NovelToon NovelToon

Tak Akan Terganti

Prolog

Langit pagi tampak berwarna biru. Begitu cerah dan nyaman dipandang. Mengukirkan satu senyuman pada setiap bibir manusia, yang telah dilingkupinya.

Suara burung mengoceh terdengar merdu. Mengalun nyaring satu sama lain. Bersahutan dengan suara orang-orang di dalam sebuah ballroom hotel ternama di kota ini.

Semua orang di sana tampak begitu bahagia. Mereka menggunakan setelan terbaik dan merias wajah dengan super cantik.

Namun, berbeda tempat, berbeda pula keadaannya.

Di dalam kamar hotel tersebut, suara tangis seorang gadis terdengar begitu pilu. Di balik gaun pernikahannya yang indah, air matanya jatuh tak tertahan.

Hari yang ia kira akan sangat membahagiakan, ternyata berubah menjadi hari yang sangat mengejutkan, sekaligus menyedihkan dalam sekejap.

Beberapa menit yang lalu, ia mengucapkan janji suci pernikahan. Namun, tidak dengan kekasihnya.

Rasa sedih, kesal, dan amarah bergumul menjadi satu. Mengerubungi hati juga kepalanya. Bahkan, hampir membawa jiwanya keluar dari tubuhnya.

Sejak kemarin hatinya resah, ia tidak tahu karena apa. Dan sekarang ia paham, ternyata kekasihnya menghilang di hari pernikahan mereka. Sejak pagi pria itu tidak bisa dihubungi dan tidak ada yang tahu di mana keberadaannya. Bahkan teman-teman terdekatnya sekali pun, tidak ada yang bisa memberikan informasi di mana dan bagaimana keadaannya. Tapi, gadis itu yakin kekasihnya bukan sengaja melakukan ini. Pasti sedang terjadi sesuatu dengan pria itu. Ia menolak percaya, pria yang seharusnya menjadi suaminya pergi dan tak mau menikahinya.

Lama air mata itu keluar. Hingga suara ketukan pintu menginterupsi pendengaran gadis itu. Tak ingin terlihat menyedihkan, gadis dengan rambut sedikit bergelombang itu menyusut air matanya. Kakinya melangkah ke arah pintu kamar hotel dengan begitu berat. Tangannya senantiasa menggerakkan handle pintu agar terbuka.

Tampak seorang pria paruh baya. Namun, masih terlihat begitu gagah, berdiri di luar pintu. Gadis itu memandangnya nanar.

"Boleh masuk?" tanya pria paruh baya itu dengan lembut. Ia melangkahkan kakinya ke dalam kamar pengantin itu. Menutup, kemudian menguncinya, setelah mendapatkan persetujuan dari sang gadis.

Tanpa kata, gadis itu memeluk Banyu–ayahnya, dengan erat. Ia menangis sekencang mungkin. Ia luapkan emosinya hari ini, dengan mendekap tubuh kokoh ayahnya. Sosok pria yang selalu ada untuknya. Sosok yang tak pernah mengkhianatinya.

Pria itu membalas dekapan sang putri. Sesekali ia mengecupi kepala gadis itu untuk menenangkannya. Ia tahu perasaan putrinya tengah kacau. Namun, ia juga tak bisa berbuat apa-apa, selain memeluknya dengan hangat. Menyelimutinya dengan kasih sayang yang tak pernah lupa ia tunjukkan.

"Jangan sedih, Nak. Tidak seharusnya kamu menangis hari ini,” ucap Banyu.

“Kamu masih ingat kan, pesan ayah waktu itu?" imbuh Banyu seraya mengusap kepala putrinya dengan lembut, menyalurkan setiap cinta yang ia miliki untuk sang putri sulung.

"Jangan menyesal, Ca. Mungkin ini memang cara Tuhan untuk mempertemukan kamu dengan jodoh kamu yang sesungguhnya," ujarnya lagi, kala mendengar isak tangis putrinya semakin nyaring.

"Tapi aku enggak mau nikah sama dia, Yah. Aku maunya nikah sama Dean," ucap gadis dengan nama sapaan Caca itu sambil terisak.

Ia tak lagi bisa menahan setiap emosi yang bergejolak dalam hatinya. Ayah adalah salah satu kelemahannya.

"Kamu harus ingat dengan janji kamu ke Ayah, Ca. Kamu sudah berjanji, akan menuruti setiap perintah Ayah, jika Dean mengacau di pernikahan kalian."

