NovelToon NovelToon

Jerat Cinta Jomblo Karatan

Malam pertama

Seorang pria berperawakan kecil, tampak tergopoh-gopoh berjalan menuju ke sebuah ruangan VIP di club tempat ia bekerja. Hari ini Riz mulai di tugaskan untuk melayani tamu di ruangan VIP.

"Huft... semoga tidak terlambat," ucapnya sambil mengelus dadanya. Riz berdiri di depan pintu, ia mengambil nafas dalam sebelum membuka pintu ruangan itu.

Lima orang pria dewasa dengan enam wanita berpakaian minim dan hanya menutupi aset pribadi mereka tampak bergelayut manja. Duduk di antara para laki-laki hidung belang. Pemandangan yang menjijikkan bagi Riz.

Riz tertegun saat melihat seseorang pria yang duduk sendiri di ujung sofa singel yang ada di ruangan itu. Ia tampak menikmati minuman yang ada ditangannya, mengoyangkan wine yang ada dalam gelas berkaki. Tidak seperti yang lain, dia hanya di temani oleh seorang pria yang berdiri tegak di belakangnya. Wajahnya datar dan dingin sorot matanya begitu teduh. Namun, juga terasa begitu tajam dan menusuk.

Balutan jas yang di pakainya tidak bisa menyembunyikan tubuh atletis di dalamnya. Wajahnya begitu tampan, Riz tidak bisa menebak umur pria itu mungkin tiga puluh atau lebih. Yang jelas dia tampak begitu mempesona walaupun hanya duduk diam seperti itu. Riz segera mengelengkan kepala, untuk menyadarkan dirinya.

Riz berjalan mendekat ke arah meja dan mulai memungut botol minuman yang kosong yang ada di atas meja untuk menggantinya dengan yang baru.

Tahan Riz.. sebentar lagi..

Riz sungguh risih melihat bagaimana para perempuan itu menggelayut dan saling mengecup dengan para laki-laki di yang memangku mereka. Hingga tanpa sengaja ia menyenggol sebuah botol kosong hingga menggelinding ke arah kaki seseorang pria yang duduk sendiri di ujung sofa.

Mata Riz terus mengekor kemana botol itu berguling.

"Kerja yang bener dong!" sentak seorang wanita yang duduk di pangkuan pelanggannya.

Riz hanya mengangguk kecil, ia pun segera berjalan ke arah botol itu untuk memungutnya. Namun, belum sempat tangan kecilnya meraih botol itu, seorang pria sudah mencekal lengannya.

Riz pun mendongakkan kepalanya, melihat siapa yang memegang tangannya. Ternyata ia adalah seseorang yang berdiri di belakang pria dingin itu.

"Apa kau ingin mati," ucap pria bertubuh tegap itu dengan datar. Sorot matanya menatap tajam, membuat Riz merasa sangat ketakutan.

"Ma-maafkan saya tuan," ucap Riz dengan terbata namun tetap dengan suara yang ia beratkan.

"Cih.. cepat keluar dari sini!" pria itu menghempaskan tangannya Riz dengan kasar.

Dengan tergesa-gesa Riz pun mengambil botol yang terjatuh dan segera membereskan pekerjaannya. Setelah itu Riz pun keluar dari Ruangan itu.

"Jahat banget sih orang itu, kan aku ambil botol doang. Masak di bilang mau mati, dasar orang kaya," Riz menggerutu dalam hati.

Malam semakin larut. Jam menunjukkan hampir tengah malam. Hari yang panjang untuk pria kecil itu.

Riz duduk bersandar di salah satu sudut tembok. Ia merosot hingga terduduk di lantai dengan kedua lututnya yang di tekuk.

Sungguh hari yang melelahkan. Pria kecil itu harus berkerja siang hari ia harus sekolah, sementara malam hari dia harus berkerja di klub ini. Riz benar benar sudah kehabisan tenaganya. Tanpa ia sadari matanya terpejam sejenak.

"Heh.. malah tidur di sini, cepat antarkan handuk hangat ini ke kamar belakang," ucap seorang pegawai senior.

Mata Riz terlalu berat untuk di buka. Sebuah tendangan mendarat di kaki Riz. membuat pria kecil itu sontak mengaduh kesakitan.

