"Ayolah, kita bersenang-senang malam ini!" seorang gadis cantik dengan gaun putih mengangkat tinggi gelas berisi minuman lalu meneguknya hingga tandas.
Dalam dentaman suara musik yang berpadu mesra dengan tarian erotis dari orang di dalamnya menambah hingar bingar kemeriahan ruangan klub VVIP malam ini. Beberapa pasang muda mudi bergabung, menikmati suasana yang sedikit panas dan tidak terkendali.
Gadis itu bernama Alin Pramudya. Wanita cerdas yang berkarir dalam bidang fashion. Malam ini seharusnya malam yang indah untuk bertemu Raka seusai kepulangannya dari luar negeri. Seorang pria yang berstatus sebagai tunanganya itu.
Namun, pria itu malah berkhianat dengan adik tiri Alin sendiri. Alhasil untuk mengobati kekecawaan, Alin memakai gaun yang ia pesan untuk pernikahannya dengan Raka dan menghabiskan malam di club untuk minum bersama teman-temannya.
"Lin, apa kau yakin untuk melakukan itu?" bisik salah satu temannya melawan bisingnya suasana.
"Tentu saja aku yakin, kau sudah pesankan?" Alin mengangguk-anggukkan kepala sambil menikmati alunan musik.
"Sudah, dia sudah menunggumu di kamar hotel. Kau pergilah ke sana sekarang." Teman Alin bernama Nola itu mengangguk.
"Kamar berapa?" Alin dengan sedikit sempoyongan beranjak meninggalkan ruangan itu.
"Kamar 109, lantai dua. Ingat, jangan sampai salah kamar!" peringat Nola sedikit khawatir.
"Tenang saja." Alin mengangkat tangan sebagai tanda bahwa dirinya paham. Lantas beranjak dari ruangan, meskipun badannya tidak bisa berjalan dengan tegap.
Alin pun naik ke lantai dua. Di lorong hotel dengan langkah yang sempoyongan mencoba mencari di mana letak kamar nomor 109 sesuai petunjuk Nola tadi.
Akibat pengaruh alkohol yang masuk dalam tubuhnya, mata Alin jadi buram. Sukar menerjemahkan objek di hadapannya. Sehingga ia harus membuka mata lebar-lebar dan memukul kepalanya berulang kali.
"Ini atau ini?" tunjuk Alin yang sudah berada di tengah-tengah kedua pintu yang bersebrangan di hadapannya. Pintu bertuliskan angka 106 dan 109.
"Ini kali ya." Celakanya Alin malah memilih nomor yang salah. Kamar nomor 106.
"Buka!" Alin menggedor pintu berulang kali dengan keras.
Cukup lama berdiri tanpa mendapatkan jawaban, Alin menggedor sekali lagi namun tenaganya sudah melemah.
"Ayolah, cepat buka. Apa kau tidak menginginkan uang, hah?" Alin menyandarkan tubuh lemasnya di pintu. Matanya terpejam sambil memukuli kepalanya karena pusing.
Tidak lama kemudian, pintu terbuka dan tubuh Alin langsung limbung dalam pelukan lelaki yang berada di balik pintu.
"Lama sekali, aku akan memotong fee kamu malam ini," gerutu Alin sambil memukul lengan lelaki itu.
"Hei, Nona. Kau siapa?" tanya pria yang sepertinya tengah berada dalam pengaruh alkohol.
"Siapa aku, bukan urusanmu. Yang jelas aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu. Ayo, cepat lakukan." Alin mendorong tubuh lelaki itu untuk masuk ke kamar.
Pria yang masih setengah sadar itu mencoba menghalau dorongan dari Alin di dadanya.
"Keluar kau, Gadis Bodoh! Kenapa sembarangan masuk kamar orang, hah?!" Pria itu mencengkeram dengan kasar tangan Alin di dadanya. Hendak menyeret keluar. Pria itu hanya ingin beristirahat sendirian, tidak memanggil wanita manapun untuk menemaninya.
