Hari kelulusan.
Semua siswa bergembira hari itu. Pengumuman kelulusan SMA menyatakan seluruh siswa lulus. Aksi corat-coret baju dan gelak tawa bahagia mewarnai sebagian besar siswa-siswi SMK Negeri 1 terdengar nyaring. Gerbang pagar terkunci rapat dan tak akan terbuka sampai sore hari, harapan pihak sekolah agar para siswa yang telah lulus itu tidak mengadakan konvoi dan perayaan-perayaan aneh dan membahayakan keselamatan para siswa atau orang lain.
Dhamar Kumbara, salah satu siswa yang juga lulus tahun ini ikut bergembira meski tidak larut seperti teman-teman lainnya. Baju putih abu-abunya juga tak luput dari coretan cat semprot dan spidol. Dia hanya mengimbangi euphoria teman-temannya, sementara pikiran dan hatinya risau karena ibunya sedang sakit dirumah.
Banyak teman cewek yang ingin berfoto bersamanya, kata mereka kesempatan terakhir bisa foto selfie dengan Dhamar yang gantengnya sekilas mirip Aliando bintang Ganteng Ganteng Srigala itu. Dhamar hanya bisa bersabar sambil menyembunyikan kegundahan hatinya meladeni teman-teman seangkatannya.
Siang itu.
“Assalamualaikum…” Ucap Dhamar sambil membuka pintu dan masuk kedalam rumahnya. Rumah kecil yang dia tempati itu hanya berisi tiga ruangan. Satu ruang untuk tempat tidur Dhamar sekaligus merangkap ruang makan
dan ruang tamu. Lalu ruang tengah yang ditempati ibunya yang sering sakit tidur dan satu bilik kecil sebagai kamar mandi dan toilet.
“Waalaikumusalam…” Jawaban lirih dari Asih ibunya Dhamar dari dalam kamar.
Dhamar segera menghampiiri ibunya yang terrbaring lemah diatas kasur spon tipis. Sebagai anak yang baik Dhamar langsung merengkuh telapak tangan ibunya dan mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkannya itu.
“Ibu sudah makan?” Asih yang ditanya putranya itu hanya mengangguk lemah. Pagi tadi sebelum Dhamar berangkat sekolah sudah menanak nasi dan menggoreng tahu lalu mempersiapkan makanan untuk ibunya. Dhamar tersenyum melihat anggukan lemah itu, meskipun hatinya teriris menyaksikan betapa kondisi ibunya terus melemah. “Ibu sudah minum obatnya?”
“Sudah nak. Kamu sekarang cepat makan. Oh ya kamu sudah sholat?”
“Belum bu, sekarang Dhamar ke mushola dulu ya untuk sholat.” Pamit Dhamar.
Asih sekali lagi mengangguk lemah. Dia tatap punggung anaknya yang keluar dari ruangan yang hanya disekat dinding triplek tipis itu. Hatinya sangat sedih, semenjak Agung Suganda, suaminya sekaligus ayah Dhamar itu meninggal tiga tahun lalu, keadaan ekonomi yang dulunya pas-pasan semakin kekurangan. Dhamar sampai harus mencari pekerjaan serabutan selepas dia sekolah sekedar untuk bisa membantunya membayar listrik, atau keperluan lainnya. Asih sendiri tak kenal lelah bekerja siang malam sebagai buruh cuci, atau pekerjaan lainnya yang ia dapatkan dari para tetangga. Meskipun kadang dia harus mencari pekerjaan sampai jauh di kampung-kampung lain.
Asih juga sangat bersyukur, Dhamar putranya bisa mengerti keadaan yang terjadi. Sholatnya selalu terjaga tak pernah ditinggalkan. Air mata Asih perlahan menetes menggelinding melewati garis pipinya yang cekung.
Akibat terlalu keras bekerja dan kurangnya asupan gizi pada makanan yang sehari-hari dia makan membuat fisiknya menderita dan pada akhirnya divonis ginjalnya rusak, dan oleh para dokter puskesmas disarankan agar Asih tidak boleh terlalu lelah bekerja.
