Semilirnya angin menggoyang nggoyangkan dedaunan pohon cepedak di pekarangan yang di jadikan tambahan penghasilan bagi keluarga di kaki gunung.
Ditambah hamparan sawah dengan tanaman padi yang daunnya telah menghijau, menjadikan suasana hati menjadi semakin sejuk dan damai.
Tiwi dan kedua adiknya, dengan rasa rindu yang tidak pernah tersampaikan hanya bisa lari ke belakang rumah, sambil duduk bertiga dibawah pohon cempedak dengan melempar tanah di depannya.
Neneknya memang tidak melahirkannya, tetapi harus berjuang bertahun tahun untuk mendidik dan membesarkannya.
" Pertiwi, nenek tidak bisa membiayai sekolahmu!" kata nenek dengan sangat sedih, padahal Pertiwi anak yang cerdas, dia dengan adik adiknya sekolah dapat bantuan dari negara.
" Iya Nek, aku ingin mencari beasiswa!" kata Pertiwi sedih, maka hari itu dia mencari di internet, kebetulan dia di belikan ponsel baru oleh Tiara teman satu kelas di SMA sedangkan internet juga nebeng ke rumah Tiara yang ada Wifinya dengan dibelikan alatnya. Tiara anak satu satunya dari orang terkaya di kampungnya, kebetulan rumahnya bersebelahan. Dan dia akrab dengan Pertiwi, bahkan Tiaralah yang mengajari Pertiwi bisa mengemudi mobil, sehingga Pertiwi sering dimintai bantuan oleh Tiara menemani ibunya belanja ke kota.
" Pertiwi, aku minta tolong antarkan ibu belanja di supermaket ke kota!" pinta Tiara datar.
" Kamu ikut enggak?" tanya Pertiwi datar juga.
" Ikut juga, cuma aku lagi malas nyupir!" jawab Tiara. Akhirnya bertiga mereka ke kota, sedangkan yang mengemudi Pertiwi yang sudah dibuatkan SIM juga oleh ibunya Tiara.
" Wi, meneruskan kuliah di kedokteran ya!" pinta Ibunya Tiara,
" Lagi buka internet cari bea siswa Bu, tapi tidak punya biaya karena disitu mahal!" jawabnya ringan sambil menyupir dengan kecepatan standar.
Dan mereka sudah sampai ke supermaket, Pertiwi diajak masuk sekalian untuk membantu mendorong belanjaan.
" Temani ke konter ponsel!" pinta Ibunya Tiara.
" Ibu mau beli ponsel lagi? bukankah itu ponsel baru beli bulan kemaren?" tanya Tiara.
" Aku pengin beli merk lain!" jawab Ibunya. Setelah selesai di konter itu, Ibunya Tiara memberikan ponsel bekas ke Pertiwi, dia menolak karena sudah punya.
" Ibu, aku sudah punya di kasih Tiara!" tolak Pertiwi sopan.
"Untuk adikmu yang dari Tiara!" jawab Ibu, karena beliau tahu adik adiknya selalu pinjam ke Pertiwi kalau mau ngevlog. Memang Danu nama panggilan adik Pertiwi yang pinter pertukangan suka di rekam terus di share di media youtube, tadi saat dirumah Pertiwi membuka vlognya, subscribernya sudah ribuan, katanya sudah dapat penghasilan, bahkan ada beberapa penggemarnya pesen barang buatannya.
" Dia sudah beli Bu!" kata Pertiwi hati hati.
" Sudah diterima saja Wi!" desak Tiara, akhirinya Pertiwi menerimanya, dengan tidak pernah melupakan terimakasih. Belanja pun selesai, pulang ke rumah sudah malam.
" Wi, untuk Nenek!" kata Ibu nya Tiara dengan membawa sekantong plastik besar berisi blanja bulanan.
" Ibu, terimakasih kami banyak diberi bantuan oleh Ibu!" kata Pertiwi sambil membungkuk sopan, dan ia berpamitan sambil membawa tas plastik berisi kebutuhan bulanan untuk diserahkan pada Nenek juga ponsel, yang akan diberikan ke Tanu karena Danu baru beli tadi siang.
" Mba, neruskan kuliah, nanti Danu kirim untuk bulanan!" desak Danu, yang baru dapat penghasilan cukup besar dari konten yang selalu dibuatnya.
" Kalau diterima di kedokteran gimana Dan, aku ambil di akuntansi juga, aku juga cari bea siswa!" jawab Pertiwi datar.
" Ya semoga bisa Mba, aku lagi mencari Ibu dan Bapak juga!" jawab Danu menunduk. Bapaknya Tiara juga sering mengajak Danu keluar, sehingga Danu yang beda satu tahun dengan Pertiwi sudah bisa mengemudi, biasanya bawa ponsel Pertiwi untuk merekam kegiatan yang dilakukan selama ikut Bapaknya Tiara.
Satu minggu kemudian Pertiwi yang telah mengikuti serangkaian prosedur dan test di Perguruan Tinggi membuka pengumuman.
" Dan, aku diterima dua duanya!" kata Pertiwi kegirangan dengan mencium Nenek juga adik adiknya.
" Ambil kedokteran saja Mba!" kata Danu datar.
