NovelToon NovelToon

New Witches

Episode 1: Ruang Rahasia di Rumah Nenek

Namaku Sarah, usiaku 21 tahun. Ketika berusia 12 tahun, aku berpikir bahwa patung-patung dan lukisan-lukisan di rumah nenek dapat berbicara dan bergerak. Saat itu, liburan tengah tahun 2010 untuk pertama kalinya ayah dan ibu membawaku ke rumah nenek.

Nenek tinggal di desa Rejo di dekat kaki gunung Gedi. Jalan menuju ke rumah nenek hanya dapat dilalui denganm satu mobil. Pohon-pohon jati berdiri kokoh di sepanjang jalan, bagaikan prajurit yang berbaris. Pohon yang kayunya digunakan sebagai bahan baku perabotan rumah karena seratnya yang bagus ini, kata ayah, sudah tumbuh kurang lebih 100 tahun sejak negara ini masih di jajah bangsa asing.

Saat kami sampai, kulihat seorang wanita kurang lebih berusia 60 tahun yang kuprediksi sebagai nenekku sedang duduk di kursi kayu yang terletak di halaman rumah. Ia tampak menunggu kedatangan kami.

Setelah kami turun dari mobil, nenek beranjak menghampiri ayah dan ibu lalu, memeluk mereka secara bergantian. Sesaat setelahnya, nenek berpaling kearahku sambil tersenyum lalu memelukku erat. Nenek melepaskan pelukkannya dan menatapku lekat.

“Cucuku kau terlihat sepertiku ketika muda.”

“Benarkah? Apakah nenek terlihat cantik ketika muda?” tanyaku antusias.

“Tentu saja! Banyak sekali pemuda yang mengejarku ketika masih muda,” sahut nenek sambil tertawa.

Tak lama setelah kami bercengkrama secara singkat, sebuah mobil jip memasuki halaman rumah nenek. Seorang lelaki paruh baya dengan istri dan anak perempuannya keluar dari dalam mobil.  Ia adalah paman Hadi, adik ayah. Istrinya bernama tante Salma dan anaknya bernama Dinar yang berusia satu tahun lebih muda dari padaku. Aku sudah pernah bertemu paman Hadi dan keluarganya ketika berusia 7 tahun.

"Lihatlah! Keponakkanku, kau sudah besar rupanya," sapa paman Hadi sambil mengacak rambutku.

****

Selama tinggal di rumah nenek aku dan Dinar tidur di kamar yang sama. Kamar itu merupakan kamar bekas mediang kakekku. Kamar ini hanya berukuran sekitar 3x4 meter.  Terdapat satu ranjang tempat tidur yang cukup untuk dua orang anak kecil berusia 12 dan 11 tahun. Tepat di samping kaki tempat tidur terdapat lemari berukuran 2 meter dengan kaca berbentuk oval di pintu depannya. Tepat di samping kepala tempat tidur berhadapan dengan lemari, terdapat jendela kayu berukuran 1x0,5 meter, jendela itu di pagar menggunakan kayu. Tepat di samping jendela terdapat meja kayu kecil yang terlihat tidak kalah tua dengan perabotan lain di kamar ini. Dinar sudah jatuh tertidur lebih dulu karena kelelahan setelah perjalanan jauh.  aku yang baru memasuki kamar segera ikut berbaring di sampingnya hingga terlelap tidur.

“Sarah.” Aku membuka mata perlahan saat seseseorang berbisik di telingaku sambil menyentuh pundakku. Aku yang masih mengantuk menyipitkan mata melihat dinar berdiri di samping tempat tidur.

“Kenapa?” tanyaku, aku masih sangat mengantuk. Ini sudah lewat tengah malam, tidak bisakah ia membaca jam?

“Temanin aku ke WC,” ujar Dinar degan wajah memohon.

“Baiklah, ayo!”

Aku menunggu Dinar di depan pintu WC hingga ia menyelesaikan buang air kecilnya. WC dan kamar mandi nenek terletak di bagian belakang rumah, tepatnya di belakang dapur dan ruang makan. Lampu di ruangan ini redup seperti sudah lama belum di ganti, mungkin karena nenek tinggal seorang diri sehingga merasa tidak perlu mengganti lampu. Beberapa kali ayah ataupun paman menganjak nenek untuk tinggal berama, tapi nenek selalu menolak dengan alasan tidak mau meninggalkan rumah tuanya. Setelah menunggu 5 menit, tak lama pintu kamar mandi terbuka. Aku dan Dinarpun segera kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur kami yang terganggu akibat panggilan alam yang tidak bisa di tunda ini.

Kami berjalan melewati dapur dan ruang makan yang digabung menjadi satu. Di atas meja makan terdapat lukisan pinggir pantai dengan pohon kelapa.

“Sarah, lihat!” seru Dinar sambil menghentikan langkahnya di belakangku.

“Ada apa?” ujarku malas tanpa menoleh kebelakang.

“Pohon kelapa itu bergerak.”

"Sedang bicara apa dia," pikirku.

“Tidak ada pohon kelapa di dalam rumah, Dinar.”