“Ibu… kenapa ibu menangis?” Tanya Dhamar membuyarkan lamunan Asih.
“Tidak apa-apa nak…. Ibu sangat bersyukur Allah menjadikan anak yang sholeh dan berbakti. Namun ibu juga bersedih karena ketidak mampuan ibu, kamu jadi sengsara seperti sekarang. Dimana teman-temanmu sekarang sibuk memikirkan akan berkuliah dimana, kamu harus memikirkan bagaimana mencari uang untuk makan. Maafkan ibu nak…” Jawab Asih sedikit terbata.
“I-ibu… jangan berfikir seperti itu, nanti ibu semakin sakit. Besok Dhamar akan cari kerja bu, tadi ijazah Dhamar sudah Dhamar ambil. Dhamar mohon doa dari ibu saja, agar Dhamar bisa cepat mendapat pekerjaan.
Dhamar ga akan pilih-pilih bu, Dhamar tahu diri ijazah Dhamar hanya SMK saja. Untuk saat ini Dhamar hanya berharap bisa mendapat kerja halal, dan mendapat gaji yang layak biar bisa membawa ibu ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan yang layak. Biar ibu kembali sehat seperti dulu.”
Air mata Asih semakin deras mengalir mendengarkan impian sederhana putra semata wayangnya itu.
“Bu… jangan menangis. Maafkan Dhamar jika telah menyakiti hati ibu.” Kata Dhamar sambil memeluk Asih yang masih terisak, terharu melihat kedewasaan putranya yang masih delapan belas tahun itu.
Malamnya, Dhamar terlihat sibuk membuat surat lamaran pekerjaan di ruang depan tempat dia tidur. Meja kecil yang biasa digunakan anak TK dia gunakan untuk alas menulis surat lamaran pekerjaan itu. Asih yang memandang dari pintu karena hendak ke kamar mandi untuk buang air, langsung terenyuh dan memanjatkan doa kehadirat Yang Maha Kuasa agar diberikan kemudahan bagi putranya itu.
Saat malam semakin larut, dengan kondisi tubuhnya yang lemah, Asih bangun dari tidurnya. Lalu bangkit dan menuju kamar mandi.Mengambil air wudlu dan lalu menjalankan sholat malam. Seperti kebiasaan yang
telah dia lakukan hampir setiap malam sejak dulu saat kondisi sehat maupun sekarang dikala dia sedang lemah karena sakit ginjal yang menggerogoti tubuh ringkihnya.
Dalam sujud Asih berpasrah kepada Yang Maha Kuasa. Dia iklas atas takdir yang tertulis untuk kehidupannya didunia ini. Doa panjang seorang istri juga ia ucapkan untuk kedua orang tuanya dan suaminya tercinta yang telah terlebih dulu menghadap ke hadirat Nya. Sebagai seorang ibu, Asih juga memanjatkan doa untuk putra tersayangnya, agar senantiasa putranya diberikan kemudahan dalam menghadapi segala ujian dan cobaan hidup.
Belum genap setengah jam Asih bermunajat di sepertiga malam, terdengar germicik air. Dhamar juga telah lama membiasakan diri untuk melakukan ritual sholat malam. Asih sangat bersyukur telah dikaruniai putra yang taat beribadah dan berbakti kepada orang tua.
Pagi menjelang. Sebelum berangkat untuk mencari kerja, Dhamar menyempatkan untuk merawat ibunya. Menyiapkan makan. Dan bahkan pagi ini Dhamar bersikerah menyuapi ibunya.
Asih mengunyah pelan makanan yang baru disuapkan putranya. Matanya berkaca-kaca terharu bahagia memperoleh putra yang berbakti.
“Dhamar, ingat selalu nasihat ibu ya. jangan sombong karena Allah Ta’ala membencinya. Jangan mudah terbawa emosi hingga mengucapkan kata-kata yang menghina orang lain dan juga jangan sampai kamu mengeluarkan sumpah yang akan kamu sesali dikemudian hari.”
“Baik bu.” Jawab Dhamar takzim.
