...****************...
"Kelam!"
Siang ini terasa berbeda, langit yang cerah berubah cepat menjadi gelap, di temani gerimis membasahi ubun-ubun kepalaku.
"Arrrgh!"
Semua hal berkecamuk memenuhi kepalaku, aku bahkan tak bisa berfikir jernih lagi.
Aku bergerak lebih cepat dan melihat awan gelap yang seolah-olah ikut menemani di atas kepalaku, pandanganku memburam.
Melangkah lebih jauh, semakin berat badan yang kubawa terus dan "Tak...tak...tak..." tujuanku semakin dekat.
"Huftt," aku sampai dengan nafas tersengal.
"Sedikit lagi."
Pandangan yang sangat luas, seluas bagaimana aku akan mengikhlaskannya...ingin terlepas jauh merasakan seluruh rasa tubuhku berlomba-lomba mencapai ujung syaraf otakku.
"Ya! Ini saatnya... seluruhnya."
"Brrukkk!"
Di sahut sambaran petir diujung sana.
Semakin deras hujan turun, semakin pekat awan sendu, saat semua melindungi diri dari hujan memayungi setiap langkah tergesa.
Perlahan menetes membasahi pelipisku dan rasa hangat terus berjalan melewati pipi dan leherku, ini menjadi kenyataan dan aku bicara pada keheningan.
Di sisi lain.
Wah, akan hujan deras sebentar lagi. Aku kini berlari menuju restoran padang.
"Ya, satu lagi orderan terakhirku memesan nasi padang buat Mbak Tisca," ucapku di dalam hati.
"Jangan lupa, jangan pakai sayur nangka ya Uni," sahutku.
Aku memesan dan menyebut nasi satu setengah porsi dengan lauk ayam bakar, peyek udang, sambal hijau, berbagai macam siraman kuah dan lalapan pada Uni.
"Makasih ya."
Ucapku seraya memberikan uang Rp 50.000 ke meja kasir, dan aku langsung menerima kembalian Rp 12.000 tanpa bertanya berapa harganya terlebih dahulu, karna memang sudah langganan.
Ya, restoran padang di tempat ini memang terkenal enak dan lumayan mahal harganya, dan salah satu langganan di kantor yang sering memesan adalah Mbak Tisca seorang Manager Marketing di kantor.
Aku sangat menyukai bekerja di tempat ini, bisa menjadi Office Boy di perusahaan ternama di Jakarta adalah pekerjaan pertamaku setelah lulus, dan tak terasa aku sudah menjalaninya hampir tiga tahun bekerja.
Teman-teman di lingkungan bekerja juga sangat baik padaku, pekerjaannya tak terlalu sulit yang utama adalah tepat waktu, jujur, disiplin, dan bertanggung jawab.
Dengan bekerja di sini aku bahkan bisa menghemat gajiku karna aku memilih kosan di dekat kantor, aku cukup berjalan selama 20 menit dari kostan.
Hujan mulai turun, dan terlihat kilat dan petir yang saling bersahutan. Aku berlari dengan payung di sebelah tangan, sementara tanganku lainnya menggengam berbagai pesanan karyawan di kantor.
Aku berjalan tergesa, menaiki beberapa tangga pendek menuju lobby dalam kantor sedikit berlari menuju lift dan menekan tombol lantai 7.
Ya, aku membayangkan setelah mengantar makanan-makanan ini ke pemesannya, setelah itu aku langsung bergegas ke ruang pantry untuk menyantap bekal makan siang yang tadi pagi kubawa.
"Tringg"
Pintu lift terbuka.
Saat kulihat tak ada seorangpun di dalam lift yang keluar, aku bergerak masuk.
Tiba-tiba seorang wanita mendahului langkahku masuk kedalam lift, aku hanya melihat ujung sepatunya saja tanpa sempat melihat wajahnya.
Pintu lift seketika tertutup.
Dengan sedikit berteriak aku memanggilnya. "Hey? Nona...tunggu..."
"Ah, anehnya wanita itu, sudah sedari tadi aku di depan lift tahu-tahu dia langsung menyerobot masuk!"
"Apa dia tidak melihatku yang sedang membawa banyak pesanan?" aku menjadi sedikit kesal.
Ku perhatikan layar kecil digital di atas pintu, menunjukan ke lantai berapa yang akan wanita itu tuju.
15
16
17
Itu adalah lantai paling atas tempat ruang Presiden Direktur serta beberapa pejabat penting di gedung ini, dan tepat di atasnya berada rooftop yang terhubung melalui lantai 17.
"Mau apa wanita itu? apakah dia juga karyawan di lantai 17?"
"Aku tak pernah melihat dan mengenalnya selama aku bekerja disini."
Tapi Daren menyadari itu bukan urusannya, siapapun ia wajib hormati di kantor ini, karna Daren sendiri juga memilih agar orang lain tak harus mengetahui soal kehidupan pribadinya.
