NovelToon NovelToon

My Husband Is-Cuek

Pertemuan

Jam weker berbunyi tepat pukul 05.00. Aku melangkahkan kaki mendekati jam dan mematikannya. Kantuk masih menguasaiku. Namun, aku harus tetap bangun dan bersiap untuk pergi bekerja. Sambil berjalan ke arah toilet untuk berwudhu, aku melihat Ibu tengah menyiapkan masakan.

Setelah selesai salat, aku berjalan ke dapur dan membantu Ibu memasak.

"Ma, kapan kamu akan menikah?" tanya Ibu memulai obrolan kami.

Aku menarik nafas dan membuangnya. "Kapan-kapan, Bu," jawabku asal.

"Kamu sudah dewasa, Alma. Sudah seperempat abad. Sampai kapan kamu akan menggadis?" tanyanya lagi.

"Belum ketemu yang cocok, Bu." Ibu menggeleng saja.

Sudah kesekian kali, Ibu membicarakan hal ini. Sebenarnya, malas sekali untukku menjawab pertanyaan yang satu ini, tapi, walau bagaimana pun, aku harus menjawabnya meski dengan kata kapan-kapan.

Ayah datang dari mushola dan langsung ke dapur menyusul kami.

"Assalamualaikum." Ayah mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam," jawab kami.

"Ngomongin apa, Bu?" tanya Ayah.

"Ini, Yah. Alma belum minat untuk menikah," sahut ibu.

"Oh. Ayah kemarin sudah buat janji sama teman Ayah. Anaknya setuju dijodohkan sama Alma," katanya.

Deg..

"Apa, Yah. Dijodohkan?" tanyaku penasaran.

"Iya," jawabnya sambil mengunyah biskuit.

Aku menggeser kursi dan duduk di sebelah Ayah.

"Dengan siapa, Yah? Jangan-jangan sama Pak Adam, juragan empang kampung sebelah. Karena, Ayah punya banyak hutang, Alma jadi jaminan, iya, Yah?" tanyaku lagi.

"Heeh. Ngayal kamu. Ayah nggak punya hutang. Kamu akan ayah jodohkan sama anak temen ayah. Pak Gunawan namanya."

Aku mendadak lemas. Membayangkan perjodohan ini akan seperti apa. "Pak Gunawan, siapa, Yah?"

"Ya, teman ayah."

Ayah ditanyain cuma muter-muter kek gangsing. Gumamku dalam hati.

"Nama anaknya siapa, Yah?"

"Reyhan."

"Ayah, udah pernah ketemu?"

"Udah, 15 tahun yang lalu."

Hah, 15 tahun lalu? Ya Tuhan, Ayah.

Aku semakin tak bersemangat mendengar pernyataan Ayah. Aku bergidik ngeri bila membayangkan sosok lelaki itu, tua, gendut, perut buncit, brewok, dan kepalanya botak di depan. Oh My God!

Sontak aku meletakkan kepala di atas meja.

"Kamu kenapa, Ma?" tanya Ayah yang masih sibuk mengunyah biskuit kelapa.

"Apa Reyhan itu tua, Yah?" tanyaku melihat Ayah.

"Masih muda. Umurnya nggak beda jauh sama kamu." Aku mulai sedikit bersemangat.

"Ganteng nggak? gendut nggak? perutnya buncit nggak? brewokan nggak?" Pertanyaan itu membuat Ayahku kebingungan.

"Ganteng. Kalo gendut atau enggak, Ayah nggak tau, tapi, 15 tahun yang lalu dia kurus. Seperti Ayah."

"Bbb.. ahahaha." Aku dan Ibu tertawa lepas. Ibu menghampiri Ayah dan menepuk-nepuk perut buncit Ayah.

"Ini? Sudah lima bulan, bilang kurus?" ejek Ibu. Ayah hanya diam mendengar kami tertawa.

"Tapi, beneran muda, kan, Yah?"

"Iya, Alma. Bawel, kaya Ibu kamu."