“Oh ya, yang terpenting jangan tinggalkan sholat lima waktu. Karena kita tak pernah tahu kapan kita akan berpulang menghadap Nya.” Sambung Asih lagi. “Ibu memberi nasihat tadi karena bapakmu dulu pernah melakukan kesalahan fatal, karena tak mampu mengontrol emosinya lalu mengucapkan sumpah yang sangat disesali bapak kamu hingga akhir hidup bapak kamu.”
“Benarkah bu, bapak sama ibu belum pernah cerita pada Dhamar.”
“Sudahlah, kapan-kapan akan ibu ceritakan. Sekarang ibu sudah kenyang.”
“Tapi bu, ini masih ada sisa dua sendok lagi. Sayang bu mubazir.”
“Kamu aja yang habiskan. Mana obat yang harus ibu minum. Kalau kekenyangan ibu akan muntah.” Jawab Asih dengan tersenyum lembut.
Bersambung…
“Bu, aku berangkat untuk mencari pekerjaan. Tadi Dhamar sudah menanak nasi dan memasak sayur bayam serta menggoreng tempe untuk ibu. Jangan lupa ya bu untuk selalu meminum obat.” Pamit Dhamar sambil mencium
punggung tangan ibunya.
“Hati-hati ya nak, ibu tak bisa memberimu uang saku untuk sekedar naik angkot. Ibu hanya bisa mendoakan agar kamu bisa cepat mendapat pekerjaan. Banyak-banyak membaca sholawat ya, semoga Allah memberikan kelancaran dan kemudahan untuk semua usaha kamu nak. Aamiin.”
“Aamiin…. Oh ya bu, Dhamar masih ada sedikit uang, kemarin pak erte memberi Dhamar pekerjaan, Alhamdulillah diberi upah lumayan bu, jadi ibu tenang saja. sekarang Dhamar berangkat bu.Assalamualaikum.”
“Waalaikumusalam…”
Hari itu Dhamar memutuskan untuk mencari kerja di kawasan perkantoran dikotanya. Sampai menjelang tengah hari, Dhamar telah memasuki lebih dari delapan kantor namun tak satupun kantor-kantor tersebut sedang membutuhkan karyawan baru.
Kumandang adzan dhuhur sayup terdengar. Dhamar bergegas mencari mushola atau masjid terdekat. Dengan berjalan kaki dia menyusuri trotoar jalan dan akhirnya menemukan sebuah mushola kecil di sebuah area pompa
bensin. Segera Dhamar mendirikan sholat dan bermunajat.
Jam dinding mushola telah menunjukkan pukul satu siang. Dhamar memutuskan untuk kembali melanjutkan usahanya. Dengan kondisi perut sedikit lapar dan kerongkongan yang mulai mongering, Dhamar melangkahkan
kakinya dengan mantab.
Dhamar mendongak memperhatikan pucuk gedung didepannya.Sebuah gedung tinggi yang terlihat mewah dan megah.
“Bismillah.” Ucap Dhamar seraya mengayunkan langkah kakinya memasuki gedung itu.
Hawa sejuk dari pendingin ruangan langsung menyapanya. Perbedaan hawa dari luar gedung yang tiba-tiba membuat kulit Dhamar sedikit meriang. Dieadarkan pandangannya untuk mencari tahu dimana dia bisa mendapatkan informasi apakah dia bisa melamar pekerjaan di gedung yang merupakan perkantoran ini.
Dhamar melihat sebuah meja besar dengan tulisan Customer Service diatasnya. Tanpa ragu dia melangkah. Dibacanya doa-doa pendek agar menguatkan kepercayaan dirinya.
“Selamat siang.” Sapa Dhamar pada seorang wanita memakai setelan pakaian kerja. “Apakah ada lowongan pekerjaan di gedung perkantoran ini mbak? Saya bermaksud melamar pekerjaan apa saja disini.”
“Oh… hmm…” Wanita itu sedikit berfikir lalu membuka catatan kecil didepannya. Lalu memandangi Dhamar dengan tajam. ‘Tampan juga remaja ini. Kelihatannya baru lulus SMA.’ Batin wanita itu dalam hati.