“Bukan di dalam rumah, tapi di dalam lukisan. Lihat itu!” Dinar menunjuk ke arah lukisan di atas meja makan.

Aku mengalihkan pandangan ke arah lukisan yang ditunjuk Dinar. Bukan main, pohon kelapa itu benar-benar bergerak seakan-akan tertiup angin. Kami mendekat kearah lukisan sambil menyipitkan mata mengamati lebih dekat lukisan tersebut, lalu menggosok-gosok mata kami untuk memastikan bahwa apa yang kami lihat adalah nyata.

"Sarah, cubit aku!"

"Aaaww!" Dinar berteriak tertahan setelah aku mencubit lengannya.

"Bukan salahku, kamu yang meminta," aku membela diri tanpa diminta.

"Sakit tau," Dinar menggosok-gosok lengannya.

"Salahmu sendiri!" aku menggerutu.

Dinar berhenti menggosok lengannya sejenak. "Lihat! pohonnya sudah tidak bergerak lagi."

Kami kembali memfokuskan perhatian kami ke depan lukisan di hadapan kami. Keningku masih berkerut saat tiba-tiba kami dikagetkan dengan keluarnya seekor burung dari dalam lukisan. Keluarnya burung kecil berwarna coklat secara tiba-tiba tersebut, membuatku mundur selangkah. Masih dengan rasa tidak percaya, burung itu terbang mendekati kami lalu pergi meninggalkan ruangan. Sebelum pergi burung tersebut sempat berhenti di hadapan kami selama sepersekian detik, seolah-olah berharap agar kami mengikutinya.

“Ayo, kita ikuti dia,” ajak Dinar.

Kami lalu setengah berlari mengikuti burung tersebut. Kami melewati ruang keluarga menuju lorong kearah ruangan dengan pintu setinggi 2 meter. Pintunya sedikit terbuka sehingga burung tadi dapat masuk melewati celah pintu. Aku mengenggam pergelangan tangan Dinar yang hendak pergi menyusul burung tadi masuk.

“Kita tidak diizinkan masuk ke sana,” bisikku ke arah Dinar takut apabila suara kami lebih nyaring sedikit saja, dapat membangunkan seisi rumah.

“Tidak apa-apa, toh para orang tua sedang tidur.”

Aku hanya memandangi wajah Dinar sambil masih memegang pergelangan tangannya.

“Sebentar saja, kita akan kembali sebelum para orang tua terbangun. Kau tidak penasaran apa yang ada di dalam sana? Bisa jadi lebih menakjubkan daripada burung yang keluar dari lukisan.”

“Oke, sebentar saja. Kita akan kembali ke kamar sebelum para orang tua terbangun.”

Kami berjalan menuju pintu misterius tadi. Dinar mengintip kedalam ruangan. Aku yang berada di belakangnya bertanya penasaran, “Bagaimana?”

“Gelap, tidak ada yang terlihat. Kita harus masuk kedalam mencari sakelar.” Dinarpun membuka pintu dan kami memasuki ruangan tersebut secara bersamaan. Seketika kami masuk saat itu pula lampu menyala. Terdengar suara bisik-bisik segerombolan gadis.

“Mereka benar-benar mirip.”

“Sangat mirip.”

“Aku seperti sedang nostalgia.”

Kami menoleh ke asal suara yang berada di belakang kami. Terdapat lukisan di 4 orang gadis berusia 18an tahun di pinggir sumur dengan membawa baskom berisi pakaian. Gadis-gadis di dalam lukisan itu bukan hanya dapat berbicara, tetapi juga bergerak.

“Hei, mereka melihat kita,” ujar seorang gadis berambut pendek. Dengan gaun berwarna hijau.

“Apa kalian bisa berbicara?” tanya dinar penasaran.

“Ya, semua di ruangan ini hidup,” jawab gadis berbaju putih dengan rok berwarna biru langit. Gadis itu berambut panjang yang dia ikat seperti ekor kuda. Aku dan dinar mengedarkan pandangan keseluruh ruangan setelah gadis ekor kuda menjawab pertanyaan dinar. Dan benar saja patung kuda di sudut ruangan bergerak kearah kami.

“Hai penjaga.”

Patung kuda itu berbicara! Tak hanya itu, dua patung kurcaci di atas lemari ikut melompat turun.

“Selamat datang penjaga.”

“Kami bukan penjaga,” sahutku yang masih mencerna keadaan.

“Kalian ditakdirkan menjadi penjaga, anak muda,” sahut seorang kakek tua yang berada di dalam lukisan yang terletak di bawah patung naga yang sekarang sudah terbang mengelilingi rungan. Di dalam lukisan kakek tua itu bersama istrinya sedang berada di meja makan. sang naga berhenti di hadapan kami. Lalu kembali berputar putar di sekitar kami.

“Senang bertemu kalian,” kata salah satu kurcaci bertopi.

“Hai, namaku Dinar dan dia Sarah sepupuku,” ujar dinar sambil melambaikan tangan kaku.

“Tentu saja kami sudah tau,” sahut salah satu gadis bergaun kuning yang berada di dalam lukisan sumur.

