Jakarta, Indonesia.
Menjalani kehidupan yang jauh dari keluarga bukanlah pengalaman yang baru bagi Miranda Starlin. Sejak masih kuliah Mira sudah hidup terpisah dengan kedua orang tuanya. Sudah sembilan tahun Miranda tinggal di Jakarta, sementara orang tua dan adik laki - lakinya tinggal di Manado. Usia wanita itu sudah dua puluh tujuh tahun. Usia yang sudah matang untuk menikah, menurut orang tuanya. Namun, sampai sekarang ia belum memikirkan pernikahan dengan kekasihnya Dion Lesmana meskipun mereka sudah menjalin cinta selama enam tahun.
Mira sudah bekerja keras dalam hidupnya. Terlahir dari keluarga yang biasa - biasa saja menjadikan wanita itu jujur, pekerja keras dan berani. Keadaan keluarganya yang biasa - biasa saja itu membuat Miranda tidak bisa belajar di luar negeri. Meski begitu, ia tetap melakukan yang terbaik sehingga ia berhasil lulus dari Universitas Lasalle Collage, universitas bertaraf internasional dengan nilai IP yang tinggi.
Mira bercita - cita menjadi seorang desainer, karena itu ia mengambil jurusan Fashion Design. Namun terkadang apa yang kita harapkan tak selalu bisa menjadi kenyataan. Setelah lulus kuliah, sangat sulit bagi Mira mencari pekerjaan sebagai seorang desainer. Takdir kemudian membawanya melamar pekerjaan di Star Departemen Store. Setelah enam tahun bekerja dengan giat dan rajin, akhirnya Mira mendapat promosi sebagai manager marketing.
New York, Amerika Serikat.
George Goldsmith, seorang pria tampan dengan mata hazel dan rambut coklat gelap. Pada usianya yang ke dua puluh tujuh tahun, ia sudah menjabat sebagai CEO Goldsmith Company, perusahaan yang bergerak di berbagai bidang bisnis, salah satunya adalah perusahaan mode ternama dengan label Golds.
Tiga tahun lalu George kehilangan daddy-nya, Richard Goldsmith, karena sebuah kecelakaan lalu lintas. Setelah kepergian daddy-nya , George dinobatkan sebagai CEO Goldsmith Company menggantikan posisi daddy -nya. Kini usia pria itu sudah tiga puluh tahun. Itu berarti sudah tiga tahun pria itu mengemban tanggung jawab sebagai CEO.
George Goldsmith dulunya adalah pria yang baik dan ramah. Tetapi sejak merasakan sakitnya di khianati, George berubah menjadi pria yang dingin. Dua minggu setelah kepergian daddy-nya, George mengetahui kekasihnya Nicole Harlan berselingkuh. Faktanya, wanita itu berhasil menipu George dengan cintanya yang palsu. Semenjak itu, sikap George berubah. Dia tidak lagi menjadi pria yang baik dan ramah, tetapi kini ia berubah menjadi pria yang dingin dan angkuh. Lebih dari pada itu, George tidak lagi mempercayai cinta sejati sehingga baginya semua wanita sama saja.
Selamat membaca . . .
Jumat, minggu terakhir di bulan januari, adalah hari yang sibuk bagi Miranda Starlin. Selain harus ke kantor, wanita itu juga harus pergi ke Star departemen store mengurus pesanan Nona Luna, salah satu pelanggan VIP departemen store tempat dia bekerja. Sebagai seorang manager marketing, Miranda selalu mengutamakan kepuasan pelanggan untuk meningkatkan penjualan.
Hari ini Miranda tidak membawa mobil. Kendaraan yang diberikan perusahaan untuknya harus di service di bengkel. Taksi adalah transportasi terbaik untuk aktivitas nya yang yang padat.
Waktu menunjukan pukul sepuluh pagi ketika Miranda berada di depan Star Departemen Store. Setelah membayar taksi, Mira berhenti sebentar di area parkir, memandang langit yang cerah, menarik napas dalam - dalam lalu berkata dengan penuh semangat, "Saatnya bekerja."
Setelah tiba di departemen store, Mira memanggil beberapa kepala counter untuk berkumpul di sebuah ruangan yang cukup besar, ruangan yang disediakan khusus untuk para pelanggan VIP.