"Cepat kerjakan!" ujar pelayan senior yang menendangnya.

"Iya kak," ucap Riz sambil mengusap kakinya.

"Ayo berdiri, kalau malas nggak usah kerja. Pulang saja sono!" sentaknya lagi.

"Enggak kak, ini mau kerja kok," jawab Riz sambil berusaha berdiri.

Sang senior pun melempar kotak plastik yang berisi handuk kecil dengan kasar di kepada pria di hadapannya.

Pria kasar itu berlalu meninggalkan Riz sendirian. Langkah yang lemah, mengantar pria kecil itu berjalan menuju kamar yang ada di bagian belakang club itu. Tempat yang biasa digunakan para tamu untuk menuntaskan malam mereka bersama para kupu-kupu pilihannya.

Menurut kotak yang di bawanya, Riz harus mengantarkan kotak itu ke kamar 13. Kaki kecil Riz mengayun sambil mengurutkan angka yang tertera di pintu kamar. Langkah kecilnya berhenti tepat di depan pintu kamar yang ia tuju.

Tok..tok..

"Layanan kamar!" pekik Riz. Hening tak ada jawaban.

Dengan tak sabar, tangan kecilnya terus mengetuk pintu kayu. Suara handel pintu diputar dari dalam, Riz pun menyodorkan kotak yang ada di tangannya. Tangan besar muncul dari balik pintu itu terbuka, langsung memegang tangan Riz dan menariknya masuk.

Blam.

Pintu itu di tutup dengan keras. Aroma alkohol tercium samar dari nafas pria yang sedang memerangkap Riz diantara dirinya di tembok.

Kamar itu gelap, sepertinya pria itu tidak menyalakan lampu sama sekali. Riz tidak bisa melihat siapa yang ada di hadapannya. Tapi dia bertubuh tegap dan lebih tinggi darinya. Pria itu mendekatkan wajahnya, Riz bisa merasakan deru nafas hangat yang menyapu wajahnya.

"Tuan.. tuan... sadar, saya laki-laki." Tangan kecilnya berusaha mendorong dada pria itu. Tenaga kecil Riz tak cukup kuat untuk membuat pria itu bergerak.

"Tuan, sadar tuan!" pria itu hanya mengerang.

Cup

Sebuah ciuman mendarat di pipi Riz tepat di samping bibirnya.

"Tuan, apa yang anda lakukan!

Cup

kali ini tepat di bibirnya.

Ciuman pertamaku! jerit Riz dalam hati.

Bibir keduanya menempel. Tangan besar itu mulai melingkar di pinggangnya yang kecil dan membuat mereka semakin menempel. Kini tubuh Riz sudah ada dalam pelukannya, Bahkan kakinya sudah tidak lagi berpijak di lantai. Pria itu mengangkatnya, sambil terus menyatukan bibir mereka. Percuma Riz meronta, tangannya sedari tadi tak henti memukul bagian apa saja yang bisa di jangkauannya. Namun, ia tak bisa melepaskan diri dari pelukannya

Terlalu Gelap. Riz hanya bisa merasakan tubuhnya melayang dalam dekapan raksasa itu. Tinggi, besar dan lembut, rasa yang Riz rasakan di bibirnya. Tubuh Riz terlalu lelah untuk melawan lagi.

Brugh

Tubuh mereka berdua jatuh di atas kasur. Bibir mereka sudah terlepas tapi tidak dengan tubuhnya. Raksasa itu memeluknya dengan erat. Dengkuran halus terdengar dari pria yang sedang mendekapnya.

Riz menyerah, tubuh kecilnya sudah terlalu lelah. Perlahan mata Riz ikut terpejam. Pelukan raksasa itu mulai terasa nyaman dan hangat untuk beristirahat.

*****

Riz terbangun dengan rasa sesak dan berat di tubuhnya. Mata kecilnya mengerjap dan terbuka perlahan. Kamar itu masih sama gelapnya seperti tadi malam. Dengan susah payahnya Riz menyingkirkan tangan yang membelit tubuhnya semalaman.

"Astaga bagaimana bisa kau tertidur di sini? dan pria ini!" Riz membekap mulutnya sendiri, sambil berusaha turun dari ranjang.