" Apa mampu Dan, biayanya besar?" kata Pertiwi, Danu tsk mau menjawab, dia hanya menunjukkan buku dari bank, Tiwi sempat merajuk setelah melihat jumlah nominal uang yang dipunyai Danu di rekeningnya.
" Aku mau memperbaiki rumah Nenek juga!" kata Tanu, karena rumah Neneknya sudah tak layak huni, pagar pakai kepang yang sudah banyak bolong bolong atapnya seng pada bolong juga sehingga kalau hujan bocor, karena Tanu ikut juga membuat vlog dan telah dapat honor lumayan juga, jadi mereka bersepakat Tanu yang buat rumah dan Danu yang membiayai Pertiwi. Sedangkan Pertiwi sebenarnya sudah punya penghasilan dari cerita cerita yang dibuatnya dan untuk hidup sebulan di Jakarta bisa lebih, cuma untuk keperluan kuliah di kedokteran mungkin bisa kurang.
Nenek yang kondisi tubuhnya masih sehat setiap hari membantu di rumah Ibunya Tiara, sehingga boleh dikata kalau untuk makan tidak kekurangan.
Jadilah Pertiwi kuliah di Jakarta, Tiara yang cerdas juga bisa sekolah ikatan dinas di Jakarta yang langsung jadi pegawai, orangtua Tiara beli rumah di Jakarta yang tidak jauh dari kampusnya dan Pertiwi disuruh satu rumah dengan Tiara. Pertiwi karena di desak terus, juga tujuannya untuk menemani Tiara, akhirnya dia mau, dan setiap berangkat kuliah menggunakan angkutan umum.
" Wi, ke mall yuk, kamu setiap hari ke kampus tentu sudah hafal Jakarta!" ajak Tiara saat liburan akhir pekan.
" Mau beli apa Ra?" tanya Pertiwi.
" Jalan jalan saja, abis jenuh di rumah terus!" jawab Tiara yang lagi pdkt dengan teman sekelas di kampusnya.
" Willy ikut Ra?" tanya Pertiwi.
" Iya ikut, kamu yang nyupir!" jawab Tiara.
" Bukankah Willy bawa mobil, kamu bisa bersamanya, nanti aku mengganggu Ra!" ledek Pertiwi dengan tersenyum.
" Ngawur kamu, aku males pacaran tahu, mendingan kalau dia jadi jodohku, selesai kuliah langsung menikah!" ujar Tiara,
" Ok lah siap, jadi pengawal!" jawab Pertiwi tertawa.
Ternyata Willy juga punya pendapat sama dengan Tiara, sehingga tanpa beban mereka bertiga ke mall, dan yang pegang stir Pertiwi karena sudah lebih lincah dari pada Tiara dan hafal jalan kota Jakarta.
" Ra, aku sebenarnya di Jakarta sambil mencari Ibuku juga!" kata Pertiwi sendu,
" Hmmm, lagi nyupir serius, aku juga ikut bantu kamu cari lewat media," jawab Tiara
" Oh iya, kenapa dari dulu enggak kepikiran lewat itu?" ucap Pertiwi.
" Tapi bukankah Danu juga Tanu sudah cari lewat media!" gumannya.
Setelah berada di mall dengan tempat parkir berada di lantai atas, semua turun dari mobil. Dan parkir di lantai atas baru pertama di lakukan oleh Pertiwi, tapi karena kelincahannya akhirnya sampai dengan aman ke parkiran.
" Cari makanan yuk!" ajak Tiara setelah putar putar cari baju.
" Iya, aku yang bayar Ra, aku baru dapat honor dari menulis!" bisik Pertiwi lirih. Tiara mengangguk.
" Liburan semester aku ingin pulang, kangen kampung halaman!" kata Tiara.
" Iya tapi kamu dulu pulangnya Ra, aku minggu depan baru bisa!" jawab Pertiwi, sementara Willy hanya jadi pendengar karena rumah orangtuanya di Jakarta. Sudah agak sore jalan jalan di mall akhirnya mereka pulang.
Tiga hari kemudian Tiara yang liburnya tidak terlalu lama pulang naik kereta, dan Pertiwi di kabari kalau rumahnya sudah jadi, juga dikirim fotonya oleh Tiara.
Ternyata sepi tanpa Tiara, dia dan keluarganya begitu baik pada keluarga Pertiwi selalu memberi bantuan seperti yang dilakukan Tiara, dia hanya memberi modal ponsel, oleh Danu dimanfaatkan untuk buat konten, akhirnya bisa mandiri, bahkan bisa memberi bantuan membelikan alat alat untuk menunjang kuliah Pertiwi, juga Pertiwi bakatnya tersalurkan dengan membuat cerita bersambung pada aplikasi di ponsel itu, sejak kuliah juga sudah menghasilkan, sehingga untuk harian dari hasil tersebut, juga tidak perlu bayar kost karena ikut Tiara, paling hanya untuk transport dan makan.
" Dan, dijemput di stasiun ya," pesan Pertiwi saat berada di kereta malam. Selama di perjalanan otaknya tertuju pada masa kecil terutama tentang ayah dan ibunya.
