Sebuah pilihan...
Sebuah drama hidup yang harus kujalani dengan kelapangan hati, .
Sebuah harapan yang langsung kandas meski baru saja ingin ku mulai, ingin ku rajut dengan indah, .
Satu keinginan yang ku impikan sejak masa putih abu-abu,.
Satu tujuan yang ingin ku raih untuk menunjukkan kepada dunia bahwa keluargaku tak serendah itu,.
Namun, impianku hanyalah tinggal angan kosong.. hanya tinggal mimpi yang selalu ku nanti diujung malam.. aku tau mereka yang selalu memandang rendah keluargaku pasti akan menertawakan keinginanku, gadis desa yang ingin kuliah di Ibukota,.
"Heh, gak punya apa-apa mau sok-sok an daftar kuliah di Ibukota, mimpi..!"
"Halah hutang di warung mak Yah tuh lunasin dulu, baru boleh keluar kandang (keluar kampung halaman)"
"Miskin ya miskin aja, gak usah sok mau kuliah, langsung cari kerja aja, atau nikahin aja lah daripada jadi beban keluarga"
Hampir tiap hari sindiran halus atau kasar selalu kudengar. Memang ayah dan ibu tak membicarakannya di hadapanku tapi aku tau pandangan mereka selalu tampak sedikit berkaca-kaca saat melihatku belajar sendiri dengan setumpuk buku panduan masuk ke kampus Garuda.
"Kak, sudah malam, belajarnya dilanjut besok ya.." ucap ibu saat memergokiku tengah belajar dijam lewat tengah malam.
"Iya bu.....", sahutku pelan. Kulihat raut wajah beliau yang selalu teduh, selalu tersenyum di hadapanku.
Ibu, aku tau engkau menghawatirkan masa depanku, meski engkau mendukungku tapi ekonomi kita tak mengizinkanmu untuk bersamaku, aku tau engkau menyembunyikan kegelisahan mu, aku tau bu.... tapi,
Aku takkan menyerah...!!!
"Bu.. terima kasih....", ucapku sambil berhambur memeluk ibu, merasakan hangat kasih sayangnya menyentuh hatiku.
"Apasih kak.. kenapa pakai terimakasih segala,, sudah ayo tidur, sudah malam, besok jadi ke sekolah kan, mau lihat hasil daftar beasiswa kemarin?", tanya ibu sambil mengurai pelukanku.
"Iya bu... do'ain Anya lolos ya bu..",
"Iyaa.. sudah ayo tidur," ibu menyelimutiku lalu bernjak meninggalkan kamarku.
.
.
.
Namaku Anya Zahrotul Jannah, kelas 3 SMK disalah satu kota S, aku ingin kuliah, aku ingin bekerja di salah satu kantor besar di Ibukota negara ini. Aku ingin orangtuaku bangga dengan prestasiku. Aku belajar serius, meski tanpa ikut les aku bisa jadi juara kelas sehingga orangtuaku tak perlu membayar uang SPP tiap bulan.
"Nyaaaaa.... kita lolosss...!!!" teriak Aini, teman sekelasku yang juga bersamaku mendaftar di universitas ternama di Ibukota.
"Alhamdulillahhh... yang bener? berarti lusa kita bisa berangkat bareng ya..", ucapku sambil memperhatikan raut wajahnya yang tiba-tiba muram. "Heii... kenapa? Tadi seneng koq sekarang lesu.. lapar ya? yok ke kantin..". Aku langsung menarik tangannya, mengajaknya berlari, melewati teman-teman lain yang baru datang.
"Anya maaf ya...", Ucap Aini sambil menunduk, tak berani menatapku lagi seperti tadi.
'kenapa nih bocah? sebentar seneng sebentar sedih, pakai minta maaf pula', gumamku.
Aini lalu memesankanku makanan dan terdiam, aku ikut diam menunggunya menyelesaikan kalimatnya.
"Nya...maaf ya aku gak bisa bareng kamu besok, ayah meminta paman mengantarku, ayah hanya akan mengizinkanku kesana kalau aku sama paman.. maafin aku ya Nya.."