Ia segera memeriksa semua baju yang melekat di tubuhnya. Riz bernafas lega, semua masih lengkap. Berarti tadi malam mereka hanya tidur dan tidak berbuat khilaf.

"Syukurlah," Riz mengusap dadanya.

Pria kecil itu mengerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, menirukan gerakan pemanasan sebelum senam pagi.

"Hooamm, aku mau lanjut istirahat di kos, bye raksasa." Riz melambaikan tangannya kepada pria yang masih terlelap di atas ranjang.

Riz sama sekali tidak berniat melihat wajah orang yang telah mendekapnya semalaman. Ia bersyukur hanya ciuman pertamanya saja yang hilang malam itu.

Tidak ada reaksi

El baru saja membuka matanya, ia merasa sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Pria berusia empat puluh tahun itu masih terlihat tampan di usianya yang matang. Tangan El masih meraba ke seluruh sisi ranjang di sebelahnya. Aneh, El merasa ada seseorang yang sebelumnya terbaring di sana menemani dia tidur.

Seorang manusia hidup dan bernafas di sebelahnya. Begitu dekat, El jelas merasakan kulit mereka bersentuhan, dan El baik baik saja. Netra El melebar memikirkan hal itu. Dengan kasar El menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya.

Dengan cepat tangan kekarnya menanggalkan semua pakaiannya yang melekat pada tubuhnya. Jajaran roti sobek yang membuat kau hawa panas dingin, terpampang jelas di sana. Dengan tubuh polosnya El masuk kedalam kamar mandi.

Rintikan air menghantam tubuh kekar El. Mengalir, membasahi tiap lekuk otot tubuhnya. Tak ada tanda tanda kemerahan atau reaksi lain pada. Seulas senyum terukir di bibir tebal El. Sepertinya dia tidak akan menjadi jomblo sampai tua.

El membersihkan dirinya lebih cepat lima menit dari biasanya, ya setidaknya pagi ini El hanya membutuhkan waktu 55 menit untuk membersihkan dirinya. Itu sudah rekor tercepat El sampai saat ini.

Dengan hanya mengunakan handuk El keluar dari kamar mandi. Langkah lebar El mengantarkannya mendekati nakas, ia pun segera meraih ponsel dan tisu basah. Mengusap ulang benda pipih itu berulang kali sebelum memakainya. Mengunakan loud speaker El mengubungi seseorang.

"Cepat datang ke kamarku!" titah El setelah nada sambung di angkat.

Tok...tok..

Mendengar suara ketukan pintu, El pun segera membukanya. Tentu saja setelah menyemprot knop pintu dengan desinfektan. Seorang pria bertubuh tegap menunduk hormat saat melihat berdiri di depan pintu saat El membuka pintunya.

"Selamat pagi Tuan," sapa asisten Joe.

"Hem." El berbalik lalu berjalan kearah ranjang dan mendudukkan dirinya di tepi.

Asisten Joe pun mengekor di belakangnya, setelah menutup pintu Joe kembali berjalan mendekati Tuannya, lalu menyerahkan paper bag yang ia bawa. Sebuah baju baru di tempat langganan El. El hanya akan memakai baju sekali saja dan langsung membuangnya.

El langsung menanggalkan handuk yang melilit aset miliknya. Joe

segera membalikkan tubuhnya ke arah berlawanan. Ia sudah terbiasa dengan semua ini.

"Siapa yang masuk ke kamar ini Joe?" tanya El sembari memakai pengaman miliknya.

Joe mengerutkan keningnya, pasalnya tidak ada seorangpun yang di perbolehkan mendekati kamar ini dan semua karyawan di klub ini tau peraturan itu.

"Siapa Tuan?"

"Aku butuh jawaban. Bukan pertanyaan balik, Joe!"

"Maaf, Tuan."

"Cari tau tentang itu, aku yakin ada seseorang yang masuk ke dalam kamarku tadi malam. Periksa semua cctv aku ingin kau bisa menjawab pertanyaan ku saat makan siang nanti!" tegas El tak terbantahkan.

"Baik Tuan."

Setelah memberi peringatan El pun segera keluar dari kamar itu tentu dengan Joe di belakang.

