan gadis itu pada kami!" Seru preman itu lagi.
"Bukankah sudah ku katakan kalau dia milikku?" Suara Reiz terdengar begitu dingin. Dan nampaknya para preman itu tidak terima dengan ucapannya.
"Kau menantang kami rupanya." Salah satu dari mereka maju dan mulai menyerang Reiz. Tentu saja Reiz tak tinggal diam, tak akan ia biarkan para preman itu melukainya walaupun sedikit saja.
Dengan cepat Reiz mengunci tangan dan melayangkan pukulan juga tendangannya hingga membuat preman itu terjatuh tak sadarkan diri. Melihat temannya yang begitu cepat di kalahkan, kedua preman lainnya segera kabur meninggalkan mereka begitu saja.
Reiz membalikkan tubuhnya, di tatapnya Rin yang masih terlihat gemetar sambil memeluk tubuhnya sendiri. Reiz melepaskan jas yang dipakainya, ia melangkah mendekati Rin. Segera ia memakaikan jasnya pada Rin, membuat Rin menatapnya dengan mata berkaca-kaca,
"Tuan, terima..." Belum sempat Rin melanjutkan perkataannya, Reiz sudah lebih dulu memotongnya.
"Cepat masuk ke dalam mobilku." Ujar Reiz sambil melangkah menuju mobil yang terparkir tak jauh dari sana.
Rin tersenyum menatap punggung Reiz, walaupun pria itu terkesan dingin tapi ia adalah pria yang baik. Terbukti sudah dua kali Reiz menolongnya, padahal mereka baru bertemu malam ini dan tidak saling mengenal.
"Apa kau mau aku tinggal lagi?!" Suara Reiz menyadarkan Rin dari lamunannya. Ia melihat Reiz sudah berdiri di samping mobilnya.
"Tunggu aku, Tuan..." Rin berlari kecil menghampiri Reiz. Segera ia masuk ke dalam mobil Reiz. Selama perjalanan keduanya membisu, Rin ingin menanyakan kenapa Reiz kembali lagi, tapi diurungkan karena takut akan di turunkan lagi di jalanan seperti tadi.
**********
Begitu mobil yang mereka kendarai sampai di sebuah apartemen, Reiz memintanya untuk turun. Rin berjalan di belakang Reiz, dalam hatinya bertanya-tanya kemana Reiz akan membawanya. Tapi Rin percaya, kalau Reiz tidak akan berbuat yang tidak-tidak padanya. Apalagi tampilannya yang memang sudah berantakan, ia yakin Reiz tak akan tertarik padanya.
"Tuan Reiz Anderson, selamat malam. Anda sudah kembali dari luar kota?" Sapa seorang satpam begitu melihat Reiz.
"Iya pak, saya sudah kembali siang tadi. Tapi saya tinggal di hotel dulu karena ada meeting." Jawab Reiz. Satpam mengangguk mendengar jawaban Reiz, kini pandangan beralih pada seorang gadis di belakang Reiz.
"Siapa Nona ini, Tuan? Apakah teman atau kekasih Tuan?" Tanyanya heran, karena selama ini Reiz tak pernah membawa siapapun ke apartemennya kecuali keluarganya.
Reiz mengalihkan pandangannya pada Rin.
"Dia... Bukan siapa-siapa, jangan di hiraukan." Jawabnya. Rin melebarkan matanya mendengar jawaban datar Reiz, ia memang bukan siapa-siapa lelaki itu. Tapi tak bisakah Reiz menyebutnya sebagai teman, setidaknya itu lebih baik daripada sekarang ia harus menerima tatapan aneh dari satpam itu.
"Nama saya Rinata Andara, Pak. Saya tadi kebetulan bertemu dengan Tuan Reiz di jalan. Lalu Tuan Reiz membawa saya kemari." Rin mencoba menjelaskan agar ia tak mendapat tatapan aneh itu lagi.
Tapi justru sekarang sang satpam malah menatapnya curiga. Satpam itu pasti berpikir ia bukan wanita baik-baik di lihat dari pakaiannya yang masih terlihat lumayan minimalis walaupun sudah tertutup jas Reiz, karena ayah tirinya tadi yang memintanya memakai pakaian itu, tapi ia tidak merasa curiga sama sekali, apalagi berfikir ayah tirinya mau menjualnya. Dan tadi ia bilang bertemu Reiz di jalan, pasti membuat satpam itu semakin curiga.