"Setelah makan siang, Nona Luna akan datang kesini. Siapkan koleksi pakaian merek Armand yang terbaru. Ingat, nona Luna sensitif dengan ukuran pakaiannya. Jadi, pastikan pakaiannya sesuai dengan ukuran tubuhnya. Ukuran pakaiannya small, tapi dia benci jika pakaiannya terlalu pendek. Jadi, lewatkan pakaian yang terlalu pendek. Mengerti ?" Kata Mira pada Bella, kepala counter Armand brand.
"Baik Bu." Jawab Bella.
"Untuk tas nya, tunjukan koleksi merek Golds. Mereka sudah mengirimkan koleksi terbaru kemarin. Tunggu dulu, dimana Sintia ?" Tanya Mira pada kedua kepala counter itu.
"Dia tidak ada disini."Jawab Dona.
"Kenapa ? Apa dia sakit ?"
"Tidak. Apa kau tidak mendengar kabar terbaru tentang dia?"
"Tidak." Ucap Mira sambil berpikir.
Dona menggelengkan kepalanya."Wanita itu sudah mengundurkan diri."
"Bella, kau boleh pergi." Ucap Mira sebelum menjatuhkan dirinya di atas sofa berwarna merah di ruangan itu.
"Benarkah? Kenapa? Apa karena promosi ini ?" Lanjut Mira.
"Bukan salahmu jika kau yang dipromosikan terlebih dahulu. Lagi pula dia berhenti bukan karena itu. Dia akan segera menikah."
Miranda, Sintia dan Dona mulai bekerja di tahun yang sama. Sintia begitu mendambakan posisi sebagai manager, tetapi faktanya Miranda lah yang terpilih. Setelah itu, telah tercipta jarak antara keduanya meski selama enam tahun ini mereka bersahabat baik.
Miranda tersenyum kaku. "Baiklah, kalau begitu, tolong kau urus tas dan sepatunya. Tunjukan saja semua koleksi terbaru merek Golds padanya. Apa kau bisa ?"
Dona menarik napas dalam - dalam. "Kapan wanita bar - bar itu datang?"
"Jangan berkata begitu. Dia adalah pelanggan VIP kita. Dan aku yakin kau akan melakukan yang terbaik untuk nya. Jadi, jangan mengeluh."
Dona cemberut. "Emosi wanita itu menyiksaku. Jam berapa dia kesini?" tanya Dona.
Mira tersenyum. "Setelah jam makan siang. Kau masih memiliki banyak waktu untuk melatih kesabaranmu." jawab Mira.
"Ya, aku akan melakukannya. Tetapi kau harus menangani penyambutan di pintu. Belakangan ini banyak pengeluhan tentang itu." Ucap Dona sambil berlalu meninggalkan Mira.
Mira hanya mengangguk setuju karena rasanya tidak ada gunanya ia membuka mulut dan bersuara karena Dona telah hilang dalam pandangan matanya hanya dalam waktu sekejap.
***
Malam sudah menyambut Mira ketika wanita itu selesai bekerja. Mira mendesah pelan untuk melepaskan kelelahan nya. Setelah itu ia mengambil ponsel dari dalam tas nya lalu menelepon.
"Hallo sayang. Aku sudah selesai bekerja. Dimana kamu ?"
"Aku masih di jalan. Kita bertemu di cafe X saja."
"Baiklah, aku kesana sekarang. Aku . . ."
"Kalau begitu sampai jumpa disana." Ucap Dion cepat lalu memutuskan sambungan telepon.
Tak butuh waktu lama bagi Mira untuk berada di cafe X. Lokasi cafe itu hanya beberapa meter dari departemen store tempat ia bekerja.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Dion menampakkan batang hidungnya. "Di sini." Ucap Mira sambil melambaikan tangannya ke arah pria itu.
Dion berjalan menghampiri Mira. Ketika pria itu menarik kursi untuk duduk, Mira bertanya. "Kamu mau pesan apa?" Wanita itu tampak sibuk melihat buku menu makanan.
"Tidak perlu. Aku tidak akan lama disini." jawab Dion singkat.
Mira menegakkan tubuhnya dan memandang serius. Wajah kekasihnya itu tampak muram. "Ada apa? Ada terjadi sesuatu?" tanya Mira lembut.
Ketika tatapan mereka bertemu, dengan tegas Dion berkata, "Mari kita putus. Aku ingin hubungan kita berakhir disini saja. Jangan hubungi aku lagi."