" Mas, kamu tega sama aku, ingat kamu punya tiga anak!" kata kata ibunya saat ayahnya bertekat untuk meninggalkan ibunya dan lebih memilih seorang wanita yang katanya kekasih pertama bapak.
" Selama denganmu aku sulit untuk melupakannya, batinku tersiksa ingat dia!" jawabnya enteng, diapun pergi, pulangnya sambil membawa wanita cantik karena berdandan juga pakaiannya minim, meminta persetujuan untuk berpisah dengan ibunya Pertiwi. Ibu menangis limbung seperti tak punya pegangan, akhirnya malam malam pergi entah kemana meninggalkan kami, untung orangtuaku buat rumah sederhana dibelakang nenek sehingga kami pagi pagi menuju kerumah nenek, tetapi kakek tidak suka pada kami, karena kakek lebih memilih hidup sendiri di rumah orangtuanya, yang membuat Pertiwi sedih pada kakek kalau hari raya Pertiwi dan adik adiknya mau sungkem, dia tak mau ketemu dengan cucu cucunya, pernah sempat ketemu.
" Kamu pengin ketemu aku tujuannya minta uang?" katanya ketus, Mereka terdiam dan Danu sempat berkata.
" Tidak Kek, kami ingin sungkem!" kata Danu menunduk.
" Mau sungkem besok kalau kalian sudah bisa cari uang, jadi aku dikasih uang sama kamu!" jawabnya ketus, dan dia meninggalkan Pertiwi juga adik adiknya sambil marah marah.
" Mba, kemaren tak sengaja aku ketemu kakek, aku minta salim dia enggak mau menerima uluran tanganku, dia selalu ketus saja ke kita," pesan pribadinya.
" Ya, sudah jangan menemui dulu," bales Pertiwi di kereta malam.
" Padahal aku pengin ngasih uang Mba, tapi dia keburu pergi," bales Danu lagi,
" Dan, kamu bentar lagi mau ujian, fokus ke ujian saja katanya pengin kuliah kaya aku," pesan Pertiwi.
Akhirnya sampai juga ke rumah di jemput Danu yang sudah beli motor bekas.
" Tan, rumah baru jadi apa?" tanya Pertiwi setelah mencium Neneknya, Nenek menangis melihat cucu cucunya bisa mencari uang sendiri, bahkan bisa membahagiakannya.
" Nenek tidak salah lebih memilih hidup dengan kalian!" kata Nenek, air matanya menetes deras membasahi pipi yang sudah keriput.
" Iya Nek, terimakasih telah memberi hidup pada kami!" kata Pertiwi, dan mereka saling berpelukan.
" Kita harus berterimakasih pada keluarga Pak Darmawan!" kata Nenek.
" Iya betul ek, mereka yang membantu kita jadi begini!" jawab Tanu yang mau masuk SMA.
" Makanya, kalau kita diminta bantuan sekecil apapun harus mau, jangan sampai menolak ya!" kata Nenek. Mereka semua mengiyakan.
" Mba, pulangnya tidak bersama dengan mba Tiara?" tanya Danu.
" Liburnya beda, dia juga tak lama!" jawab Pertiwi sambil berjalan keliling ruangan rumah buatan Tanu.
" Sayang ya Mba, Ibu belum ketemu ya, kalau Ibu tahu kita sudah bisa memperbaiki rumah mungkin akan senang ya?" ucap Danu.
" Mungkin Dan," ucap Tiwi.
" Tiara disana katanya lagi pdkt sama cowok, Mba?" ucap Danu menunduk lesu. Pertiwi memperhatikan Danu seperti menyimpan rasa di hatinya, akhirnya Pertiwi menutupi tentang Willy.
" Enggak Dan, Tiara gadis supel juga baik hati sehingga banyak temannya," jawab Pertiwi.
" Dan, aku tahu kamu ganteng, tapi status kita beda dengan Tiara," guman Pertiwi dalam hati, ia sambil menatap adiknya.
" Nenek sudah masak, ayo pada sarapan!" ajak Nenek
" Hmmm nasi goreng komplit buatan Nenek enak!" sanjung Pertiwi, tangannya memasukkan nasi ke mulut.
" Nanti buat sayur bening ya Nek, tempe goreng, gesek juga sambel!" pinta Danu, ia tahu kesukaan Pertiwi. Nenek mengiyakan. Nenek yang masih suka beraktivitas setiap bulan di kasih uang oleh Danu dan Tanu untuk kebutuhan bulanan. Tapi bu Darmawan selalu membelikan sembako setiap bulan ke nenek karena Danu apabila diajak oleh Pak Darmawan dengan Ibu untuk jadi supir kalau pergi keluar kota, Danu tak pernah mau di kasih uang.
" Tan, setiap kamar ada kamar mandi juga!" kata Pertiwi setelah masuk kamar untuknya.
" Iya, ide mas Danu, karena sering diajak nginep di hotel sama Pak Darmawan!" celetuk Tanu terkekeh.
" Habis berapa ini?" tanya Pertiwi,
" Ya lumayan tapi karena patungan sama Mas Danu jadi lebih ringan," jawab Tanu tersenyum.
" Mba enggak bisa bantu, malah sering ngganggu kalian," kata Pertiwi dengan air mata menggenang.