DUARR.....!!
bagai tersambar petir disiang hari,, hampir saja air mataku keluar saat itu juga, tapi kutahan. Aini mengusap sudut matanya, merasa bersalah padaku karena dia yang telah menyeretku untuk bersamanya mendaftarkan diri ke jalur beasiswa, berjanji terus bersama sampai gerbang kampus impian, berjanji bergandengan tangan bersama melewati tiap sudut Ibukota nanti.
"Yasudah gak apa-apa," ucapku datar, menahan debaran hatiku yang kacau, menekan emosiku yang tak tentu.
'Aku harus kuat, aku takkan menyerah, aku takkan menyerah, aku takkan menyerah', batinku.
Aku tau Ainipun tak tega meninggalkanku sendiri. kugenggam tangannya yang mendingin, mungkin takut aku marah padanya atau mungkin dia ragu mau lanjut atau tidak tanpa aku.
"Nya kalau kamu gak bisa kesana, aku juga gak akan berangkat Nya..," ucapnya sambil berurai air mata, dia tau aku takkan bisa kesana sendiri, dia tau ekonomi keluargaku, dia tau semua tentangku.
"Heh ngomong apa sih. Udah kamu berangkat aja, nanti aku InsyaAllah nyusul. Kita ketemu disana, oke?", Kuhapus airmatanya yg ternyata semakin deras mengalir.
"Maafin aku Nya.. maaf.. maaf.." dia langsung berdiri, menghambur memelukku, minta maaf berkali-kali. Aku hanya memejamkan mata. Menghela napas panjang. Diam. Kutepuk pelan punggungnya yang naik turun seirama isakan tangisnya. Untung suasana kantin masih sepi jadi tak ada yang menonton drama kami.
"Udah Ai.. malu tau nanti diliatin temen-temen yang lain, kayak mau pisah jauh aja", ledekku sambil tersenyum tipis padanya.
"Gak asik banget sih, orang minta maaf malah dibilang drama", ucapnya cemberut.
Aku hanya tertawa geli menanggapinya.
"Yasudah pulang yokk, gak ada kegiatan lagi kan ya?", ucapku mengalihkan pembahasan kami. kantin mulai ramai tapi hatiku terasa sepi. Aini harapanku satu-satunya yang bisa membawaku ke ibukota telah meninggalkanku. Ayah dan ibu sudah angkat tangan jika aku ingin kuliah. Aku tak mungkin meminta lagi pada mereka. mereka telah bekerja keras hingga aku bisa lulus SMK.
"Oke. Let's Go...!!", Aini sudah bersemangat lagi. dia menggandeng tanganku, membayar makanan kami lalu berjalan lurus ke gerbang sekolah. Kami berpisah dipersimpangan jalan. Aini melambai ke arahku, kemudian berbelok ke arah rumahnya.
Aku kembali berjalan, menikmati matahari siang. Mengamati pedagang makanan keliling yang lalu lalang dengan motor atau gerobaknya. Sesekali ada anak yang memanggil, tersenyum, lalu membeli dagangan mereka. Mereka tak pernah putus asa menjalani pekerjaan mereka. Setiap hari penuh semangat meski tak tau nanti untung berapa rupiah.
Tiba seberang jalan di depan rumahku, aku kembali merenung. mendesah pelan.
'Ayah ibu maafkan Anya. Anya belum bisa membahagiakan kalian. Tapi Anya janji Anya akan cari kerja. Anya bakal bekerja dengan sebaik-baiknya. Anya ingin melihat kalian tersenyum bangga melihat Anya. Anya ingin memperbaiki ekonomi kita. Anya janji.' ucapku dalam hati.
'Jadi, apa yang akan kulakukan sekarang?, cari kerja, dimana?, sama siapa?, bagaimana caranya?, aku tak tau sama sekali daerah kota ini,' gumamku sangat pelan. Aku mungkin baru lulus sekolah, tapi aku takkan menyerah. Aku memang tak tau banyak tempat, tapi bukankah ada ponsel, ada banyak teman di luar sana.
