NovelToon NovelToon

For My Family

01

Braaakkkk

Suara gebrakan dari meja kayu membuat seluruh mata memandang kearah suara itu berasal.

Dengan secepat kilat Hazel bangun dan merapikan penampilannya.

"Hazel! Ini sudah kali ketiga kamu tertidur dalam minggu ini!" teriak lelaki berbadan gempal itu penuh amarah.

Lelaki gempal itu melirik jam di pergelangan tangannya, masih jam sepuluh pagi, kenapa Hazel sudah tertidur.

"Maaf, Pak," ucap Hazel sambil menunduk.

"Maaf, maaf. Apa kamu pikir kamu digaji dengan kata maaf dari perusahaan ini?" tanyanya dengan suara lantang.

Seluruh karyawan sudah mengerumuni kegaduhan itu. Sebuah langkah besar datang mendekat kearah kerumunan itu.

"Hazel, Hazel. Kamu itu, saya sudah gak sanggup melihat kamu lagi. Kamu hanya pindah tidur dari rumah ke perusahaan."

"Maafkan saya, Pak. Saya tidak akan mengulangi lagi," ucap Hazel bersalah.

"Maaf, dan maaf terus!" Kembali lelaki itu membentak. Sementara Hazel hanya bisa menundukan wajah lesunya dengan raut wajah amburadul.

"Ada apa ini?" Suara berat seseorang, yang keluar dari balik kerumunan.

"Eh, maaf, Pak. Salah satu karyawan saya buat ulah," ucap Derik, lelaki yang menjabat sebagai Manager di divisi Hazel.

"Buat ulah?" Kini mata lelaki dewasa itu berpindah ke Hazel.

Matanya menatap penampilan Hazel dari atas sampai bawah. Bagaimana mungkin seorang karyawan dari perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik berpenampilan lancu seperti itu?

Baju yang sangat sederhana, rambut yang tak tersisir rapi, mata yang terlihat sangat lesu. Namun wajahnya masih cantik dengan segala kesederhanaannya.

"Dia karyawan disini?" tanya lelaki itu sekali lagi, ia tak yakin kalau salah satu karyawan perusahaannya ada yang sekucel ini.

"Iya, Pak," jawab Derik dengan menyeringai.

Ardan menyenggol lengan lelaki yang berada di sebelahnya. Saat meyadari sentuhan lengan Ardan, lelaki berkacamata tipis itu mengangguk paham.

"Ehem, maksud saya kesini, saya ingin mengenalkan. Ini pak Ardan, dia yang akan menjadi General Manager di sini," ucap lelaki berkacamata tipis itu.

Sesaat semua mata tertuju pada pria gagah dengan wajah manis itu.

"Selamat pagi semuanya," salam Ardan.

"Pagi, Pak," jawab mereka serentak.

"Hari ini, hari pertama saya datang kesini, dan saya rasa keadaan ini tidak baik-baik saja." Mata Ardan kembali tertuju pada Hazel.

Sementara Hazel masih menundukan pandangannya. Tak berani memandang lelaki yang saat ini menjadi GM di perusahaannya.

"Kamu, siapa nama kamu?" tanya Ardan pada Hazel.

Hazel mengangkat kepalanya, tak sengaja mata mereka saling bertautan.

"Saya, saya Hazel, Pak," jawab Hazel lirih.

"Baiklah, Hazel. Kamu ikut saya ke ruangan, dan lainnya, kembali bekerja!" perintah Ardan langsung, ia melengos pergi memasuki ruangan GM.

Hazel menggangguk pasrah, ia menghela napas beratnya. Dengan cepat tangannya meraih ikat rambut di atas meja kerja.

Hazel berjalan sambil mengikat tinggi rambut panjangnya yang berwarna kecokelatan itu.

Sampai di depan pintu kaca, Hazel mengetuk pintu kaca itu dan masuk kedalam. Sementara Ardan hanya menatap tubuh ramping gadis itu dengan bingung, kenapa penampilan gadis itu sudah berubah saja?

"Kamu, masih mau bekerja?" tanya Ardan terus terang.

"Masih, Pak," jawab Hazel gugup.

"Kamu saat ini di divisi promosi, kan?"

Hazel hanya mengangguk pasrah, tak berani menatap lelaki dibalik meja kerja itu.

"Lihat penampilan kamu, bagaimana orang akan tertarik membeli produk kita, kalau kamu seperti ini?"

Hazel membuang pandangannya ke ujung kakinya lalu menaik ke baju yang ia gunakan.