Pertiwi setelah sarapan pagi karena matanya lelah akhirnya masuk kamar, tubuhnya ia rebahkan di kasur yang empuk.
" Semua perabotan juga baru, masih bau kayu," guman Pertiwi, matanya sudah terasa pedes karena kantuk, maka Pertiwi tidak mampu menahan kantuknya lalu tertidur pulas di kamar ukuran 3 x 4 meter.
Tiara dan ibunya masuk ke rumah baru nenek Pertiwi, Danu di kamar sedang mengedit rekaman.
" Dan, Pertiwi lagi tidur ya?" tanya Tiara, ia langsung masuk kamar berdiri di belakang kursi Danu yang duduk sedang mengedit, Danu setengah kaget dan tanpa disadari ia menoleh wajah ke belakang, Tiara yang sedang menunduk lihat video di laptop dengan pegang sendaran kursi, juga kaget karena pipi Tiara tersentuh hidung mancung Danu.
" Maaf mba...." belum selesai ngomong Tiara tersenyum.
" Maaf juga aku, kamu lagi serius, sehingga tak dengar aku masuk," jawab Tiara, iapun menunduk agak malu juga.
"Dan, mau minta tolong anter Ibu ke kota, tapi kalau kamu tidak sibuk!" pinta Ibunya Tiara, karena hari ini jadwal belanja bulanan ke mall yang ada di kota, walau di kampung ada toko, tetapi tidak semua kebutuhan ada, disamping itu sambil refresing. Danupun mengiyakan.
" Dan, tadi ibu ketemu kakekmu, aku cerita tentang kuliah Pertiwi!" sambung ibunya Tiara.
" Gimana bu sehat kakekku?" jawab Danu yang telah menghentikan editan dan mematikan laptop, sedangkan Bu Darmawan juga Tiara duduk disisi bed.
" Kakekmu koq kaya tidak suka saja sama kalian ya?" ujar Ibu sedikit menggosip tentang si Kakek.
" Mungkin marah sama kami, karena Nenek lebih memilih kami dari pada dia!" jawab Tanu yang tahu tahu di pintu kamar Danu.
" Iya betul Nek!" ledek Tiara tersenyum, Nenek kebetulan ada dipintu berdiri dengan Tanu ikut tersenyum.
" Gini saja, rumah kenangan Nenek sama Kakek diperbaiki, terus Kakek supaya kembali ke Nenek!" kata ibunya Tiara.
" Cocok juga Bu, besok supaya dikerjakan Paman dan teman temannya!" jawab Danu semangat.
Pertiwi mendengar suara mereka akhirnya bangun dari tidur dan setelah cuci muka ikut gabung ke kamar Danu.
" Wi, Danu mau Ibu ajak ke kota!" kata Ibunya Tiara, dan Pertiwi tidak diajak karena baru pulang, Pertiwipun mengiyakan.
" Wi, kamu liburnya lama, aku disana sepi ya," kata Tiara.
" Iya kemaren enggak ada kamu terasa sepi Ra," jawab Pertiwi.
Habis Dzuhur Danu ngantar Ibunya Tiara ke kota Tiara dan Pak Darmawan juga ikut.
" Dan, sebentar lagi mau ujian!" kata Pak Darmawan yang duduk disampingnya, Danupun mengiyakan, sedang yang duduk di kursi belakang ibu dan Tiara.
" Hmmmm Danu tampan, apalagi pegang stir tambah laki banget," guman Tiara berdecap kagum dibelakangnya.
" Dan, kuliah di Jakarta ya!" pinta Tiara berharap.
" InsyaAllah, minta doanya mba," jawab Danu.Tiara mengiyakan, dan sampai di supermaket terbesar di kota ini, Tiara mengajak Danu ikut masuk dan berdua membantu orangtuanya blanja.Tiara terlihat lengket ke Danu, kadang Tiara pegang tangan Danu manja.
" Ibu, sekali kali aku yang bayar blanjaan ya!" kata Danu yang baru dapat rejeki. Ibunya Tiara menolak.
Merekapun menuju ke rumah makan, dan Danu cepat cepat membayar.
Hari pun berlalu Danu yang sudah lulus SMA dengan peringkat tertinggi, mendaftar di kampus Pertiwi kuliah, dan saat pengumuman dia di terima. Akhirnya Danu disuruh supaya bareng bersama Tiara serta Pertiwi oleh Pak Darmawan. Yang menggembirakan setelah rumah nenek di perbaiki kakek mau kembali ke nenek.
Di Jakarta Danu semakin sibuk, tapi tetap menomor satukan kuliah.
" Dan, aku kalau lihat kamu sehari harinya kurang waktu," kata Pak Darmawan saat menengok di Jakarta.
" Iya Pak, tuntutan," jawab Danu.
" Tapi tetap ingat kuliah Dan!" kata Pak Darmawan.
" Iya itu nomer satu, apa yang saya lakukan untuk biaya kuliah!" jawab Danu.
Sementara Tiara setiap pulang kuliah hanya bisa memandang halaman sempit rumahnya yang ditanami pohon jambu dan anggrek yang menempel di pohon itu, dia setiap hari selalu menunggu kedatangannya, tapi tak mau menampakan wajah gelisah kalau yang dinanti pulang.