Pria itu mengingatkan janji putrinya satu bulan sebelum acara pernikahan ini dilaksanakan. Entah datang dari mana. Banyu mempunyai firasat buruk di hari pernikahan putrinya. Mungkin, karena hubungannya yang cukup dekat dengan ketiga anaknya, membuat dirinya lebih peka dengan lingkungan putra-putrinya.

"Dan sekarang kamu lihat. Dean tidak datang, dia menghilang," imbuhnya. Mereka masih setia dalam satu rengkuhan.

“Ayah yakin, pria itu memang sengaja mempermainkan kamu dan keluarga kita,” lanjutnya lagi.

Caca menggeleng kuat. "Tapi kenapa ayah malah menikahkan aku dengan sepupunya. Ayah bisa memintaku untuk melakukan hal lain. Ayah boleh memotong uang jajanku selama dua tahun. Ayah boleh menyita fasilitasku. Aku sangat rela melakukannya, Yah,” ujarnya.

“Seharusnya kalian mencari Dean dulu sebelum memintaku untuk menikah dengan pria itu." Caca tampak semakin frustrasi.

"Dan lagi, aku yakin Dean tidak sedang mempermainkan kita. Aku yakin terjadi sesuatu dengannya, sampai Dean enggak datang hari ini," bela Caca.

Dean mencintainya, tak mungkin pria itu pergi meninggalkannya secara sengaja. Apa alasan pria itu mengkhianatinya, toh sejak menjalin hubungan, mereka baik-baik saja. Tak pernah ada pertengkaran di antara keduanya.

Caca merasakan kepala ayahnya menggeleng meskipun samar. Ia pun semakin terisak, karena ayahnya tak lagi percaya padanya.

Banyu merenggangkan dekapan putrinya. Ia membingkai wajah Caca dengan kedua tangannya. Kemudian, mengusap air mata yang turun di pipi putrinya dengan ibu jari. Ia menatap mata putri kesayangannya yang tengah menangis itu, dengan lembut.

“Ayah tidak lagi bisa menerima pria brengsek itu lagi, Ca. Dia sudah mempermalukan keluarga kita dan keluarganya sendiri,” tutur pria itu. Terlihat ada sorot mata kebencian dari Banyu saat membicarakan pria bernama Dean, kekasih Caca.

"Maafkan Ayah sudah memaksa kamu menikah dengan sepupu Dean. Tapi, kamu juga harus tahu dan sadar dengan alasan Ayah." Banyu menatap putrinya dalam.

"Pikirkan, Nak, jika pernikahan kamu dibatalkan, apa yang akan terjadi?” tanya Banyu.

“Keluarga kita dan keluarga Om Kean pasti akan malu. Semua kolega kakek, teman ayah, kolega Om Kean diundang, Sayang. Mereka semua hadir untuk resepsi kalian berdua. Mau ditaruh mana muka kami, kalau sampai mereka semua tahu pengantin laki-laki putri sulung Banyu Biru menghilang. Putra sulung keluarga Keanu Adi Putra tidak bertanggung jawab, kabur pada hari pernikahannya.

Ini tidak hanya tentang kamu, Sayang. Tapi tentang dua keluarga besar kita. Dan ayah tegaskan! Di sini bukan hanya kamu yang dipaksa. Abimanyu putra Om Arjuna juga dipaksa. Dia tidak menyerahkan diri untuk menikah dengan kamu. Mama dan ayah yang meminta dia untuk menggantikan posisi Dean." Banyu menghela napas panjang.

"Dan untuk kenapa Ayah dan mama memilih Abimanyu, karena kami sudah mengenal dia sejak lama. Ayah sudah lebih dulu tahu tentang Abimanyu daripada Dean, meskipun ibunya Dean teman Ayah. Ayah lebih tahu bagaimana sifat dan sikap Abimanyu. Dia jauh lebih baik daripada Dean. Dia akan menjadi pendamping terbaik untuk kamu, Ca."

“Enggak, Yah, enggak. Aku enggak suka sama Abi, Yah,” ujarnya semakin terisak.

“Ca, Abimanyu jauh lebih baik dari Dean. Dia yang lebih pantas untuk bersanding dengan kamu.”