"Huuufff..", aku meniup poni di dahiku. bercengkrama dengan pikiranku sendiri. berangan-angan apa yang akan kulakukan setelah ini.
"Baiklah. Tak jadi kuliah tak masalah. Yang pasti aku harus bisa mandiri. Aku gak mau mereka menghina keluargaku lagi. Aku akan bekerja keras. Bismillah... yakin aku bissa.. !!, ucapku penuh semangat sebelum memasuki rumah.
"Assalamu'alaikum...", Aku membuka pintu, sepi, mungkin ibu masih menjemur cucian. Aku bergegas ke kamarku, mengganti baju, merapikan buku-buku yang tadi kubawa ke sekolah.
"Kaaakk.. kakak sudah pulang?", ibu berjalan ke arahku. Tatapannya sendu, ujung matanya basah, gerakannya kaku. Kulihat ibu mau mengatakan sesuatu tapi kembali terdiam. Ada apa ini.......?????
.
.
.
Ibu menghela nafas panjang, lalu tersenyum dan menyuruhku makan siang.
Ada apa ini? Kenapa ibu tampak aneh? padahal tadi pagi baik-baik saja. Aku mengikuti langkah ibu ke dapur, mengamati ibu yang cekatan mengambilkan makanan untukku. Aku menerimanya dengan senang hati, makan dengan lahap seperti biasa, sampai.....
"Kak......." Lagi-lagi ibu tak melanjutkan kalimatnya. Ini aneh.
"Bu.. sebenarnya ada apa..?", setelah makan akhirnya ku beranikan untuk menanyakan apa yang terjadi pada ibu.
"Tadi pamanmu kesini, katanya anak juragan Warno tertarik sama kakak, dia tau kakak sudah lulus SMK. Nanti malam beliau dan putranya akan berkunjung kesini, kakak mau kan menemuinya?",
Aku terkesiap. Mataku berkedip cepat. Tak menyangka kalau inilah penyebab keanehan ibu. Juragan Warno adalah juragan Beras terkaya di desa ini, paman dan ayah banyak berhutang ketika kami gagal panen dan ketika ibu melahirkan adikku, Fani. Aku tau kemana arah pembicaraan ini. Aku tau ibu, paman, bahkan ayahku takkan bisa menolak keinginan juragan warno, tapi juga tak tega memintaku menerima pinangan putranya.
'Apa? Apa yang harus kulakukan? Anak juragan Warno itu memang masih muda, langsung bisa memegang salah satu toko juragan Warno ketika lulus kuliah. Memang kami sering bertemu tapi bukankah dia banyak yang naksir? Kenapa harus aku? Kenapa malah tertarik padaku?'.
"Kak..gimana...", suara ibu membuyarkan lamunanku. Aku menatap ibu, meminta sarannya. Aku baru lulus SMK. Aku tak mau menikah. Aku masih ingin bekerja, ingin melihat dunia luar, ingin menikmati masa mudaku. Tapi ibu diam, seolah membiarkanku berpikir dan menyerahkan semua keputusan di tanganku.
"Baiklah bu..", ucapku lirih. Aku tak tega melihat kesedihan ibu, keletihan ayah, tapi aku juga tak mau mengorbankan masa depanku. Apa aku egois? Kurasa tidak, aku berhak memutuskan apapun sekarang di usiaku yang sudah 18 tahun. Aku akan menemuinya, menanyakan apa yang dia inginkan dan juga menjelaskan apa yang masih kuinginkan.
.
.
.
"Kamu cantik...", komentar pertama ketika aku muncul dihadapan kak Zidan, anak juragan Warno. Penampilannya cukup menawan. Outfitnya kemeja biru dengan lengan tergulung sampai batas siku. He looks hot. Aku menahan napas melihat penampilannya saat ini. kak Zidan yang biasa hanya memakai kaos atau kemeja lengan pendek kini tampil rapi dan menawan seperti eksekutif muda di hadapanku.