“Benarkah?” tanyaku.

“Ya, nenekmu sudah bercerita,” jawab nenek dalam lukisan ruang makan.

“Dengar, sebentar lagi malam segera habis. Para orang tua akan segera bangun. Kami tidak boleh didapati menyelinap ke ruangan ini,” seru Dinar sambil setengah berbisik.

“Ya, kami harus pergi. Bolehkah besok kami datang kembali?” tanyaku.

“Tentu saja, kalian di terima di sini,” sahut para patung kurcaci.

Kamipun kembali ke kamar sebelum para orang tua terbagun. Aku memandangi langit-langit di atas tempat tidur sambil mencerna kejadian yang baru saja terjadi hingga jatuh terlelap. Keesokkan harinya kami mendapati bahwa kejadian malam itu tidaklah nyata. Entahlah, semua terasa nyata. aku bahkan tidak bisa membedakan mana yang lebih nyata, pikiranku atau benda mati di hadapanku.

Episode 2: Kembali ke Rumah Nenek

9 tahun kemudian

Setelah 9 tahun tidak bertemu langsung dengan Dinar, akhirnya aku bertemu lagi dengannya setelah sekian lama. Hari itu aku sedang berada di perpustakaan mencari bahan untuk tugas kuliahku.

"Ini, silahkan kunci lokernya," ucap laki-laki paruh baya yang merupakan petugas perpustakaan, dari wajahnya kuperkirakan kurang lebih berusia empat puluh lima tahun.

"Baik, pak." Aku tersenyum kepada petugas perpustakaan yang ternyata bernama Ucup, terlihat dari tag nama yag terpasang di seragamnya. Setelah menerima kunci loker aku lalu menyerahkan kartu identitasku sebagai jaminan peminjaman kunci loker.

Aku sedang memasukkan tasku kedalam loker ketika terdapat panggilan dari nomor tak dikenal di layar ponselku, yang untungnya selalu kuatur dalam mode getar. Aku hanya menatap layar ponselku hingga berhenti bergetar lalu memasukkannya ke saku belakang celana jinsku. Belum sempat aku melangkah meninggalkan loker, ponselku bergetar lagi. Masih degan nomor tak dikenal yang sama. Kutolak panggilan tersebut tanpa pikir panjang. Belum sempat aku mematikan ponselku, panggilan dari nomor yang tak dikenal itu masuk lagi. Sepertinya si penelpon tidak akan menyerah hingga aku menjawab panggilannya.

"Baiklah aku menyerah," batinku sembari menyetuh tombol hijau di layar ponselku.

Belum sempat aku menempelkan ponsel ke telinga secara sempurna, terdengar seruan nyaring seorang perempuan yang tak lain berasal dari ponselku.

"HEI! BERANI SEKALI KAU MENOLAK PANGGILANKU!"

Aku menjauhkan ponsel sejenak dari telingaku, lalu menempelkannya kembali, "ini sia-"

"Dimana kamu sekarang?"

"Ini siapa?"

"Astaga! jadi selama ini kau tidak menyimpan nomorku?" tanyanya bingung.

"Hei! seharusnya aku yang lebih pantas bingung di sini!" pikirku.

"TIDAK! bagaimana mungkin aku menyimpan nomor orang tak dikenal," jawabku malas

"Oh, jadi kau sudah tidak mengenal saudara sepupumu lagi?"

"Saudara sepupu?"

"Ini Dinar, Sarah! Kamu lupa?"

"Oh."

"Cuma oh?"

"Aku tidak menyimpan nomormu karena kau berganti nomor ponsel dan juga aku tidak mengenali suaramu karena sudah lima tahun sejak terakhir kali kita berbicara lewat telpon. Setidaknya kau harus memberitahuku terlebih dahulu kalau ini adalah nomor barumu," aku membela diri tanpa diminta.

"Aku sudah memberitahumu lewat pesan teks tadi pagi!"

Aku menjauhkan ponsel dari telinga dan membuka riwayat pesan masuk. Benar, dia mengirimiku pesan dan belum kubuka sejak tadi pagi.

"Maaf aku baru saja memeriksa pesan masuk."

"Kamu dimana? Kata tante tadi, kamu pergi keperpustakaan kota. Aku ada di perpustakaan kota sekarang, kamu dimana?" tanya Dinar tanpa memperdulikan permintaan maafku.

"Aku di ruangan loker sekarang."

"Tunggu disana!" perintahnya sebelum panggilan diakhiri.

***

"Jadi kau pindah ke kota ini?" tanyaku kepada dinar sambil menelusuri rak buku di depanku. Rambutnya sekarang lebih panjang dari yang kuingat sebelumnya. Badannya masih lebih tinggi beberapa centi dariku hal selalu membuatku iri sejak kecil.

"Iya, ayah memutuskan menetap di kota ini. Ah, aku juga berkuliah di universitas yang sama denganmu," jawabnya sambil mengekor dibelakangku.

"Kamu tidak merasa kesulitan karena pindah kuliah?

"Pindah kuliah?" Dinar menaikkan satu alisnya heran.