Wajah Mira menegang. "Sayang jangan bercanda. Itu tidak lucu."
"Aku tidak bercanda. Aku serius. Aku ingin kita putus, Mira." Nada suara Dion datar dan tegas.
Seperti tersengat listrik, hati Mira bergejolak tak karuan. "Tetapi mengapa? Mengapa tiba - tiba ingin putus ? Apa aku melakukan kesalahan ?" kata Mira terbata karena mulai menangis.
"Tidak." ucap Dion. "Ini bukan salahmu. Maafkan aku, ini juga berat untukku, tetapi... "
"Jika berat kenapa harus putus ?" Ucap Mira dengan nada suara meninggi.
"Maaf, aku tidak bisa lagi bersamamu karena aku akan menikah. Itulah alasan kenapa kita harus putus."
Mira tidak pernah membayangkan hubungan cintanya selama enam tahun dengan Dion harus berakhir dengan cara seperti ini.
Sedari awal pembicaraan mereka, Dion sudah melihat wajah Mira berubah menegang karena ucapannya. Akan tetapi, ia tidak peduli. "Terima kasih atas cinta dan perhatianmu selama ini. Itu akan menjadi kenangan termanis dalam hidupku." lanjut Dion.
Mira hanya diam mendengar kata - kata Dion. Gelombang perasaan sedih dan rapuh tiba- tiba saja melanda dirinya. Akan lebih baik bagi Mira jika dia membenci dan memaki Dion. Sakit hatinya mungkin akan sedikit berkurang. Tetapi bagaimana bisa itu terjadi jika cintanya jauh lebih besar dari pada rasa benci.
Sambil memutuskan kontak mata, Dion kembali berkata, " Sekali lagi maafkan aku dan terima kasih untuk semua. Aku beharap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu. Aku berharap kau menemukan pria yang lebih baik dariku. Aku pergi."
Mira memejamkan mata, menyerap semua perkataan Dion tadi. "Kau benar - benar tahu bagaimana cara menyakitiku." Gumam Mira pelan. Butuh beberapa menit bagi Mira untuk mendapatkan kekuatan untuk berdiri. Dia harus keluar dari ruangan ini karena napasnya mulai sesak. Tapi lebih dari pada itu, ia harus mengejar Dion dan meminta lebih banyak penjelasan. Ia pun segera mengejar Dion.
Ketika berada diluar, jantung Mira nyaris berhenti berdetak ketika sekilas ia melihat Dion bersama seorang wanita di dalam mobilnya. Wanita itu tampak familier, tapi Mira tidak benar - benar tahu secara pasti siapa wanita itu.
***
Selama dalam perjalanan menuju apartemen nya, Mira terus saja menangis. Alunan lagu Januari milik Glend Fredly yang terdengar di radio mobil semakin melengkapi kesedihan wanita itu. Sepertinya penggalan kata dari lagu itu benar. Separuh napas jiwa Mira benar - benar telah sirna. Hati siapa yang tidak akan sakit apabila hubungan cinta yang sudah terjalin begitu lama tiba - tiba saja harus berakhir seperti ini, karena orang ketiga.
***
Mira langsung tersungkur di lantai setelah menutup pintu apartemen. Air matanya merebak tak tertahankan. Untunglah apartemen nya kedap suara sehingga meski menangis tersedu - sedu tidak akan mengganggu siapapun.
Mira sadar bahwa hal ini sangat sulit diterima. Tetapi dia harus bisa menerimanya. Perlahan Mira mulai mencoba menenangkan dirinya. Setelah merasa cukup tenang, Mira mengambil ponsel dari dalam tasnya. Selagi menunggu yang di telepon menerima panggilannya, Mira bejalan ke kamar dan merebahkan dirinya di atas tempat tidur.
"Hallo sayang, ada apa menelepon malam - malam begini ?" tanya si penerima telepon.
Mira menelepon tanpa melirik jam. Sementara yang baru saja berbicara di telepon tahu bahwa ini sudah hampir tengah malam.
Hening . . .
"Sayang, apa kau disana? Apa terjadi sesuatu padamu ? Sayang, apa kau mendengar mama ?"
"Ma . . ." Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut Mira.
"Hei, ada apa ? Apa terjadi sesuatu ? Apa kau sakit ? Apa kau terluka?" Stella melontarkan banyak pertanyaan tetapi tak satupun dijawab oleh Mira. Hanya isakan yang terdengar dari mulut wanita itu.