"Saya wanita baik-baik, Pak. Jangan memandang saya seperti itu." Ujar Rin datar.
"Maaf Nona, saya hanya heran saja karena Tuan Reiz tidak pernah membawa orang lain kemari selain keluarganya." Satpam itu merasa tak enak.
"Kalau begitu kami permisi, Pak." Reiz menutup percakapan yang baginya tak penting itu.
"Oh iya... Silahkan Tuan Reiz dan Nona..." Ucapan satpam itu terputus.
"Rinata, Pak..." Sambung Rin.
"Ya Nona Rinata... Selamat malam."
Rin terus mengikuti langkah Reiz. Rin mengerjapkan matanya begitu masuk ke dalam apartemen Reiz. Ia begitu terpana, sebuah apartemen yang sangat luas dan bersih. Barang-barangnya pun tertata dengan sangat rapi. Bisa di pastikan jika lelaki ini adalah pecinta kebersihan dan kerapihan.
"Malam ini kau bisa tidur di sini, dan aku berharap secepatnya kau bisa keluar dari tempatku." Ujar Reiz sambil membuka pintu kamar tamu.
"Kau bisa memakai salah satu pakaian yang ada di lemari itu, tapi ingat jangan lancang untuk menyentuh apapun." Sambung Reiz.
"Apa pakaian yang ada di lemari itu milik istri Tuan?" Bukannya menjawab, Reiz malah menatap tajam pada Rin, membuat Rin menelan saliva nya.
"Jangan menatapku seperti itu, aku kan cuma bertanya." Rin memperlihatkan senyum bodohnya.
"Jangan sok akrab dan bertanya seolah kita ini saling mengenal." Jawab Reiz dengan datarnya.
"Tapi bukankah kita sudah saling kenal, aku tau nama Tuan dan Tuan juga pasti sudah tau namaku ketika aku menyebutkannya di depan satpam tadi bukan?" Sahut Rin.
Reiz memutar bola matanya, ia sungguh malas berurusan dengan yang namanya wanita.
"Terserah." Reiz memilih pergi dari kamar itu daripada terus berbicara dengan Rin. Reiz menuju kamarnya, ia merasa sangat lelah sekali.
Tadi siang ia baru kembali dari luar kota setelah selesai mengurus masalah cabang perusahaannya, kemudian sore hingga malam ada meeting di hotel, di tambah lagi dengan pertemuannya dengan Rin. Benar-benar hari yang sangat melelahkan.
Rin menatap punggung Reiz yang menghilang di balik pintu kemudian tersenyum. Setidaknya ia punya tempat yang layak untuk tidur malam ini.
Di bukanya lemari yang tadi di tunjukan Reiz, di dalamnya terdapat beberapa stel piyama wanita. Dalam hati Rin bertanya-tanya siapa pemilik piyama itu? Pasti milik keluarga Reiz. Bukankah tadi satpam di sana bilang, kalau Reiz tak pernah membawa siapapun ke apartemennya selain keluarganya?
*****
Reiz merebahkan dirinya di tempat tidur setelah selesai membersihkan tubuhnya, kini ia sudah sangat siap untuk istirahat. Baru saja ia memejamkan matanya, tiba-tiba ponselnya berdering. Reiz berdecak, siapa lagi yang mengganggunya di tengah malam begini. Dan kenapa juga ia lupa mematikan ponselnya.
Diraihnya ponsel di atas nakas, Reiz menarik napas berat begitu tau siapa yang menghubungi di tengah malam seperti ini. Siapa lagi kalau bukan sang bos, seseorang yang sangat menyebalkan yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri begitupun sebaliknya.
Dengan malas ia mengangkat panggilan itu.
"Jadi siapa perempuan itu?" Tanya Tomi begitu panggilannya terhubung, membuat Reiz memijat keningnya. Entah kenapa bos nya yang satu itu selalu tahu apapun tentangnya.
"Tuan menelepon ku malam-malam hanya untuk menanyakan hal yang tidak penting seperti ini?" Reiz malah balik bertanya.
"Jangan panggil aku Tuan. Hei.... Ayolah, ini pertama kalinya kau membawa seorang wanita ke apartemen mu." Ujar Tomi lagi. Ia benar-benar penasaran tentang wanita yang di bawa asistennya itu.
"Bukankah Nona Tania juga sudah sering datang ke apartemen ku, Tuan?" Reiz malah balik bertanya lagi.
"Istriku memang sering ke tempat mu, tapi selalu bersamaku." Ucap Tomi tak mau kalah.