"Haah, untunglah kalau dia masih muda."

"Kenapa memang?"

"Ya, masa Ayah tega memberikan anak satu-satunya Ayah ini sama orang yang udah tua. Seperti cerita Siti Nurbaya." Aku mengangkat tangan dan meletakkan di depan dadaku seperti sedang bersyair.

Kepala bagian belakang didorong sedikit oleh Ayah.

"Ngayal lagi," katanya sambil bangkit dari kursi kayu.

Ayah nggak puitis, huuh.

"Bu, gimana, nih?" tanyaku sambil memonyongkan bibir.

"Gimana apanya?" Ibu bertanya balik.

"Alma, kan belum siap, Bu," ujarku.

"Reyhan, anak Pak Gunawan." bisik Ibu.

"Kenapa, Bu?"

"Sepertinya Ibu pernah dengar."

Aku melangkah menuju Ibu. "Siapa, Bu?"

"Bukannya mereka pernah di Indonesia? Kalo nggak salah juga, anak Pak Gunawan ini pernah satu SMA sama kamu, Ma," jelas Ibu.

Aku mengingat-ingat nama itu. Reyhan ? Siapa gerangan dirimu sebenarnya?

"Aaaa. Alma tau," kejutku.

"Alma, Ibu sampai kaget." Aku tertawa kecil.

"Bu, ternyata Reyhan itu kakak kelas Alma, Bu. Dia ketua OSIS waktu SMA. Pantes aja Alma lupa, Alma cuma tau nama dia itu, Rey." Aku tersenyum mengingatnya.

Bagaimana tidak, Reyhan adalah ketua OSIS sekaligus kakak kelas yang paling disukai banyak gadis. Hampir semua temanku menyukainya. Dia tampan, putih, tinggi, jago basket, cool, modis. Mungkin aku sangat beruntung bisa mendapatkan dia. Ini akan menjadi perjodohan terindah dalam kehidupan ini.

"Eh, kenapa senyum-senyum? Tadi lemes banget," kejut Ibu.

"He.. Aku sayang Ibu. Emmuah." Aku mencium Ibuku dan membantunya menyiapkan sarapan.

Setelah beberapa menit, kami sarapan bersama, aku berangkat bekerja. Aku bekerja sebagai kasir di sebuah mini market yang tak terlalu jauh dari rumahku. Lumayan, uangnya bisa untukku membeli kuota dan beberapa kebutuhan lainnya.

"Alma berangkat, Bu. Assalamualaikum," pamitku. Terdengar sayup-sayup Ibu menjawab salam dari arah dapur. Mungkin ia masih membereskan piring dan gelas bekas sarapan tadi.

Aku melangkahkan kaki menyusuri gang sempit rumahku. Berjalan beberapa ratus meter dan sampai di minimarket.

Setelah meletakkan tas dan berganti pakaian, aku langsung mengambil tempat dan menunggu pelanggan datang.

Hari masih cukup pagi. Mungkin mereka masih sibuk dengan urusan masing-masing.

Aku kembali merapikan beberapa barang yang berada di dekat meja kasir. Tak berapa lama, seseorang membuka pintu.

"Selamat datang," sambutku.

Tak ada jawaban. Bahkan dia terus berjalan tanpa melihatku. Dia mengambil air mineral dan berjalan ke arahku.

Aku terperangah sesaat. Perlahan, dia berjalan kearahku. Memandangi penuh kesan yang mendalam sampai akhirnya dia sampai di depanku. Aku masih belum berkedip beberapa detik ini. Masih asik memandangi pemandangan indah tepat di depan wajahku. Rasanya, aku belum pernah melihatnya ke toko ini.

"Hei," sapanya. Dia semakin melihatku. Tak henti-hentinya aku tersenyum memandangnya. Tangan itu mengganggu.

"Mbak, woi!" Aku terbangun dari lamunanku. Ternyata seorang lelaki bertubuh gemuk berada di belakang lelaki tampan ini, meneriakiku. Sontak aku tersadar dan menerima air mineral dari lelaki tampan di depanku dan memeriksa harganya.