" Wi, Danu hari ini acaranya kemana?" tanya Tiara setiap kali dia pulang tidak bersama adiknya.
"Tadi bilangnya ke kota lama!" jawab Pertiwi penuh selidik tentang Tiara pada Danu.
"Ra, Willy sudah jarang datang kesini?" lanjut Pertiwi,
" Iya Wi, dia sudah pindah ke lain hati, biasa kalau ada yang lebih bersih dariku!" jawab Tiara datar.
" Tapi, kamu cantik juga Ra!" jawab Pertiwi menatap tajam ke mata Tiara yang pandangannya mengarah ke luar.
" Sepertinya Tiara setiap kali aku tak pulang bersama Danu terlihat pancaran matanya berbeda yaitu ada rasa gelisah, tapi dia pandai menutupi " gumannya di hati.
" Wi, kalau kuliah di kedokteran sibuk terus kaya kamu!" ucap Tiara segera meninggalkan Pertiwi yang sedang sibuk dengan tugas tugas kuliah, kadang diantara kejenuhannya itu Pertiwi selama satu jam menyempatkan menulis di salah satu aplikasi ponselnya, sehingga sekarang Tiara merasakan rasa sepi di hatinya.
" Iya Ra, sibuk banget!" jawab Pertiwi yang kadang merasa kasihan sehingga perlu ngajak ngomong agar lama lama tak kaku.
" Wi, besok kamu dan Danu sibuk enggak?" tanya Tiara seperti kepengin ngajak keluar.
" Mau pengin keluar Ra?" tanya Pertiwi ingat kata Nenek harus menuruti permintaan Tiara sesibuk apapun kita,
" Ra coba dihubungi Danu," lanjut Pertiwi hati hati.
" Wi, enggak enak hati kalau kalau mengganggu!" jawab Tiara.
Dan tak lama kemudian Danu pulang dengan membawa cemilan, Tiara yang sedang menyiram anggrek tersenyum tahu kedatangannya, Pertiwi yang melihat dari ruang tamu juga gembira dengan cemilan yang dibawa Danu.
" Jajanan kurang sehat!" komen Pertiwi datar.
" Ya apa boleh buat, kalau buat sendiri tak ada waktu," jawab Danu sekenanya. Pertiwi mengambil piring dari dapur dan bersama sama makan diruang tamu sekaligus menjadi ruang keluarga.
" Besok mau kemana acaranya Dan?"tanya Pertiwi pada adiknya.
"Ke Bogor, ikut ya!" ajak Danu beharap.
" Aku banyak Tugas, mungkin Tiara mau menemani!" pinta Pertiwi menatap wajah bingung Tiara dan Danu berharap juga dia mau menemani.
" Sama siapa Dan?" tanya Tiara.
" Liliana!" jawabnya enteng, wanita itu teman sekelas di kampus terkenal Danu, dan dia kemanapun penginnya ikut Danu, cuma dia anak orang kaya di Jakarta yang kurang berkenan orang tuanya terutama Mama apabila ikut Danu, seperti tadi Danu sempat diajak mampir ditanyai orang tuanya.
" Danu, orang tuamu usaha apa?" tanya Mama nya Liliana.
" Cuma jadi buruh tani!" jawabnya bohong karena sebenarnya dia tidak tahu tentang keberadaan ibu juga bapaknya,
" Jadi buruh tani bisa membiayai anak kuliah apalagi dua anak!" jawabnya dengan menekuk alis.
" Ma, maaf bolehkah Liliana besok ikut ke Bogor?" tanya Danu hati hati dan sopan.
" Tidak bisa, kita mau kedatangan tamu teman bisnis Papanya!" jawab Mamanya dengan wajah tak menyenangkan.
" Ma, aku tetap mau ikut Danu besok!" jawabnya memaksa, Papanya Liliana pulang, lalu menemui Danu, tadi beliau dengar ucapan istrinya.
" Besok Pak Hardoyo belum jadi kesini!" jawab Papa, dan Papa yang sangat menyayangi Liliana membolehkan ikut Danu ke Bogor apalagi dia tidak sendiri, Liliana menciumi Papanya karena gembira, sedang Mamanya masuk kedalam dengan wajah geram.
" Danu, koq melamun!" ucap Pertiwi menatap adiknya sedang Tiara kurang senang kalau Liliana ikut, walau Tiara tak memperlihatkan ketidak sukaannya.
" Ya, kebeneran Dan, karena Tiwi tidak bisa ikut!" jawab Tiara terlihat wajahnya datar.
Paginya Tiwi akhirnya ikut karena dia bisa mengerjakan di mobil, mereka bertiga menuju rumahnya Liliana, Mamanya merasa nyaman ternyata tidak berdua perginya, Tiara tak kagum dengan rumah mewah dengan mobil mobil Eropa yang dimiliki orangtua Liliana, karena rumah orangtua di kampung lebih mewah dari itu, mobil buatan Eropa juga tidak kalah dengan yang di miliki orangtua Liliana.
Mereka berempat berangkat, Liliana duduk di kursi belakang dengan Tiara,
" Li, liburan main ke kampungku ya!" ajak Tiara yang pandai menutupi perasaannya.