...****************...
...Tentang Daren...
Daren berasal dari kota Bandung, dari kecil Daren sudah kehilangan Ayahnya lalu bersama Ibu dan keluarga dari Ibunya Daren tumbuh besar menjadi pribadi yang mandiri, dan senang bekerja keras, karna ia melihat selama ini Ibunya seorang diri menghidupi dan memenuhi kebahagiaannya.
Sejak itu ia berpikir untuk memiliki usaha dengan uang hasil kerjanya sendiri, setelah lulus Daren langsung melamar kekantor ini lewat situs pencarian kerja di internet, setelah dinyatakan di terima bekerja Daren mulai membangun misinya yaitu ia bekerja dengan sebaik-baiknya, mendapatkan gaji setiap bulannya, mengumpulkan uang untuk membiayai kebutuhannya dan membuat usaha sendiri.
Semudah itu pikirnya.
...****************...
...****************...
Tiba-tiba terdengar suara wanita memanggilku lantang.
"Hei, Dar! kamu kemana aja sih? aku udah kelaperan nih, mana nasi padangku?" tanyanya.
"Eh, iya mbak Tisca, maaf saya lama datangnya, ini mbak nasi padangnya," sahut Daren cepat sambil memberikan bungkusan nasi padang yang di bawanya.
"Ya udah, makasih ya...soalnya aku tadi udah janjian makan siang bareng teman di lantai 3, enggak enak takut dia nunggu lama," lalu melambaikan tangan padaku.
Sepeninggalnya, aku langsung bergegas masuk kedalam lift yang sudah terbuka menuju lantai 7.
Sesampai di lantai 7, aku menyerahkan pesanan mereka ke meja masing-masing, dari tugasku mengorder makanan mereka suka memberikan aku tip minimal Rp 50,000 dalam sehari, lumayan untuk membeli keperluan di kostan, sebagai tambahan penghasilanku di luar gaji bisa aku gunakan untuk membeli token listrik dan juga air minum isi ulang.
Sebetulnya selama aku menjadi Office Boy, aku tak pernah meminta imbalan apa-apa, tapi mereka justru merasa tak enak hati kalau aku tidak menerima tip yang mereka beri.
Aku berjalan ke lorong di lantai ini menuju untuk kembali ke pantry, yang terletak di ujung lantai. Tak sabar ingin menikmati makan siang yang sudah kubawa tadi pagi.
Tiba-tiba aku merasa kaget!
"Brruukk!" bunyi yang sangat keras seperti beberapa sak semen terjatuh.
"Astaga! apa itu?" aku melangkah mencari sumber suara tersebut.
Aku mendengarkan dengan seksama, apa yang terjadi.
Lalu aku mendengar, ada suara meringis lirih dan saat masih mencari apa yang terjadi mataku tertuju pada pemandangan yang kulihat dari dalam jendela kaca besar yang membatasi lorong pantry dan balkon luar.
Tubuh seseorang jatuh di lantai balkon tepat di sisi ujung seberang ruang pantry.
Pertama kalinya Daren melihat kejadian seperti ini, matanya langsung tertuju pada sebelah kaki yang tersangkut pot besar di sudut balkon.
Sangat ngilu melihatnya.
Aku berlari menghampiri, melihat dengan seksama tubuh itu dan lalu perlahan memikirkan hal pertama apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya.
"Ternyata, seorang wanita!" besitku.
Karna rambut panjangnya tergerai menutupi sebagian wajah dan pipinya, dengan sangat hati-hati aku membalik bahunya yang menindih kedua tangannya telungkup, memikirkan entah di bagian mana ada banyak tulang yang patah, yang jelas aku berusaha membuat tubuh itu bisa berbalik untuk masih bisa bernafas!
Seketika darah segera mengalir di pelipis wanita tersebut jatuh melewati pipi dan kebawah lehernya.
"Ah! Apa yang terjadi pada wanita ini?"
Dan aku terlintas melihat ke sebelah kaki yang masih menyangkut di pot besar tersebut.
Hah!! kaki itu, kaki yang aku lihat saat akan masuk lift tadi dengan memakai sepatu itu.
"Benarkah!" pekikku kaget.
"Itu wanita yang sama?" pikirku kembali.
"TOLONG, SIAPAPUN!"
"TOLONG BANTU AKU!"
"TOLOONG!!"
Aku berteriak kencang, bahkan takut kalau sampai tidak ada yang mendengarku, yang aku takutkan wanita ini akan kehilangan banyak darah dalam beberapa menit ke depan dan tak tertolong.
Aku masih bisa mendengar suaranya lirih meringis.
"Tolong bantu wanita ini tetap hidup!" pintaku sungguh-sungguh.
...****************...