Setelah ia bergeser, lelaki gemuk itu nampak jengkel denganku yang sibuk memandangi lelaki tampan ini. Saat barang sudah di tangan, pandanganku kembali tersita oleh lelaki tampan di depan pintu masuk yang membuka botolnya dan minum di sana.

Gleg... gleg... gleg... Air itu perlahan masuk ke kerongkongannya dengan aman. Aku semakin tak kuat menahan pesonanya yang sejak pertama menyita perhatianku.

"Mbak. Cepetan, saya buru-buru!" kejut lelaki gemuk ini.

Huuh, dasar. Nggak tau apa, ada pemandangan indah gratis di depan. Jangan datang lagi, ya! Bisikku dalam hati.

Saat sesekali aku melihat lelaki tampan itu, tiba-tiba, dia sudah tak ada di sana.

Mudah-mudahan, aku bisa bertemu lagi denganmu, tampan.

Sore pun menjelang, tepat pukul 17.00, aku berganti shift dengan temanku. Aku berjalan perlahan menuju rumah. Dengan memutarkan lengan kananku yang sedikit pegal.

Setelah sampai di halaman rumah, aku terkejut dengan keberadaan mobil hitam mulus yang terparkir di bawah pohon mangga. Aku mengamatinya saksama.

Mobil siapa ini? tanyaku dalam hati.

Aku pun sampai di depan pintu dan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Ibu, Ayah, dan beberapa orang di dalam rumah.

"Ini dia, Alma," kata Ibu. Ibu berdiri menghampiriku. Aku masih bingung dengan keadaan ini.

"Ini, Ma. Yang namanya Reyhan," kata Ibu sambil menunjuk pria yang semula duduk di depannya. Belum benar-benar mampu melihat Rey, aku menjerit dan berlari keluar.

"Waaaaa....." Aku berlari sekencang mungkin dan meninggalkan mereka.

Perkenalan

Aku duduk di tengah antara Ibu dan Ayah, setelah terjadi adegan kejar-kejaran aku dan Ibu.

Kek film indiho aja suka kejar-kerjaran. Bhahah. kataku dalam hati. Namun, tertawa kecil itu didengar oleh Ibu. Ia menyenggol lenganku dengan cepat.

Sedari aku datang, aku terus tertunduk malu dengan kelakuanku. Memang, kadang aku suka bersikap sedikit konyol, walau umurku sudah tak belia lagi.

Tertawa kutahan ketika ingat aku berlari sebelum melihat Rey. Pria gemuk, brewokan dan berkepala botak di depan itu adalah Pak Gunawan, Ayah Rey. Rey berada di sampingnya dan tak terlihat olehku karena tertutup tubuh tambun Ayahnya.

Sesekali aku tertawa dan melirik Rey. Dia hanya memandang ke sana ke mari seperti merasa tak nyaman. Tak berapa lama, Rey berpamitan ingin ke toilet. Aku berinisiatif mengantar Rey. Walaupun rumah ini tak terlalu besar, ini adalah kesempatan untukku lebih dekat dengan calon suami idamanku.

Aku bangkit dari duduk dan berjalan ke belakang. Rey membuntutiku di belakang.

"Itu." Aku menujuk pintu berwarna biru di pojok dapur.

Sambil menunggu, aku menarik kursi dan duduk. Telapak tangan kiri kuletakkan di bawah dagu. Jemari tangan kananku gretakkan di meja.

Apa orang ganteng itu kalo pipis lama banget? tanyaku dalam hati sambil melihat pergelangan tangan yang tak ada jamnya.

Setelah sekian, sekian, sekian menit, Rey pun keluar dari tempat persembunyiannya.

"Apa ada tisu?" Aku yang mendengar pertanyaannya segera berlari ke kamarku mengambil tisu.

"Ini."