" Iya, aku juga sudah bilang ke Danu ikut ke kampung!" jawab Liliana datar.
Sampailah di Bogor mereka bertiga keluar kebetulan tidak hujan hari ini, sedang Tiwi berada di mobil, duduk di kursi belakang meneruskan nenulis cerita, sambil sesekali menikmati hamparan permadani hijau di depannya, angin dingin pegunungan menusuk pori pori tubuhnya sehingga Tiwi terus menggunakan jaket.
" Dan, kebun teh itu bagus!" kata Liliana manja ke Danu, Tiara mendukung ajakan Liliana sambil tersenyum ceria. Danu menerima ajakan mereka, hanya hatinya mulai bimbang melihat sikap Tiara. " Aku bertepuk sebelah tangan, berharap besar pada Tiara ternyata dia tak punya perasaan apa apa padaku!" guman Danu dengan wajah muram.
Kota Bogor udaranya sangat sejuk kebalikan Jakarta, saat itu langit tak semua tertutup oleh awan, sedang hamparan teh yang menghijau, menambah sejuk di siang ini.
Mereka sangat riang serta tidak bosan bosannya menatap pemandangan di depannya, dan beban oleh tuntutan hidup terasa berkurang di pundaknya serta decak kagum terus menggema di relung hati.
"Aku melihat sikap manja Liliana ke Danu tak suka, tapi aku tak boleh memperlihatkan ketidak sukaanku pada mereka," guman Tiara, hatinya sedih tetapi ia mencoba untuk bisa tersenyum, ya senyum yang dipaksakan, sehingga terasa sangat getir, sempat Tiara beradu mata, tak kuasa untuk berlama menatap bola matanya, Tiara akhirnya mengalihkan pandangan pada hamparan menghijau kebun teh di depannya.
" Dan, makan roti dulu, kamu repot pegang kamera, aku suapi ya!" pinta Liliana riang, Danu mengangguk. Tiara melihat Liliana perhatian sama Danu menjadi tambah terluka hatinya walau dia tetap bisa menutupi perasaannya.
" Li, masih ada rotinya?" tanya Tiara.
" Masih, mau Mba?" ucap Liliana sambil menyodorkan roti ke Tiara.
" Udah yuk lama lama kedinginan, cari makanan!" ajak Danu.
" Beli sate kambing saja Dan!" ajak Liliana manja, yang lain menyetujui. Mereka berempat menuju ke kedai sate kambing terkenal enak di kota ini, karena jam makan siang sehingga ramai. Tapi masih ada kursi, Liliana tak mau pisah duduknya dengan Danu, bahkan dia selalu menyuapi Danu dan selalu menyapu bibir Danu dengan jarinya yang lentik dan putih. Sampai sejauh ini Tiara tetap mampu menahan rasa sakit di dada pada sikap Liliana yang selalu memamerkan kemanjaannya pada Danu.
Setelah makan, karena sudah cukup lama di kota hujan, mereka pulang.
" Nganter kamu dulu Li," ucap Danu.
" Kenapa enggak nginep sih, bisa nginep di Vila orang tuaku," ajak Liliana.
" Rencana enggak nginep, sehingga kita tak bawa pakaian," jawab Danu.
" Lain kali saja, di rencanakan ya Dan," ucap Lliana.
" InsyaAllah," jawab Danu.
Danu menyetir dengan kecepatan sedang, karena sambil menikmati jalanan yang padat.
Dan sore hari baru mereka sampai di rumah, setelah mengantar Liliana lebih dulu.
Malamnya Danu duduk di ruang tamu, kumpul bertiga dengan memiliki kesibukan masing masing, Danu membuka laptop terus mengedit sekitar satu jam, terus sisa waktu berikut untuk membuka tugas tugas kuliah dan Pertiwi yang sama sibuknya, berusaha memutar otak untuk cari kesempatan berdua dengan Danu.
" Di kampus tidak bisa karena Liliana selalu lengket, sedang di rumah ada Tiara, satu satunya kalau masuk kuliah jam berangkat sama," gumannya di hati.
" Dan, besok kuliah jam berapa?" tanya Tiwi, Tiara menatap wajah Danu.
" Pagi Mba, berarti besok berangkat bareng ya," ajak Danu ke Tiwi, kebetulan jadwal Tiwi di ubah, besok masuk jam ke 3, tapi tak apa biar di kampus nunggu dua jam, bisa meneruskan buat cerita di taman.
Pagipun tiba, Tiwi sesuai rencana berangkat bareng Danu.
" Dan, aku tak melarang siapapun jadi jodohmu, tapi cari orang yang kedua orangtua wanita itu mau menerima kita, kalau nanti Liliana tahu tentang ayah ibu kita tentu dia mundur," nasehat Pertiwi sedih, terpaksa Tiwi bicara di jalan yang padat kendaraan, tentu Danu butuh konsen menyetir.
" Iya mba, aku tidak mencintai Liliana!" jawab Danu, ia sedih juga punya orang tua entah dimana keberadaannya.