...RUANG ICU...
Berbagai bunyi alat bantu berdetak di ruang itu sayup mengikuti degupan jantungku yang belum beraturan hingga menit ini.
"Ya, sekarang wanita itu terbaring lemah dengan alat ventilator pernafasan di sebelah kanannya, dan ada selang yang masuk kedalam mulutnya."
Kondisinya kritis, dan belum sadarkan diri.
Terlihat beberapa luka di wajahnya di dahi, dan di bagian pelipis. Hidungnya pun penuh perban karna dokter bilang hidungya juga patah saat terjatuh terjerembab dari lantai 17.
"Ini bergantung pada keajaiban Tuhan, karna wanita ini mengalami banyak patah tulang mulai dari sebelah kaki kirinya, di beberapa tulang rusuk dan tangan kirinya karna terhimpit tubuh saat terjatuh, juga benturan di kepala bagian depan."
Dokter mengatakan padaku :
"Entah bisa bertahan berapa lama tubuhnya bisa menanggung luka-luka yang menimbulkan nyeri dan sakit yang luar biasa, terlebih itu didalam tubuh seorang wanita."
Beberapa tulang sudah di operasi, tadi Dokter juga mengatakan jika nantinya wanita ini sadar dan kondisinya sudah stabil akan diperlukan beberapa operasi lagi untuk penyembuhan tahap selanjutnya, sambil menunggu hasil CT Scan.
Aku melihat suster di dalam menyuntikkan beberapa obat pada infusnya, aku juga melihat ventilator bekerja sebagai penopang yang membantu pernafasannya.
Semoga ada keajaiban. Semoga!
Aku sendiri ikut merasa ngilu sekali membayangkannya.
"Ah! aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, karna kecelakaan atau karna wanita ini telah berbuat nekat!" gumamku lirih.
Aku terus mengamatinya dari luar kaca, memandangi wanita itu berjuang sendiri di dalam, bahkan sampai saat ini belum ada keluarga yang mengunjunginya, sangat aneh.
Aku tidak mengenalnya, dan aku belum pernah melihatnya selama bekerja di kantor itu, aku membawanya ke rumah sakit agar wanita ini segera ditolong, kalau tidak aku takut lukanya akan semakin parah.
Masih terpikir olehku, mengapa aku tidak bisa mencegahnya untuk masuk lift. Aku jadi merasa bersalah!
"Argh! harusnya aku bisa menahannya untuk mendahuluiku, karna dia menutup lift dengan cepat..."
Terasa kepalaku berat, merasakan tenggorokan ku yang sangat kering dan berhembus angin dari pendingin udara yang berada di ruang tunggu ini, membuatku terdiam dalam sunyiku, sangat lelah!
...****************...
...****************...
...ICU Premium Royal Hospital...
...Ruang Tunggu VVIP...
"Maaf, permisi Tuan."
Sapa seseorang sambil menepuk pundakku , seketika aku membuka mata yang entah sudah berapa lama aku memejamkannya.
Tanganku pun masih terlipat erat didepan dadaku, aku memaksa kan melihat ke arah atas orang yang menyapaku.
"Ah ya, ada apa?" sahutku sembari ku mengusap kedua mata dengan tanganku perlahan.
"Maafkan saya sudah membangunkan Tuan," ujarnya.
Aku mengingat-ingat apakah aku kenal dengan orang ini sebelumnya...Tapi, sepertinya tidak!
Pria itu terlihat rapi memakai setelan jas hitam tanpa berdasi, perawakannya tinggi dan gagah.
Membawa serta Tab di tangan kanannya, tidak terlalu tua, dan bicaranya tegas tapi tidak sampai terdengar beberapa perawat yang lewat.
Di belakangnya ada dua orang berdiri dengan pakaian yang hampir sama. Mirip Bodyguard menurutku, tapi siapakah dia?
"Saya mewakili atas nama Tuan Besar, mengucapkan Terima Kasih karna anda sudah menolong Nona Shyla."
"Semua biaya rumah sakit sudah di bayarkan, dan saya sudah mengirimkan $ 5000 ke rekening tuan, sebagai tanda ucapan terima kasih Tuan Besar kepada anda," sambil menyodorkan bukti transfer di layar Tab padaku.
"Pesan Tuan Besar hanya satu, siapapun tidak boleh ada yang mengetahui kecelakaan ini selain pihak rumah sakit!" ujarnya serius dengan sorot mata tajam.
"Saya akan memantau anda, memastikan anda menjaga Nona dengan baik!" Tegasnya.
"Emm, tapi saya belum paham maksud anda?" Daren beranjak dari kursinya.
"Maaf, tapi anda ini siapanya? Lalu yang anda maksud Tuan Besar itu siapa?" tanyaku cepat.
Bukannya menjawab pria itu malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain.