"Siapa kau berani masuk sembarangan ke kamarku, hah? Cepat keluar!" Pria itu mendorong tubuh Alin sampai ke pintu, sebelum Alin merentangkan kedua tangan memegang pinggiran pintu.
"Tunggu dulu!" Alin menahan dorongan pria itu yang hampir menyeretnya keluar. Lantas menatap wajah pria itu dalam.
"Kenapa kau begitu sombong, huh? Apa kau tidak menginginkan uang lagi? Apa kau benar-benar ingin menolakku?" tanya Alin kepada pria yang ia anggap sebagai gigolo tadi. Alin mendongakkan wajah sehingga bertatapan dengan pria asing tersebut. Ia kesal, sambil menunjuk pria itu, ia menggerutu. Bukankah seharusnya ia mendapatkan perlakuan manis?
Wajah cantik Alin yang bersinar sesaat menyihir perhatian pria asing tersebut. Pandangannya turun pada bibir merah muda yang lembab dan sensual. Membangkitkan gairah pria itu saat ini juga.
Meski diliputi kebingungan, tidak bisa dipungkiri bahwa bibir pria itu sedikit terangkat membentuk senyuman licik. Siapa yang tidak mau jika seekor mangsa menawarkan dirinya dengan percuma tanpa susah-susah untuk mendapatkannya.
Dia sudah melupakan niatnya untuk beristirahat dengan tenang. Perhatiannya tertuju pada gadis yang saat ini tengah berdiri bersandar di tembok. Entah siapa dan apa motifnya, pria itu sudah tidak memedulikannya lagi.
Pria itu bernama Daniel Maheswara. Seorang CEO dari perusahaan retailer online fashion terbesar. Pria yang bergelimang harta dan banyak digilai wanita. Malam ini ia kelelahan setelah melewati pesta masa lajang temannya.
Daniel tersenyum sinis, sebelum akhirnya mengikuti langkah Alin menuju ranjang. Wajah cantik dengan pipi yang bersemu merah semakin menambah kesan sexy di mata Daniel malam ini.
"Cepat lakukan! Kenapa kau diam saja, hah? Aku ingin kau memuaskanku malam ini!" Alin menarik tangan Daniel sehingga tubuhnya berada di bawah kungkungan pria itu.
"Santai, Manis. Kenapa kau begitu terburu-buru, huum?" Daniel menyeringai. Memperlihatkan barisan gigi putihnya.
Daniel menyusuri wajah cantik itu menggunakan jemarinya. Membelai halus pipi Alin sehingga membuat pemiliknya menggeliat resah. Daniel akui, bahwa Alin memang benar-benar cantik.
Lain halnya dengan Alin, wanita itu malah membuka mata dan memegang rahang tegas Daniel dengan senyuman manis.
"Ternyata kau cukup tampan. Selera Nola bagus juga ternyata," gumam Alin. Sedikit Alin terpesona dengan ketampanan wajah pria di atasnya itu. Tubuh kekar dengan wajah tampan, membuat Alin terhipnotis dan berhenti beberapa saat dalam kepasrahannya malam ini.
Daniel tidak bisa mengendalikan diri tatkala jemari lentik itu membelai mesra rahang serta wajahnya. Kecantikan Alin berhasil membuat setengah dari kewarasannya menghilang begitu saja.
"Kau yang memintanya sendiri, Nona. Jangan sampai kau menyesali esok hari ketika kau sudah tersadar nanti," bisik Daniel di sela-sela kegilaannya malam ini.
Daniel langsung membenamkan bibirnya pada bibir merah muda milik Alin yang sedari tadi menggodanya. Jemari Daniel mulai membuka satu per satu kancing kemeja, meloloskan dari tubuh atletisnya yang keras dan dipenuhi otot yang kuat. Pangutan bibir mereka kembali disatukan tanpa membiarkan Alin berdiam diri memerhatikan lebih lama.