Rey mencabut sehelai tisu dari kotak yang sedang kupegang. Ia menyapu-nyapu wajahnya dengan tisu. Terpejam sebentar karena kelopak matanya juga ia bersihkan.

Ia lantas memberikan kepadaku tisu bekas usapan wajahnya. Aku mencium tisu itu.

Hem, wangi.

Buru-buru aku buang saat dia menoleh kepadaku.

"Rey," sapaku.

Ia berhenti dan membalikkan badan.

"Ya."

"Apa kamu lupa denganku?"

Ia lantas mengerutkan kening tanda sedang memikirkan sesuatu.

"Kamu..."

"Kamu..."

Aku sedang menanti jawaban.

"Kamu Alma, kan."

Haa? Gubrak! Dia lupa. Bukankah belum berganti hari?

"Oo, kasir minimarket?"

Aku tersenyum datar. Dia tersenyum tipis dan menggaruk kepala belakangnya.

Waaah, tampannya. Boleh nggak sih aku cubit pipi itu? Kuci.. kuci.. kuci..

"Emm, mau nggak temenin aku ngobrol." Tanpa jawaban, Rey menarik kursi di sebelah kursi yang aku duduki tadi. Aku pun menyusulnya duduk.

Nggak mau nanya duluan gitu?

Aku meliriknya yang sibuk memandangi dapurku.

"Emm, Rey. Kamu inget sama aku nggak?"

Dia menoleh dan memandangiku saksama. Dia kembali mengerutkan kening. Namun, belum ada jawaban.

"Bukannya, dulu kamu pernah sekolah di Jakarta?" tanyaku

"Ya."

"Berarti, benar. kalau kamu dulu kakak kelasku. Kamu dulu ketua OSIS, kan?"

Ia mengangguk. "Ya."

Aku menoleh ke depan. Nggak ada jawaban lain apa? Ya, ya.

"Apa kamu lupa denganku, Rey. Almaira Syafitri? Adik kelasmu dulu?" tanyaku antusias.

Lagi-lagi Rey hanya diam tanpa jawaban.

"Yang waktu MOS memberiku bunga sepatu dan permen coklat itu?"

Kenapa dia mengingat hal konyol itu?

Aku tertunduk lesu dan menggeletakkan kepala di atas meja.

Drrrk.. suara derit kursi.

Rey meninggalkanku di dapur. Sementara aku masih lesu dengan masa lalu memalukan itu.

Saat itu, kali pertama aku melihat Rey. Semua anak baru, terutama anak perempuan, menjerit histeris saat pertama kali melihat Rey. Saat aku ketahuan memotret Rey diam-diam, aku dihukum oleh Kakak kelas yang lain. Hukuman itu beruap menyatakan cinta langsung kepada Rey.

Aku mengambil bunga sepatu di depan pagar sekolah, dan membeli permen coklat lima ratus rupiah. Dengan dandanan bak orang tidak waras, aku berjalan dengan percaya diri ke tengah lapangan basket.

"Kak," sapaku. Seketika ia menoleh melihatku.

"Maukah kau jadi pacarku?" sambil membungkuk dan melipat satu kaki kebelakang.

Kekonyolanku dulu sangat luar biasa. Walau riuhan sorak dan tepuk tangan teman-teman yang lain mulai membuatku gemetar, aku tak boleh mundur saat ini.

Dia memandangku, aku menunduk karena tak kuat melihat wajahnya. Di ambilnya permen coklat dan langsung ia makan di sana. Dan saat ia mengambil bunga sepatu yang mulai layu, langsung dijatuhkannya begitu saja. Dan ia pun meninggalkanku terdiam di sini.

Suara telapak tangan beradu di belakang. Ternyata, Rey dan temannya sedang mempermainkanku. Aku hanya terduduk lemas di tengah lapangan sambil mendengar teman-teman yang lain meneriakiku semakin kencang.

Sebal, kenapa harus kenangan konyol itu yang dia ingat?

"Ma, Rey dan Papanya mau pulang, nih." Aku terkejut dan berlari ke depan.