" Ya syukur, ingat Dan status kita tak sepadan bahkan dengan Tiara, sebaik apapun orang tua mereka belum tentu putrinya boleh menikah dengan kamu!" nasehat Tiwi penuh penekanan. Danu mengiyakan.
" Mba Tiwi aku tahu lagi disukai oleh Mas Fabian teman satu kampus dengannya, tapi dia anak orang berpengaruh, sehingga Mba Tiwi tak begitu merespons padanya, bahkan yang aku tahu Mas Fabian selalu kejar kejaran IPnya setiap semester dengan Mba Tiwi," gumannya di hati.
" Dan, aku mau duduk disitu!" ujar Tiwi.
" Lho, lagi enggak ada kuliah Mba?" tanya Danu.
" Nanti siang!" jawab Tiwi, Danu pun tahu maksud Pertiwi berangkat ikut dengannya, untuk mengingatkan Danu agar tahu diri tentang statusnya.
Waktu terus berjalan maju, melewati hari hari yang selalu berganti dengan ditandai siang malam, dan yang menjadi pemikiran Pertiwi tak meleset, orangtua Liliana teman bisnis dengan Pak Darmawan dan Tiara dijodohkan dengan kakaknya sebagai pewaris bisnis orang tua. Demikian Liliana setelah tahu tentang status Danu orang tua melarang berhubungan dengannya, bahkan Liliana diancam akan dipindahkan ke luar negeri kalau tidak menuruti kehendak orangtua.
" Dan, sudah ku bilang sebaik apapun mereka pada kita tak mungkin anaknya boleh menikah dengan kita yang tak jelas keberadaan orangtuanya," kata Tiwi, ia menunduk sedih.
Perjalanan waktu tak bisa berhenti, hidup Pertiwi hari harinya diwarnai dengan tugas tugas rutin, belajar dan belajar, ia belum ingin hatinya terisi oleh seorang cowok yang bisa mengubah takdir hidup, oleh karena nya dapat menyelesaikan studi tepat waktu dengan nilai yang sangat membanggakan, lalu ia telah bisa mendapat gelar dokter umum.
" Dan, aku mau cari bea siswa, ingin meneruskan spesialis ke luar negeri," kata Tiwi.
Pertiwi dapat bea siswa di salah satu kampus di Munich, Jerman, dan sejauh ini Pertiwi berusaha menjauh dari cinta demikian adik adiknya.
Satu tahun kemudian Danu menyusul ke Jerman, sambil tak henti mereka berusaha mencari keberadaan orang tua lewat media, tapi tak juga orang tuanya ketemu atau menemui, mereka hampir menyerah, bahkan dalam hati mereka menganggap kalau orangtuanya sudah wafat.
Tiga tahun Pertiwi yang dapat bea siswa dari negara menyelesaikan studinya di luar negeri, iapun kembali ke kampung halaman untuk mengabdi di daerahnya sendiri bekerja di rumah sakit pemerintahan.
" Wi, apa kamu belum ingin menikah?" tanya Bu Darmawan, beliau sengaja menemui saat Pertiwi pulang dari kerja, yang ditanya menunduk.
" Kakakku punya anak laki laki, kamu tahu Pak Handoyo, dia menghendaki anaknya menikah denganmu!" lanjut Bu Darmawan, Pertiwi yang selalu ingat nasehat neneknya agar bisa balas budi pada keluarga Darmawan pun mengangguk.
" Iya Bu, aku mau, tapi Pak Handoyo tahu kalau aku tak punya orangtua," ucap Pertiwi, ia menunduk lesu.
" Tahu Wi, Pak Handoyo juga istrinya tidak memikirkan itu, mereka setelah melihatmu cocok banget!" jawab Bu Darmawan.
Singkat cerita Pertiwi menjadi istrinya Mikko nama panggilan sehari hari, dan Pertiwi pindah kerja di Jakarta karena harus mengikuti Mikko.
" Wi, kamu jangan membayangkan kita akan di rumah Papi!" ucap Mikko sengol setelah resmi jadi suami Pertiwi.
" Iya Mas, terserah kamu saja," jawab Pertiwi. Setelah keduanya serumah, Mikko yang tidak mencintai Pertiwi demikian juga Pertiwi, tidur di kamar sendiri sendiri.
" Itu kamarmu dan aku tak menggunakan asisten untuk beberes rumah!" kata Mikko, matanya menatap tajam dengan tatapan membunuh. Pertiwi memindahkan baju dari koper ke almari. Dan pagi ini Pertiwi langsung berangkat kerja dengan membawa mobil sendiri.
" Mas, aku sudah masak, tapi aku tak bisa menemani makan!" ucap Pertiwi hati hati.
" Aku makan diluar, kamu bawa kunci rumah!" jawabnya sengol.
Pertiwi pamit berangkat kerja, tapi Mikko tidak mempedulikannya.
Kerja di rumah sakit ini mengingatkan Pertiwi saat kuliah, ingat pada teman teman terutama Fabian yang selalu bersaing dalam mendapatkan nilai terbaik, tapi dia selalu mendekatinya untuk mendapat cinta Pertiwi.
" Bian, aku belum bisa menjawab permintaanmu!" jawab Tiwi saat Fabian mengutarakan isi hatinya, dan orangtua Fabian lama lama tahu keberadaan orangtua Pertiwi maka dia dilarang untuk bertemu dengannya.