"Apa kau benar-benar ingin melakukannya denganku?" Daniel memastikan sekali lagi. Meskipun Alin hanya pasrah dalam dekapannya.
"Aku yakin, cepat lakukanlah itu." Alin mengangguk dengan tatapan sayu. Dirinya juga sudah terbakar gairahnya sendiri akibat sentuhan dari Daniel.
"Ini kesempatan terakhirmu. Apa kau benar-benar--"
Alin tidak memberikan kesempatan Daniel untuk berbicara lebih lama, sebelah tangannya menarik tengkuk Daniel dan menyatukan bibir mereka kembali. Kedua tangan Alin mengalung mesra di leher Daniel, menyambut setiap sapuan-sapuan mesra lidah pria itu menyapa mulut dan lehernya.
Sampai pada inti, Alin berteriak kesakitan seraya mendorong tubuh Daniel menjauh darinya. Daniel sendiri juga kaget ketika menyadari bahwa Alin masih gadis suci yang menjaga baik kesuciannya. Namun, untuk berhenti bukanlah pikiran Daniel saat ini. Ia sudah kepalang tanggung melangkah sejauh ini.
"Maafkan aku gadis cantik," bisik Daniel seraya mengecup mata Alin yang basah karena air mata. Menyentak miliknya menuju kepunyaan Alin.
Malam itu adalah malam pertama Alin melampaui batasnya.
Aktivitas keduanya masih berlanjut diiringi dengan deru napas yang saling bersahutan. Sampai beberapa menit kemudian, tidak ada sepatah kata pun jeritan kesakitan dari bibir Alin. Tubuhnya berguncang, keringat dingin berjatuhan menyusuri kulitnya. Kian tak tertahankan ketika Daniel mulai menambah kecepatan hujamannya.
Tubuh Daniel luruh, menimpa tubuh Alin yang sama lelahnya dengan dirinya. Dia menarik diri, mengecup bibir mesra wanita setelah mendapatkan kepuasannya malam ini. Daniel membiarkan miliknya di dalam Alin, baru dilepaskan setelah keduanya sama-sama terpuaskan.
Daniel berguling sehingga berada di samping tubuh Alin yang masih sibuk mengatur napas. Napasnya juga masih terengah akibat kegiatan panasnya malam ini.
"Sebenarnya apa yang membuatmu melakukan hal gila ini, Cantik?" Daniel mengusap peluh di kening Alin dengan lembut. Lalu mendaratkan sebuah kecupan di sana.
Lama tidak mendapatkan jawaban, Daniel mencoba untuk bangkit dari ranjang sebelum tangan Alin kembali mencekal. Daniel mendengar suara isak tangis wanita itu membuat ia mengurungkan niatnya untuk beranjak.
"Mereka semua biadap! Mereka merebut asetku! Mereka menghancurkan segala rencanaku!" teriak Alin di sela isakannya.
Daniel mengernyitkan sebelah alis. Sebelum akhirnya ia mulai mengelus lembut kepala Alin yang saat ini masih tergugu dalam tangisannya.
"Mereka mengacaukannya. Mereka mengkhinatiku! Apa menurutmu, aku ini kurang cantik sampai dia tega mengkhinatiku, hah?" tanya Alin menghadap Daniel. Menunjuk dirinya sendiri dengan tatapan sayu.
Daniel tersenyum. Menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik itu. "Bodoh jika kau merasa bahwa dirimu itu tidak cantik."
"T-tapi kenapa dia malah berselingkuh? Kami akan menikah sebentar lagi, tapi dia malah bertukar cairan dengan wanita lain," gerutu Alin.
"Hussst, tidurlah. Tidak usah memikirkan pria seperti dia." Daniel menepuk-nepuk punggung Alin layaknya seorang ayah yang menidurkan anaknya. Dan baiknya, Alin menurut saja.
Daniel tersenyum tipis. Tangannya masih bertengger di kepala memberikan gerakan halus supaya wanita itu tertidur. Sebetulnya kepalanya masih pening, tapi ia memaksakan untuk tetap terjaga.