"Kamu berantakan, Hazel. Kalau kamu masih betah bekerja di sini, kamu perbaiki tampilan luar kamu," ucap Ardan lembut tapi menekan.

"Baik, Pak," jawab Hazel lemah.

"Hazel saya di depan kamu, lihat saya, saat saya ajak kamu berbicara."

Perlahan Hazel mendongakan wajahnya, kembali Ardan tertegun melihat wajah wanita yang terlihat lesu itu, matanya terlihat sangat letih. Wajah polos tanpa riasan sama sekali.

'Apa gadis ini bodoh atau gila? dia bekerja di sini tanpa make-up sedikitpun, apa yang sebenarnya terjadi?' lirih Ardan dalam hati.

Tampilan wajah Hazel benar-benar membuat ia tertegun, wanita itu berani sekali bekerja tanpa polesan. Walaupun di balik wajah lesu dan pucatnya itu, kecantikan dan kemanisan dari wajahnya masih terpancar sempurna.

"Sepertinya kamu kurang sehat, pulanglah istirahat. Setelah hari ini saya gak ingin mendengar masalah lagi darimu!" perintah Ardan tegas.

"Baik, Pak." Hazel keluar dari ruangan GM.

Beberapa mata kembali menatap Hazel sinis. Tak suka oleh tingkah wanita itu yang selalu membuat ribut divisi mereka.

"Huh, baru hari pertama pak Ardan kerja, sudah buat masalah saja itu wanita," cerca seorang gadis saat Hazel lewat.

Hazel hanya tersenyum sendu, sudah biasa kalau dia menjadi bahan ejekan teman se-divisinya. Biarlah, kakinya masih harus kuat melangkah.

Hazel kembali tersenyum saat melihat foto yang terletak di atas meja kerjanya. Karena orang-orang di foto itu ia masih harus kuat menahan segala beban ini.

Hazel meraih bingkai foto itu dan megelusnya perlahan. Bibirnya tersenyum indah saat melihat dua lelaki yang ia cintai tersenyum manis di dalam figura itu.

"Tunggu, Bunda akan pulang, Sayang," ucap Hazel lirih.

Hazel merapikan tasnya dan langsung melengos pergi, dengan senyum yang menyeringai indah. Seperti lama tak berjumpa orang yang ada di dalam figura itu.

Sementara Hazel tak mengetahui, ada sepasang mata yang memperhatikan ia dari balik dinding kaca GM. Ardan keluar dari ruangannya saat melihat punggung badan wanita berambut cokelat itu berlalu meninggalkan kantor.

Ardan berjalan mendekati meja kerja Hazel. Melirik ke figura yang sempat membuat senyum Hazel merekah lebar.

Seorang lelaki dengan menggendong bayi, tersenyum menampilkan jejeran giginya dalam figura berukuran lima inchi itu.

"Jadi dia sudah menikah?" ucap Ardan lirih.

'Sepertinya aku salah menaruh perhatian pada seorang wanita,' gumamnya dalam hati.

****

"Hazel, kok tumben masih pagi kamu sudah balik?"

"Iya, aku dikasih izin pulang karena tertidur lagi di kantor."

"Kamu tidur lagi?" tanya wanita gempal itu sedih.

Hazel hanya mengumbar senyum dan berlalu masuk, membuka heels yang ia gunakan dengan cepat.

"Sayang, Bunda kangen sekali sama kamu." Hazel menggendong bocah lelaki yang saat ini sudah berumur tiga tahun.

"Kamu gak nakal kan, Sayang?" tanya Hazel sambil menciumi bocah lelaki yang seharusnya sudah tumbuh dengan baik itu.

Seperti baik-baik saja, Hazel akan kembali tersenyum sumringah saat berada di dekat malaikat kecilnya itu.

Surya, anak semata wayang Hazel, semangat dan cahaya hidupnya. Karena ia lah Hazel mampu berdiri di tengah beban yang terus mengimpit dirinya.

Walaupun saat ini Surya tak tumbuh dengan baik, namun Hazel masih terus berusaha untuk memberikan perawatan yang terbaik untuk Surya.

Setelah lelah bermain, Surya tertidur pulas di atas kasur usang milik mereka, Hazel menghela napasnya sambil mengelus pucuk kepala Surya.

"Hazel, ayo makan dulu." Tepuk wanita gempal yang membantu Hazel merawat Surya di rumah.

"Aku gak lapar, Mbok."