"Aku mahasiswi baru," lanjutnya sbagai penjelasan.

"Kupikir, kau langsung berkuliah setelah tamat SMA. Jadi, apa yang kau lakukan setelah tamat SMA?" tanyaku sambil membawa buku yang kucari sejak tadi ke meja baca di sudut ruangan.

"Bermain," kata Dinar sambil tertawa kecil dan duduk di sebrangku.

"Enggak heran sih, kalau kamu yang ngomong begitu," jawabku asal sambil membuka laptopku untuk mulai mengerjakan tugas kuliahku.

"Ngomong-ngomong, Sarah. kapan terakhir kali kamu ke rumah nenek?"

"Satu bulan atau tiga minggu lalu, jika aku tidak salah ingat. Kota ini tidak jauh dari kota tempat nenek tinggal jadi, aku cukup sering ke sana."

"Ayo kita kesana akhir pekan ini!"

"Tiba-tiba?" tanyaku spontan sambil mengalihkan pandangan dari layar laptop.

"Sudah 9 tahun sejak terakhir kali aku ke rumah nenek."

"Kamu belum pergi ke sana dengan paman dan tante sejak pindah ke kota ini?"

"Belum, baru dua hari sejak kami pindah dan mereka masih sibuk mengurus banyak hal."

"Baiklah, ayo kita pergi ke sana. Nenek pasti sangat senang bertemu denganmu," ujarku sambil menaikkan bahu lalu mengangguk setuju.

***

Aku dan Dinar pergi ke rumah nenek hanya berdua tanpa ayah dan ibu serta paman dan tante. Keempatnya sedang sibuk dengan pekerjaan mereka. Kami pergi ke rumah nenek pada siang hari menjelang sore. Kira-kira kita akan sampai di sana ketika matahari akan terbenam.

Karena kota tempat nenek tinggal tidak jauh dari tempat kami tinggal, aku dan Dinar pergi ke rumah nenek menggunakan sepeda motor. Jalanan menuju rumah nenek masih seperti dulu, seperti tidak ada yang berubah. Pepohonan masih menyambut setiap orang yang melewati jalanan terebut. Rumah-rumah di desa tepat nenek tinggal jugalah masih terlihat sepi, bahkan terkesan semakin berkurang jumlahnya sejak sepuluh tahun lalu. Kata nenek, penduduk desa ini yang berusia muda kebanyakan pergi ke kota lain untuk mengadu nasib. Sedangkan, orang-orang yang lebih tua satu-persatu mulai meninggalkan dunia. Sehingga penduduk desa ini lambat laun semakin berkurang. Walaupun, ada sebagian anak muda yang masih menetap di desa, demi membangun desa ini.

Akhirnya, kami sampai ke kediaman nenek. Nenek tampak sumringah menunggu kedatangan kami di depan rumahnya. Sebelumnya, aku memang sudah mengabari nenek lewat telepon. Nenek memang seperti itu, ketika ada keluarga yang mengabarinya akan berkunjung, ia akan menunggu di depan rumah hingga orang yang akan berkunjung sampai ke rumahnya.

"Ne..neeekkk," Dinar langsung berlari ke arah nenek dan memeluknya sesaat setelah aku memarkir sepeda motor di halaman rumah nenek.

"Cucu nenek sudah besar sekarang," kata nenek bahagia melihat Dinar.

Aku berjalan menghampiri nenek dan dinar sambil tersenyum. nenek yang sudah melepaskan pelukkanya dari Dinar bergantian memelukku.

"Eh, sudah pada datang. Ayo masuk dulu, istirahat. Tante sudah masak banyak," terdengar suara hangat seorang wanita paruh baya dari ambang pintu. Itu merupakan suara tante Dwi, dia merupakan orang yang menemani nenek tinggal di rumah tuanya semenjak delapan tahun yang lalu. Sebenarnya tante Dwi masih merupakan kerabat jauh. Ia adalah keponakkan nenek. Suaminya meninggal muda sebelum mereka memiliki anak, sehingga tante Dwi sekarang tinggal seorang diri. Karena masih kerabat, tante Dwi menolak diberi bayaran untuk menemani nenek. Ayah dan paman yang merasa tidak enak akhirnya hanya mengirim uang belanja bulanan dan beberapa uang untuk kebutuhan mendadak.

****

Setelah makan malam dan mandi, aku dan Dinar pergi ke kamar untuk beristirahat. Kami pergi ke kamar yang biasa kami tempati ketika tinggal di rumah nenek. Ketika sedang berganti pakaian, tante Dwi masuk membawa selimut.

"Nenekmu sebelumnya sering ke kamar ini. Sepertinya ia kangen sama kalian," kata tante Dwi sambil membawa selimut.

"Ini tante bawain selimut. Nanti, kalau ada butuh apa-apa ke kamar tante aja ya," lanjut tante Dwi.

"Iya tante, makasih," "Makasih, tan" ucapku dan Dinar berbarengan.

Tante Dwi mengangguk dan tersenyum lalu meninggalkan kamar kami.