Stella, mama nya Mira seolah paham bahwa putrinya tidak sedang dalam keadaan baik - baik saja sekarang. Tetapi itu membuat wanita itu khawatir. "Menangislah jika menangis mampu mengurangi kesedihanmu. Tapi setelah itu, kau harus menceritakan apa yang terjadi." ucap Stella lembut.
Butuh waktu cukup lama bagi Mira sebelum menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Wanita itu benar - benar tidak pandai menutupi kesedihannya. Selagi bercerita, air mata Mira terus saja keluar membasahi pipinya.
Mira yang malang.
Setelah mendengarkan cerita Mira, Stella mengerti bahwa yang dirasakan putrinya adalah patah hati. Tidak ada bisa ia lakukan sekarang selain memberi semangat dengan kata - kata. "Jangan bersedih sayang. Jangan patah semangat. Di balik semua yang terjadi ini pasti ada rencana Tuhan yang indah buat kamu. Dion mungkin tidak ditakdirkan untukmu. Namun, kamu harus yakin bahwa Tuhan pasti sudah menyiapkan pria yang baik untuk kamu."
Jarak diantara kedua wanita itu membuat tidak ada pelukan hangat di tengah hati yang sedih. Akan tetapi nasehat ibunya itu cukup membuatnya tenang. "Baiklah ma, aku rasa aku sudah terlalu lama menangis. Aku lelah, aku ingin beristirahat." Suara Mira berubah sedikit serak.
"Iya sayang. Sekarang istirahatlah. Mama akan mengunjungimu nanti."
Setelah menutup telepon, Mira menghela napas dalam - dalam lalu berbicara sendiri. Aku akan tidur pulas malam ini seperti seorang bayi dan besok aku akan hidup seperti tidak terjadi apa- apa. Mungkin aku belum bisa melupakanmu, tetapi bukan berarti aku tak bisa memulai dari awal. Semoga kau dan aku bisa menemukan kebahagiaan meskipun kita tak lagi bersama, katanya menyemangati diri sendiri.
.
.
.
;
.
.
.
Hallo Kakak - kakak, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca novel saya ini.
jangan lupa like dan komentar nya ya.
Di bawah ini saya juga tuliskan cara untuk vote.
Pertama - tama kumpulkan poin dulu, pada bagian profil pilih pusat misi lalu klik poinku. Disana nanti ada misi yaitu waktu online lebih dari 10menit, 20 menit, 30 menit dan akumulasi waktu membaca novel.
Kakak - kakak harus menyelesaikan misinya dulu baru bisa mendapatkan poin.
Jika poin sudah terkumpul, kakak - kakak bisa klik Vote pada bagian depan novel, disamping nama author.
Setelah itu klik pilihannya, yaitu 10/100/1000
Kemudian klik Vote Author.
Vote bisa dilakukan berkali - kali jika poin kakak - kakak mencukupi.
Sekali lagi terima kasih buat kakak - kakak yang setia mendukung saya.
Salam sayang untuk kalian semua :)
Selamat membaca. . .
New York, Amerika Serikat.
Seorang pria tampan dengan setelan abu - abu tengah berdiri menatap pemandangan kota New York dari jendela ruang kerjanya. Ruangan kerja itu di dominasi warna hitam dan abu - abu sesuai dengan sikapnya yang dingin.
George Goldsmith, dialah pria itu. George adalah CEO Goldsmith Company yang begitu digemari banyak wanita karena wajah nya yang tampan dan kekayaan yang berlimpah. Tampan dan kaya membuat pria itu terlihat sempurna. Tidak heran banyak wanita tergila - gila padanya. Bahkan banyak dari mereka rela melakukan apa saja hanya untuk dekat dengan George. Tetapi sesungguhnya George Goldsmith terlalu sulit untuk didekati. Semua wanita yang pernah berhubungan dengan George hanyalah sebatas pemuas nafsunya. Tidak ada yang benar-benar memiliki hubungan serius dengannya kecuali satu wanita di masa lalu.
"Selamat pagi tuan George." sapa Steve, sekretaris pribadinya ketika ia masuk ke ruang kerja George. "Nyonya Grace berada disini."
