Semua sedang melangkah cepat menuju emergency room, seorang pasien baru saja datang dengan tubuh kejang-kejang. Beberapa dokter menghampirinya, tetapi hanya satu dokter yang berani untuk melakukan peneriksaan, bahkan para perawat juga berada disana hanya diam memperhatikan.
Yang datang kali ini adalah penyanyi yang cukup dikenal, saat hendak pengambilan foto majalah dia tiba-tiba terjatuh dan kejang-kejang.
Meski banyak dokter disana tetapi mereka hanya saling lirik satu sama lain tidak berani mengambil tindakan kecuali kepala rumah sakit.
"Please call doctor adam" ucap dokter sekaligus kepala rumah sakit dengan tegas.
"But sir ..."
Mendengar suara sanggahan dari belakangnya, dokter itu menoleh menatap tajam kearah seorang dokter internship yang sedang berdiri degan gugup.
"If you mind calling him, then you will be my assistant in the operating room" ucapnya dengan tenang.
Intrenship itu langsung saja berlari pontang panting mencari orang yang di maksud Kepala rumah sakit. Bukan tidak mau menjadi asisten dokter kepala saat operasi, tetapi penawaran yang di katakannya tadi adalah bentuk sebuah ancaman karirnya jika dia melakukan satu kesalahan kecil.
"Adam dipanggil profesor Logan untuk menjadi asistennya"
Seseorang dibalik selimut bergerak-gerak merentangkan tangannya merenggangkan otot sebelum duduk diatas kasurnya menatap orang yang mengganggu tidurnya.
"Dokter Weni .... saya kemarin baru menyelesaikan ujiam spesialis langsung disuruh bantu dokter Otto operasi, ini mata baru merem dua jam" gerutunya.
"Regan gak ada waktu lagi, Prof Logan minta lo Dokter Adam jadi asistennya."
Adam Regan Zeroun Ganendra
Para pasien dan dokter senior dirumah sakit memanggilnya Adam, kecuali beberapa dokter yang memanggilnya dengan nama akrabnya, Regan.
Regan dan Weni warga negara Indonesia yang kuliah jurusan kedokteran dinegara ini dan bekerja di rumah sakit yang sama, tetapi Regan yang jauh lebih muda darinya sudah menjadi dokter spesialis lebih cepat darinya, meski mereka mendaftar jurusan kedokteran ditahun yang sama. Jadi jangan kaget jika dokter-dokter senior selalu menghandalkan Regan.
Weni menarik tangan Regan untuk turun dari kasurnya dan menyeretnya ketoilet. "Cepet cuci muka, kalau lo telat gue kena marah Adam Regan."
"Iya iya cerewet ..."
Kemarin dia baru menyelesaikan ujian spesialisnya dan pihak rumah sakit langsung menguhubunginya untuk menjadi asisten dokter Otto. Regan baru saja tidur dua jam lalu, kali ini Prof Logan yang membutuhkan Regan seakan di rumah sakit ini tidak ada dokter lain lagi yang bisa menjadi asisten dokter saat di dalam ruang oprasi.
Lelah?
Jangan ditanya, tapi inilah tugasnya sebagai dokter yang selalu siap kapan saja menelong pasiennya. Lagi pula menjadi dokter adalah cita-cita Regan, jadi dia harus menjalankannya dengan senang hati meski sedang lelah.
Dret ...
Regan mengangkat panggilan masuk dan meletakkannya di telinga tanpa melihat nama si penelpon dan tanpa mengangkat kepalanya dari meja. Dia baru saja selesai oprasi tiga jam lalu dan tertidur dimeja kerjanya, seakan tidak punya tenaga untuk pindah ke kasur yang hanya disamping mejanya.
"Hemz ... siapa?" tanyanya dengan suara lirih.
"Lo jemput kita atau kita yang jemput?"
Meski Regan tidak melihat nama yang menelfon, dia sudah mengenali suara si penelfol, Aslan saudara angkatnya.
"Kalian yang jemput, gue tidur dulu sepuluh menit sebelum sampai rimah sakit telfon, gue mau mandi."
*-*
"Our Dokter Adam Ganendra is here!"
Seruan-seruan mulai terdengar hingga keluar restaurant yang malam ini dibooking untuk pesta kelulusannya sebagai dokter spesialis. Beberapa dokter dan perawat yang tidak mempunyai jadwal jaga malam hadir ikut merayakan pesta kelulusan.