“Ah ya, kamu membawa surat lamaran kamu? Kalau sekarang kamu sudah membawanya kamu bisa naik ke lantai dua dan carilah ruangan HRD. Temui pak Dino, tadi beliau memberikan note pada kami bahwa PT. Bintang Persada sedang membutuhkan seorang office boy. Jika kamu mau dengan pekerjaan itu, kamu bisa mencoba untuk menghadap beliau.”
“Mau. Mau mbak. Saya harus lewat mana untuk bisa bertemu dengan pak Dino?”
“Kamu bisa lewat tangga disebelah sana atau lewat lift yang disebelah sana itu.” Jawab wanita itu sambil menunjukkan arah pada Dhamar.
“Baik mbak, saya akan langsung kesana. Terima kasih mbak, mohon doanya biar saya diterima.” Ucap Dhamar.
Dengan tergesa-gesa Dhamar berjalan menuju tangga yang arahnya ditunjukkan wanita tadi. Dhamar memilih tangga karena dia takut mendapat malu sebab tidak tahu cara operasional lift agar bisa membawanya ke lantai dua.
Wanita itu hanya melongo saat tahu Dhamar memilih tangga. ‘Dasar orang kampung, aku tadi kan hanya bercanda mengatakan bisa lewat tangga, eh dianya malah beneran memilih lewat tangga.’ Batin wanita itu.
Dhamar telah sampai di lantai dua gedung tersebut. Dia segera mencari ruangan HRD.
“Ini dia. Semoga aku langsung diterima bekerja disini. Meskipun hanya menjadi OB, aku akan mendapat penghasilan tetap. Hingga aku bisa memberikan perawatan yang layak untuk ibu.” Gumam Dhamar di depan pintu ruangan HRD. “Bismillah. Ya Allah mudahkanlah jalanku. Aamiin…” Doa Dhamar pelan.
Dia lalu memasuki ruangan tersebut dan dijumpainya ada sekitar sepuluh orang yang berada disana dan masing-masing sibuk dengan pekerjaannya.
“Permisi, saya bermaksud melamar pekerjaan. Kata mbak yang ada di meja costumer service dibawah saya harus menemui pak Dino.” Kata Dhamar pada laki-laki yang tampak sibuk dengan laptop di depannya.
“Oh mau melamar menjadi OB ya? Tunggu sebentar ya, aku segera mengantarkanmu.” Jawab lelaki itu lalu melanjutkan pekerjaannya lagi.
Sepuluh menit kemudian laki-laki itu berdiri dan memberikan isyarat pada Dhamar untuk mengikutinya.
“Kamu tunggu sebentar disini. Aku akan masuk dan mengatakan kepada pak Dino.” Perintah lelaki itu.
Dhamar menjawabnya dengan tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Beberapa saat didalam akhirnya lelaki itu keluar dan menyuruh Dhamar untuk masuk kedalam ruang Manajer HRD.
Kini Dhamar sudah duduk didepan manajer HRD. Dia menyerahkan berkas lamaran yang ia bawa. Kemudian dia mendapatkan sedikit pertanyaan.
Dengan lugas dan tegas Dhamar menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan. Sang manajer HRD alias pak Dino mendengarkan jawaban Dhamar dengan seksama dengan pandangan tajam seolah menilai setiap gesture tubuh saat Dhamar mendengarkan pertanyaan atau saat Dhamar sedang menjawab pertanyaan.
“Baiklah. Aku rasa cukup. Karena perusahaan ini sedang butuh seorang OB yang cakap, dan tampaknya kamu bisa aku andalkan. Kamu saya terima untuk bekerja disini. Masa training adalah tiga bulan. Dalam tiga bulan ke depan kamu akan dievaluasi dan dinilai kinerja kamu. Intinya selama kamu rajin dan berkomitmen dalam pekerjaan kamu, maka pada bulan ketiga kamu akan mendapat kontrak kerja sebagai karyawan tetap disini. Kamu bersedia?”
“S-saya diterima pak? Alhamdulillah… saya bersedia pak. Saya bersedia dan saya akan bekerja dengan penuh semangat pak.” Jawab Dhamar. Dalam hatinya terucap berkali-kali puja dan puji ke Allah Ta’ala yang memberikan kemudahan di hari pertamanya mencari pekerjaan.