Aku duduk di hadapannya, meletakkan tanganku di atas meja. "Makasih..",ucapku singkat. Mungkin kak Zidan menyadari sikapku. Aku yang biasa banyak bicara kini diam. hanya menghela napas panjang dan mengamati tanaman di teras rumah ini.
"Anya, apa kamu sudah tau apa tujuanku kemari? Apa ayahku mengatakan sesuatu pada pamanmu?", kak Zidan nampaknya memastikan kediamanku ini.
"Iya kak",
"Anya, jujur aku sudah menyukaimu sejak dulu. Apa kamu mau jadi pendampingku?", ucapnya sambil memegang tanganku.
Hah? To the point sekali! Apa kak Zidan ini sudah biasa mengatakan suka ke semua gadis? Lalu bagaimana dengan penggemarnya? kak Sarah, kak Dini, kak Dewi?
"Kenapa harus aku..? Kenapa kakak harus suka padaku? Kenapa gak sama kak Sarah yang cantik atau kak Dini yang sexy atau kak Dewi yang sebentar lagi jadi bidan?" Aku langsung memprotesnya tanpa jeda. Meski dengan suara pelan namun ternyata itu mampu membuat kak Zidan terperangah kaget. Tak menyangka kalau aku berani mendebatnya.
"Kamu berbeda. Sarah terlalu posesif, Dini terlalu agresif, kalau Dewi aku tak terlalu mengenalnya Nya." kak Zidan melepas tanganku saat mengatakannya. Mungkin ia tau kalau aku telah menolaknya secara halus.
"Maafkan Anya kak. Anya masih ingin bekerja." Aku memalingkan mukaku darinya, tak tega melihatnya sedikit berkaca-kaca. Apa aku salah telah menolaknya? Apa nanti paman dan ayah akan mengalami masalah dengan juragan Warno?. Aku tak tau, yang jelas saat ini aku tak mau menikah. Titik.
"Kamu bisa bersamaku mengelola toko Nya. Itu juga bekerja kan?" ternyata kak Zidan belum menyerah.
"Aku baru lulus SMK kak, aku masih ingin melihat dunia, ingin merasakan dunia kerja. Maaf.........", Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Kak Zidan kembali menggenggam tanganku, meremas jemariku dengan pandangannya yang tak bisa kumengerti.
"Nya, apa kamu sama sekali tak punya rasa padaku..?" ucapnya sangat pelan.
Aku tak bisa memikirkan kata apapun, lidahku kelu, pria ini sama sekali belum menyerah.
Seorang Sarjana Pertanian dengan mantap mengatakan menyukaiku. Aku mungkin sedikit menyukainya. Dia ramah, berjiwa penolong seperti ayahnya, tampan, tak pernah kudengar hal buruk tentangnya selama ini. Tapi aku tak bisa menerimanya. Ini sama saja aku masuk penjara, aku tak bisa keluar dari kampung ini, aku tak bisa menyumpal mulut mereka yang suka merendahkan keluargaku, malah mungkin akan semakin menjadi jika aku menikahi kak Zidan. Aku tak mau itu.
"Maaf kak.......". Akhirnya hanya kata itu yang bisa kuucapkan, kutarik tanganku dari genggamannya, kuusap airmata di sudut mataku dengan cepat. "Ini terlalu cepat, Anya masih kecil kak, Anya belum mau menikah," Akhirnya aku bisa mengatakan hal yang paling mengganjal dihatiku.
"Baiklah jika itu keputusanmu, tapi jangan jauhi aku karena ini ya Nya, aku bakal nungguin sampai kamu siap". Kak Zidan menghela napas panjang sebelum mengatakan itu.
Ya Allah... apa benar kak Zidan sungguh menyukaiku?, Entah kenapa aku tak bisa mempercayainya. Seperti ada sesuatu yang tak beres. Aku harus tau. Kak Zidan yang biasa bersikap hangat layaknya seorang kakak kepada adiknya sekarang tiba-tiba malah berani menyatakan cinta. Aneh.