"Lapar gak lapar harus makan, terus istirahat. Wajah kamu sudah sangat pucat, Hazel."

Hazel merebahkan badannya, meletakan kepalanya ke atas pangkuan wanita yang tinggal bersama dia selama tiga tahun belakangan ini.

"Sepertinya aku harus cari kerja tambahan, Mbok," ucap Hazel lemas.

"Mau kerja kapan lagi toh, Hazel? kamu sudah kerja siang dan malam, kapan lagi waktumu akan bekerja?" tanya Mbok Darmi yang tak tega kalau harus melihat Hazel menambah jam kerjanya lagi.

Hazel sudah bekerja di kantor dari pagi sampai sore, masih belum cukup, Hazel bekerja sebagai tukang bersih-bersih di cafe dan pulang larut malam.

"Surya butuh perawatan, Mbok. Aku mau memberikan perawatan yang terbaik buat Surya."

"Jangan pikiri Surya terus, pikiri juga dirimu sendiri Hazel. Kalau kamu sakit, siapa yang akan ngerawat Surya?"

"Selama Surya baik-baik saja, aku juga akan baik-baik saja, Mbok." Hazel bangkit dan kembali mencium dahi Surya, air matanya kembali menetes saat melihat Surya tertidur.

"Maafkan Bunda, Sayang. Gak seharusnya Bunda melahirkanmu sebagai penderita Angelman Syndrome."

02

"Bagaimana semua paham?" tanya Ardan, bangkit dari kursi.

"Paham, Pak," jawab peserta rapat serentak.

"Saya berharap perusahaan ini akan semakin meningkat saat di bawah kendali saya. Mohon bantuan dan kerja samanya," ucap Ardan mengakhiri rapat perdana, semenjak ia menjabat sebagai GM di anak perusahaan milik keluarganya.

"Pak Derik," panggil Ardan saat melihat Derik yang ingin berjalan keluar dari ruang rapat.

"Saya, Pak Ardan," jawab Derik sambil menundukan pandangannya.

"Bisa kita bicara sebentar."

"Baik, Pak," jawab Derik sambil membuang bokongnya kembali ke kursi.

"Langsung terus terang saja ya, Pak Derik. Jadi saya berharap Pak Derik bisa bekerja lebih keras, karena jabatan yang pak Derik tempati saat ini adalah jabatan yang sangat penting di perusahaan ini," ucap Ardan tegas.

"Pak Derik tahu kan, divisi promosi adalah ujung tombak perusahaan ini. Jadi saya harap, Pak Derik bisa paham apa yang saya maksud," sambung Ardan kembali, tegas.

"Baik, Pak. Saya paham," ucap Derik sambil menundukan pandangannya.

"Baiklah, kalau begitu Pak Derik bisa keluar sekarang."

"Saya permisi, Pak."

Ardan hanya mengangguk pasrah, sesaat setelah Derik keluar Ardan menghela napasnya. Ia menyandarkan kepalanya ke belakang sisi kursi.

Mata Ardan menerawang jauh ke langit-langit kantor. Semenjak pertama kali ia bertemu dengan Hazel, bayangan Hazel terus bermain di pelupuk matanya.

Ardan tersenyum getir dan menggeleng pasrah. Menertawai dirinya yang telah terpaut oleh istri orang.

"Konyol sekali kamu Ardan, sekali ada yang mampu menarik perhatianmu, malah istri orang. Bodoh!" ucap Ardan sambil tersenyum simpul.

****

"Hazel, saya mohon sama kamu. Jangan buat ulah lagi, kalau kamu gak bisa lagi saya andalkan. Siap-siap angkat kaki dari perusahaan ini!" ancam Derik di depan wajah Hazel.

"Baik, Pak," jawab Hazel bersalah.

"Sekarang tugas kita adalah buat promosi sebaik mungkin, buat promosi yang akan menarik banyak customer untuk percaya sama produk kita," ucap Derik ke seluruh divisi yang berada di bawah kendalinya.

"Paham semua?!"

"Paham, Pak!" jawab seluruh karyawan divisi promosi serentak.

"Kalau begitu, semangat. Ayo mulai kerja!" sambung Derik tegas.

"Hazel."

"Iya, Pak."

"Kali ini kamu bertugas di lapangan. Buat perusahaan kita kebanjiran costumer, seperti awal kamu bergabung disini."

"Tapi, saya--"

"Ingat Hazel, kalau bukan karena kinerja pertama kamu yang luar biasa. Kamu sudah saya keluarkan dari divisi ini," putus Derik mengingatkan Hazel.