Sementara di sebuah kamar kos kecil berukuran 2x3. Seorang gadis meringkuk dalam selimut tipisnya setelah membersihkan dirinya. Ia begitu lelah badannya menggigil. Matanya terpejam. Namun, ia tidak tidur. Pikirannya jauh menerawang ke sosok yang ia rindukan.

______

Seorang anak berusia 4 tahun menangis dibalik tumpukan kardus di bawah kolong jembatan.

"Mama," lirih anak itu di sela isaknya.

Sebuah tangan keriput terulur dengan senyum manis yang terpancar di wajah yang sudah termakan usia.

"Adek kenapa menangis? dimana Mama kamu?"

Karin kecil hanya menggelengkan kepalanya. Sudah sejak seminggu yang lalu dia berada di jalan raya kota Jakarta. Gadis kecil itu bahkan tidak tahu tempat keberadaannya sekarang.

Beberapa orang dewasa memaksanya untuk mengemis di jalan, jika tidak mau dia tidak akan mendapatkan jatah makanan.

Saat dia dan beberapa anak lain sedang mengemis. Tiba-tiba satpol PP datang dan merazia mereka, para pengemis dan tunawisma lainnya pun berhambur. Karina pun turut bersembunyi di tumpukan kardus meringkuk menyelipkan tubuhnya yang kecil dia antara kotak karton besar.

Melihat gadis kecil itu menangis sesenggukan sendiri membuat Heri merasa kasihan.

"Ikut Bapak pulang ya, Nak?"

Karina diam, wajahnya memancarkan rasa takut yang teramat sangat. Heri pen tersenyum dan mengelus pucuk rambutnya.

"Bapak bukan orang jahat, bapak akan bawa kamu pulang ke rumah. Di sana kita bisa makan dan tidur dengan nyaman, meskipun rumah Bapak tidak besar tapi cukup nyaman untuk kita berteduh," ujar Heri menjelaskan.

Karina pun mengangguk, ia meraih tangan tua yang terulur sejak tadi.

"Nama kamu siapa? lalu Bapak panggil saja Bapak Heri."

"Nama aku Karina," ucap gadis kecil itu.

"Mana yang cantik Nak," ucap Heri dengan senyum.

_____

"Karina apa kau di dalam?" sebuah suara memanggilnya dari luar kamar, membuyarkan lamunannya.

"Ya, buka saja," Sahut Karina dari balik selimut. Dia sudah hafal betul siapa yang datang mencarinya, hanya satu orang yang akan datang.

Tiwi teman sekelas Karina di sekolah, hanya dia yang satu satunya orang mau mau bersusah payah berteman dengan Karina saat semua orang menjauhinya, Karena Karina hanyalah seorang anak yatim-piatu dan seorang yang miskin.

Tiwi segera membuka pintu dan nyelonong masuk begitu saja. Melihat sahabatnya yang masih tergulung dalam selimut membuat Tiwi heran. Ia pun duduk di samping Karina dan menarik selimutnya dengan keras, sampai terlepas dari tubuh gadis itu.

"Ishh.... dingin tau," keluhnya pada Tiwi.

"Dingin? kamu sakit?" Tiwi menempel telapak tangannya di kening sahabatnya.

"Astaga Karin badan kamu panas banget, aku anterin ke dokter ya?" ujar Tiwi dengan cemas.

"Cuman meriang dikit aja, tolong izinin aku ya. Aku pengen istirahat hari ini." Karina mempererat pelukannya pada selimut yang hampir menutupi seluruh tubuhnya.

"Tapi badan kamu panas banget itu, mana kamu sendirian lagi. Aku anterin ke dokter." Tiwi menyibakkan selimut, dan menarik lengan kecil temannya.

Tubuh Karina terasa lemas. Namun, ia masih bisa memberontak. Gadis itu menatap menatap mata temannya dengan binar mata memelas. Tiwi pun hanya bisa berdecak kesal pada sahabatnya yang keras kepala itu.

"Ok, deh ntar aku bikin surat izin buat kamu. Tapi aku nggak tega liat kamu kayak gini, kamu sendirian."

"Tadi udah minum obat warung kok, bentar lagi juga reda demamnya. Udah kamu cepetan berangkat nanti di amuk sama Pak Septa."