"Tetep aja pakek Adam?, awas dimarahin Bunda loh gak dipanggil Regan"
Dia saudara angkatnya Aslan, yang sudah kembali tiga tahun lalu ke Indonesia meninggalkannya yang masih menggeluti dunia kedokteran di negeri tetangga.
"Gak semuanya kok manggil gue Adam, hanya dokter senior dan pasien aja yang panggil Adam, mereka-mereka semua mah panggil gue Regan" Regan merangkul pundak Aslan yang berdiri disamping kanannya. "Gara-gara Alaric kita telat, tetapi dilihat dari tatapan dokter perempuan, bintang malam ini sepertinya malah Alaric bukan gue."
Regan dan Aslan menoleh pada Javir dan Alaric yang menunduk sibuk dengan ponselnya masing-masing sambil berjalan kearah mereka.
"Dingin" Aslan memasukkan kedua tangannya kesaku celana, "masuk yuk!, lama gak ketemu salju gue jadi membeku bentar lagi."
Mereka berempat masuk bersama berbaur dengan teman-teman tempat kerja Regan, beberapa diantaranya ada yang mengenal Aslan, Javir dan Alaric jadi gampang bagi mereka bertiga untuk berbaur.
"Dokter" salah seorang dokter perempuan mendekati Regan dan Aslan, "selamat sudah menjadi doktor spesialis."
Regan melirik Aslan, "thanks."
"Lama tidak jumpa Gita" Aslan langsung menjulurkan tangannya pada Gita dokter yang mengucapkan selamat pada Regan barusan. "Kamu masih satu rumah sakit dengan Regan?, apa kabar?."
Kebiasaan Regan, selalu saja lupa pada nama orang terutama yang berkelamin wanita, alasannya karena terlalu banyak teori diotak, maka Javir dan Aslan selalu menjadi remainder bagi Regan.
"Baik" Gita menyambut tangan Aslan.
"Kamu kapan balik ke Indonesia?, mau kayak Regan nunggu jadi dokter spesialis dulu?."
"Adam As!" ucap Regan memperingati.
Tetapi tidak digubris Aslan.
Sebenarnya Regan masih mengantuk, tetapi teman-temannya yang dia anggap saudara jauh-jauh datang hanya untuk menrayakan keberhasilannya membuatnya tidak enak hati untuk menolak.
Dret ...
Ponsel yang dia letakkan diatas meja bergetar, Prof Logan.
Regan langsung mengangkat panggilan beliau dan menjauh dari keramaian teman-temannya, jika langsung Prof Logan yang menelfonnya, berarti ada hal penting yang akan beliau sampaikan.
"Ok Prof ... Ok ..."
Setelah memutuskan sambungan telfon mereka, Regan menatap layar hpnya dengan pasrah. Sepertinya meski dia sudah spesialis tetap saja kerjaannya menjadi Asisten para senior di Rumah sakit.
"Kenapa?" tanya Javir berjalan menghampirinya.
Regan mengacak-acak rambutnya, "Prof Logan minta gue ke rumah sakit sekarang."
Tangan Javir menepuk pundak Regan pelan. "Katakan saja kalau capek, dari pada nanti lo buat kesalahn."
Kepala Regan mengangguk, "kalau bilang melalui telfon kurang sopan, pinjam kunci mobil."
^-^
Ditangannya ada satu surat yang membuatnya berdecak berkali-kali, baru saja di lulus ujian Ayahnya sudah bergerak cepat mengirimkan email pada pihak rumah sakit meminta Regn untuk kembali kenegarnya dan menjadi kepala rumah sakit.
"This is a rare thing, so don't waste this opportunity, I think you should accept this offer" ucap Prof Logan tadi.
Ingin sekali Regan membantah jika ini bukan kesempatan, mana bisa dibilang kesempatan jika rumah sakit itu adalah milik keluarganya?.
"Ya udah lo disini nanti kita jemput"
Langkah kaki Regan terhenti, dia menoleh kearah suara perempuan yang berbicara memakai bahasa Indonesia.
"Gue kan ingin liat lo perform Quin"
Quin atau Queen?, Regan menatap wanita itu yang berpakaian sedikit terbuka dicuaca dingin seperti sekarang
"Gue besok perform lagi, udah ah .. gue nanti telat."