Setelah berkata panjang lebar, Banyu meninggalkan putrinya. Namun, sebelumnya ia mengecup kening gadis itu. Memberitahu putrinya bahwa ia sangat menyayanginya seperti dulu, tak pernah berubah. Tak lupa juga ia berikan satu rengkuhan hangat untuk putrinya. Sebelum benar-benar pergi dari kamar tersebut.

Caca terduduk di atas ranjang kamar pengantinnya setelah sang ayah keluar. Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menangis tertahan. Menanyakan keberadaan kekasihnya dalam diam. Ia tidak tahu takdir seperti apa yang tega mempermainkannya. Kenapa ia harus menikah dengan seseorang yang begitu ia benci sejak satu tahun yang lalu?.

Flashback

Cahaya Bulan, seorang gadis berkacamata tengah menatap pintu ruang baca di rumahnya. Setelah mengumpulkan segenap keberanian, gadis yang akrab dipanggil Caca itu memutar handle pintu dan mendorongnya.

“Yah, sibuk enggak?” Caca melonggokkan kepalanya dari luar. Ia melihat ayahnya sedang membaca buku di sana.

“Enggak, Sayang. Masuk aja!” suruh Banyu seraya menutup bukunya, setelah menandai bagian terakhir yang ia baca.

“Ada apa?” tanya Banyu sambil melepaskan kacamatanya. Ia menatap Caca yang tengah mendudukkan diri di sofa sampingnya.

Mata Caca bergerak ke kanan dan ke kiri. Ia memilin kedua tangannya. Bingung harus memulai percakapan dari mana.

“Kenapa, Ca?” tanya Banyu saat putrinya tak kunjung bicara. Ia ‘pun menarik tangan kiri putrinya, menggenggamnya dengan begitu lembut.

“Caca mau ngomong apa? Enggak usah takut sama Ayah,” tutur Banyu menenangkan.

“Ehm .... “ Caca berdeham.

“Yah, kemarin emm ...” Gadis itu kembali ragu untuk mengucapkan sebuah kalimat yang sudah ia susun sejak tadi.

“Kenapa sih, Ca?”

“Dean ngajak aku nikah,” ujar Caca. Gadis itu menelan ludahnya mana kala ia melihat perubahan ekspresi ayahnya.

“Nikah?”

Caca mengangguk dengan mata terpejam.

Banyu menghela napasnya. “Ca, kalian itu masih muda, terutama kamu. Umur kamu masih 19 tahun. Apa tidak dipikirkan dulu dengan matang?.”

“Bukannya usia menikah itu 17 ya, Yah?, mama dulu nikahnya juga umur 19,” protes Caca. Ia tahu betul bagaimana kisah cinta kedua orang tuanya di masa lalu. Kedua orang tuanya selalu menceritakan kisah mereka yang begitu manis.

“Tapi ‘kan saat itu Ayah udah kerja, Ca,” kilah Banyu.

“Dean juga udah bantuin papanya di perusahaan, kok, bahkan katanya, Dean akan mengelola perusahaan papanya setelah lulus nanti,” bela Caca.

“Lagi pula pihak kampus enggak melarang mahasiswanya nikah. Temen aku juga ada yang udah nikah tapi masih kuliah,” lanjutnya.

Hening sesaat.

“Kami saling cinta, Yah. Please, boleh ya?” Caca menyatukan kedua tangannya di depan dada. Memohon dengan setulus hati pada ayahnya.

Dua hari yang lalu, Dean melamarnya. Pria itu mengajak Caca untuk segera menikah. Katanya, Dean takut kalah cepat dengan orang lain. Pria itu takut kehilangan Caca. Maka dari itu Dean ingin mengikat hubungannya dengan Caca ke jenjang yang lebih serius.

“Bukannya kalian pacaran baru empat bulan?” tanya Banyu. Ya, Banyu tahu segala hal tentang putra putrinya. Sebagai orang tua, ia selalu berusaha untuk membuat anak-anaknya terbuka dengannya. Tapi, tetap ada batasan rahasia yang boleh mereka simpan sendiri. Dan untuk pacar, Banyu selalu meminta mereka untuk jujur. Banyu takut mereka salah pergaulan dan mereka terjerumus ke lubang berbahaya.

“Bukannya ayah dan mama dulu kenal hanya dua minggu? Dan kalian sekarang bahagia ‘kan?”

Banyu merutuki kepandaian putrinya dalam membalik setiap ucapan. Tapi, apa yang putrinya katakan memang benar, dulu dia dan istrinya saling mengenal dalam jangka waktu dua minggu sebelum pernikahan.