" Wi, kita ketemu lagi disini!" kata Fabian di parkiran mobil yang katanya sengaja menyambut kedatangan Pertiwi di hari kerja pertamanya.
" Kita sudah lama tidak jumpa, padahal sama sama di Eropa kita dulu ya!"ujar Pertiwi tersenyum.
" Kamu serius banget kuliahnya sehingga tak pernah keluar," jawab Fabian.
" Iya betul, habis target 3 tahun harus selesai, beda donk sama kamu!" jawab Pertiwi tertawa.
" Aku dengar kamu sudah bersuami, semoga cepet dapat momongan," kata Fabian.
" Iya, kamu juga sudah punya jagoan?" tanya Pertiwi menebak, dan Febianpun tertawa renyah.
" Kita akan selalu satu team!" katanya tersenyum, karena keduanya ambil specialis sama, Pertiwipun tersenyum.
Pertiwi pulang sore hari, dia membuka pintu gerbang untuk memasukkan mobil ke garasi.
" Hmmm mobil Mikko sudah ada di garasi, berarti dia sudah pulang," gumannya. Dia masuk ke ruang tengah,
" Kok ada ******* di kamar Mikko!" guman Pertiwi karena ******* itu terdengar jelas di ruang tengah bahkan terdengar juga di kamar Pertiwi yang bersebelahan dengan kamar Mikko. Pertiwi tak memperdulikan, kalau toh itu Mikko walau dia jadi istrinya tapi karena tidak mencintai, tentu tidak merasa sakit hati.
Pertiwi langsung mandi, dan menuju ke ruang makan, dan masakan pagi yang tidak disentuhpun oleh Mikko akhirnya di makan Pertiwi, saat Pertiwi mau masuk ke kamar, kamar Mikko dibuka tak sengaja mata Pertiwi melihat Mikko sedang memeluk wanita di kamarnya.
" Hmmm wanita dan lelaki tak punya rasa malu, atau disengaja untuk memanasiku!" guman Pertiwi tak mempedulikan dia terus langsung menuju kamar.
Terdengar getar ponsel, Pertiwi mengambilnya di nakas.
"Fabian," guman Tiwi.
"Halo dokter cantik, besok aku pengin ngajak kamu makan di rumah makan kenangan saat kuliah," suara Fabian disana.
" Nanti kalau istrimu tahu bagaimana Bian?" dan Mikko dengan wanitanya telah berada di dekat pintu kamar Tiwi, Mikkopun menatap Tiwi tapi dia tak mempedulikannya, tangannya langsung memegang handel terus ditutup pintu kamarnya.
" Suamimu enggak merajuk kalau tahu kamu dihubungi laki laki?" ujar Fabian disana,
" Enggak, suamiku laki laki baik hati dan tidak cemburuan dokter Bian," suara Tiwi sengaja di keraskan biar Mikko dengan wanita itu dengar.
" Bagaimana tawaranku dokter cantik?" desak Fabian disana.
" InsyaAllah Bian."
Terdengar suara Adzan Magrib sehingga mereka menutup ponselnya.
Malam hari saat Mikko pulang, kamar Tiwi langsung di kethuk oleh Mikko, Tiwi langsung membuka pintu.
" Hai, ternyata sangat mudah untuk melepasmu!" kata Mikko dengan tangan mencekeram kasar baju depan Tiwi,
" Tapi rugi kalau aku belum mencicipimu dokter!" lanjut Mikko beringas, Mikko langsung mendekap kasar tubuh Tiwi, pakaiannya ditarik kuat sehingga baju depan Tiwi sobek sampai kebawah, ternyata tenaga Mikko sangat kuat sehingga Tiwi kewalahan, bahkan pakaian dalamnya ditarik kuat dan dimasukkan ke mulut Tiwi, tangan Tiwi di pegang kuat oleh tangan kekar Mikko dan tubuh Tiwi di dorong keatas kasur. Mikko menindih tubuh Tiwi, dengan nafas terengah Mikko menghantamkan tanpa ampun berkali kali ke Tiwi, Mikko sama sekali tak mempedulikan jeritan Tiwi, setelah selesai Mikkopun pergi, Tiwi sangat sakit dan sedih hatinya, diapun meneteskan air mata pilu, dengan terseok seok Tiwi bangkit menuju kamar mandi.
"Aku tidak perlu menangis, aku wanita kuat dan tak perlu meratapi nasib!" gumannya lirih. Sebagai dokter walau bukan spesialisnya ia berusaha menjaga kebersihan dan kesehatan, karena Mikko baru saja bersama wanita, dia tidak tahu tentang status wanita itu, yang ada dalam pikiran Tiwi adalah kuman yang membahayakan kesehatan dirinya.
Malam semakin larut, Tiwi mengunci kamar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur, matanya mulai ngantuk, iapun tidur.
Paginya Tiwi memasak, paling tidak untuk sarapan sendiri, dan dia melihat Mikko menuju ruang makan, mungkin hidungnya mencium bau masakan Tiwi atau kelaparan, dia duduk di kursi, dan nasi di piring dengan gurameh lombok hijau langsung dimakan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!