"Cepat Quin ..." Seorang pria berteriak memanggil wanita itu.
Regan tersenyum melihatnya, ada juga wanita Indonesia yang kebal dengan dingin.
Setelah wanita itu masuk kedalam mobil barulah Regan berjalan perlahan menuju parkiran mengambil mobilnya, dia malas kembali kepesta jika seperti ini moodnya sudah hancur.
Cit ...
"oh ****" seru Regan menginjak rem dengan cepat.
Nafasnya memburu seketika, seseorang langsung menyebrang jalan begitu saja tanpa menoleh kekanan dan kekiri dna dia hampir menabraknya.
Tunggu ...
Regan baru hampir menabrak dia yakin telah meenginjak rem, tetapi kenapa orang tadi tidak ada?, dengan cepat Regan membuka pintu keluar untuk memeriksa.
"Ya Tuhan ..."
Orang tadi tergeletak didepan mobilnya, sepertinya sengaja terjatuh bukan menyebrang, karena jarak mobil dan orang itu masih berjarak kurang lebih satu meter.
"Please help me!"
Suara yang terdengar suara wanita, secara perlahan Regan membali tubuh didepannya.
wanita itu menatapnya dengan tatapan mata meminta tolong, dada sebelah kirinya keluar darah dan paha kananya juga.
"Please" mohonnya lagi.
Regan membuka pintu jok belakang lalu kembali menghampiri wanita itu membopongnya masuk kedalam mobil.
"Are you a doctor?"
Tanya wanita itu saat melihat jubah dokter putih Regan yang tersampir di samping kursi kemudi.
Regan yang baru saja masuk kedalam mobil terdiam sejenak menatap wanita yang dia tolong dijok belakang dari kaca spion mobil. "Ya" jawabnya dengan nada pelan.
Suara nafas wnaita itu terdengar semakin melemah. "Thank godness, then ... don't go ... to the hospital ... becouse ..."
Tidak terdengar suara lagi, sepertinya wanita itu pingsan dan Regan dengan cepat langsung menginjak pedal gas mobil menuju rumahnya.
^-^
Hai Reader 😉
Ini cerita series ya Reader ! 😇 Tapi bisa dibaca secara terpisah nanti 😆
Mohon dukungannya jangan lupa ⭐🔖🎁👍💬 dan tambah ke rak buku kalian dengan klik 💖 agar tidak ketinggalan tiap kali Author update
Love you 😙 Unik Muaaa
Regan mengambil peralatan medisnya seadanya yang dia punya dirumahnya, kotak P3K dan semua yang sekiranya dia perlukan.
Alkohol hanya ada satu botol, Regan mengambil hpnya dan mencoba menghubungi Aslan.
"Apa?" tanya Aslan disebrang.
"Pulang sekarang, jangan mengatakan apapun, mampir ke apotik apa saja yang harus kamu beli bentar lagi aku list"
Regan langsung mematikan sambungan, mengecek apa saja yang tidak ada di kotak P3K yang harus Aslan beli di apotik, setelah mengelistnya dia cepat-cepat kembali pada wanita tadi.
Menggunting celana bahannya yang mengeluarjan darah, membersihkan darah dan sekitar luka lalu Regan tertegun.
"Ok jangan memikirkan apapun selamatkan dia dulu" guma Regan memejamkan mata sejenak dan mulai bekerja."
Semua Regan kerjakan dengan penuh hati-hati, meski sebenarnya dadanya sedang deg degan tetapi dia mencoba tenang karena penghentian darahnya harus dinomor satukan.
"Settt ... em ..."
Suara ringisan wanita itu terdengar, Regan menatap wanita itu yang perlahan membuka matanya menatap pada Regan yang duduk disebelahnya.
"Sorry I have no anesthetic, can you bear the pain ?. I will take the bullet carefully to stop your blood flowing out?" Regan mengucapkannya dengan pelan.
Wanita itu mengangguk pelan.
Regan menghela nafas berkali-kali dan kembali berkutat dengan luka di paha wanita itu, luka tembak yang membuat Regan deg dekan karena mulai berfikir negatif. Perlahan Regan mengeluarkan peluru membuat wanita itu meringis kesakitan, tangannya mencengkram sofa hingga buku tangannya memutih.