Aku memandangi mereka yang masuk ke dalam mobil hingga mobil tak tampak dari pandangan. Aku menghela nafas.

Dia masih seperti dulu. Cuek. Bisa jadi itu alasan mengapa dia belum menikah sampai sekarang.

Drrrtt... drrrt... Ponsel bergetar.

Sebuah pesan masuk. Tapi, hanya nomor saja.

[Ini, saya. Rey]

Aku loncat kegirangan melihat pesan dari Rey. Dengan cepat aku membalasnya.

[Hai, Rey. Kok bisa dapat nomorku?]

[Ayahmu] balasnya.

[Hemm]

[Besok, Papa akan mengajakmu pergi]

Hah? Papanya? Aku mau nikah sama Rey, atau sama Papanya.

[Sama Papa kamu?]

[Denganku juga]

Haa, leganya. Emang, nih orang suka buat aku spot jantung.

[Oke] balasku sebagai penutup pesan.

**

"Bu, hari ini Alma diajak pergi sama Rey dan Papanya."

"Kemana?" tanya Ibu.

"Nggak tau."

Aku pergi ke kamar dan melihat satu persatu pakaianku di dalam lemari. Kebetulan hari ini aku sedang shift malam di minimarket. Jadi, aku bisa bebas jalan-jalan dengan Rey. Satu persatu pakaian ku lihat.

Satu lemari kenapa nggak ada yang cocok?

Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB. Sebentar lagi Rey datang.

Gawat!!

Kuraih handuk dan segera mandi. Aku terburu-buru dari biasanya. Hingga Rey kini sudah ada di rumahku. Aku hanya mengenakan bedak dan lipstik saja.

Gawat, gara-gara aku sibuk dengan pakaian, sampai tak sempat untuk berdandan.

"Ibu, Alma berangkat. Assalamualaikum," pamitku dan mencium tangan serta pipi Ibu.

Aku berjalan seanggun mungkin di depan Rey. Jangan sampai aku menunjukan kekonyolanku lagi di depannya hingga membuatnya ilfeel. Aku tersenyum saat memasuki mobil hitam mengkilap miliknya.

Di perjalanan, aku hanya memandangi wajah Rey yang sedang fokus menyetir.

"Jangan lupa berkedip," katanya. Sontak aku melotot dan menoleh memandang ke arah depan.

"Kita mau kemana Rey?" tanyaku.

Dia diam.

Jawab kenapa kek.

"Ke rumahku," jawabnya.

Aku mengangguk mengerti. Tak lama kemudian, aku menguap dan tertidur. Perjalanan satu jam ini, membuatku tertidur di mobil.

Beberapa saat, aku merasakan tubuhku digoncangkan perlahan. Aku bangun dan kembali menguap. Aku terkejut saat turun dari mobil.

Wah, ini rumah apa istana?

Aku berjalan dengan santai mengikuti Rey dari belakang.

Bersambung...

Berbelanja

Aku masuk mengikuti Rey dari belakang. Ia langsung menuju ruang makan. Di sana ada Om Gunawan yang duduk di kursi sambil membaca koran.

"Duduk Alma," kata Om Gunawan.

Aku duduk di sebelah Om Gunawan. Sementara Rey duduk di depanku.

"Rey. Nanti kamu temani Alma belanja," titah Om Gunawan kepada Rey.

"Belanja apa, Pa?" tanya Rey pada Papanya.

"Belanja kebutuhan pertunangan. Apalagi," jelasnya.

Aku dan Rey sama-sama terkejut. Kami sesaat saling menatap, tapi Rey hanya diam saja dengan perkataan Papanya.

Rey bangun dan pergi entah ke mana.

"Alma. Maklumi saja, Rey. Dia memang seperti itu. Anak tanpa Mama mungkin memang seperti itu."

"Iya, Om. Alma sudah tau Rey seperti itu."

Om Gunawan tersenyum kecil dan mengangguk.

"Apa kamu tau kenapa om akan menjodohkan anak om itu dengan kamu?"