"Baik, Pak," jawab Hazel lemas.

Setelah Derik pergi meninggalkan ruang divisi, Hazel menghela napasnya lemas. Hazel terduduk lemas di kursinya, memegang sudut dahinya yang mulai cenutan karena pekerjaannya kali ini.

Dua setengah tahun yang lalu, keadaan Surya belum seburuk ini. Hazel mampu menjual banyak produk kosmetik karena penampilannya yang masih sangat cantik dan segar.

Saat itu Hazel masih baru memasuki perusahaan ini. Karena kinerja yang sangat bagus saat itu, posisi Hazel masih aman sampai sekarang. Karena Hazel yang dianggap berpotensi di bidang pemasaran.

Tapi saat ini, keadaan Hazel sudah sangat berbeda. Hazel terlalu sibuk bekerja dan tak lagi peduli pada penampilannya. Jangankan untuk perawatan dirinya, terkadang kapan terakhir kali ia makan saja, Hazel lupa.

"Aku yakin, kali ini Dewi Fortuna gak lagi berpihak pada Hazel," celetuk salah satu karyawati di divisi Hazel.

"Ya, saat ini Dewi Hazel sudah lusuh dan tak cantik lagi. Bagaikan sayur layu yang terinjak," sambung Issabell, saingan sengit Hazel.

"Benar banget tuh, dulu Hazel adalah primadona divisi, sekarang Hazel malah jadi biang kerok yang selalu mengancam posisi pak Derik," sambung Hanny, teman seperjuangan Issabell.

"Aku yakin, setelah ini posisi Hazel akan tergeser. Jangan terlalu sombong jadi perempuan Hazelku, Sayang," sambung Issabell dengan senyum sinisnya.

Sementara Hazel hanya tersenyum getir, kembali bekerja di balik meja kerjanya. Saat ini bukan omongan mereka yang jadi beban pikiran Hazel. Jika dia harus menjadi pekerja lapangan, maka sabtu dan minggu ia masih harus bekerja ekstra.

Demi penjualan yang mencapai target, Hazel harus bekerja ekstra. Kalau seperti ini, maka waktunya untuk menemani Surya terapi juga akan berkurang.

Hazel berlari menuju rumah sederhana, sesekali ia melirik jam di tangannya. Sudah hampir jam 5 sore. Karena menyiapkan konsep penjualan ia menjadi telat, dan harus berlari saat pulang seperti ini.

"Assalamualaikum," ucap Hazel berlari masuk kedalam rumahnya.

"Waalaikum salam," jawab mbok Darmi keluar dari kamar Surya.

Secepat kilat Hazel berlari ke kamar mandi. Membuka pakaiannya dan membasuh tubuhnya dengan air. Setelah selesai memakai bajunya, Hazel menarik segelas air dan menengguknya sampai habis.

Sebelum keluar dari rumah, Hazel mengecup wajah Surya beberapa kali.

"Mbok, aku sudah hampir telat ini. Aku berangkat dulu ya, Mbok," pamit Hazel sambil berlari keluar.

Hazel mengeluarkan sepeda bututnya, dengan sisa tenaganya, ia mengkayuh sepeda itu menuju cafe yang agak jauh dari rumahnya.

Dengan cepat Hazel memarkirkan sepedanya di parkiran cafe. Secepat kilat Hazel berlari ke belakang dan memulai pekerjaannya sebagai cleaning service di salah satu cafe mewah di kotanya.

Hazel menghela napasnya, ia terduduk lemas di salah satu kursi di belakang cafe. Lelah dan juga letih, selama dua setengah tahun ini, Hazel banting tulang sekuat tenaga demi pengobatan Surya. Walaupun saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan Surya sepenuhnya.

****

Pagi itu, Hazel membereskan sarapan pagi di atas meja. Dengan senyum yang sumringah, Hazel menata makanan di atas meja sederhana milik mereka.

"Hazel, kamu pagi-pagi sudah siap masak. Kenapa gak banguni si Mbok saja?"

"He he, si Mbok dibawa Mas Iqbal pulang kerumah ini kan sebagai teman aku saat mas Iqbal tugas. Bukan jadi pembantu kan," ucap Hazel dengan senyum yang merekah lebar.

"Kamu dan Iqbal memang orang-orang baik. Mbok gak tahu jika saat itu Iqbal tidak menyelamatkan si Mbok, entah jadi apa si Mbok ini."

Hazel hanya menggulum senyumnya, ia masih sibuk dengan pekerjaannya di dapur.