Regan kasihan melihatnya, tetapi dia tidak mempunyai obat bius seperti di rumah sakit, dan wanita ini pasti sangat kesakitan, Regan berharap Aslan cepat datang.
Brak ...
Pintu rumah terbuka dengan sedikit membanting, Aslan baru saja datang langsung menoleh keselaga arah mencari Regan.
Barang-barang yang dititip Regan padanya barang-barang yang membuat Aslan blank seketika saat apotiker mengeluarkan satu persatu barang yang dia sebutkan dalam list yang Regan kirim.
Wajah Asalan yang semula penuh kekhawatiran perlahan mulai menghilang saat melihat Regan duduk membelakanginya, dia berjalan pelan mendekati Regan yang telah membalut luka wanita didepannya dengan kain kasa.
"Dia siapa?" tanya Aslan.
Regan tidak menyahut, dia mengambil kantong keresek yang dibawa Aslan dan mulai kembali bekerja.
"Sorry I have to cut your shirt"
Wanita itu mengangguk lemah, Aslan duduk tidak jauh dari Regan dan wanita itu mengamati kerja Regan yang begitu cekatan.
Pintu kembali terbuka, Javir dan Alaic baru saja sampai. Mereka berdua langsung berjalan menghampiri Aslan dan Regan dengan cepat.
Alaric semakin melangkahkan kakinya mendekati wanita itu memperhatikan sesuatu yang tertato jelas di dekat bahunya yang sedang terluka, tato yang Alaric kenali. Tanpa banyak bocara Alaric memfotonya dan mengirim kannya pada seseorang.
*-*
Semua memperhatikan keterampilan Regan tanpa mengeluarkan suara, setelah menutup luka di bahu wanita itu Regan berdiri menggerakkan kepalanya dan merengangkan otot tangannya.
"Dia siapa?" tanya Aslan lagi sambil menatap wanita itu.
Regan mengangkat bahunya, "dia hampir aku tabrak tadi."
Alaric ingin menjawab, tetapi dia masih memilih bungkam karena masih belum yakin dengan dugaannya.
Ponsel Regan berbunyi, padahal dia baru saja duduk menyandarkan punggungnya di sofa, Aslan mengambil ponsel Regan dan menjulurkannya
"Jangan bilang jika itu dari rumah saki?" Regan benar-benar lelah hari ini.
"Ayah" jawab Aslan.
Regan mengerutkan kening dan mengangkat panggilan dari Ayahnya.
"Ya Yah ... enggak ... hanya As, Jav dan Al ... iya ... tunggu ..." Regan menjauhkan telfonnya dari telinga menatap Aslan. "Gea kemarin kesini tapi gue gak ketemu, dia ngubungi kalian enggak?" tanya Rengan.
Aslan dan Alaric menggeleng, Javir langsung mengeluarkan ponselnya dan fokus menscrol layar ponselnya yang tidak dapat Alaric dan Aslan pahami.
"Ok ... iya ... iya sudah ... iya"
Regan memutuskan sambungan telfon dan melangkah mendekati Javir. "Ada dimana?, anak itu minta jewer."
Javir langsung berdiri diikuti Regan yang langsung mengambil kunci mobil, "titip dia" ucap Regan.
Baru saja Ayah Regan menghubunginya, Gea saudara angkatnya yang lain selain Aslan dari kemarin sudah berangkat berniat mengunjunginya, tetapi smpai sekarang dia tidak pernah bertemu Angela Lovita.
Bahkan Regan tidak tahu An kapan sampai ke negara ini.
*-*
Menggila ...
Seisi club menggila meloncat-loncat dan menggerakkan badannya dengan bebas. Seorang DJ berdiri diatas panggung dengan layar bertulisan namanya
DJ Qiun Bee Indonesia
Tidak ada yang sedih atau bermuram durja di club itu semua seakan melepas beban mereka.
"Thanks you ... see you next time ..." seru DJ Quin.
Perlahan musik mulai stabil, seorang DJ menaiki panggung menggantikan DJ Quin Bee tadi.
Sedangkan Quin turun dari stage langsung dikawal oleh beberapa orang sampai duduk di depan bartander.
"Hai Quin, bisa kenalan?"