"Siapa kau sebenarnya?" Daniel mengambil tas milik wanita itu yang berada tidak jauh dari ranjang. Mengambil sebuah kartu nama.
"Alin Pramudya? Hmm, nama yang bagus." Lantas Daniel mengembalikan kartu tersebut ke dalam tas.
Daniel menarik tangannya yang digunakan Alin sebagai tumpuan, bangkit memakai celana yang teronggok di lantai lalu melangkah menuju balkon. Menyesap sari rokok, lalu mengepulkan asapnya ke udara. Entahlah, Daniel tidak tahu apa yang akan terjadi esok, yang jelas ia suka cara Alin menggodanya tadi.
Alin menggeliat tidak nyaman ketika sinar mentari masuk memalui celah gorden dan tepat jatuh pada matanya. Kesadarannya kini sudah benar-benar pulih, meskipun rasa pening di kepala masih terasa.
Ia mengucek matanya yang terasa perih. Sebuah lengan kekar memeluknya dari belakang memberikan kesan asing bagi Alin. Perlahan ia membuka selimut yang membungkus tubuh polosnya. Dan wanita itu terhenyak ketika melihat tubuhnya benar-benar polos. Terlihat gaun putih yang ia kenakan tadi malam teronggok di lantai. Tepat di belakangnya, seorang pria masih tertidur dengan pulas.
"Gila, jadi tadi malam aku benar-benar melakukannya?" Alin memijit pelipisnya gusar. Bayangan ia merayu Daniel tadi malam membuat rasa malu dirinya bertambah.
Alin memang berencana menyewa seorang gigolo sebagai pelampiasan sakit hatinya kepada Raka karena berselingkuh. Maka Alin bertekad untuk membalas dengan perselingkuhan juga. Namun, untuk malam tadi adalah sebuah kegilaan yang tidak akan Alin lupakan.
Alin dengan hati-hati menyingkirkan tangan pria itu dari perutnya, berniat meninggalkan Daniel tanpa sepengetahuannya. Namun, naasnya pria itu malah terjaga dan mengunci tubuh Alin.
"Mau ke mana, Cantik?" bisik Daniel tepat di telinga membuat Alin meremang. Tersadar akan kebuasan pria itu kemarin malam.
Alin merubah posisi sehingga berhadapan dengan Daniel. Sesaat, ia sempat terpesona pada ketampanan pria itu, bagaimana perlakuan tadi malam sungguh membuat Alin gila sendiri.
"Lepaskan aku!" berontak Alin. Alin mendorong tubuh Daniel.
Daniel melepaskan pelukan, tapi senyuman licik tidak lepas dari bibirnya. Daniel tahu bahwa wanita itu pasti akan terkejut dengan apa yang terjadi semalam. Daniel pun juga masih bingung dengan dirinya sendiri, kenapa bisa sampai kehilangan kendali.
"Alin, kau mau aku memberikan pertanggung jawaban apa dariku?" tanya Daniel kepada Alin yang saat ini bersandar pada bahu ranjang dengan selimut menutup dada. Daniel akui, kecantikan Alin pagi ini bertambah dua kali lipat.
"Dari mana kau tahu namaku?" Alin memincingkan mata, menatap Daniel tajam.
Daniel tersenyum. "Kau tahu, cara terbaik untuk balas dendam adalah merebut barang berharga miliknya. Bukan dengan menyakiti diri sendiri."
Alin semakin was-was. Ia merasa curiga dengan pria itu. Namun, ketika melihat tasnya sudah berada di atas nakas, Alin geram.
"Lancang sekali kau membuka tasku, hah?" Alin menatap Daniel dengan curiga. Lalu mengeluarkan amplop coklat berisi sebuah uang.
"Ini fee sesuai yang aku janjikan. Jangan menemuiku untuk hal apa pun!" Alin menyerahkan amplop tersebut yang disambut kernyitan bingung dari Daniel.