“Baiklah, ini surat kontrak untuk masa training kamu. Setelah itu kamu akan diantarkan ke tim leader untuk mendapatkan job deskripsi. Baca dulu kalau sudah faham dan tidak ada yang kamu tanyakan dari surat kontrak itu, kamu bisa tanda tanganinya langsung.”
“Baik pak.”
Tanpa membacanya Dhamar langsung saja tanda tangan diatas surat kontrak kerja itu. Setelah itu seperti yang dikatakan Dino, Dhamar langsung diantar ke tim leader untuk mendapatkan pengarahan.
“Baiklah Dhamar kamu sudah mengerti yang aku katakan? Mulai besok kamu akan bekerja, dan kebetulan kamu mendapatkan shift kedua yang dimulai pukul 3 sore dan selesai pukul sepuluh malam. Untuk kartu identitas karyawan akan aku berikan besok saat kamu sampai disini. Sekarang kamu boleh pulang dan ingat besok datang lebih awal biar kamu bisa berkenalan dengan rekan kerja kamu di tim yang aku pimpin. Mengerti?”
“Siap pak.” Jawab Dhamar. “Kalau begitu saya akan pulang dulu. Assalamualaikum.” Lalu Dhamar pergi tak lupa dia bersalaman dan menciup tangan atasannya yang terlihat seusia ibunya itu dengan takzim.
Dhamar keluar dari gedung itu dengan perasaan bahagia. Segera dia mencari mushola atau masjid. Dia bermaksud untuk melakukan sujud syukur dan sholat asar karena waktu telah tiba untuk sholat wajib itu.
Selepas sholat Dhamar teringat kalau uang di dompetnya sekarang hanya lima puluh ribu saja. Itu cukup untuk kebutuhan makan dua hari bersama ibunya.
“Alhamdulillah beras masih ada satu kilo dirumah, jadi hanya perlu beli sayuran dan lauk. Semoga saat pulang nanti atau besok ada tetangga yang memberi pekerjaan kecil agar aku dapat tambahan uang. Aamiin…”
Selepas bergumam tiba-tiba melintas ucapan ayahnya. Dhamar teringat betul ayahnya itu berkata seminggu tepat sebelum beliau meninggal dalam kecelakaan lalu lintas.
“Beberapa tahun lagi kamu akan tamat SMA nak, maafkan bapakmu yang tak mampu untuk menyekolahkan kamu ke universitas. Jika saja bapakmu ini tidak keras kepala, jika saja bapakmu ini bersedia meminta maaf, bapak yakin kamu akan bisa kuliah. Tapi bapakmu ini sudah termakan sumpahnya sendiri, jadi bapakmu ini tak mampu berbuat apa-apa selain melaksanakan sumpah yang telah bapak ucapkan.” Bapak Dhamar berhenti sebentar lalu mengusap matanya yang berkaca-kaca. “Akan tetapi bapak yakin nak, dengan kecerdasan yang kamu miliki, bapak yakin kamu akan menjadi orang hebat dimasa depan.”
“Aamiin…” Jawab Dhamar waktu itu tanpa bertanya lebih lanjut tentang kata-kata bapaknya.
Sekali lagi Dhamar mengangkat tangannya berdoa. Dia memohon ke Allah Ta’ala agar doa-doa yang pernah dipanjatkan kedua orang tuanya bisa secepatnya diijabahi, hingga dia bisa memberikan perawatan kesehatan untuk ibunya yang sakit keras.
Bersambung…
Disebuah kamar hotel bintang tiga.
“Alex… kapan kamu akan menikahi aku? Kita sudah pacaran tiga tahun lebih. Dan kini usiaku sudah dua puluh lima tahun, kamu pun sudah punya usaha yang bagus.” Tanya Wulan sambil memeluk tubuh lelaki bernama Alex. Kepalanya disandarkan di dada bidang lelaki yang telah menjadi kekasihnya itu.
Alex tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menyeringai lalu menyesap rokok. Tangannya membelai kulit Wulan yang putih dan tertutup sehelai benang itu. Mereka berdua telah melakukan hubungan saling suka tanpa ikatan pernikahan yang sah.