"Iya kak. sekali lagi maafin Anya ya kak,"
kak Zidan mengangguk, lalu berpamitan pulang pada ayah dan ibuku. Kulihat langkahnya gontai, mungkin masih merasa kecewa padaku. Apa yang kulakukan ini benar? Entahlah. Aku tak mau menikah sekarang. Aku hanya ingin bekerja, ingin menjadi kebanggaan keluarga.
"Kak, gimana..?" Ayah dan ibu memandangku serius. Aku bingung bagaimana harus mengatakannya pada mereka.
"Maafin Anya ya yah bu.. Anya masih ingin bekerja atau mungkin kuliah,.", aku berkata pelan sambil mengamati ekspresi ayah dan ibuku. Mereka mengangguk mengerti. Ibu memelukku, tangan ayah membelai rambut belakangku.
"Maafkan ayah ya Kak, gara-gara ayah punya hutang, kamu jadi ikut punya beban", Ayah mengusap sudut matanya yang basah. Aku tau ayah ibu menyayangiku, tapi akupun tau yang mereka khawatirkan ke depan nanti.
"Lalu bagaimana respon nak Zidan kak?," kali ini ibu yang bertanya.
"Kak Zidan mau menunggu sampai Anya siap bu.. tapi bu, Anya takut...",
"Kenapa takut? juragan Warno takkan marah, beliau orang yang bijaksana kak.." ucap ayah menenangkanku.
"Benarkah yah?".
"Iya kak, beliau bilang sudah terserah yang muda saja, begitu. tapi ibu mau tanya serius, apa kakak gak ada rasa suka sama Zidan?"
Aku mengerjap cepat, tak menyangka kalau ibu akan menanyakan ini padaku. Aduh, bagaimana ini? Aku tak bisa berbohong pada ayah dan ibu. "Em.. sepertinya suka sedikit bu, tapi Anya takut..", Aku menunduk malu, tak berani menatap ibu ataupun ayah.
"Takut kenapa kak?" ,potong ibu penasaran.
"Yang naksir kak Zidan banyak bu, nanti kalau mereka tau bisa-bisa Anya di demo atau mungkin langsung dihajar sama mereka," ucapku kesal.
"Hahahahaha.. ternyata anak ayah sudah besar bu, sudah berani suka sama lawan jenis," Ayah malah menertawakanku. dan ibupun tersenyum kearahku yang masih menunduk.
"Ayah iiihhhh Anya malu yah" ucapku sambil berlari ke kamarku. Wajahku sudah merah. Aku sungguh malu. Aku tak berani lagi berhadapan dengan ayah dan ibu.
.
.
.
"Kak, tolong beliin sosis sama gula ya, sebentar lagi adikmu pulang pasti nanyain sosis," Ibu bicara tanpa menoleh kearah ku, memotong-motong wortel lalu mencuci beberapa sayuran hijau.
"Iya bu...", Aku melangkah ke depan, melewati ruang tengah yang penuh dengan foto-fotoku dan adikku.
'Gak ada dia 3 hari rasanya emang sepi sih, tapi kalau ada malah bikin kacau dunia persilatan, hahaha" gumam ku pelan.
Sampai di depan, ku dorong pintu sekuat tenaga. Engsel pintu sudah agak berkarat membutuhkan tenaga ekstra untuk bisa membukanya, sampai tiba-tiba...
"A.......", Teriakan cempreng melengking di depanku, membuatku reflek langsung menutup telinga. Aku memicing, melihat sesosok makhluk kecil yang terduduk di depanku.
Fani.
"Aduh.... kakak.. sengaja ya? sakit tau.. liat nih," Suaranya bertambah nyaring saat melihatku, lalu menunjuk jidatnya yang memerah, kurasa terkena pintu yang barusan kubuka. Haha. Rasain.
"Loh dek ngapain duduk disitu? Mau latihan jadi suster ngesot ya?, Ledekku sambil menahan tawa melihatnya menggembungkan pipi. Kesal.
"Kenapa kak..?" Ibu muncul kemudian, "Ya Allah dek itu jidatmu kenapa?"