"Pekerjaanmu cukup memuaskan juga semalam." Alin berlagak sudah sangat berpengalaman dalam hal itu. Padahal Daniel jelas tahu, bahwa wanita itu baru pertama kali melakukannya.
"Kau anggap aku ini apa? Kau tidak tahu siapa aku, hah?!"
Daniel bangkit dari tempat tidur dengan amarah karena perkataan tadi. Ia merasa dihina dan direndahkan oleh wanita yang menghabiskan malam dengannya itu. Ia menepis kasar amplop berisi uang tersebut. Biasanya dia yang akan membayar wanita, bukan seperti ini.
"Untuk apa aku tahu siapa kau? Toh, hubungan kita juga sampai di sini." Alin tidak mengindahkan raut wajah kesal dari Daniel, malah menjawabnya dengan ketus.
"Sekarang, pergilah dari kamarku." Alin beranggapan bahwa itu adalah kamarnya. Padahal dialah yang seharusnya pergi.
Daniel yang sejak tadi menahan amarah, akhirnya meledak begitu saja ketika mendapatkan jawaban ketus dari Alin.
"Hei, perempuan gila! Seharusnya kaulah yang keluar! Ini adalah kamarku, dan kau sendirilah yang merangkak ke sini tadi malam."
Daniel bangkit dan mencengkeram rahang Alin dengan kuat. Daniel yang tidak biasa diperlakukan seperti itu oleh seorang wanita, merasa terhina. Jadi ia akan menunjukkan jati dirinya sesungguhnya.
Alin berubah pucat. Ia yakin ada yang salah di sini. Sikap arogan yang ditunjukkan Daniel bukanlah sikap yang seharusnya seorang pria sewaan lakukan. Mendadak Alin teringat berita buruk yang ia baca beberapa hari lalu.
"O-oke. Aku akan pergi." Alin mengeratkan selimut dan mengambil gaunnya lalu melangkah ke kamar mandi.
Setelah selesai berganti pakaian, Alin pun langsung meninggalkan Daniel yang masih nampak kesal.
"Pergi sejauh mungkin! Jangan sampai aku melihatmu, atau kau akan habis!" Suara Daniel menggetarkan hati Alin. Gadis itu berpikir bahwa Daniel adalah gigolo angkuh yang tidak mau dibayar.
Tiba di luar kamar, Alin tertegun melihat nomor kamar yang ia masuki.
"106? Berarti... " Alin menepuk jidatnya sendiri. "****, salah kamar!"
"Terus pria itu siapa?" Alin tertegun. "Pantas saja dia arogan dan angkuh, ternyata dia bukan gigolo yang disewa Nola."
Alin tidak peduli. Toh, semua juga sudah terlanjur terjadi. Ia bergegas menuju mobil dan pulang ke rumah.
Berbeda dengan Daniel yang masih berada di dalam kamar dengan perasan kesal. Selama dia berkarier, belum pernah ada yang memerlakukan dirinya layaknya seorang sampah seperti ini. Dia begitu ideal sampai semua wanita mau mendapatkan hatinya.
Daniel merasa terhina, sekaligus kehilangan muka. Masa seorang pria idaman wanita di penjuru dunia ini diperlakukan layaknya seorang pria sewaan yang bertugas memuaskan. Tidak, Daniel tidak akan terima.
Wanita mana yang tidak mau dengan Daniel. Tampan, pewaris tunggal dengan bergelimang harta, kriteria idaman untuk dijadikan suami. Namun, Alin sama sekali tidak memedulikannya.
"Awas kau Alin, suatu saat aku akan membuatmu merangkak menemuiku!" Daniel mengepalkan tangan.
***
"Bagaimana, Lin?" Nola menggoda dengan tatapan, melihat ke arah Alin yang malah nampaknya kesal. Saat mereka sedang berada di sebuah kafe.
"Tahulah, salah kamar." Alin menelungkupkan wajahnya ke meja.