“Lex… kapan?” Tanya Wulan dengan manja. Lalu dia mendongak dan melihat wajah lelaki yang dicintainya itu.
“Wulan, sejak setahun lalu kamu menanyakan hal ini, aku sudah menjawabnya. Dan kali ini pun jawaban aku sama. Tunggu saja sayangku, untuk saat ini aku belum siap untuk berkomitmen lebih jauh. Pernikahan itu bukan hanya tentang ijab qabul, tapi banyak hal yang harus disiapkan. Kamu yang sabar ya, aku mencintaimu.”
“Tapi Lex…”
Alex langsung melancarkan ciuman dibibir wanita cantik ini. Alex malas berdebat perihal pernikahan. Dia merasa tidak siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih dari sekedar berpacaran dan bersenang-senang.
Mendapat serangan itu, Wulandari yang sudah dimabuk cinta kembali terlena dan lupa akan pertanyaannya tadi.
Wulandari, direktur pemasaran PT. Bintang Persada, cucu pertama keluarga Wiraja yang kecantikannya dan kemolekan tubuhnya tak kalah dengan Zaskia Gotik itu tenggelam dalam dosa kenikmatakan karena rayuan mulut manis lelaki. Dan memang pada dasarnya Wulandari yang terobsesi dengan harta, saat pertama kali Alex meminta untuk berhubungan badan dia dengan sukarela mengamininya dengan harapan dia akan dipersunting lelaki kaya kekasihnya itu.
\===o0o===
Keluarga Wiraja merupakan salah satu keluarga kaya kelas dua di negeri ini. Penghasilan utama mereka adalah dari pabrik yang memproduksi mainan dan makanan ringan untuk kalangan bawah. Dan Wulandari adalah cucu pertama dari keluarga Wiraja. Hampir seluruh anggot keluarga Wiraja selalu menilai kehidupan ini dengan harta dan tahta. Mereka akan menjadi penjilat atau apa saja asal bisa mendapatkan harta maupun tahta, dan mereka akan selalu memandang rendah pada siapa saja yang berada dibawah mereka.
Ibu Wulandari, Amara Wiraja, adalah putri kedua dari keluarga itu. Amara Wiraja dijodohkan dengan Dedi Anggoro salah satu cucu konglomerat di negeri ini. Seiring berjalannya waktu konglomerasi keluarga Dedi Anggoro banyak yang bangkrut karena tersandung masalah korupsi dan kolusi dengan oknum-oknum pejabat yang mengakibatkan mereka harus mengembalikan harta yang telah mereka timbun ke Negara.
Karena kondisi tersebut membuat kedua orang tua tersisih dari pergaulan internal keluarga Wiraja. Beruntunglah Wulandari memiliki kecerdasan dan kemampuan sehingga dipercaya untuk menjadi direktur pemasaran di PT. Bintang Persada salah satu anak perusahaan keluarga Wiraja.
Saat ini Wulandari tengah berpacaran dengan Alexander Gunawan, pengusaha muda yang sukses dengan usaha market place nya.
\===o0o===
“Mama aku pulang…” Teriak Wulandari seraya membuka pintu rumahnya.
Dilihatnya sang mama hanya menoleh sekilas lalu segera beranjak mengambil tas kecil yang terlihat mewah dan maha.
“Ah, untunglah kamu sudah pulang sekarang. Oh ya apa kamu sudah transfer ke rekening mama? Sekarang mama mau pergi arisan nih.”
“Ih mama, putrinya yang cantik ini pulang ga ditanya kabar malah tanya transferan. Gimana sih?” Sungut Wulandari sambil memanyunkan bibirnya.
“Iya… iya… syukurlah kamu udah sampai rumah dengan selamat. Tapi kamu ga lupa kan masalah transferan itu?”
“Masa minta sama Wulan sih ma, minta sama papa dong.”