Steve Challen adalah sekretaris George yang sudah bekerja selama tiga tahun. Pria itu selalu membantu George tanpa mengeluh. Dia tahu bahwa pekerjaan tersulit dalam hidupnya adalah melayani bos yang dingin seperti George Goldsmith. Tetap karena merasa tertantang, Steve mengabaikan semuanya lalu dengan begitu setia mengabdikan diri, melakukan semua pekerjaan yang perintahkan bosnya.
"Hai mom. Kau disini. Senang bertemu denganmu. Apa kabar?" George memeluk erat Grace seperti yang biasa ia lakukan. Sudah cukup lama ibu dan anak itu tidak bertemu. Tinggal dalam satu kota tidak menjamin bisa bertemu setiap hari. Terlebih saat George memilih tinggal di apartemen nya ketimbang tinggal di mansion mewah milik keluarga Goldsmith. Di tambah lagi dengan pekerjaan George sebagai CEO yang menuntut dia bekerja lebih keras dari pada siapa pun. Waktu untuk keluarga pun seolah telah lenyap.
"Aku rasa kau sudah melupakanku." desis Grace.
Seberkas perasaan bersalah menghunjam George. Sudah empat bulan tepatnya ia tak bertemu dengan ibunya. Bahkan untuk menelepon pun tidak. George mendesah. "Tidak sekalipun aku melupakan mu mom. Hanya akhir - akhir ini pekerjaan ku sangat banyak. Maaf aku belum sempat mengunjungi mu. Duduklah," pinta George.
"Kau selalu saja begitu. Bisakah kau mengurangi kesibukanmu?" ucap wanita itu selagi duduk di sofa.
George menarik napas panjang. "Aku tidak yakin tentang itu. Yang aku tahu aku punya tanggung jawab besar yang harus aku jaga. Ribuan orang bergantung padaku, mom. Aku harus bekerja dan menjaga perusahaan kita agar terus mendapatkan keuntungan." kata George panjang lebar. "Aku yakin kau datang kesini bukan untuk membahas itu. Jadi, ada apa sebenarnya?" lanjut pria itu.
"Baiklah, aku langsung saja. George, kau tahu mom tidak pernah meminta apa - apa darimu kan." ucap Grace lembut.
Selagi mengambil posisi duduk di depan Grace, George mengamati wajah wanita itu yang tampak begitu serius. George mengangguk menyetujui perkataan Grace barusan.
"George, aku ingin kau segera menikah."
"Oh mom, ku mohon jangan bahas masalah itu lagi. Aku tidak ingin berdebat." kata George malas.
"Kau tidak perlu berdebat George. Kau hanya perlu menuruti permintaan mom."
"Ayolah mom. Aku bisa memenuhi permintaanmu, tetapi jangan yang itu."
Pernikahan bukan hal yang baru dibahas oleh George dan Grace. Sejak tahun lalu ibunya selalu bertanya kapan pria itu menikah. Tetapi hingga detik ini George seperti tidak mengindahkan ucapan ibunya itu.
"Mengapa tidak bisa, George? Apa karena kau masih belum bisa melupakan Nicole?"
"Demi Tuhan mom, please jangan mencampuri urusan pribadiku." George mengerang frustasi.
"Kali ini harus George. Maafkan aku, tetapi kali ini aku harus ikut campur dalam masalah pribadimu." ucap Grace penuh penekanan.
Nada suara ibunya yang seperti itu selalu bisa memengaruhi George. Nada suara itu mengandung banyak arti seperti perhatian, kepedulian dan kasih sayang.
"Oh mom, aku tahu kau begitu karena kau menyayangiku. Tetapi sekali lagi please, jangan memaksakan sesuatu yang tidak mungkin. Aku pria bebas, independen dan yang terpenting aku tidak menyukai kerumitan dalam hidup, terutama dalam hal pernikahan, jadi..."
"Lupakan gagasanmu tentang pria bebas." serah Grace cepat dengan nada jengkel dalam suaranya. "Aku tidak peduli. Sebaiknya kau cepat membawa calon istri karena jika tidak bersiaplah dengan perjodohan."
Mata George terbelalak. "Apa?" katanya tak percaya. "Ayolah mom. Jaman apa ini?Perjodohan itu kuno."
"Kalau begitu segera bawa calon istrimu. Bulan depan aku membuat pesta perayaan ulang tahunku. Bawalah pasanganmu di pesta ku itu."