Mbok Darmi memang bukan asisten rumah tangga mereka. Mbok Darmi adalah seorang ibu yang kehilangan anaknya saat perang perbatasan beberapa waktu lalu.

Saat itu, Iqbal yang menjadi tentara perbatasana menyelamatkan Mbok Darmi dari pemberontakan masyarakat setempat. Saat Iqbal pulang tugas, Iqbal membawa serta Mbok Darmi yang menjadi sebatang kara semenjak putra tunggalnya meninggal di tangan pemberontak.

Mbok Darmi di bawa Iqbal untuk menenami Hazel yang sering kali ia tinggal tugas sendiri.

"Mbok, ayo sarapan duluan, aku mau lihat Surya dulu ya," ucap Hazel berlalu ke kemar sederhana mereka.

Dengan senyum sumringah Hazel mengajak Surya bermain. Saat itu Hazel tak menyadari, keadaan Surya yang selalu gembira dan sering tersenyum sepanjang hari adalah awal dari gejala Syndrome Angelman.

Hazel hanya mengira jika Surya hanya bermain layaknya bayi biasa saja. Sampai umur Surya mencapai 6 bulan, gejala lain mulai terlihat.

Kepala Surya yang mulai kelihatan peyang, dan keterlambatan dalam perkembangan. Rambut, kulit dan mata Surya yang kelihatan lebih terang dari bayi yang lainnya.

"Hazel," panggil seorang teman kerja, membuyarkan penggalan masa kelam yang sempat terlintas di pikiranya.

Hazel bangkit dan menghapus buliran airmata yang sempat menghiasi sudut matanya.

"Kamu nangis Hazel?" tanya Rania, teman seperkerjaan Hazel.

"Aku hanya mengantuk Rania. Aku hanya lelah sekali hari ini," ucap Hazel menutupi keadaannya.

"Yasudah, ini sudah jam pulang. Ayo pulang bareng aku," ajak Rania.

"Hem." Hazel mengangguk dan mulai beranjak dari duduknya.

Membereskan barang-barangnya. Keluar bersamaan dengan Rania. Gadis cantik yang sering masuk shift malam karena siang harinya, ia masih harus aktif kuliah.

Sampai di perempatan jalan Hazel dan Rania berpisah. Hazel mendorong sepedanya menembus dinginnya dini hari malam, melewati jalanan kampung tempat ia tinggal.

"Hazel, baru pulang?" tanya salah seorang penjaga pos di kampung Hazel.

"Iya, Pak," jawab Hazel dengan senyum letihnya.

"Kamu memang wanita tangguh ya Hazel. Hebat kamu," puji seorang yang lainnya.

Hazel hanya mengumbar senyumnya, ia kembali melanjutkan perjalanannya menembus jalanan gelap tengah malam.

"Assalamuailaikum," ucap Hazel saat membuka pintu rumah sederhananya.

Tak ada jawaban dari Mbok Darmi, seperti biasa, mbok Darmi pasti sudah tertidur setelah seharian menjaga Surya yang selalu aktif luar biasa.

Hazel membasuh tubuh letihnya, sebelum ia tidur, Hazel memeluk dan mencium Surya yang saat ini sedang tertidur pulas.

"Sehat terus anak Bunda, demi kamu, Bunda akan selalu berdiri tegak, melawan dunia yang kejam ini." Hazel menghujani ciuman di seluruh badan Surya. Saat ini, jika bukan karena Surya, mungkin Hazel sudah menyerah pada kerasnya dunia.

03

Hazel mencepol rambutnya tinggi keatas. Dengan menaburkan bedak bayi di wajah manisnya, Hazel bersiap-siap pergi ke kantor.

"Sayang, jangan nakal. Bunda berangkat kerja dulu, ya." Sebuah ciuman mendarat di pipi mungil Surya.

"Hari ini jadwal terapi Surya kan, Hazel?"

"Iya, Mbok. Tapi sepertinya aku gak bisa pulang siang ini. Bagaimana ya?"

"Yasudah, si Mbok pergi sendiri saja."

Hazel menghela napasnya, ia mengerucutkan bibirnya.

"Maaf ya, harus merepotkan Mbok terus."

"Gak ada yang merasa repot Hazel, kamu sudah Mbok anggap anak mbok sendiri," ucap Mbok Darmi sambil meraih kedua tangan Hazel dan menggenggamnya erat.