"Nah, kan, udah dibilangin juga. Terus gimana, nggak jadi, dong?" Nola nampak kecewa.
"Jadilah," jawab Alin lesu.
"Sama siapa?" Mata Nola membulat.
"Entahlah, aku tidak kenal pria itu." Alin masih lelah akibat pertempuran semalam.
"Namanya? Pasti tahu kan siapa? "
Alin menggeleng.
"Gila kamu, Lin. Terus nanti kalau ada apa-apa terjadi pada dirimu, bagaimana?" Mata Nola membulat.
"Maksudmu aku hamil?" Nola mengangguk. Sedikit khawatir.
"Tidak mungkinlah. Pasti pria seperti dia selalu membawa pengaman. Sudah, kau tenang saja." Alin mengabaikan perkataan Nola.
Di pikirannya sekarang adalah bagaimana menghilangkan rasa nyeri di sekujur tubuhnya, terutama pada bagian inti.
Pria sialan itu sudah menyiksanya tidak malam. Lagipula kenapa pria itu tidak menolaknya saja? Jika memang tidak menginginkan harusya Alin lebih dulu diusir, bukan malah sama menikmati seperti itu. Apalagi perlakuannya yang kasar. Benar-benar menjengkelkan.
"Tapi bagaimana kalau pria itu tidak memakai pengaman? Bukankah itu sangat berbahaya? Bagaimana kalau menularkan penyakit?" Pertanyaan beruntun dari Nola malah membuat Alin semakin takut.
"Sudahlah, Nol, jangan menakutiku seperti itu." Alin berubah pias. Mengusap wajahnya dengan kasar.
"Aku hanya mengatakan kemungkinan terburuknya. Kau harus berhati-hati lain kali." Nola memperingatkan.
Alin membenamkan wajahnya di lipatan tangan, lalu terisak. Mengusap air mata yang mengalir di pipi. Menyesali tindakan konyolnya itu.
"Tidak ada lain kali, Nol. Aku kapok."
Beberapa bulan kemudian.
"Al, are you oke? Aku lihat beberapa hari ini tubuhmu terlihat lemah." Nola datang dengan membawa secangkir teh hangat lalu meletakkan di atas nakas.
"Aku baik-baik saja, La. Hanya sedikit mual. Pasti cuman masuk angin." Alin merapatkan selimut yang membaluti tubuhnya.
"Tapi ini sudah beberapa hari, Lin. Aku takut terjadi sesuatu padamu."
"Tenanglah."
Setelah kejadian malam itu, Alin memutuskan untuk tinggal di rumah sahabatnya yang jauh dari perkotaan dan tidak kembali ke rumah. Ia ingin melupakan semua masalah. Masalah cinta, keluarga, maupun hubungan satu malamnya dengan seorang pria itu.
"Nola, maaf aku selalu merepotkanmu. Kau sangat baik, aku tidak akan melupakan jasamu," kata Alin tulus.
"Astaga, Alin, kau ini seperti sama orang asing saja. Jangan dipikirkan lagi." Nola terkekeh.
"Tetap saja, Nol. Aku berhutang budi padamu. Kalau kau tidak menolongku waktu itu, mungkin aku tidak akan berada di sini." Alin masih ingat jelas bagaimana Nola mengulurkan tangan saat Alin tidak berdaya.
"Ck, berhentilah mengatakan itu lagi. Tapi, Al, aku ragu kalau keberadaanmu pasti akan cepat diketahui. Kau tahu kan isi otak licik mereka?" Nola menatap Alin bimbang. Apalagi ketika Nola tahu siapa yang andil besar dalam masalah yang Alin hadapi.
"Ya, aku tahu. Aku terlalu gegabah waktu itu."
"Kita pikirkan itu nanti. Kepalamu masih sakit?" Nola menyentuh kepala Alin.
Alin mengangguk. "Kadang-kadang. Kadang juga serasa mau pecah."