Quin menoleh kesamping, "hai" sambut Qiun dengan ramah, "dari Indonesia juga?" tanya Quin dengan mata berbinar akhirnya dia bisa bertemu dengan orang Indonesia di negara ini.
"Ya, namaku Gea."
Gea ...
Ya dia adalah Gea, Angela Lovita yang tadi dicari-cari oleh Regan, yang berpamitan ingin menemui Regan di negeri ini nyatanya dia malah berada di club hanya untuk menonton DJ Quin Bee yang selalu dibicarakan temannya di Indonesia.
"Gak nyangka, gue gak pernah lihat lo di Indonesia malah ketemu disini" ucap Gea dengan tersenyum lebar duduk disamping Quin.
"Pada hal ini pertama kali perform di luar negeri, memangnya di Indonesia lo tidak pernah ke club malam?"
Kepala Gea menggeleng sambil mengulum senyumnya membuat Quin dan teman disampingnya tertawa.
Belum juga Qi menjelaskan kenapa dia tidak pernah ke club, dua orang pria dengan berbadan tegap melangkah kearah mereka membuatnya menghela nafas.
"Mereka salah satu sebab gue gak bisa enjoy do club gini" tunjuk Gea dengan dagunya.
Qi menoleh kearah tunjuk Gea.
Dua orang pria itu berjalan dnegan langkah lebarnya menuju Gea dan Quin, siapa lagi jika bukan dua orang laia yang mencari keberadaannya Gea kalau bukan Regan dan Javir.
"Lo ngapain disini?" tanya Regan membentak pada Gea dengan suara lantang.
Suara musing yang mulai menghentak membuat Regan berteriak pada Gea agar wanita itu mendengarnya.
Bukannya takut atau merengut, Gea malah tersenyum mengangkat gelas Quin kearah Regan.
Kesal Javir merampas gelas itu dan menegaknya satu kali tegukan membuat Quin menatapnya kagum.
"Waw ... " seru Quin.
Regan yang baru saja sadar jika disamping Gea ada seseorag menoleh pada Quin, ternyata wanita yang dia lihat di depan rumah sakit beberpa jam lalu.
"Lo yang ngajak Gea kesini?" tuduh Regan dengan suara lantanya.
Quin mengerutkan kening melirik pada Regan dan Gea bergantian.
"Bukan, kita barau ketemu di ... aw ..."
Javir memanggul Gea dibahunya layaknya karung beras, tanpa mau mendengarkan apa yang akan Gea jelaskan, dia membawa Gea pergi dari sana.
Mata Regan dan Quin saling tatap namun memancarkan pancaran yang berbeda.
"Kita baru ketemu, gue dan dia baru kenalan" ucap Quin menengadahkan tangan pada teman disampingnya meminta botol minuman yang selalu di bawa.
"Sukurlah"
What ???
Quin ingin rasanya mengamuk mendengar ucapan Regan yang seakan ...
Belum buja Qi membuka mulut, Regan sudah melangkah pergi begitu saja meninggalkannya yang kesal
Diluar club, Javir menurunkan tubuh Gea didekat mobil mereka. Tangan Gea berkacak pinggang menatap Javir dengan mata memerah.
Sedangkan Javir menatap Gea dengan tatapan tajam juga. "Untung lo pakai baju tertutup, andai lo pakek baju kayak wanita itu, gue telanjangi lo sekalian."
"Lo gila?, udah sarap?, apaan sih ganggu kesenangan orang saja."
"Ya gue gila kenapa emang?."
Langkah Regan terhenti sejenak tidak jauh dari Javir dan Gea yang beradu mulut.
"Kalau kalian mau bertengkar gue tinggal sekarang, gue masih punyanpasien dirumah" ucap Regan dengan malas.
Javir langsung berbalik memuari mobil dan masuk duduk dibelakang kemdi.
Regan mengjampiri Gea dan mengelus puncak kepalanya sebelum akhirnya masuk kedalam mobil.
Regan mengantuk, dan dia akan tidur sepanjang perjalanan pulang.
*-*
Lop tou 😙 Unik Muaaa
"Kenapa banyak orang?"
Javir memelankan mobil yang mereka tumpangi lalu berhenti tidak jauh dari rumah mereka.
Regan mengeluarkan ponselnya menghububgi Alaric dan Aslan yang tadi berada dirumah.