"Emh...iya deh, cepat sembuh ya Say." Tiwi pun beranjak dari sisi Karina. Ia menoleh sejenak pada sahabatnya sebelum beranjak pergi.

Ia sungguh tidak tega melihat keadaan sahabat yang terkulai lemas seperti ini. Tiwi harus segera berangkat ke sekolah, karena memang waktunya yang sudah sangat mepet.

Karina terlelap sejenak. Sebelum riuh suara ponsel memaksanya untuk membuka matanya. Entah berapa kali ponsel itu berdering mengganggu tidurnya.

Dengan mata yang masih terpejam

Karina mengulurkan tangannya, meraba raba sisi sebelah bantalnya untuk menemukan ponsel. Karina langsung menggeser layar ponselnya tanpa melihat nama si penelepon yang tertera di layar.

"Halo."

"Halo Riz kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?!" hardik seseorang di ujung telepon.

"Pak Jimmy, maafkan saya Pak,Saya sedang tidak enak badan," Karina membelalakkan matanya mendengar suara si bos yang membentaknya.

"Cepat ke Club sekarang juga!"

"Tapi Pak sa-

"Tidak ada tapi, aku tunggu sekarang."

Jimmy langsung mematikan sambungan ponselnya. Karina pun mendesah menghela nafasnya. Ia menyibakkan selimut dan berusaha bangkit dari kasur lantai tempat ia berbaring. Ia meraup rambutnya yang menjuntai sedikit melebihi bahunya mengikatnya sembarangan dengan karet gelang.

"Jam berapa ini, kenapa tiba-tiba menyuruh aku ke club," gerutu Karina dengan mulut mungilnya.

Ia sedikit berjalan ke depan agar bisa memerhatikan dirinya di pantulan cermin yang menggantung di tembok kamar mandinya dengan baik. Ia mulai meraih wig rambut yang ada di atas lemari plastik usang miliknya lalu memakai rambut palsu itu dengan perlahan, mengepaskannya dengan sedikit menarik dan menata helaian rambutnya.

Setelah itu ia melilitkan kain panjang di area dada sampai perutnya. Setelah itu ia segera memakai kaos dalam double sebelum merangkapnya lagi dengan kaos oblong dan kemeja lengan panjang. Karina pun sedikit memoles wajahnya agar terlihat sedikit lebih gelap di beberapa bagian.

Dengan nafasnya terasa panas Karina menghentakkan nafasnya kasar. Merapikan lagi baju dan rambut palsu yang ia kenakan.

"Oke Riz saatnya kau tampil lagi." Karina mengambil tas selempang yang tergantung di sisi cermin.

Ia mengambil obat sakit kepala dan memasukkannya kedalam mulutnya, dengan dorongan air mineral dari botol ia memasukkan obat itu kedalam lambungnya. Karina pun melangkah keluar kamar kosnya lalu segera pergi ke club.

Fitnah

Setelah beberapa lama menaiki ojek online yang di ordernya. Akhirnya Karina sampai di tempat kerjanya. Suasana tampak begitu sepi, terang saja siapa yang mau berkunjung ke club di pagi seperti ini. Karina yang sekarang sudah berganti rupa menjadi Rizky itu pun melangkah dengan pasti, melangkah masuk ke dalam, langkah Rizky terhenti saat melihat seorang pria paruh baya yang sedang berkerja.

"Pak Somad, Bisa ada di dalam ya?" tanya Karina alias Rizky pada seorang cleaning servis yang sedang membersihkan lantai.

"Iya tuh, kayaknya lagi marah. Kamu kenapa ke sini pagi-pagi?"

"Di panggil sama Boss, Pak," jawab Rizky dengan raut wajah yang ketakutan.

Pasti bukan sesuatu yang baik ia di panggil sepagi ini ke club. Apalagi nada bicara Bos-nya yang terdengar marah. Rizky meremas tas selempang kulit yang ada di depan dadanya.

"Kamu juga di panggil, si Eka juga lagi di dalam sama Bos. Cepat masuk sebelum Boss tambah ngamuk ntar!"

"Iya, pak," jawab Rizky.