"Aku bersyukur sekali Mbok. Seandaianya dulu mas Iqbal gak bawa Mbok pulang, mungkin saat ini aku gak tahu harus bagaimana?"

"Si Mbok juga bersyukur Hazel. Kalau dulu Iqbal gak bawa Mbok pergi, entah seperti apa kehidupan yang Mbok jalani saat ini," jawab Mbok Darmi sendu.

"Yasudah, kalau begitu aku berangkat ya Mbok. Surya, jangan nakal anak Bunda."

"Kamu gak sarapan dulu, Hazel?"

"Hem, enggak deh, Mbok. Takut telat." Hazel mulai membereskan tas bawaannya dan melangkah keluar rumah.

"Assalamualaikum," pamit Hazel saat keluar rumah.

Dengan sedikit berlari Hazel memasuki gerbang perusahaan tempat ia bekerja. Sebuah ban sepeda menabrak betis mulus milik Hazel.

"Aww," rintih Hazel sambil melirik kearah samping.

Brugh ....

Bersamaan si penunggang ikut terjatuh dari atas sepedanya. Dengan sigap Hazel membantu lelaki tua itu untuk bangun.

"Bapak gak kenapa-kenapa?" tanya Hazel saat membangungkan sepeda tua milik lelaki lansia itu.

"Gak kenapa-napa, Nduk. Maaf, Bapak gak sengaja nabrak kamu," jawab lelaki berambut putih itu, bersalah.

Hazel hanya tersenyum dam memeriksa kedua telapak tangan si Bapak. Hazel mengelap telapak tangan lelaki tua itu saat melihat kotoran menempel di kulit keriputnya.

"Saya baik-baik saja, Pak. Lain kali Bapak hati-hati ya," ucap Hazel lembut.

"Maaf Nduk, penglihatan Bapak sudah buram. Jadi kurang jelas saat memandang."

"Lain kali jangan naik sepeda, Pak. Bahaya buat Bapak."

"Iya, Nduk. Terima kasih."

"Terima kasih kembali," jawab Hazel sambil mengumbar senyum manisnya. "Kalau begitu, saya permisi ya, Pak."

Dengan langkah cepat Hazel menaiki anak tangga perusahaan tempat ia bekerja. Dengan berjalan sedikit menunduk, Hazel membersihkan betisnya yang kotor karena tertabrak ban sepeda tadi.

Bugh.

Hazel menabrak dada bidang milik seseorang. Seketika Hazel mengangkat kepalanya dan melihat siapa pemilik dada bidang itu.

Ardan berdiri di hadapannya dengan menyilanglan kedua tangan di dada. Matanya menatap Hazel sinis.

"Jadi ini, wanita yang mengingatkan orang lain untuk hati-hati, namu dia sendiri tidak hati-hati," ucap Ardan datar.

"M-m-maaf, Pak," jawab Hazel lirih.

Ardan melihat penampilan Hazel dari atas hingga bawah. Tak ada yang berubah dari penampilan lusuhnya. Hazel masih sangat kucel dengan wajah letihnya.

"Hazel, bukan kah saya sudah katakan sama kamu untuk perbaiki tampilan luar kamu?"

Hazel menundukan pandangan dan merapikan helaian rambutnya. Saat ini rambutnya sudah di cepol, seharusnya lebih rapi dari biasanya. Tapi kenapa penampilannya masih sangat salah di mata Ardan.

"Maaf, Pak," ucap Hazel lirih.

"Bukan kah saya sudah mengatakannya dengan jelas. Kamu bekerja di perusahaan kosmetik, Hazel. Saya tekankan sekali lagi, kosmetik!" sambung Ardan lembut tapi penuh penekanan.

"Maaf, tapi--"

"Selain kata maaf adakah kata yang bisa keluar dari bibirmu?" putus Ardan, sengit.

"Maaf, dan maaf terus. Kamu berucap maaf tapi tanpa penyesalan. Jika kamu tidak tahu apa makna kata maaf itu, sebaiknya jangan ucapkan." Ardan beranjak pergi setelah mengatakan kalimat itu.

Hazel menarik napasnya dan membuangnya kasar. Dengan langkah malas, ia berjalan memasuki gedung perusahaan.

Meletakan tasnya dengan sedikit lemas di atas meja kerjanya.

"Hazel, Issabell, dan Tria. Ikut saya keruangan!" perintah Derik saat berjalan melewati divisi mereka dan memasuki ruangan Manager.

Disusul dengan tiga wanita yang namanya disebutkan tadi.