Aku sudah bersiap-siap tidur ketika Dinar berkata. "Eh, Rah. Ingat gak dulu, kita ngelihat lukisan patung dan lain-lain di rumah nenek ini hidup," katanya sambil menyusul berbaring di sampingku. Aku yang sudah hendak memejamkan mata, mengurungkan niatku. Akupun menatap langit-langit mengingat kejadian malam sembilan tahun yang lalu.

"Tapi, itu semua mimpikan?" tanyaku

"Kalau semua itu mimpi, kenapa kita bisa memiliki mimpi yang sama persis?" Dinar balas bertanya.

"Buktinya, esok siang kita ke ruangan itu tidak terjadi apa-apa. Semuanya normal. Tidak ada yang hidup. Lagi pula, gak masuk akal aja lukisan patung dan benda mati lainnya bisa hidup," ujarku mengahiri obrolan kami sebelum aku jatuh terlelap.

****

(Sembilan tahun yang lalu)

Saat makan siang.

"Ayah, aku semalam sama sarah ngelihat ada burung keluar dari lukisan itu," kata Dinar kepada ayahnya sambil menunjuk lukisan di ruang makan itu.

"Kamu ada-ada aja," jawab paman tidak begitu menanggapi. Akan tetapi, aku melihat wajah nenek sekilas terlihat tegang. ia lalu tertawa menanggapi perkataan Dinar.

"Mana mungkin burung bisa keluar dari lukisan," kata nenek sambil terkekeh.

"Beneran, aku sama sarah ngikutin burung itu sampe keruangan depan yang isinya lukisan sama patung. Lukisan sama patungnya bisa bicara. Iyakan sarah?" Kata Dinar mencari dukunganku. Padahal kita berjanji tidak membicarakannya karena itu merupakan ruangan terlarang dan kita pasti akan kena marah.

"Kalian kesana?" tanya ayah menatapku.

Aku hanya menunduk dan mengangguk.

"Kan ayah sudah pernah bilang, jangan masuk keruangan itu. nanti kalau barang-barang nenek rusak bagaimana? Itu semua barang peninggalan kakekmu."

"Tapi, benar kata Dinar. Kemarin burung dari lukisan ngajak kita masuk kedalam ruangan itu. Terus di dalam ruangan patung sama lukisannya bicara, mereka bilang kami adalah penjaga," ujarku membela diri.

Nenek diam sejenak, lalu ia tersenyum. "Sudah-sudah. Ayo kita lihat sekarang buat masitiin, apa benar yang kalian lihat tadi malam atau hanya bunga tidur kalian saja," kata nenek sambil mengajakku dan Dinar ke ruangan yang selalu di tutup rapat itu.

Sesampainya di sana kami mendapati bahwa patung dan lukisan-lukisan itu hanyalah benda mati.

****

(Saat ini)

Aku dan Dinar terbangun dari tidur kami ketika matahari sudah mulai memasui celah-celah jendela. Saat akan turun dari ranjangnya dinar melihat seekor tikus berlari di bawahnya. hal itu membuatnya berteriak dan jatuh terjembab ke belakang menghantam lemari di samping tempat tidur. Aku yang belum sepenuhnya sadar dari tidurku, hanya duduk bersila di atas kasur menonton pertunjukkan di hadapanku sambil mengumpulkan nyawa. Belum, lengkap penderitaan dinar, sebuah buku yang aku duga sebelumnya terletak di atas lemari terjatuh mengenai kepala dinar. Hal itu di sebabkan lemari yang bergoyang ketika tubuh Dinar menghantam lemari.

"AAHHH," Dinar memekik sambil memegangi kepala.

Aku yang sudah benar-benar sadar pergi ke ujung tempat tidur untuk melihat buku yang jatuh mengenai Dinar tersebut.

"Buku apa itu?" tanyaku penasaran. Buku itu bersampul kecoklatan dan terdapat jarum jam berwarna keemasan di sampul depannya.

"Nih lihat sendiri," kata Dinar sambil menyodorkan buku tersebut kepadaku.

Aku mebuka buka isi buku tersebut. Tetapi, tidak ada tulisan maupun coretan apapun di dalamnya. "Gak ada isinya," gumamku.

Dinar yang juga penasaran, segera bergabung di sampingku ikut melihat isi buku tersebut. Karena, tidak menemukan apapun, kamipun menutup buku tersebut.

Sebelum mengembalikan buku tersebut ke atas lemari. Aku seperti terhipnotis oleh jarum jam di sampul depan buku tersebut dan menyentuhnya.

"AWW." ternyata jarum jam itu tajam dan membuat jariku terluka. Darahku menetes mengenai sampul buku. Seketika, jarum jam itu bergerak memutar dan muncul sebuah garis melingkar terang berwarna keemasan di sekitar jarum jam. Jarum jam itu sepertinya menunjukkan waktu sekarang.

"Jam itu lebih cepat 10 menit dari waktu sekarang," kata Dinar yang sedang memegang ponselnya. Aku mengacuhkannya dan masih menatap buku di hadapanku.