Laki-laki palsu itupun mulai melangkahkan kakinya dengan gugup. Setelah melewati bar dan lantai dansa yang biasa ramai dengan lautan manusia, akhirnya ia sampai di depan sebuah pintu kayu jati besar, Rizky mengambil nafas dalam-dalam sebelum mengetuknya.

Tok...tok....

"Masuk!" sahut suara tegas dari dalam.

Rizky meneguk ludahnya sendiri, lalu perlahan memutar knop pintu. Dalam ruangan luas yang di dominasi warna maroon itu, duduk seorang laki-laki dengan tubuh besar dan perut buncitnya di balik meja. Sementara di salah satu bangku yang ada di hadapannya ada seorang wanita yang duduk dengan tersenyum sinis menatap Karina.

"Permisi Boss," ucap Karina sembari melangkah mendekat kearah meja.

"Hem, duduk," ucap Jimmy.

Karina pun mengangguk lalu menarik satu kursi yang bersebelahan dengan seniornya. Beberapa kali Karina membasahi kerongkongannya yang kering dengan salivanya sendiri. Suasana ruangan itu cukup tegang dan menakutkan bagi Karina. Jimmy, pria dengan perut buncit itu menatapnya dengan amarah, sementara Eka melirik ke arahnya dengan senyum sinisnya.

Ya Tuhan, apa sebenarnya yang terjadi.

Karina menundukkan kepalanya, tangannya mengepal erat, menggenggam keringat dingin yang terus mengalir dari pori pori tangannya.

"Kamu tau kenapa kamu di panggi?" tanya Jimmy dengan nada datar, suaranya terdengar bergetar. Pria itu sedang menahan emosinya.

"Ti- tidak Boss," jawab Karina terbata.

"Kamu benar tidak tahu atau pura-pura bodoh, hah!"

"Saya benar tidak tahu Boss, sumpah," Karina mengacungkan dua jarinya di udara seraya memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya.

"Halah nggak usah sumpah sumpah, karena kecerobohan kamu. Aku dalam masalah besar. Apa yang kamu lakukan di kamar 13?!" Sentak Jimmy. Karina pun menurunkan tangannya, sambil mengatupkan bibirnya.

"Saya mengantarkan handuk hangat Boss."

"Bodoh!"

Karina terjingkat dengan sentak Jimmy, tangannya semakin meremas kuat karena takut, kukunya mungkin sudah meninggalkan jejak merah di telapak tangannya. Sementara wanita yang duduk di sampingnya terlihat santai saja menghadapi amarah Bos-nya itu.

"Apa kamu tidak pernah dengar dari senior kamu. Kamar itu tidak boleh di masukin siapapun kecuali pemilik club ini, lalu kau!" Jimi mengacungkan jari telunjuknya kearah Karina.

"Baru tiga bulan di sini sudah bikin ulah, kau tau sekarang Tuan besar marah. Sekarang lebih baik kau pergi, aku tidak butuh orang ceroboh sepertimu berkerja disini!"

"Tapi ... Bos, saya di suruh sama Kak -

"Tidak usah pake tapi, cepat keluar sekarang. Kau di pecat!" usir Jimmy.

"Tapi saya benar benar tidak tahu, Boss. Lagi pula saya hanya di suruh Kaka Eka untuk mengantarnya, saya tidak tahu kalau kamar itu khusus untuk tuan besar," ucap Karina ia mencoba membela dirinya. Ia merasa sebagai korban di sini.

Ia memberanikan dirinya untuk menatap Jimmy yang juga sedang menatapnya dengan geram

"Kau menyalahkan aku, dasar tukang fitnah!" sentak Eka.

Seketika Karina menoleh kearah seniornya, dengan keningnya yang berkerut.

"Aku tidak menyalahkan kakak, tapi bukankah Kak Eka yang menyuruh aku untuk mengantarkan handuk hangat itu. Aku hanya mengantarkan sesuai nomer yang tertera di box," tukas Karina.

"Matamu katarak ya, bisa lihat dengan jelas nggak. Tidak pernah ada box yang dengan angka itu di sini, semua juga tahu kalau kamar itu terlarang bagi siapapun. Kamu tuh kalau salah, salah aja. Enggak usah ngeles. Tukang fitnah lempar batu sembunyi tangan aja bisanya!" ujar Eka di akhiri dengan mulutnya yang di cebikan.