“Boleh ya, Yah?” Caca memasang mukanya melas. Jurus andalannya pada sang ayah.

Berdecak. Banyu tak menyangka putrinya akan memohon hingga seperti ini. Dan dengan berat hati Banyu berkata, “Ya sudah, kamu suruh Dean ke sini. Ayah ingin bicara sama dia.” Bukan maksud Banyu mengiyakan permintaan putrinya untuk menikah muda. Ia hanya ingin menemui kekasih putrinya itu.

“Beneran, Yah? Yeeey makasih, Ayah. Nanti aku bilang ke Dean.” Gadis itu memeluk dan mencium pipi ayahnya. Kemudian keluar dari sana dan segera menghubungi kekasihnya.

Empat hari setelahnya, Dean benar-benar datang. Dia membawa beberapa makanan kesukaan adik Caca. Pria itu memang sudah dekat dengan saudara Caca, dia sering bertemu dengan mereka.

“Dean!” seru Caca saat melihat kekasihnya duduk di ruang tamu rumahnya.

“Hai”

Mereka berpelukan tanpa sungkan. Caca kemudian menyuruh seorang asisten rumah tangga untuk membuatkan minuman dan camilan untuk Dean. Setelah itu ia memanggil ayahnya, mengatakan pada beliau bahwa Dean sudah datang.

“Selamat malam, Om, Tante,” sapa Dean seraya menyalami tangan kedua orang tua kekasihnya.

“Duduk, Nak Dean,” suruh Jingga–ibu Caca, dengan lembut. Senyum manis wanita itu terukir begitu jelas.

“Saya tidak ingin berbasa-basi.” Banyu menatap lekat wajah kekasih putrinya. Selama putrinya menjalin hubungan dengan Dean, Banyu bisa menghitung berapa kali ia bertemu dengan pria muda ini.

Dean mengangguk. Balas menatap Banyu dengan serius.

“Apa alasan kamu ingin menikahi putri saya?” tanya Banyu mulai menginterogasi.

Pria muda itu tersenyum. “Kami saling mencintai, dan saya ingin melindungi Caca dengan ikatan yang sah, menjalin hubungan tanpa takut adanya aturan. Saya ingin membahagiakan Caca, dan saya sangat tidak rela jika Caca menikah dengan pria lain,” tutur Dean. Ia menatap Caca yang duduk di sampingnya, sekilas.

“Apa kamu bisa menjamin kehidupan Caca dimasa depan? Kalian ini masih terlalu muda, dan kamu juga belum lulus kuliah.”

Apa Banyu terlalu jahat bertanya seperti itu? Tentu tidak ‘kan?, seorang ayah pasti menginginkan putrinya memiliki masa depan yang indah. Banyu pasti ingin putrinya bahagia.

“Om jangan takut, saya calon penerus perusahaan papa saya. Saya yakin dua tahun lagi perusahaan itu akan dialihkan kepada saya. Sehingga kebahagiaan putri Anda pasti terjamin.”

Berusaha mendapatkan apa yang diinginkan adalah prinsip Dean sejak kecil. Dan sekarang ia berusaha meyakinkan calon mertuanya, supaya mereka memberikan restu untuk hubungannya, dan Dean akan melakukannya dengan segala cara.

“Caca tidak hanya butuh uang kamu untuk bahagia. Dia juga membutuhkan yang lain, apa kamu sanggup memberikannya?” tantang Banyu.

Dean menyeringai. “Sudah saya jelaskan di awal, Om. Bahwa kami saling mencintai. Tanpa perlu ditanya apa sanggup memberikan apa yang Caca butuh kan, tentu saya akan menjawab sanggup. Saya akan berusaha untuk menuruti semua yang Caca mau.”

“Kata Caca kamu sudah ikut membantu papa kamu di perusahaan, apa itu benar?” tanya Banyu memastikan.

Dean mengangguk pasti sebagai jawaban.

Menghela napas panjang. Banyu tatap sepasang kekasih yang masih berusia jauh dari kata layak menikah.

“Ca,”

Gadis itu mendongak, menatap ayahnya.

“Iya, Yah?”

“Kalau ayah enggak ngizinin kamu nikah tahun ini gimana?”

Ekspresi kedua manusia itu sama-sama berubah. Wajah Dean berubah datar dan Caca berubah cemberut.