Aku menggeleng. "Enggak, Om."

"Kamu setuju, kan kalo jadi menantu, om?"

Ya elah, nanya sekarang.

"Iya, Om. Ayah saya kalo nggak dituruti suka ngamuk," jawabku polos.

"Jadi kamu terpaksa menuruti kemauan Ayah kamu?"

"Oh, enggak, Om. Saya dan Rey pernah satu sekolah. Sampai di umur saya ke 25 ini, saya masih belum menikah, mungkin, saya memang berjodoh dengan Rey," tuturku.

Ngerti atau enggak, nggak masalah, deh. Masa iya aku bilang kalo aku suka sama Rey. bisa turun harga diri.

Aku tersenyum ke pada Om Gunawan.

"Dulu, sekitar 15 tahun yang lalu, saya pernah diselamatkan oleh Ayah kamu. Saat itu, saya baru saja keluar dari bank untuk mengambil uang. Perampok hampir mengambil uang saya."

Aku mendengarkan Om Gunawan saksama.

"Untung ada Ayah kamu. Dia berani melawan perampok-perampok itu, hingga mengundang banyak orang dan mengeroyok perampok," lanjutnya.

"Saya berjanji kepada diri saya sendiri bahwa saya akan menjodohkan anak saya dengan anak Romi, yaitu kamu."

Aku tersenyum dan mengangguk. Rey datang dari arah belakang mengejutkanku. Kepalanya di goyangkan ke arah samping satu kali tanda mengajakku pergi.

Aku bangkit dari kursi dan pamit kepada Om Gunawan.

"Saya pergi dulu, Om, Assalamualaikum," pamitku. Sementara Rey, langsung pergi begitu saja.

"Sebentar, Alma," cegah Om Gunawan.

Aku berjalan kembali karena ia memanggilku.

"Ini, buat kamu. Kamu nggak usah kerja lagi di minimarket itu, ya." Om Gunawan memberiku kartu ATM. Aku melihatnya dengan terkejut.

ATM? Seneng atau gimana, nih. Kan aku sama Rey belum nikah. Seneng aja deh. Nanti Om Gunawan tersinggung lagi, gumamku dalam hati.

"Kenapa? kurang?" tanya Om Gunawan.

Kurang gimana? Aku, kan nggak tau isi dalamnya berapa.

"Enggak, Om. Terima kasih."

"Ya, nanti minggu depan, akan om suruh Rey transfer lagi."

Aku hanya tersenyum dan berlalu menyusul Rey yang sudah ada di dalam mobil.

Setelah aku masuk, ia lantas memacu mobilnya. Di dalam mobil, kami hanya diam saja. Sesekali kupandangi Rey yang sibuk menyetir.

"Rey?"

"Hemm."

"Apa.. Kamu terpaksa menerima perjodohan ini?" tanyaku sedikit ragu-ragu.

"Iya," jawabnya singkat.

Ohh, jujurnya. Kenapa hatiku terasa tertusuk jarum? Auu

"Kalau memang terpaksa, lalu kenapa kamu setuju, Rey?" tanyaku lagi.

"Aku nggak mungkin nolak, Papa punya riwayat sakit jantung," tuturnya.

Aku hanya mengangguk. Saat ini, entah harus bahagia atau sedih tentang perjodohan ini. Aku harus bagaimana bila Rey tidak mencintaiku?

Mobil pun sampai di depan toko perhiasan. Kami turun dan langsung berjalan ke sana. Aku melihat bermacam-macam perhiasan yang terjejer rapi di sana.

"Silakan dipilih perhiasannya," kata seorang wanita menghampiri kami.

Aku menunjuk cincin emas bermotif kupu-kupu.

"Rey, itu bagus nggak?" tanyaku menunjuk cincin yang kupilih.

Dia melirik dan mengangguk saja.

Ya ampun, dia pikir ngomong itu berbayar, ya? huuh.

Aku memilih satu cincin dan Rey membayarnya.