"Kak Anya nih bu dorong pintu pakai tenaga dalam jadinya jidat Fani kepentok, aduh jadi berkurang kan cantiknya Fani.." . Fani bersungut-sungut kesal. Matanya mendelik ke arahku. Hahaha, kangen sekali aku dengan ekspresi kesalnya itu, terlihat menggemaskan.
"Uluh-uluh adeknya kakak.. tambah cantik tau dek jidatnya memerah, gak usah pakai blush on lagi.. hihihi.." , candaku. Aku langsung kabur begitu dia mau melemparkan sepatunya ke arahku.
"Dasar, kakak gak punya akhlak. Ibu... kakak tuh nyebelin..", protesnya pada ibu.
"Sudah-sudah ayo sini ibu obati. Biarin kakakmu ibu suruh beli sosis, kamu kangen sosis gak? 3 hari di perkemahan gak ada sosis kan?", ucap ibu sambil menahan tawanya.
"Mauuuuu...",
Aku tertawa sepanjang jalan. Menikmati penderitaan adikku. Dasar kakak gak punya akhlak emang aku ini. Haha. Entahlah, aku suka sekali menjahili adikku. Apa memang semua Kakak di dunia ini sama sepertiku? Atau cuma aku yang suka menjahili adikku? Entahlah.
Aku sampai di toko mak Yah. Membeli gula dan sosis, membayar lalu berbalik Dann...
"Anya? Lo Anya kan??" Sapa seorang gadis cantik seusiaku, tapi aku tak tau dia ini siapa. Bahasanya gaul, sepertinya dia dari ibukota.
"Iya.. siapa ya?", Tanyaku sambil terus memperhatikan penampilannya. Dia melepas masker dan tersenyum ke arahku. Sepertinya aku kenal.. seperti teman SMP ku.
"Anis? Anis bukan?",tanyaku memastikan.
"Iyaa.. halah pake panggling segala. Gimana kabar Lo Nya?, ucapnya sambil memukul lenganku, memperhatikan apa yang kubawa.
"Kabarku baik. Kamu apa kabar? Terakhir kita ketemu pas wisuda SMP kan Nis? Wah tambah cantik aja kamu,". Aku mengikutinya sampai ke motornya.
"Ayo naik Nya, ku antar pulang." ucapnya ramah.
Kami bercerita sepanjang perjalanan. Dia sudah bekerja di pabrik sekarang, gaji perbulannya lumayan besar. Aku tertarik dan ternyata kebetulan ada lowongan kerja untuk minggu ini. Aku menawarinya mampir ke rumah saat dia menurunkan ku di halaman.
"Nih bu biang keroknya. Marahin bu marahin tuh.." Suara cempreng menyambut ku. Duh ni anak masih dendam ternyata. Hahaha
"Masih Marah? Masih dendam sama kakak? Kakak punya sosis nih.. yakin masih mau nyuruh ibu buat marahin kakak?", Dia mengerjap pelan, seolah berfikir, menimbang antara masih marah atau sosis. Hahha, benar-benar lucu. Fani masih kelas 3 SD, matanya bulat, hidungnya kecil tapi mancung, bibirnya tipis tapi suka sekali teriak-teriak padahal suaranya cempreng, bayangkan!.
"Yasudah mana sosisnya. Kali ini Fani gak jadi dendam sama kakak." ucapnya masih cemberut. Ibu, aku dan Anis yang dibelakang ku langsung tertawa mendengarnya. Ibu menyadari kalau aku membawa teman.
"Bu..ini Anis teman Anya semasa SMP", ucapku memperkenalkan.
"Oh iya nak sini, ayo makan siang sama-sama, gak usah sungkan". Seperti biasa ibu langsung bisa akrab dengan teman-temanku.
"Kak aku menang lomba baca puisi loh, aku minta hadiah ya." Fani langsung melapor padaku ketika aku duduk disampingnya.
"Juara 1 gak? kalau juara 2 juara 3 kakak gak mau kasih hadiah loh", ucapan ku sontak membuatnya kesal.
"Ini juara favorit kak, lebih keren tau daripada juara 1", protes fani dengan gaya sombong.