Nola tersenyum. Begitu besar masalah sahabatnya itu. Ia sendiri sampai bingung mau membantu bagaimana. Belum sempat menanyakan satu hal, ponselnya berdering, pesan dari temannya membuat Nola membulatkan mata kaget.
"Al, lihat ini. Bukankah ini fotomu? Pengusaha besar itu sedang mencarimu ke mana-mana, bahkan memberikan imbalan pada siapa pun yang berhasil menemukanmu." Nola menunjukkan sebuah berita di sosial media yang memuat tentang Alin.
"Mana?"
Mata Alin membelalak ketika melihat sebuah foto, dan sudah ia pastikan bahwa itu adalah dirinya.
"Pengusaha itu bernama Daniel Maheswara, pemilik perusahaan retailer online fashion terbesar. Untuk apa dia mencarimu jika itu bukan suatu hal yang penting? Apa jangan-jangan dia pria itu?" Nola membelakkan mata.
Alin terdiam. Ia membuka salah satu web dan mengetikkan nama Daniel di sana. Terpampanglah sebuah foto yang Alin jelas pastikan bahwa benar pria itu adalah orang yang menghabiskan malam dengannya.
"Nola, apa yang harus aku lakukan?" Alin menatap Nola gugup.
"Jadi, benar dia orangnya?" Alin mengangguk. "Astaga."
"Lalu apa yang akan kau lakukan, Al? Kau tahu, cepat atau lambat dia akan tahu kalau kau tinggal di sini. Secara, pasti koneksi dia lebih bagus untuk sekedar melacak keberadaan orang."
"Berhenti, La. Kau membuatku takut." Alin meremang. Dia takut bahwa Daniel akan menculiknya.
"Tapi kenapa dia mencariku? Bukannya hubungan kami hanya berakhir hari itu juga?" Alin resah. Alin mengatakan untuk tidak mencarinya, tapi kenapa pria itu malah memasang pengumuman tentang dirinya?
Nola nampak berpikir, lalu berkata, "Apa dia mau bertanggung jawab kepadamu, Al?"
"Bertanggung jawab apanya?"
"Tidak mungkin kalau kau hamil, kan?"
Alin tersedak salivanya sendiri. Mengelap sudut bibirnya yang basah menggunakan jari. Menggeleng, seraya terkekeh renyah. Tidak mungkin rasanya.
"Ah, tidak mungkin. Bagaimana bisa aku hamil," kilah Alin. Menepis tangan Nola.
"Tidak ada yang tidak mungkin. Apa kau ingat dia memakai pengaman atau tidak saat kalian bermalam waktu itu?" Nola menaikkan sebelah alis.
Alin meneguk ludah kasar. Waktu itu dia tidak ingat apa pun. Pikirannya terlalu penuh dengan rasa kecewa, sampai tidak berpikir sejauh itu.
"Tunggu sebentar." Nola pamit pergi.
Alin mengelus perutnya sendiri. Apakah benar jika dirinya tengah mengandung? Hamil dari pria yang sama sekali tidak ia kenali? Lalu, bagaimana nasibnya jika sampai itu terjadi?
"Ini." Nola menyerahkan sesuatu kepada Alin.
"Apa ini?"
"Alat tes kehamilan."
Alin menatap nanar sebuah testpack di tangannya. Lalu menatap Nola yang sepertinya mulai memberikan paham. Tidak mungkin kan Alin mengandung?
"Hhh, untuk apa aku tes? Aku tidak hamil, La." Alin terkekeh.
"Tidak ada yang tidak mungkin. Gejalamu sekarang seperti orang yang sedang mengandung, Alin. Tidak ada salahnya mencoba." Nola mencoba memberikan penjelasan.
Alin meremas alat yang masih tersegel itu, lalu bangkit dari ranjang dan bergegas menuju toilet. Awalnya ia ragu, tapi akhirnya Alin memutuskan untuk mencoba.