“Aku mau kabur kalau Ayah enggak restui,” ujar Caca bersungguh-sungguh. Gadis itu merasa dongkol. Untuk apa ayahnya menginterogasi kekasihnya, jika pada akhirnya menolak.

“Ayah jahat banget kalau enggak restui aku,” lanjut gadis itu lagi dengan mata berkaca-kaca.

“Ca, coba deh kamu pikirin lagi, sama kamu juga.” Banyu menatap kedua kawula muda itu bergantian.

“Saya sudah memikirkan ini matang-matang, Om. Bahkan jika Anda ingin saya membelikan rumah untuk putri Anda saya sangat sanggup dan mampu.” Dean menatap Banyu datar terkesan jengah. Sedari tadi ia menjawab apa yang perlu dijawab, tapi pada akhirnya kembali diragukan, membuat Dean merasa begitu kesal.

“Ini bukan hanya tentang uang dan tempat tinggal, Dean. Ini tentang kesejahteraan kalian. Tentang hubungan sakral yang tidak bisa dibuat main-main.”

“Kami saling mencintai, Ayah. Kami bisa saling mengerti satu sama lain, jika itu yang Ayah takutkan,” bela Caca lagi.

Banyu meraup wajahnya frustrasi. Kenapa putrinya berubah jadi pembangkang seperti ini. Biasanya gadis itu akan mendengarkan setiap penjelasan Banyu untuk mengambil satu keputusan. Tapi, sekarang? Bahkan gadis itu sangat kukuh dengan pendiriannya.

“Sebaiknya kita bicarakan ini dengan orang tua Dean juga. Mungkin mereka memiliki solusi yang baik,” ujar Jingga. Wanita ini tak tega melihat keseriusan kedua pasangan itu dan kekacauan suaminya. Dalam benaknya sedari tadi berpikir bagaimana cara agar putrinya dan kekasihnya paham maksud dari Banyu. Dan dengan melibatkan kedua orang tua Dean mungkin akan sangat membantu.

Menatap istrinya dengan teduh, Banyu menyetujui usulan istrinya. Ia meminta Dean untuk membawa kedua orang tuanya ke rumahnya.

Tepat pada satu minggu berikutnya, orang tua Dean berkunjung ke kediaman Caca. Alangkah terkejutnya Banyu dan Jingga, saat mengetahui bahwa ibu dari Dean merupakan teman mereka di masa lalu. Sudah sangat lama mereka tidak bertemu, karena keluarga Caca memang sempat singgah di Singapura. Dan mereka baru kembali saat Caca akan memasuki sekolah menengah pertama.

Banyu mulai memperbincangkan permintaan kedua anak mereka. Ia mengatakan sedikit keberatan jika mereka menikah pada tahun ini. Menurutnya usia mereka masih sama-sama terlalu muda untuk membina rumah tangga.

Tapi, ternyata tanggapan dari keluarga Dean sangat berbeda. Kean, ayah Dean, malah mendukung keputusan kedua pasangan tersebut. Baginya selama Dean dan Caca masih tinggal dengan mereka tidak akan masalah. Masih ada orang tua yang akan menasihati mereka jika ada yang melakukan kesalahan. Masih ada yang akan menjadi penengah jika mereka berdua bertengkar.

Menghela napas berat, Banyu berusaha mengangguk setuju. Mungkin ini yang terbaik untuk mereka. Mengingat zaman sekarang sangat banyak pasangan muda mudi yang hamil di luar nikah, karena tak mendapat restu dari orang tua mereka. Banyu tidak ingin itu terjadi pada putrinya.

***

Jangan lupa like dan komen

Flashback 2

Tanggal pernikahan Caca dan Dean sudah ditentukan. Mereka menikah tiga bulan setelah pertemuan dua keluarga tersebut. Dan sekarang hanya tinggal menunggu satu bulan mereka akan resmi menjadi pasangan suami istri.

Sebagai orang tua, Banyu tentu sangat memikirkan kebahagiaan putri sulungnya. Terlebih, Caca sangat dekat dengan dirinya dibanding dengan saudaranya yang lain. Semakin hari Banyu dibuat semakin gundah. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Istrinya yang tahu akan hal itu hanya berusaha menenangkan dengan berkata, “Mungkin itu karena kamu belum bisa rela melepaskan putri kesayangan kamu, Mas. Aku sebagai mamanya juga merasakan hal sama, tapi mau bagaimana lagi, cepat atau lambat ketiga anak kita juga harus menikah.” Senyum lembut wanita itu juga selalu membuat Banyu tenang dan berusaha untuk yakin.