"Kenapa banyak orang berjas?" tanya Regan to the point.
"Gue gak tahu, tiba-tiba om Enzo datang dengan banyak anak buahnya. Nyuruh gue bawa cewek yang lo ..."
"Cepet pulang sekarang!"
Suara Emma adik Alaric, belum juga Regan bertanya sambungan panggilan telfonnya dan Aslan terputus.
Regan menatap layar ponselnya dengan kening mengerut, berbagai pertanyaan timbul dalam otak Regan, kenapa Enzo membawa anak buahnya?, kenapa demgan wanita itu?, jika tentang Emma dia tidak akan memikirkannya.
"Jalan, itu Om Enzo dan anak buahnya" ucap Regan dengan nada datar.
Bukan niatnya untuk memerintah, tetapi dia mulai menjadi tidak tenang.
Gea, Javir dan Regan keluar dari dalam mobil, berjalan dengan dada deg-degan melewati banyaknya anak buah Enzo, sambil menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi.
"Regan!"
Enzo dan Salvator pria berumur yang Regan kenal duduk di sofa ruang tamu. Enzo berjalan cepat menghampironya yang masih diam diambang pintu.
"Bisa kita bicara?" tanya Enzo sambil mebatap Regan.
Kepala Regan mengangguk.
"Gea kamu jaga wanita dikamar, lalu suruh Aslan dan Emma keluar" perintah Enzo dengan tegar.
Akankah Gea berfikir dua kali?, tidak dia langsung berjalan bahkan berlari kecil masuk kedalam kamar yang di tunjuk oleh Enzo.
Sedangkan diruang tamu semua duduk disofa dalam diam menunggu Aslan yang baru saja keluar dari kamar.
Kepala Enzo terangkat setelah memeriksa apakan semua sudah lengkap, semua sudah berada disana Regan, Aslan, Javir dan Alaric semua duduk menatap padanya, Emma dan Salvator.
"Apa benar kamu menyelamatkan dia?" tanya Enzo pada Regan to the poin, sambil melirik pada kamar yang ditempati perempuan itu.
Kepala Regan mengangguk membenarkan, "ya."
Enzo melirik Salvator yang diam menatap Regan tajam. "Tanpa tahu dia siapa?" tanya Enzo lagi.
"Apa kita menolong orang harus tahu mereka siapa?" Regan malah balik bertanya.
Suatu hal yang Enzo sadari dari Regan, sifat dan karakternya hampir sama dengan Ayah Regan, teman Enzo dan Hanna saat kuliah. Mereka akan selalu bersikap tenang, tidak suka diperintah tetapi selalu bergerak cepat dalam segala hal.
"Dia anak dari prmimpin Cartel, geng mereka sedang bentrok dengan Kafendal" bekitu tenang Enzo mulai menjelaskan. "Ada kemungkinan dia dikena tembak oleh salah satu anggota Kafendal, dan jika mereka tahu kamu yang menolongnya maka semua yang terjadi dikehidupanmu sekarang akan berbalik."
Jika Aslan dan Javir menatap Regan dengan tidak tenang, maka Regan sebaliknya.
Denagn santai Regan menyandarkan punggungnya kesandaran sofa menatap Enzo, Emma dan Salvator bergantian. "Apa salah jika seorang dokter meneyelamatkan orang yang butuh bantuan?, kenapa dunia kalian tidak pernah mengandalkan hati tetapi otak?" Regan menatap Emma yang juga menatap dalam pada Regan, "dan teori kalian itupun tidak masuk akal semua, pemikiran kalian bertolak belakang denganku."
Semua terdiam, kata-kata terakhor Regan saja semua dapat mengerti bukan hanya tertuju pada semua orang, melainkan kata-kata itu penuh penekanan pada Emma.
*-*
Regan memainkan ponselnya sejak tadi dia bermain game seharian, saat bangun tidur tiba-tiba dia menemukan email dari rumah sakit dia berkerja jika permohonan cutinya diterima oleh pihak HRD rumah sakit.
Seingat Regan dia tidak pernah mengajukan permohonan itu, tetapi dia tahu siapa yang melakukannya, hanya dua orang yang dapat melakukannya dengan alasan keselamatan Regan, Enzo dan juga Javir.