"Saya memilih kalian bertiga untuk menjadi ketua sekaligus pengawas koordinasi lapangan. Persiapkan promosi kalian, dan mulai besok sampai tiga minggu kedepan, kalian akan bekerja di lapangan. Paham!" ucap Derik tegas.

"Paham, Pak." jawab mereka serentak.

"Baiklah, siapkan pelatihan untuk promosi besok dan berikan lampiran seminggu sekali untuk saya. Saya harap kali ini kalian mampu bekerja lebih baik dari tahun sebelumnya."

"Baik, Pak," jawab mereka serentak.

"Baiklah, kalau begitu. Kalian boleh pergi."

Dengan langkah serentak ketiga wanita itu mulai berjalan keluar dari ruangan Manager. Hazel dan yang lainnya mulai mempersiapkan bahan promosi dan juga pelatihan singkat untuk kerja lapangan besok.

"Kali ini aku yakin. Aku akan bisa ngalahin Hazel dengan telak," ucap Issabell melirik ke arah Hazel.

Sementara Hazel hanya acuh, ia lebih fokus pada pelatihannya dibandingkan mendengar ocehan temannya itu.

Ting ....

Sebuah notifikasi masuk kedalam gawai Hazel. Dengan cepat Hazel membuka pesan itu.

(Fisioterapi siang ini, pukul 12.30, oke).

Pesan yang terkirim dari Pedro, Dokter yang merawat Surya selama ini.

Hazel memegang sudut dahinya yang sedikit cenutan. Kali ini ia tak bisa pergi meninggalkan kantor, tidak mungkin pelatihan ini ia lewatkan begitu saja.

(Siang ini Surya akan di temani Mbok Darmi, Dok. Saya lagi banyak pekerjaan,) balas Hazel cepat.

(Oh, jaga kesehatanmu Hazel. Terakhir kali saya ketemu kamu, wajahmu selalu pucat,) balasan cepat dari Dokter di seberang sana.

Hazel hanya membaca pesan itu tanpa mau membalasnya. Kali ini pun ia melewati terapi Surya. Surya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Mbok Darmi di bandingkan dirinya.

"Maafkan Bunda, Sayang," ucap Hazel lirih, sembari mengelus foto Surya di wallpaper ponselnya.

"Andai Bunda punya pilihan yang lain, Bunda tak akan meninggalkanmu sendiri." Hazel menghela napasnya, perlahan ia kembali memasukan ponsel kedalam tasnya.

Beban ini semakin sulit saja, entah sampai kapan ia bertahan di tengah kesulitan ini. Jalan hidupnya tak pernah mudah. Sampai saat ini, jalan yang di tempuh Hazel penuh luka dan juga fitnah.

****

Hazel mempersiapkan beberapa kosmetik dari brand perusahaannya. Beberapa ia letakan di tangannya sebagai barang contoh.

Hazel sudah beberapa kali menawarkan barang dagangannya ke toko kosmetik dan juga supermarket. Tapi usahanya masih jauh dari kata berhasil.

Ini sudah hari ketiga, namun usahanya masih juga tak membuahkan hasil.

Sinar terik panas matahari menyengat kulit di wajah Hazel. Peluh keringat sudah mulai bercucuran, membasahi kemeja putih yang Hazel kenakan saat ini.

Matahari sudah berada di atas kepalanya, namun satupun kosmetiknya belum masuk ke toko hari ini.

Hazel membuang bokongnya ke trotoar bibir jalan. Kakinya terasa sangat pegal. Istirahat dan asupan gizi yang tak cukup membuat wajah Hazel selalu pucat dan lesu.

Hazel meneguk botol air mineral di tangannya, matanya menatap kesekeliling. Di tengah padat lalu lintas kota, Hazel seakan tak peduli polusi dan debu. Ia malah santai, duduk di bibir jalan.

Sementara sepasang mata terus memperhatikan Hazel dari kejauhan. Dari balik kaca hitam mobilnya, Ardan memperhatikan garak-gerik Hazel dari satu jam yang lalu.

Entah apa yang membuat Hazel begitu menarik perhatiannya. Namun saat ini, Ardan sering sekali memperhatikan Hazel, saat di kantor ataupun di luar kantor.

Seperti ada magnet yang terus menarik diri Ardan. Ia seperti tak bisa lepas dari pesona Hazel semenjak pertama kali bertemu.

"Sebenarnya apa yang dilakukan wanita itu? Bisa-bisanya dia duduk tanpa peduli area sekitar?" ucap Ardan datar.