Lama Nola menunggu Alin untuk melakukan tes di toilet seraya menyandarkan tubuh di pintu, tidak lama kemudian Alin datang dengan raut wajah yang sulit di artikan. Nola mendekat, memegang tangan sahabatnya.
"Bagaimana hasilnya?"
Tanpa menjawab, Alin menyerahkan hasil testpack tersebut kepada Nola, yang disambut kerutan di dahi oleh sahabatnya.
"Bantu aku, Nola." Alin memegang tangan Nola.
***
"Sudah menemukan informasi tentang wanita itu?" Sang asisten yang ditanya hanya tersenyum pias.
Daniel menurunkan kacamata, meletakkannya di meja, lalu menatap dalam sang asisten di depannya yang nampak berbeda. Aura angkuh dan dinginnya mendominasi membuat siapa saja pasti akan merasa takut.
"Sudah, Tuan. Tapi ...."
"Tapi?"
"Ada sesuatu yang mungkin tidak sesuai dengan harapan, tapi saya harap Tuan dapat menerimanya."
"Cepat katakan! Jangan membuatku penasaran!"
Asisten Daniel memberikan isyarat menggunakan tangan untuk memanggil seseorang. Tidak lama kemudian, datanglah seorang wanita masuk ke ruangan.
Daniel menaikkan sebelah alis melihat wanita asing di depannya.
"Siapa kau?"
"Saya Nola, Tuan." Nola mengangguk patuh. Pantas saja Alin takut, pria itu terlalu menyeramkan.
"Apa tujuanmu datang ke mari?" Daniel menatap dingin.
"Saya ingin membicarakan mengenai wanita yang Anda cari. Alin."
Spontan tubuh Daniel langsung menegak ketika mendengar nama itu. Otaknya langsung ngeblang begitu saja.
"Apa kau mengenal Alin?" tanya Daniel penasaran.
"Sangat. Kami bahkan sahabatan sejak SMA." Nola mengulas senyum.
"Apa buktinya?" Daniel bukanlah orang yang mudah ditipu bgitu saja.
Nola melangkah maju dan menunjukkan beberapa foto dirinya dengan Alin. Memberikannya pada Daniel supaya pria itu percaya.
"Lalu di mana dia sekarang? Aku ingin bertemu dengannya." Daniel mulai menunjukkan antusiasnya.
"Dia ... dia ...."
"Di mana, hah? Bicara yang jelas!"
Nola hanya menunduk, lalu diam-diam terisak. Hal itu mengundang tanda tanya bagi Daniel. Pasalnya dia membutuhkan jawaban, bukan tangisan seperti ini.
Melihat atasannya bingung, sang asisten menyerahkan sebuah lembaran kertas berisi keterangan sesuatu.
"Nona Alin sudah meninggal, Tuan."
"M-meninggal?" Daniel terkejut. Lidahnya begitu kelu.
Daniel hampir saja terhuyung membaca baris demi baris surat yang mengatakan tentang kematian Alin. Ia tidak menyangka, orang yang selama ini ia cari, malah berakhir seperti ini.
"Kecelakaan mobil telah menewaskan Nona Alin. Dia meninggal setelah keluar dari sebuah kafe bersama Nona Nola, ditabrak oleh seorang pengendara truk yang kemungkinan memang suruhan dari seseorang. Saya sudah memeriksa surat kematian dari Nona Alin."
Daniel menggeleng tidak percaya. Lantas berjalan menuju ke arah Nola yang masih terisak. Memegang bahu lalu dicengkeramnya kuat.
"Katakan bahwa semua ini bohong. Semua ini palsu, kan?!"
"Maaf, Tuan. Saya tidak bisa menjaga Alin dengan baik," ucap Nola terisak.
Daniel malah tersenyum pias. Bergerak mundur seraya meremat kertas putih itu menjadi lusuh. Tidak, tidak mungkin Alin akan meninggalkannya semudah itu. Daniel tidak percaya.
"Tidak mungkin, Alin tidak mungkin meninggal." Tubuh Daniel oleng begitu saja.
"Tuan!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!