“Kamu ini! Papamu itu sudah ga berguna dan ga bisa diharapkan lagi. Udah miskin.” Sengit Amara pada putrinya. “Ayolah Wulan, mama harus buru-buru nih. Mana kunci mobilmu, mama akan berangkat sekarang. Dan mama ga mau tahu, nanti saat mama arisan di rekening mama harus sudah ada dua puluh juta. Biar mama ga malu sama teman-teman mama.”
“Aku ini putrimu ma… bukan sapi perah.” Jawab Wulandari dongkol tapi tetap saja dia menyorongkan kunci mobil kepada mamanya.
“Ya iyalah, ini hutang kok. Nanti akan mama ganti setelah uang dari nenek pelit kamu itu mama terima di akhir bulan.” Jawab Amara dengan nada tinggi. Sekarang ini keluarganya hanya bisa mengandalkan uang jajan tiga
puluh juta perbulan yang diberikan oleh ibunya.
Uang itu adalah bentuk subsidi keluarga. Walaupun begitu si penerima subsidi akan selalu mendapat kata-kata pedas hinaan saat uang subsidi keluarga diberikan.
Amara segera pergi begitu menerima kunci mobil dari putrinya.
Wulandari dengan perasaan dongkol segera meraih handphone nya dan membuka aplikasi m-banking lalu mentransfer sejumlah uang ke rekening mamanya.
“Eh Wulan kamu sudah pulang nak?” Suara Dedi Anggoro papanya menyapa.
“Iya pa, tapi belum sempat duduk udah kena palak mama.”
“Ya sudah kamu berikan saja, daripada mamamu mengomel tiga hari tiga malam, apa kamu sanggup nantinya?”
Wulandari begidik membayangkan kalimat papanya. Dia pernah mengalaminya dulu sewaktu kuliah. Mamanya seolah mempunyai mempunyai tenaga berlebih kalau sudah mengomel karena tidak kesampaian apa yang sudah dia inginkan. Dari bangun tidur sampai tidur lagi mamanya mengomel tiada henti.
“Ini adalah kesalahan papa! Karena usaha papa yang bangkrut semuanya. Jadinya Wulan yang harus menanggung beban gaya hidup mama. Dasar papa miskin! Tak berguna! Wulan jadi ikutan kena getahnya deh!” Kata Wulandari tanpa memikirkan perasaan papanya, dia berlalu masuk kedalam kamarnya.
Dedi Anggoro hanya bisa terduduk menerima hinaan dari putri sulungnya itu. Hatinya tersayat, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sudah hafal betul dengan perangai putri-putrinya dan istrinya. Karena ini merupakan didikan keluarga Wiraja.
\===o0o===
“Kamu ini bikin kopi saja ga becus! Dasar orang miskin. Aku tahu kamu ini ga pernah minum kopi di café-café yang mahal. Tapi ga begini juga kali buatin aku. Salah satu direktur disini.” Maki Wulandari pada ob yang membuatkan kopi untuknya.
“Ma-maaf bu.” Jawab sang ob sambil menangis
“Maaf… Maaf. Dasar orang miskin dan hina. Kamu tahu perusahaan akan kehilangan omzetnya jika kamu suguhi minuman rasa taik ini.” Wulandari melanjutkan makiannya pada ob. “Pake nangis lagi. Kamu anggap ini sinetron. Orang miskin nangis lalu banyak yang nolongin? Ngimpi kamu! Udah sana pergi, pengen muntah aku ngelihat mukamu.”
Dengan penuh rasa marah ob itu keluar dari ruang kerja Wulandari. Tangisnya belum berhenti, namun dia berjalan mantab ke ruangan HRD. Dia akan mengundurkan diri, sudah lelah dia mendapatkan cacian dan hinaan ini dari direktur di lantai lima gedung ini.
“Pfft… Bu Wulandari selalu seperti ini. Sejak dia menjabat direktur pemasaran, sudah berapa kali aku harus mencari ob baru. Semuanya mengundurkan diri, tak tahan dengan hinaan dan caci maki. Emang tugas di HRD hanya mencari ob baru?” Gerutu manajer HRD setelah menerima pengunduran diri sang ob. “Sekarang harus bikin laporan lagi ke pak Dino perihal ini. Capek deh.” Gerutunya lagi.
Bersambung…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!