"Silahkan anda gunakan isi di dalam koper yang sudah kami siapkan," sambil menunjuk ke satu koper berukuran sedang berwarna hitam lalu beberapa bungkus plastik besar berlogo restoran cepat saji dan beberapa paper bag berlogo swalayan ternama, yang sudah berbaris rapih di sebelah kanan tempat dudukku tadi.
Aku menoleh heran dan masih tidak mengerti apa maksudnya...aku juga ingin bertanya dari mana orang itu tahu nomor rekeningku?
Setelah itu aku melihat pria itu dan dua orang di belakang yang mengikutinya sudah berlalu pergi.
"Hey! Tunggu!"
Aku bergegas keluar ruang tunggu mengejar pria itu, namun setelahnya seperti hilang ditelan bumi aku sudah tidak bisa menemukannya berjalan entah ke arah mana mereka pergi.
Padahal tak ada selisih waktu lebih dari dua menit aku mengejarnya.
"Hufft!"
Aku memejamkan mataku, seraya mengusap wajahku. Berusaha mencerna sendiri apa yang barusan terjadi, dan aku segera membuka mataku kembali secepatnya, karna ada seseorang memanggilku lantang.
...****************...
...Paviliun Rumah Sakit...
Ternyata perawat dari ruang ICU.
"Oh iya ada apa sus?" tanyaku.
"Maaf pak, anda di cari oleh Dokter Barry segera langsung ke ruangan 805 ya. Ada yang ingin di bicarakan," ujar perawat itu.
"Oh, ok baik sus. Terima kasih," jawabku.
Aku segera melangkahkan kaki ke ruang 805. Ruang Dokter Barry, Dokter Spesialis Neurologi, dari sekian Dokter yang menangani wanita itu, baru kali ini aku di panggil khusus ke ruangannya.
"Apakah keadaanya memburuk?"
...****************...
Aku masih seperti mimpi di siang bolong, di dalam hidupku saat aku merasa tidak enak badan, aku cuma butuh obat warung untuk meredakan sakit dan juga berharap tidak pernah menyentuh rumah sakit untuk penyakit yang serius.
Tapi kali ini, aku bahkan sampai harus di hadapi bertemu beberapa dokter dan ikut berkonsultasi.
Dokter mengatakan akan melakukan berbagai cara agar wanita ini sembuh, bangun dari koma dan melewati masa kritisnya.
Saat ini yang kupikirkan adalah pekerjaanku, bagaimana dengan teman-teman di kantor, dan ia juga masih bingung alasan apa yang akan ia pakai untuk mengajukan cuti nanti, terlebih aku mengingat kembali apa yang di ucapkan pria tadi.
"Pesan Tuan Besar hanya satu, siapapun tidak ada yang boleh mengetahui kecelakaan ini selain pihak rumah sakit!"
"Argh! semakin bingung diriku."
...****************...
3 Hari Kemudian
Sudah tiga hari aku di sini, dan aku pasrah jika orang kantor akan memecatku, tapi bagaimana dengan kelanjutan hidupku.
Pak Seno, adalah Supervisor yang cerewet dan suka memberi keputusan sepihak, bahkan pernah gaji temanku sesama Office Boy di potong dan tidak mendapatkan uang makan selama satu bulan, hanya karna ia membelikan sambel matah di toko lain, bukan ditempat yang biasa ia beli, tentu hal itu sangat tidak beralasan bagiku.
Tapi bagi Pak Seno, itu adalah kesalahan fatal karna tidak menuruti perintahnya.
Setelah beberapa jam pikiran ku melayang dan jadi enggak karuan. Aku perlahan menuju keruang tunggu ICU.
Setelah aku keluar dari Ruang Praktek Dokter Barry, aku tak sadar telah memutari satu lantai gedung rumah sakit ini beberapa kali.
"Seluas itu hanya dalam satu lantai."
Saat tiga hari lalu aku membawa wanita itu ke rumah sakit, beberapa orang berpakaian serba hitam membantuku memanggil ambulan dan mengamankan lokasi jatuhnya wanita itu. Tidak banyak orang yang melihat, karna waktu itu memang masih waktu jam makan siang.
Lokasi balkonnya juga jauh dari pantauan jendela di setiap lantai, karna tertutup tanaman rambat yang tinggi menjulang serta tertutup beberapa gazebo yang biasa di gunakan karyawan untuk merokok, menikmati minuman, dan mengobrol, tidak begitu ramai.
Dan demi menjaga privasi dan kenyamanan di gedung itu, seorang pria berjas hitam menyuruhku untuk ikut ke dalam ambulance.
Bahkan wanita itu di angkat petugas ambulan dengan menggunakan lift khusus barang yang sudah di koordinasi sebelumnya agar dari lantai bawah dan dari lantai atas tidak ada yang menggunakannya.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!