"Standby!" terdengar teriakan Alaric dilantai bawah hingga kekamar Regan.
Kening Regan mengerut sebelum akhirnya dia memutuskan turun kelantai satu.
Sedangkan dilantai satu semua sedang bersiaga menunggu pintu mobil terbuka. Tangan Enzo bahkan sudah bersiap menarik pistol yang dia sembunyikan di belakang punggungnya.
Saat pintu mobil terbuka dan seseorang keluar, Enzo langsung menghela nafas lega. Yang datang Abraham Ganendra, Ayah Regan, teman Enzo sendiri dan Malvin Ayah Javir. Mereka berdua berjalan dengan langkah lebar memasuki halaman runah melewati baberapa anak buah Enzo.
"Mana Ar?" tanya Abra pada Enzo sambil terus melangkah masuk kedalam rumah.
Regan baru saja turun dari lantai dua tersenyum kecil melihat kedatangan Abra.
Sedangkan Abra tetap dengan wajah khawatirnya berjalan cepat menghampiri Regan. "Are you ok?" tanya Abra memutar tubuh Regan.
"I'm ok Ayah" jawab Regan sambil terkekeh kecil.
Buk ...
"Aw ..." Regan meringis.
Abra memukul lengan Regan dengan cukup keras hingga Regan melangkah mundur memegangu lengannya.
"Kamu masih bisa tertawa?" tanya Abra dengan tatapan mengintimidasi dan wajah datarnya.
Regan tidak menjawab dan berjalan dengan wajah kesal kearah sofa ruang tamu duduk disebelah Malvin yang sudah berkutat dengan leptopnya.
"Kamu pulang hari ini juga" ucap Abra tegas.
"No!" tolok Regan.
"Kamu tidak sedang berada diantara dua pilihan Adam Regan Ganendra!" ucap Abra dengan suara rendah penuh penekanan.
Regan berdecak menyisir rambutnya yang sudah tertata rapi melampiasakan kekesalannya. "Aku baru saja lulus ujian belum wisuda, aku tidak mau pulang begitu saja."
"Keselamatan kamu yang lebih utama dari pada hadir saat wisuda nanti."
"Keselamatan apa?, I'm fine Dad."
Abra melangkah dengan lebar berdiri begitu dekat dengan Regan yang duduk. "Kamu" Abra menunjuk pundak Regan dan menekannya, "belum sadar dengan posisimu sekarang?, Cartel dan Kafendal dua geng mafia yang tidak terkendali. Romanov yang ditakuti banyak mafia masih kalah begis dengan mereka. Why?, because they don't use brains tapi mereka menggunakan otot."
Regan tersenyum sarkas, "mafian mah sembilan puluh persen semua begitu Ayah, menggunakan otot mereka. I'm just helped her, why am I being blamed instead?, I'm a doctor and that's my job."
"I know but Ar, she is ..."
"Patients you shouldn't be helped"
Wanita itu berdiri diambang pintu kamar dengan wajah datar menatap kearah mereka semua satu persatu lalu menarik sebelah sudut bibirnya saat menatap Alaric yang menatapnya denganntatapan datar juga.
"Hello Beb?" sapanya berjalan dengan menyeret sebelah kaki.
Regan yang melihatnya langsung berdiri menghampiri wanita itu dan membantunya berjalan duduk di sofa.
"I'm not your Beb anymore" desis Alari mengalihkan tatapan matanya.
Javir, Regan dan Aslan saling tatap lalu melirik pada Alaric yang cuek tidak menghiraukan tatapan bertanya dari ketiga sahabatnya.
"Mantan pacar Alaric Lorenzo Romanov saat Junior High School" Emma membuka suara menatap wanita itu dengan datar menjawab pertanyaan dalam benak ketiga laki-laki di sana.
"No!" Alaric menyangkalnya.
Emma tersenyum sarkas melirik Alaric yang memelototinya..
"Meliza Dexon putri satu-satunya keluarga Calter, yang menjabat sebagai Cartel warlord" lanjut Emma lalu menatap Regan. "Salah satu alasan kenapa dia diburu Kafendal dan itu salah satu alasan hidup kamu terancam."
*-*
*Thanks udah mampir 😉
Jangan lupa dukungannya ya Say ⭐🔖🎁👍💬
Love you 😙* Unik Muaaa
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!