Tak lama setelah itu, simbol-simbol memenuhi sampul buku tersebut. Hanya bebarapa detik karena setelah itu buku itu berubah menjadi berwarna keemasan dan sampul depan buku itu menjadi polos lalu muncul tulisan perlahan.

Buku sihir panduan tentang negri RE (Reven Ereht)

Kami membuka-buka halaman buku tersebut. Buku itu sudah penuh berisi tulisan. Kami membaca halaman pertama buku tersebut.

Di situ tertulis:

Hanya keturunan darah para penjagalah yang dapat membaca buku ini.

Apa ini artinya kejadian pada malam sepuluh tahun yang lalu benar adanya? Tapi, apa yang harus kita jaga? kami membuka halaman selanjutnya. Halaman kedua memiliki isi yang lebih panjang. Kami mulai membacanya perlahan.

Pengenalan singkat.

Bumi manusia dan reven ereht merupakan "Bumi" dengan realitas berbeda. Reven ereht merupakan tempat di mana mahluk-mahluk motologi, mahluk mistis dan sihir belum di hancurkan oleh manusia. Para penjaga bertugas....

"tok.. tok.. tok...," terdengar ketukan dari pintu membuat kami secara refleks menutup buku yang belum selesai kami baca tersebut dan menyembunyikannya di bawah selimut.

"Dinar, Sarah, kalau sudah mandi ayo turun sarapan," kata nenek dari balik pintu.

"Iya, Nek," sahut kami bersamaan. Kami lalu pergi bersiap-siap untuk mandi dan sarapan. Sejenak kami melupakan buku misterius yang belum selesai kami baca tadi.

Episode 3: Buku Misterius dan Rahasianya

Dinar menuapkan sesedok nasi ke mulutnya. sebelum ia selesai mengunyah apa yang ada di dalam mulutnya dia mulai bergumam.

"Nek, tadi kita menemu... AWW," belum selesai Dinar menyelesaikan apa yang ia katakan, aku menginjak kakinya dari bawah meja karena aku tau apa yang akan ia sampaikan. Memberi tahu nenek tentang apa yang kita temukan sebelum kita mengetahui jelas apa yang kita temukan adalah pilihan yang buruk. Aku yakin sekali nenek memyembunyika sesuatu selama ini.

Nenek menghentikan makannya menatap Dinar. Menunggu Dinar menyelesaikan apa yang akan ia katakan. Tante Dwi yang bergabung bersama kami untuk sarapan ikut menghentikan makannya dan menatap Dinar.

Dinar menatapku yang masih menginjak kaki Dinar di bawah meja dan memelototi Dinar, memberi isyarat agar Dinar mengurungkan apa yang hendak ia katakan.

"Menemukan apa?" tanya nenek yang masih menunggu dinar meneruskan perkataannya.

Dinar mengerutkan keningnya sejenak berfikir sambil melirikku. Aku mengerutkan keningku ikut bingung harus mengatakan apa, aku tiba-tiba kehilangan kosakata. Aku lalu hanya mengangkat kedua telapak tanganku mengadah sambil mengangkat kedua bahuku, menandakan aku juga tidak tau harus berkata apa.

"Tikus," kata Dinar tiba-tiba.

"Ah, ia tadi ada tikus di kamar, nek," sambungku melengkapi pernyataan Dinar.

"Oh, mungkin karena sudah musim hujan jadi ada tikus yang masuk ke rumah. Nanti tante panggilin tukang pembersih tikus," ujar tante Dwi yang lalu melanjutkan makannya yang tertunda.

Tak lama, nenek menyelesaikan sarapannya lebih dulu dan langsung pergi ke kamarnya. Nenek bilang ia punya urusan mendesak yang harus ia selesaikan.

Setelah kami menyelesaikan sarapan kami, aku menyapu ruang makan, Dinar segera membereskan meja makan dan tante Dwi mencuci peralatan yang kita gunakan untuk kita makan tadi.

Setelah aku dan dinar selesai melakukan pekerjaan rumah, kami segera pergi ke kamar tidur kami untuk melihat buku misterius yang sempat kami lupakan tadi.

****

Aku yang sampai ke kamar lebih dulu dari pada Dinar, langsung menghampiri buku yang kami sembunyikan di bawah selimut tadi dan membukanya. Saat aku membukanya, buku tersebut kembali kosong seperti pertama kali aku dan dinar menemukannya.

"Bukunya kosong lagi," kataku begitu Dinar datang memasuki kamar.

"Nenek kemana?" tanya Dinar mengacuhkan pernyataanku.

Aku mengalihkan pandanganku dari buku di pangkuanku. "Di kamar," ucapku sambil menatap dinar yang berjalan menghampiriku lalu duduk di sampingku.

"Gak ada, aku tadi lihat kamarnya kosong. Pintu kamarnya terbuka, jadi aku masuk. Nenek gak ada. Barang-barang di kamar nenek berantakkan."

"Mungkin nenek lagi di kamar mandi atau ruangan lain," kataku.

Dinar mengangkat bahunya lalu mengalihkan padangannya ke buku di pangkuanku yang masih terbuka. Dinar mengambilnya dari pangkuanku dan membuka-buka setiap halamannya dengan tatapan tak percaya. "Loh, tulisannya tadi kemana?" tanyanya heran.