"Tuan seharusnya sudah tau siapa perempuan itu." Entah kenapa mood Reiz selalu buruk jika membahas perempuan dengan Tomi.
"Aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Tomi masih berusaha mencari tahu.
"Sebaiknya Tuan lanjutkan bulan madu Tuan dengan Nona Tania." Reiz menutup telponnya.
"Hei Reiz... Ck, di putus lagi." Tomi menatap ponselnya, tiba-tiba ia tersenyum miring. Kali ini dia tidak akan membiarkan sang asisten begitu saja.
Reiz mematikan ponselnya, jangan sampai Tomi mengganggunya lagi. Sambil menggerutu dalam hati, bagaimana bisa sang bos yang sedang berbulan madu tahu tentangnya yang membawa Rin ke apartemennya. Reiz meletakkan kembali benda pipih itu ke atas nakas.
Reiz merebahkan kembali tubuhnya, ditatapnya langit-langit kamar yang putih bersih. Rasa kantuknya mendadak hilang. Teringat kejadian beberapa waktu yang lalu, saat ia menurunkan Rin di jalanan. Setelah meninggalkan Rin dan berniat pulang, ia malah memikirkan bagaimana nasib Rin, dan bayang-bayang Rin seakan tak mau pergi dari pikirannya. Mencoba untuk melupakan, yang ada Reiz malah semakin kepikiran.
Bagaimana kalau sampai ada yang melecehkan Rin lagi? Bukankah itu salahnya karena telah menurunkan perempuan itu di jalanan yang sepi dan gelap. Tak mau kepikiran akhirnya Reiz memutuskan untuk kembali ke tempat di mana ia meninggalkan Rin.
Dan benar saja, ketika sampai di sana ia mendengar suara perempuan meminta tolong, dan melihat Rin sedang berlari menghindari kejaran para preman.
**********
Seorang pria nampak duduk di sebuah kursi sambil menatap tajam pada orang-orang yang tengah berdiri di hadapannya.
"Mana gadis itu?" Tanyanya.
"Maaf Tuan Edra, Nona Rinata berhasil melarikan diri." Salah satu dari mereka memberanikan diri untuk menjawab.
"Melarikan diri? Bagaimana bisa?! Kalian ini benar-benar tak berguna! Menangkap seorang gadis saja tidak bisa!" Bentak Edra.
"Kalian tahu kan, gadis itu di serahkan Albert Rivers padaku sebagai penebus hutangnya. Dan sekarang gadis itu malah melarikan diri!" Bentak Edra lagi.
"Maaf Tuan, tapi..."
"Tapi apa?!" Edra bangun dari duduknya, amarah terlihat jelas di wajahnya.
"Tapi tadi kami bertemu dengan Tuan Reiz Anderson."
"Reiz Anderson?" Edra menautkan kedua alisnya, ia duduk kembali di kursinya.
"Iya Tuan. Dan Tuan Reiz bilang, kalau Nona Rinata sudah menjadi miliknya." Jelas pria itu lagi.
Edra tersentak mendengar jawaban anak buahnya, amarahnya hilang seketika.
"Pergilah." Ujar Edra setelah beberapa menit terdiam. Kelima pria itu pun pergi meninggalkan ruangan itu.
"Reiz Anderson? Sudah lama aku tak melihatnya." Edra menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
"Bagaimana kabarnya sekarang?" Mata Edra terlihat menerawang mengingat sosok Reiz yang tak asing baginya. Mendadak wajahnya terlihat sedih mengingat kejadian belasan tahun yang lalu.
**********
Pagi menjelang.
Rin terbangun dari tidurnya. Badannya terasa segar, tempat tidur di apartemen Reiz sangat nyaman membuatnya tidur dengan nyenyak semalam. Setelah selesai membersihkan tubuhnya, Rin memutuskan untuk membuat sarapan.
"Dimana dapurnya ya?" Sambil berjalan mata Rin meneliti setiap ruangan.
"Nah itu dia..." Sorak Rin begitu berhasil menemukan dapur. Segera ia mencari sesuatu yang bisa dimasak untuk sarapan.
"Kenapa tidak ada bahan makanan di sini?" Rin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, setelah tidak menemukan bahan makanan apapun, yang ada hanya air mineral di lemari es yang besar itu.
"Sedang apa kau di sini?" Rin terjingkat kaget saat mendengar suara datar di belakangnya. Ia menoleh, tampak Reiz berdiri di sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!