Tapi, suatu hari ia mendengar sebuah perbincangan beberapa pemuda yang Banyu sendiri tidak tahu mereka siapa.

Saat itu, Banyu mengunjungi restoran bersama seorang klien yang ingin menyewa restorannya untuk acara pesta. Ia bisa mendengar semua yang mereka katakan, karena jarak tempat duduknya yang cukup dekat.

“Alah, cewek kayak dia mah gue enggak demen. Gue Cuma manfaatin kepinteran dia doang.”

“Wah, parah lo, Bro. Cewek secantik dia lo mainin.”

Mendengar dua kalimat itu membuat hati Banyu kembali dilanda resah. Ia kembali mengingat masa lalunya saat masih awal pernikahannya dengan sang istri. Dulu istrinya juga hanya dipermainkan oleh mantan pacarnya. Dan kini Banyu takut, putrinya juga hanya dijadikan sebagai mainan oleh kekasihnya.

Hingga malam harinya, Banyu mengajak putrinya bicara.

“Ca, janji sama Ayah.”

“Janji apa sih, Yah?” gadis itu terkekeh. “Aku janji, nanti bakal sering ngunjungin Ayah.”

“Bukan itu, Ca!”

“Terus?” Kening Caca berkerut.

“Berjanjilah untuk menuruti semua perkataan Ayah jika Dean membuat kekacauan pada saat pernikahan kalian.”

“Ih Ayah ngomong apa sih? Dean enggak mungkin gitu lah. Masa pernikahan sendiri dikacau. Aneh.” Gadis itu cemberut. Tidak suka saat kekasihnya dituduh seperti itu.

“Kita enggak tahu bagaimana masa depan, Caca.”

“Ya tapi Dean enggak mungkin lah kayak gitu.”

“Janji dulu aja, Ca!” Banyu menatap serius putrinya.

“Iya, iya. Aku janji. Tapi bukan berarti aku percaya sama omongan Ayah, ya.” Gadis itu lantas berdiri meninggalkan ayahnya. Ia mengentakkan kakinya kesal. Ucapan ayahnya seakan tidak percaya dengan Dean, kekasihnya.

Hari pernikahan semakin dekat. Semua orang, termasuk Caca, disibukkan dengan persiapan pernikahan. Undangan telah disebar. Seluruh keluarga sudah menyiapkan hadiah mereka sejak jauh-jauh hari.

Kolega bisnis keluarga juga tak lupa turut hadir untuk acara besar ini. Pernikahan anak sulung dari dua keluarga tentu tak bisa mereka lewatkan.

“Gaun pernikahan kamu udah siap, Ca?” tanya Jingga pada putrinya.

“Udah, Ma. Besok dianter langsung ke hotel.” Caca mengutak-atik ponselnya. Sudah seminggu ia dan sang kekasih tak bertemu. Keluarga mereka melarangnya. Katanya itu merupakan sebuah tradisi. Dan sekarang Dean sama sekali tak membalas pesan dari Caca. Ponsel pria itu mati sejak tadi pagi. Gadis itu berusaha berpikir positif. Mungkin calon suaminya itu sibuk.

Tidak adanya balasan pesan dari Dean membuat Caca dilanda rasa gelisah. Gadis cantik dengan rambut sedikit bergelombang itu merasa ada sesuatu mengganjal di hatinya. Kata ibunya, mungkin itu karena ia terlalu gugup untuk acara besok. Tapi, rasanya bukan seperti itu. Caca merasa akan terjadi sesuatu tidak baik, entah pada siapa.

***

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Caca sudah berada di hotel sejak pukul enam pagi. Gadis itu dirias untuk pengucapan janji suci yang akan diteruskan dengan resepsi.

Senyum gadis itu tak luntur sejak tadi. Saat ini ia sedang duduk di depan meja rias. Seorang MUA memoles wajahnya agar terlihat lebih cantik. Caca sudah merasa sedikit lega, karena Dean sudah mengabarinya semalam. Meskipun begitu, rasanya hati Caca masih tak tenang. Mungkin benar katanya ibunya, itu efek dari rasa gugup yang menggerayanginya.

“Ciye mau nikah,” goda Sofi–sahabat Caca.

“Ciyee yang bakal jadi hot mama,” goda sahabat Caca yang lain, bernama Maya.