"Gak tau, tulisannya memang sudah hilang lagi sejak aku masuk ke kamar," kataku sambil merebahkan diri di kasur menghadap langit-langit dengan kedua tangan kuletakkan di belakang kepala.

"Coba goreskan lagi tanganmu ke jarum jam di sampul buku ini hingga berdarah. Siapa tau, tulisannya muncul lagi seperti tadi," kata Dinar sambil menarik tanganku hingga aku terduduk kembali.

Aku meletakkan jariku di jarum jam di sampul buku seperti tadi.

"AWW," rasanya masih sakit seperti terakhir kali.

Darahku menetes mengenai sampul buku lalu menghilang seperti terserap. Kami menunggu satu detik, dua detik, tiga detik dan hingga leherku pegal menatap buku tersebut. Tidak terjadi apapun. Buku itu tetap kosong.

"Apa yang sebelumnya terjadi tidaklah nyata?" tanyaku bergumam sendiri sambil menatap buku misterius di hadapanku.

"Tapi, aku juga lihat kok apa yang terjadi tadi. Aku yakin itu nyata," kata Dinar optimis.

"Terus, kenapa sekarang buku ini tidak menampilkan tulisan apapun seperti terakhir kali?" tanyaku.

"Aku juga tidak tau. Pasti semua ini ada penjelasannya."

Aku dan Dinar terdiam sejenak.

"Ayo, kita tanya nenek," ajak Dinar tiba-tiba.

"Kamu yakin?" tanyaku tidak yakin.

"Tentu saja!" jawab Dinar.

Belum sempat kami beranjak dari tempat tidur dan pergi menghampiri nenek, tante Dwi tiba-tiba muncul dari bali pintu kamar. Ia meminta tolong kepada kami untuk membelikan bumbu dapur yang kebetulan sedang habis. Aku meletakkan buku di pangkuanku ke kasur dan pergi dengan Dinar untuk membeli pesanan tante Dwi. Sebelum meninggalkan rumah, aku tidak melihat kehadiran nenek dimanapun. Akan tetapi, aku melihat dari sudut mataku sepertinya aku melihat lampu menyala di ruangan yang aku dan Dinar masukki 9 tahun yang lalu. Ini bukan hal aneh, hanya saja tidak biasa ruangan tersebut di masukki.

****

Sepulangnya aku dan Dinar dari membeli pesanan tante Dwi. Aku dan dinar kembali kekamar untuk memeriksa buku misterius yang belum kita pecahkan misterinya. Sesampainya di kamar, kami melihat nenek duduk di atas tempat tidur sambil menetap buku di pangkuannya.

"Ternyata kalian sudah membaca buku ini. Pantas saja aku sudah tidak dapat merasakan keberadaannya lagi," kata nenek yang terlihat sedih.

"Maaf nek, kami tidak sengaja menemukannya terjatuh dari atas lemari," kata Dinar mencoba menjelaskan, kalau-kalau itu merupakan buku terlarang.

"Tidak apa-apa, semua memang sudah waktunya," nenek menghela nafas lalu menatap kami berdua lekat-lekat.

"Duduklah, akan nenek ceritakan semuanya," lanjut nenek meminta kami duduk di sampingnya.

Setelah kami duduk nenek mulai bertanya. "Apa yang sudah kalian ketahui dari buku ini?"

"Penjaga," kataku singkat, tak tau harus berkata apa.

"Kami hanya membaca tentang realitas lain dari bumi. Kami lalu pergi sarapan. Ketika kami kembali, tulisan di buku itu sudah hilang," Dinar meneruskan.

"Buku ini hanya bisa dibaca dalam waktu 10 menit setiap harinya untuk satu tetes darah penjaga," nenek menjelaskan.

"Darah siapa tadi yang di pakai untuk membuka buku ini?" tanya nenek.

"Aku nek," jawabku.

"Karena salah satu dari kalian sudah meneteskan darah di buku ini, secara otomatis buku ini sudah di wariskan kepada kalian. Nenek sudah tidak memiliki akses lagi untuk membuka buku ini. Itulah mengapa nenek tidak bisa merasakan buku ini lagi sejak tadi pagi," jelas nenek sambil meraih tangan Dinar dan menyentuhkannya ke ujung jarum jam di sampul buku.

"Aww," pekik Dinar. Buku itu bereaksi seperti terakhir kali.

Nenek membuka halaman buku yang sudah di penuhi tulisan kembali. Ia membuka halaman yang terakhir kali kami baca.

Pengenalan singkat.

Bumi manusia dan Reven Ereht merupakan "Bumi" dengan realitas berbeda. Reven Ereht merupakan tempat di mana mahluk-mahluk mitologi, mahluk mistis dan sihir belum di hancurkan oleh manusia. Para penjaga bertugas menjaga portal antara dunia manusia dan Reven Ereht agar tidak saling bercampur di antara keduanya.Buku ini merupakan panduan untuk kalian para penjaga, mengenai beberapa hal mengenai mahluk-mahluk mitologi, mahluk-mahluk serta benda-beda magis dan hal-hal lain terkait dua dunia.