"Aku nggak pernah fitnah Kak, memang kenyataannya seperti itu. Aku jelas jelas liat angka 13 box itu. Mataku masih cukup waras untuk melihat di kegelapan sekalipun!" tukas Karina kesal.

Ia tidak ingin mengalah begitu saja. Jika memang dia bersalah Karina akan meminta maaf. Namun, tidak kali ini. Karina merasa dia sudah melakukan tugasnya dengan benar. Ia tidak terima jika di pecat begitu saja seperti ini.

"Heh, sudah salah ngeyel. Kau pikir aku berbohong, aku sudah bilang tidak ada. Kamu tuh cowok tapi mulut kayak cewek lamis banget."

Aku cewek, cangkang aku aja yang cowok, gerutu Karina dalam hatinya.

"Ada kak, pasti ada," kekeh Karina.

"Diam!" teriak Jimmy.

"Rizky kalau kamu memang merasa kamu tidak salah mengantarkan, kami cari sekarang dimana box yang kamu maksud," titah Jimmy.

"Baik, Boss. Saya yakin, mata saya masih sangat sehat," ucap Karina sembari bangkit dari duduknya, ia pun mulai melangkah menjauh. Keluar dari ruangan itu.

Eka menatap tidak suka pada Jimmy sambil memanyunkan bibirnya. Jimmy yang tahu gadisnya sedang merajuk pun segera meraih tangannya lalu menciumnya berkali kali.

"Tenang saja, semua akan seperti yang kau pinta," bujuk Jimmy.

"Yakin nih," rengek Eka.

"Tentu, asal nanti malam kau bisa memuaskanku."

"Tenang saja, akan ku buat Om, melayang," ucap Eka dengan senyum nakalnya.

Sementara itu di bagian penyimpanan. Karina tanpa mengobrak-abrik box box berukuran sedang yang selesai di cuci dan tertata tapi di rak besi. Dengan panik ia mencarinya. Namun, nihil tak ada satupun diantara box itu yang berangka 13. Angka yang ada di box plastik itu di ukir sehingga tidak mungkin untuk menghilangkannya.

Karina merasa frustasi, ia mengacak rambut palsu yang ia kenakan.

"Argh .... kemana sih? seharusnya ada, kemarin jelas jelas aku liat nomer 13 kan," gumamnya sambil mengigit ujung kukunya.

Ia berdecak kesal, dengan langkahnya yang di hentak Karina kembali ke ruangan Bos-nya. Dalam ruangan itu Eka sudah duduk menantinya, dengan kakinya yang di silangkan, menatap Karina dengan pongah.

"Bagaimana? kau menemukan sesuatu yang kau inginkan?"

Karina mengeratkan rahangnya. Tangannya mengepal menatap tajam pada seniornya. Eka menatapnya dengan tak kalah tajam, dengan senyum mengejek tersungging di bibirnya.

Aku yakin semua ini pasti rencananya, gumam Karina dalam hatinya. Dengan menatap sinis pada Eka.

"Kenapa kau memandangku seperti itu, Heh?"

"Tidak, ada," kilah Karina sambil memalingkan wajahnya. Sungguh enggan rasanya menatap seorang juru busuk seperti dia.

"Sudah kemari dan ambil gaji terakhirmu," titah Jimmy.

Karina pun berjalan mendekat ke arah meja, lalu menyambar amplop coklat buang di sodorkan oleh atasan, oh ralat mantan atasannya.

"Terima kasih," ketus Karina.

"Gunakan baik-baik uang itu, ga mudah lho cari uang sekarang. Apalagi buat cowok kerempeng kayak kamu, pasti yang mau Nerima kerja kamu mikir dua kali," sindir Eka.

"Lebih baik kerempeng, dari pada berisi tapi di jual murah," sindir Karina balik, sambil melangkah meninggalkan ruangan itu.

"Yak! laki-laki kurang. Beraninya kau menghinaku!" teriaknya pada udara karena Karina sudah berlalu di balik pintu.

"Sudah, jangan emosi. Kemari dan puaskan aku!" titah Jimmy. Eka pun dengan segara naik ke pangkuannya

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!