“Ih udah dong jangan godain gue, malu tahu.” Caca mencebikkan bibirnya. Matanya menatap tajam kedua sahabatnya melalui cermin.

“Eh, Ca. Ini anak-anak kampus nggak lo undang?” tanya Maya tiba-tiba.

“Enggak, kata Dean nanti bakalan dibikinin party sendiri. Acara hari ini khusus untuk kerabat sama sahabat dekat dan kolega bisnis keluarga,” jawab Caca masih memandang mereka berdua dari pantulan cermin.

“Enak, ya jadi istrinya sultan,” kelakar Sofi. Tawa Sofi dan Maya menggema di ruangan tersebut.

Mereka bertiga tertawa bersama. Bersenda gurau selagi Caca masih belum berstatus istri. Mereka sangat yakin Caca akan sangat sulit dicari jika sudah menikah nanti. Mungkin hal seperti ini akan menjadi langka bagi mereka bertiga.

Tanpa mereka bertiga tahu, sebuah perdebatan sengit terjadi di kamar samping Caca.

“Bagaimana bisa putra Anda hilang pada hari pernikahannya!” Banyu berteriak sekencang mungkin di dalam kamar tersebut. Wajahnya memerah menahan amarah.

“Apa yang akan aku katakan pada putriku nanti Cel? Apa?” Banyu menatap tajam pada teman lamanya, yang tak lain ibu Dean.

“Maafkan kami, Banyu. Kami juga enggak tahu Dean akan menghilang seperti ini,” ucap Celin dengan isak tangis. Ia sendiri bingung ke mana perginya Dean. Pagi tadi putranya bilang akan berangkat ke hotel lebih dulu. Tapi, saat seluruh keluarganya sudah tiba di sana, ternyata Dean tidak ada.

“Maafmu tidak bisa mengembalikan semuanya,” ujar Banyu dingin.

“Kami akan berusaha mencari Dean, Pak Banyu,” ucap Kean sukses membuat Banyu menatapnya tajam.

“Waktunya tinggal tiga puluh menit, mau Anda cari di mana pria brengsek itu.”

Kean memejamkan matanya. Ia juga tidak yakin bisa menemukan putranya dalam waktu dekat.

“Agrhhh”

“Harusnya aku tidak menerima lamaran putra, Anda. Sedari awal saya sudah tidak yakin dengan dia.”

“Nyu, sabar!” Deva, sahabat ayah Caca mencoba menenangkan kondisi yang mulai panas.

“Pak Kean. Mungkin Anda tahu di mana putra Anda biasanya singgah? Atau mungkin putra Anda memiliki apartemen yang ia tinggali sendiri?” tanya Deva mencoba menengahi.

Ayah Dean itu hanya menggeleng. Jujur saja, dia tidak tahu bagaimana pergaulan putranya. Yang ia tahu putranya akan datang ke perusahaan empat kali dalam seminggu untuk membantunya. Selebih itu Kean sama sekali tidak tahu.

“Sekarang gimana nasib putriku Dev?” tanya Banyu frustrasi. Ditambah istrinya sejak tadi juga menangis di dalam ruangan tersebut, dan kini sedang ditenangkan oleh istri Deva.

“Maafkan putraku, Nyu,” ucap Celin, ibu Dean.

“Kau ingat ini Cel. Jika sampai hari ini dia tidak datang aku akan menghancurkannya. Meskipun dia putramu.”

“Nyu, tenang!” ujar Deva kembali.

“Kamu pikir aku bisa tenang saat kebahagiaan putriku dalam ambang kehancuran?” teriak Banyu semakin frustrasi.

“Kami akan mencoba untuk mencari solusi dari masalah ini, Pak Banyu. Kami–“ Kean menoleh pada pintu yang tiba-tiba terbuka.

“Uncle, ayah bilang Dean masih belum ditemukan. Oma sama Opa juga khawatir di bawah, apalagi tamu mulai berdatangan. Mereka nyuruh aku manggil uncle untuk tur–”

“Abi tolongin uncle, please.”

Kean memotong ucapan keponakannya. Ia tidak sedang memerlukan laporan putra adiknya itu. Ia hanya perlu bantuan.

Pria yang dipanggil Abi itu menaikkan alisnya. “Tolong? Minta tolong apa lagi uncle? Bang Riyo sama timnya sudah mencari Dean. Mereka bahkan belum kembali,” jelas Abi.