"Saya tambah dengan satu paket perhiasan," katanya.

Aku melotot memandang Rey.

Ehh, sekalinya dia ngomong berapa duit tuh.

"Buat apa, Rey?"

"Perintah Papa,"

Oh, Om Gunawan. Sudah kukira. Nggak mungkinkan dia inisiatif beliin perhiasan sebanyak itu?

"Ke toko baju nanti," ucapnya.

"Yaaa!" jawabku sedikit berteriak.

Setelah membayar perhiasan, kami melanjutkan perjalanan menuju toko pakaian.

Mungkin, dia akan beli baju untuk tunangan nanti. Seperti kata Om Gunawan tadi.

Aku dan Rey sampai di butik. Butik Almira.

Hampir sama kaya namaku, sih, hihi.

Wanita di sana memilihkan baju yang cocok denganku dan Rey.

Baju di sini biasa saja menurutku. Modelnya juga biasa aja. Kenapa Rey ke sini?

Saat aku melangkahkan kaki mendekati meja, aku melihat kacamata terjejer rapi di sana. Aku memandangi satu per satu kacamata itu. Saat aku mencoba mekihat harganya, terkejut dengan harga yang tertera.

"Haah? kacamata jelek begini 2 juta? Hup." Sontak aku menutup mulutku. Wanita muda yang sedang memilihkan baju untuk Rey melirikku dengan sinis.

Astaga, tu mata tajem amat. Apa aku maling?

Setelah aku dan Rey selesai memilih-milih baju, kami pun pergi. Kami masuk ke dalam mobil. Setelah baru saja duduk, tiba-tiba aku merasakan sakit di perutku.

Aku memegangi uluhati dan menekannya. Rey malihatku dan bertanya, "Kamu kenapa?"

"Sakit," jawabku sambil menggigit bibir bawahku menahan sakit.

"Kamu belum makan?" tanya Rey.

Aku hanya menggeleng kecil.

Rey memacu mobilnya. Aku berkeringat dingin. Rasa perih kurasakan semakin tak tertahan. Semetara Rey, masih diam dan menyetir. Ia lantas membawaku ke sebuah klinik yang tak jauh dari tempat kami sebelumnya.

Rey keluar terlebih dulu dan membawa kursi roda. Ia dibantu perawat wanita, menggendongku dan meletakkanku di kursi roda. Perawat wanita mendorongku masuk ruangan. Aku masih menahan sakit sampai seorang dokter datang.

Setelah aku darahku di tensi, dokter langsung menyiapkan resep obat. Maag-ku kambuh. Begitulah kiranya kata dokter klinik.

Setelah sebuah pil obat kutelan dan rasa sakit ini berangsur membaik, aku diperbolehkan pulang oleh dokter. Nampak sedikit raut wajah kesal di wajah Rey.

"Kenapa kamu nggak bilang kalo belum makan?" tanyanya di dalam mobil.

Aku menunduk dan merasa bersalah.

"Iya, maaf," kataku perlahan.

Mobil dipacu kembali. Kali ini entah aku akan dibawa ke mana. Hanya sepuluh menit berjalan, mobil berhenti di sebuah rumah makan.

"Wahh, rumah makan Minang," kataku bahagia.

"Heeeh," cegah Rey. Dia memegang kerah baju belakangku bagaikan anak kucing. Aku yang ingin berlari ke sana terhenti oleh sikapnya.

"Apa?"

"Jangan makan banyak-banyak."

Cie perhatian, hihi.

"Nanti kalo ada apa-apa, aku yang disalahkan," kata Rey.

Huu. Sambil manyun.

Aku masuk tanpa Rey. Okelah, aku makan sendiri. Lamak bana.. Hahaha

**

"Haaah, kenyang, aaaak." Aku bersendawa di depan Rey sambil tertawa puas. Raut wajahnya tetap datar.

Bodo amat, ah. Mau ilfeel, tofeel, trifeel, calon suami ini. Dia, kan nggak bisa nolak Papanya.. Huhuhu.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!