Ardan mencari tempat untuk parkir mobilnya. Dengan langkah besar ia berjalan mendekati Hazel.

"Echem." Ardan berdehem saat berada di sebelah Hazel.

Dengan malas Hazel memalingkan wajahnya. Ia langsung berdiri saat melihat Ardan yang berdiri di sebelahnya.

"Em, Pak," sapa Hazel dengan menundukan kepalanya.

"Hazel, saya bingung sama kamu. Sebenarnya kamu dengar gak sih apa kata saya?" tanya Ardan terus terang.

Sementara Hazel masih menundukan pandangannya, tak berani menatap lelaki dingin di hadapannya ini.

"Kamu, promosi dengan pakaian kucel seperti ini? Duduk di tengah debu dan polusi? Kamu pikir ada yang tertarik sama produk kita kalau kamu begini?" cerca Ardan garang.

"Sudah berapa kali saya bilang, perhatikan penampilan kamu!" sambung Ardan sengit.

Sementara Hazel masih terus menundukan pandangannya. Ia tahu ia bersalah, namun saat ini, dia pun tak berdaya.

Melihat Hazel yang terus menundukan pandangannya, kembali membuat emosi Ardan meradang.

"Hazel!" bentak Ardan keras.

"Kamu selalu saja tak pernah melihat saya, saat saya ajak kamu bicara. Saya disini!" Ardan meraih dagu Hazel dan mendongakannya.

Tanpa sengaja mata mereka saling bertemu, menatap dalam dan lekat ke dalam binar lawan. Ardan kembali tertegun melihat wajah Hazel yang pucat pasi.

'Ada apa sebenarnya dengan wanita ini? Kenapa wajahnya selalu terlihat letih dan pucat pasi?' lirih Ardan dalam hati.

"M-m-maaf, Pak," ucap Hazel gagu.

"Maaf lagi dan maaf lagi, saya sudah pernah katakan, jangan ucapkan kata maaf jika kamu tak pernah menyesal."

"Jadi saya harus ucapin apa, Pak?" tanya Hazel takut.

"Hazel!" teriak Ardan garang, Ardan menyentuh dahinya, tak habis pikir dengan wanita yang sebenarnya polos atau bodoh ini.

"Saya sudah pernah katakan, kamu harus lebih perhatikan penampilan kamu saat bekerja. Apa lagi kamu sedang kerja lapangan, seharusnya kamu lebih perhatian sama penampilan!"

"Tapi saya sudah perhatikan, Pak," jawab Hazel takut.

"Apanya yang kamu perhatikan? Kamu bekerja tanpa riasan, ini yang kamu bilang perhatian?"

"Jadi saya harus bagaimana, Pak?" tanya Hazel polos.

"Ya kamu pakai riasan sedikit, buat wajah kamu menarik. Kamu jual alat kosmetik tapi wajah kamu tanpa make-up, apa kamu pikir orang akan percaya?" tanya Ardan garang.

"Tapi, tapi, saya, saya gak punya alat make-up, Pak," jawab Hazel kembali menundukan pandangannya.

"Gak perlu berlebihan, cukup gunakan bedak ataupun lipstik saja."

"Saya sudah pakai bedak, Pak," jawab Hazel lirih.

"Tapi saya gak lihat tuh? Kamu gunakan bedak apa?" tanya Ardan penasaran.

"Bedak bayi, Pak," jawab Hazel polos.

"Allahuakbar, Hazel." Ardan menyapu kasar wajahnya, ia benar-benar kehabisan kata menghadapi karyawannya yang satu ini.

"Kamu itu sudah bukan bayi lagi, kenapa masih pakai bedak bayi?" tanya Ardan, geram.

"Saya, saya gak sanggup buat beli make-up, Pak."

Ardan menggelengkan kepalanya, ia membuang napasnya kasar.

"Saya gak ngerti, sebenarnya apa yang dikerjakan suami kamu. Kamu bekerja keras begini, tapi kebutuhan kamu saja dia gak mampu penuhi. Apa dia laki-laki?" tanya Ardan, kesal.

Sontak perkataan Ardan membuat Hazel mendongakan kepalanya. Wajah Hazel yang awalnya pucat pasi perlahan berubah memerah.

Hazel memandang wajah Ardan serius, perlahan lapisan bening mulai menghiasi mata bening milik Hazel.

Terasa buruan napas yang membuat dada Hazel naik-turun, menahan gejolak amarah.

Lelaki di hadapannya ini, kapan dia bisa berbicara yang tidak menyakiti?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!