"Maksudnya adalah dunia ini membutuhkan keseimbangan. Dua dunia yang berbeda bercampur secara tidak sengaja, jika terjadi terus menerus akan menciptakan kekacauan besar,"  jelas nenek

Para penjaga merupakan keturunan penyihir terpilih yang memiliki darah para pejuang.

Aku dan dinar terkesiap membaca kalimat terakhir tersebut. Itu artinya kami memiliki darah penyihir.

Portal Penghubung Dua Dunia.

(Ada gambar sebuah pintu di halaman yang sekarang sedang di buka) Pintu ini merupakan portal penghubung dua dunia. Hanya orang-orang terpilih yang memiliki pintu ini. Para kurcaci terhebat hanya menciptakan dua pintu dan di berikan kepada dua orang keluarga penyihir paling terpercaya.

"Ayo ikut nenek!" Kata nenek sambil beranjak berdiri dan menutup buku di pangkuannya. Ia meletakkan buku di atas meja.

Kami mengekor di belakang nenek. Nenek berjalan kearah ruangan terlarang yang dulu pernah kami masukki saat masih kecil. Nenek mengarahkan tangannya ke gagang pintu lalu terdengar bunyi klik dan pintu terbuka denga sendirinya. Ini adalah pertama kalinya aku melihat nenek menggunakan sihir.

"Aku perlu menguncinya dengan beberapa sihir agar mencegah hal-hal hal yang tidak di inginkan," nenek menjelaskan tanpa di minta.

Ruangan ini masih sama seperti terakhir kali aku dan dinar masuk ke sini. Terdapat patung naga, dua patung kurcaci, patung kuda dan beberapa lukisan. Nenek berdiri di hadapan sebuah cermin besar yang sebelumnya aku tidak menyadari kehadirnnya. Di samping cermin terdapat sebuah note bertuliskan, "Jika kalian adalah orang yang tepat, kalian tau apa yang harus kalian lakukan."

"Karena kalian sudah mengklaim buku panduan milikku. Secara tidak langsung, sekarang kalian sudah menjadi penjaga. Menggantikanku. Aku masih memiliki sedikit ilmu sihir sebagai pertahanan diri. Akan tetapi, aku sudah tidak bisa melakukan hal-hal besar lainnya terkait tugas-tugas penjaga. Sihir yang terlalu kuat bisa membunuhku sekarang. Energi yang aku miliki untuk melakukan beberapa ilmu sihir besar, secaratidak langsung sudah di wariskan kepada kalian,"  kata nenek sambil mengambil sebuah botol semprotan di dalam lemari dan menyemprotkannya ke arah patung kurcaci yang terletak di atas lemari.

"Nenek memberikan ramuan sihir agar mereka tertidur pada siang hari dan terbangun saat malam untuk menjaga portal. Karena saat malam hari, kami para penjaga juga butuh beristirahat. Itulah mengapa saat malam hari sembilan tahun lalu kalian melihat mereka hidup. Jika kalian ingin membangunkan mereka pada siang hari, kalian harus menyemprotkan bubuk ini ke mereka. Karena sekarang kita hanya membutuhkan Bex dan Rox, kita hanya akan menghidupkan mereka saja," kata nenek sambil memberikan botol semprotan yang tadi ia gunakan, kepada kami.

Dua kurcaci itu, kembali hidup seperti saat malam hari sembilan tahun lalu. Mereka melompat ke hadapan nenek.

"Hai, Mira. Apakah sudah waktunya?" tanya salah satu kurcaci bertopi kepada nenek.

Nenek mengangguk lalu berkata, "Kenalkan ini cucuku, Sarah dan Dinar. Mereka adalah penerusku," nenek memeperkenalkan kami kepada para kurcaci.

"Dan ini Bex dan Rox. Mereka adalah kurcaci pengrajin paling hebat," lanjut nenek mengenalkan para kurcaci kepada kami.

"Hai, kita sudah bertemu terakhir kali bukan," sapa kurcaci bertopi yang ternyata bernama Bex. Ia menjabat tangan kami bergantian dengan ramah.

"Tapi saat itu aku tidak tau nama kalian," kata Dinar saat berjabat tangan dengan Rox.

"Ah, benar juga!" kata Rox menyesal.

"Bex, Rox ayo buka pintu portal aku ingin menunjukkan batas dunia kepada penerusku," pinta nenek kepada Bex dan Rox. Bex dan Rox lalu membalikkan cermin di hadapan kami. Belakang cermin itu ternyata adalah sebuah daun pintu. daun pintu itu secara perlahan menyatu dengan dinding di belakangnya. Pintu tersebut terlihat seperti pintu biasa dan terlihat tidak istimewa sama sekali.

"Karena para kurcaci yang membuat pintu ini, maka yang bisa membalikkan cermin tadi hanyalah keturunan para kurcaci," kata nenek menjelaskan.

"Ayo kita masuk," ajak nenek sambil membuka gagang pintu di hadapan kami.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!