"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Kau tahu persis aku tidak memiliki kekasih. Demi Tuhan, permintaanmu ini membuat ku gila."
"Bagaimana dengan Valeri? Aku rasa dia menyukaimu." ucap Grace sambil tersenyum.
"Hentikan keinginanmu menjodohkan ku, mom. Jangan membuang waktumu." George memberi saran.
Grace melambaikan tangan untuk membuat George diam. "Maaf sayang, tetapi kali ini aku akan memaksamu. Apapun akan aku lakukan agar kau bisa menikah."
Ada jeda panjang.
Mata Grace mendadak berkaca - kaca. "Aku mohon George, turutilah permintaan ku ini."
George tidak bisa melihat ibunya menangis. Setelah menarik napas dalam - dalam George berkata, "Kalau begitu katakan padaku alasan sebenarnya mengapa aku harus menikah? Aku yakin pasti ada hal lain yang membuatmu memaksa ku seperti ini."
"Kau sudah tiga puluh tahun."
"Itu bukan alasan, mom."
"Ketahuilah, itu hanya salah satu alasan. Alasan yang lain adalah ini." Grace memberikan sebuah amplop berwarna putih.
Ketika George membuka amplop itu, Grace menjelaskan, "Itu adalah hasil pemeriksaaan ku, George. Ada penyempitan pembuluh darah dibagian arteri karotis." Grace mendesah pelan. "Beberapa minggu lalu aku terserang sakit kepala yang luar biasa dan tubuhku merasa sangat lemas. Dokter Alex Thompson menyarankan ku untuk melakukan pemeriksaaan lebih lanjut dirumah sakit."
Selagi mendengarkan penjelasan Grace, George memperhatikan keadaan ibunya itu. Sadarlah George bahwa ibunya tampak pucat dan lebih kurus dibanding terakhir kali mereka bertemu.
"Aku turut menyesal, mom. Jadi, apa kau harus di operasi?"
"Ya, Operasi pembedahan arteri karotis. Tetapi sebelum aku di operasi, aku ingin melihat mu menikah. Atau setidaknya aku tahu kau sudah memiliki kekasih yang baik dan siap mengurusmu."
George menelan ludah dengan susah payah. "Mom, menikah dan operasi jelas dua hal yang berbeda. Dan itu sungguh tidak berkaitan."
"Dengarkan baik - baik. Bagimu itu mungkin tidak berkaitan. Tetapi tidak bagiku. Jika terjadi sesuatu yang buruk padaku aku ingin ada seseorang yang merawat dan menjagamu. Kau butuh teman hidup, George."
Kata - kata ibunya sontak membuat George shock. "Tidak akan terjadi apa - apa padamu mom, tenanglah!"
"Aku harap begitu, tetapi aku hanya ingin berjaga-jaga jika seandainya operasi itu tidak berhasil, aku ingin..."
"Hentikan mom." desis George. "Aku yakin semua akan baik - baik saja. Aku akan mencari dokter spesialis terbaik untuk operasi mu."
"Kau tidak perlu repot - repot. Kau pikir aku tidak bisa melakukan nya?"
George mengangguk membenarkan. "Baiklah, kapan operasi nya dilakukan?"
"Bulan depan setelah ulang tahunku. Karena itu aku ingin melihat calon istri mu sebelum aku di operasi. Ku mohon George, penuhilah permintaan wanita tua ini." pinta Grace.
"Baiklah," Ucap George dengan berat hati.
Puas dengan jawaban George, Grace menyungingkan senyum lebarnya.
"Terima kasih, sayang." ucap Grace bahagia.
Dari ambang pintu Steve berdeham lalu berkata, "Permisi tuan, sudah saatnya anda berangkat."
"Oh, ku rasa aku juga harus pergi. Tolong jaga kesehatan mu, nak." Grace kembali memeluk George.
"Kau juga. Aku akan ke Indonesia selama beberapa hari. Setelah itu aku akan langsung menemuimu. Aku harap aku tidak lagi sendirian saat mengunjungi mu." kata George serius.
Ya, George berharap kata - katanya dapat terwujud dengan sebuah keajaiban meski ia sendiri meragukannya.
"Aku pun berharap yang sama." ucap Grace, menutup pembicaraan.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Hai kakak - kakak.
Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca novel ini.
Jangan lupa tinggalkan jejaknya ya 😊😊
Like, comment and vote 😁
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!