“Bi, tolongin uncle ya, kamu gantiin Dean jadi mempelai pria?”

“WHAT?” pekik Abi tak percaya.

Banyu dan Jingga yang sedari tadi menunduk langsung mendongakkan kepala. Telinga mereka mendengar jelas apa yang dua orang itu katakan.

“Abimanyu?” gumam Jingga dan Banyu bersamaan.

“Uncle yang benar saja,” protes Abi. Bagaimana bisa mempelai pria diganti semudah itu. Apalagi ia tidak tahu siapa mempelai wanitanya.

Tunggu. Dean menikah dengan kekasihnya bukan? Yang Abi ingat kekasih Dean itu ....

Tidak, tidak. Abi tidak akan pernah mau menggantikan posisi Dean apalagi jika benar gadis itu calon pengantin wanitanya.

“Bi, please. Uncle mohon. Kita tidak punya pilihan lain.” Kean merapatkan kedua tangannya di depan dada. Otaknya sudah buntu. Hanya ini satu-satunya cara agar pernikahan ini tetap berlanjut dan kedua nama keluarga tidak akan dipermalukan.

“Nggak bisa gitu uncle. Aku–”

“Nak Abi,” panggil Jingga memotong ucapan Abimanyu.

“Dokter Jingga?” gumam Abi lirih.

Jingga berdiri dari duduknya. Ia menghampiri Abimanyu lantas bersujud di depan kaki pria muda itu. Membuat semua yang ada di sana terkejut, terutama Abimanyu.

“Abi, saya mohon, kamu gantikan posisi Dean. Saya akan lakukan apa pun yang kamu mau. Tapi saya mohon, jadilah pengantin pria putri saya.”

“Dokter jangan seperti ini.” Abi mengangkat bahu Jingga. Membawanya berdiri.

“Abi, saya mohon.” Jingga menundukkan kepalanya di hadapan Abimanyu. Air matanya sudah menganak sungai, sejak ia mendengar kabar Dean tidak berada di hotel.

“A-Abi dulu pernah janji ‘kan sama Dokter Jingga?. Katanya mau memberikan hadiah sesuai keinginan Dokter. Sekarang Dokter ingin menagih itu. Kamu nikahi putri dokter, ya, Bi?”

Abimanyu menatap Jingga prihatin. Ia sama sekali tidak tahu calon besan omnya adalah dokter yang dulu pernah menyelamatkan hidupnya. Dulu saat Abi masih SMP memang pernah berjanji akan memberikan hadiah pada wanita ini. Dan dokter Jingga bilang akan memintanya jika mereka dipertemukan lagi saat Abimanyu sudah tumbuh dewasa. Dan sekarang Jingga benar-benar menagih itu.

Perasaan bimbang menyelimuti benak Abimanyu. Ia tidak ingin menikah di usia sekarang. Tapi jika permintaan ini dari Jingga ia merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Ia memiliki hutang budi pada keluarga ini.

“Tapi dokter–”

“Abi, Dokter mohon. Dokter tidak meminta kamu menikahi putri dokter selamanya. Tapi tolong, kamu nikahi putri Dokter hari ini. Untuk menjaga reputasi putri dokter juga keluarga kita,” tutur Jingga dengan suara begitu lirih.

“Jika kamu mau menikahi putri kami, kami akan memberikan apa pun yang kamu minta. Bahkan om akan berikan satu restoran om untuk kamu.” Banyu berdiri di hadapan Abimanyu. Merengkuh istrinya dan menatap Abimanyu, memohon.

Abimanyu menatap semua orang yang ada di sana. Semuanya menatap Abimanyu dengan tatapan memohon. Dan tatapannya berhenti pada sang ibu yang ternyata sudah berdiri di samping omnya.

“Bi,” panggil wanita itu lirih.

Abimanyu memejamkan matanya. Mengambil napas dalam-dalam, kemudian menjawab, “Baiklah, aku akan menggantikan Dean. Tapi, aku tidak menerima tawaran om Banyu untuk masalah restoran.” Abimanyu menatap Jingga. “Aku melakukan ini untuk Dokter Ji.”

Jingga sontak memeluk Abimanyu. Mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya.

Banyu bersyukur dengan adanya Abimanyu. Setidaknya putrinya tidak akan bisa berharap kepada pria brengsek tak bertanggung jawab itu lagi. Dan ia mendapatkan menantu idamannya.

***

Jangan lupa like dan komen❤

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!