Aku mengulum senyum ke arahnya. Anak usia 9 tahun ini ternyata kritis juga. "Yasudah nanti kakak beliin permen seribu buat hadiah yaa".
"Hah?", fani langsung menganga mendengar hadiah dariku. Ibu dan Anis terkikik geli dengan ekspresi fani. "Kok permen sih kak? Jangan pelit dunk sama adik sendiri. Kalau permen mah tiap hari juga fani dapat dari kak Zidan, Uuppss..!", Fani langsung menutup mulutnya. melirik ke arahku dan ibu. Aku langsung mendelik, menatapnya tak percaya. Kak Zidan juga mendekati adikku? Buat apa?.
"Hahaha.. adik cantik siapa tuh kak Zidan? Pacarnya kak Anya ya?", Anis langsung penasaran.
"Apaan sih nis. Bukan-bukan." ucapku cepat.
"Adek minta permen ke kak Zidan? Jangan lagi ya dek, nanti kalau mau ibu belikan, jangan minta-minta lagi ya.." Ibu membelai rambut belakang fani, lalu melirik ekspresi ku yang masih diam dengan pikiran kemana-mana.
"Emmm adek gak minta bu.. tapi kak Zidan sendiri yang kasih." Fani tak berani menatapku dan juga ibu.
"Fani cantik waktu kak Zidan kasih permen tanya sesuatu gak? Atau nyuruh Fani melakukan sesuatu buat dia?" Kali ini Anis mencoba mengorek informasi.
"Cuma tanya kak Anya ngapain, kak Anya sudah punya pacar apa belum, hobi kak Anya, suka makan apa, terus apalagi yaa..." ucap Fani sambil menghitung di jarinya, mengingat apa saja yang ditanyakan kak Zidan.
Aku speachless. Menganga tak percaya mendengar perkataan Fani. Ibu tersenyum samar sambil menatapku.
"Wahh.. fix, tuh cowok beneran suka sama lo Nya," Anis tertawa geli, mungkin tak menyangka ada yang menyukaiku seperti itu. Dari dulu aku memang tak pernah terlihat dekat dengan lawan jenis, selalu berkelompok atau di perpustakaan, hanya keluar ketika ada tugas kelompok.
"Huffft... yasudah dek nanti kakak kasih hadiah lain yaa, jangan mau lagi kalau dikasih permen sama kak Zidan", ucapku kemudian.
"Tapi kata kak Zidan kalau kak Anya mau jadi pacarnya kak Zidan Fani bakal dikasih jajanan gratis tiap hari loh kak, jadi Fani iya in aja, Fani bilang kak Anya pasti mau soalnya kak Anya suka sama kakak ganteng," ucap Fani tanpa jeda lalu secepat kilat lari dari hadapanku.
"Faanniiiiii.....!! Awas kamu ya." Aku bangun dan melangkah hendak berlari menyusul Fani, jadi kenekatan kak Zidan kemarin adalah ulah Fani? Astaga, benar-benar nih unyil semeter tak sampai.
"Udah kak, jangan dikejar, Fani belum paham masalah itu, nanti biar ibu yang kasih pengertian ke adik kamu", Ibu mencegahku, mendudukkan ku kembali ke kursiku.
Anis tertawa melihat kekesalanku. Drama ini sungguh tak lucu, pantas saja kemarin kak Zidan terlihat begitu yakin meminangku dan terlihat sangat kecewa saat aq menolaknya. Aku mendesah pelan, benar-benar tak menyangka kalau semua ini adalah ulah adikku sendiri.
"Nya adik lo ada bakat jadi sutradara kayaknya," Anis masih melanjutkan tawanya.
"Sialan Lo," ucapku meniru gaya bicaranya.
"Hahahaha....", Anis semakin tertawa melihatku. Ah, sudahlah terserah dia mau tertawa sampai subuh juga terserah. Kepalaku mendadak pusing memikirkan ini.
Bagaimana nanti kalau aku bertemu dengan kak Zidan? Bagaimana aku menghadapinya lagi? Kurasa aku takkan sanggup melihatnya. Aku malu. Dan ini semua karena ucapan adikku?.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!