"Dilaporkan dari Surabaya. Seorang Putra tunggal dari Toni Wijaya salah satu orang terkaya di Indonesia mengalami kecelakaan tunggal yang fatal, pada subuh pagi tadi. Diduga karena korban mengantuk, sehingga menabrak pembatas pintu tol. Korban dibawa ke rumah sakit karena mengalami luka luka yang serius. Demikan lintas berita TV siang ini, selamat siang"
Begitulah berita yang terdengar ditelinga Jovi,Fictor nampak begitu bahagia mendapati berita yang sudah berkali kali ditonton lewat siaran ulang youtube.
Didepan laptop berwarna abu-abu, tawanya tak henti-henti mereda hingga terasa memenuhi ruangan kantor. Sesekali telapak tangan itu, mengarahkan kursor lagi-lagi hanya untuk berita yang sama.
"Rasain nggak lo,akhirnya Tuhan ngejawab doa doa gue,kapan lagi lo cidera parah hahaha," kata Fictor.
Dirinya menertawai foto Ernest didalam berita tersebut.
"Itu yang terkenal, dengan sebutan tuan muda ya pak..??," tanya Jovi tidak lain adalah sekertarisnya sendiri.
"Apa ?? tuan muda?? cuiihh," sahut Fictor, sembari mengibaskan dasi merah yang dikenakan.
"Asal lo tau Jov, sebenernya dari jaman kuliah gue ini lebih terkenal dari dia, cuma gara-gara bapaknya, pinter nikung tander tander proyek papa gue, ngebuat dia jadi lebih terkenal," ucap Fictor.
Dia mencoba membuat Jovi mempercayai. Jovi tampak meng"iya"kan, apa yang didengar telinganya dari Fictor,tidak lain adalah atasan Jovi sendiri.
Laki laki dengan umur 28 tahun tersebut, sudah sukses menduduki jabatan Manager sejak 4 tahun lalu. Dirinya adalah, salah satu bussnismen muda di Surabaya.
Meski mereka dulu pernah berada pada sekolah yang sama pada saat SMA. Semua itu, lantas tidak membuat Jovi. beranggapan Fictor adalah temannya.
Jovi tetap menganggap Fictor, sebagai atasan dan Jovi sebagai bawahan. Walaupun aktivitas kerja antara kedua'nya sudah sama-sama lama.
Selama beberapa tahun menjadi sekertaris Fictor, suasana tetap formal seperti 2 tahun lalu.Tidak ada yang berubah, meski beberapa kali Fictor menyuruh Jovi merubah sikap.
Perusahaan yang di pimpin Fictor tersebut, telah sukses besar menduduki ratting tertinggi nomor 2 dalam pencarian developer terpopuler tahun ini.
Namun Semesta Group, masih harus bekerja keras. pasalnya ratting pertama paling populer, dalam pencarian 5 tahun terakhir, adalah perusahaan milik keluarga besar Ernest Wijaya.
Ernest Wijaya, adalah teman kuliah Fictor. Saat berada di Universitas Indonesia. Salah satu Universitas ternama, di negara Indonesia.
"Setidaknya, kecelakaan yang menimpa Ernest minimal jadi balasan. Dulu pernah nabrak Helen, sampai meninggal. dan sebetulnya itu belum seberapa..!!!," ucap Fictor.
Dia meremas kedua tangan, diatas meja, matanya berbinar mengingat kejadian 3 tahun silam. Semua tetap segar di ingatan Fictor.
"Helen sudah tenang dialam sana pak, mungkin dia nggak bakalan suka, ketika Bapak membahas ini lagi," jawab Jovi berusaha menenangkan.
"Lo nggak usah sok deh Jov, lo itu sadar diri harusnya. Perusahaan kecil papa lo nggak bakal bisa jalan lagi, kalau bukan karena papa gue. utang numpuk udah gitu sok nasehatin," sindir pedas Fictor menunjuk muka Jovi.
"Maaf pak," jawab Jovi bernada ketakutan.
Jovi lalu menunduk tanpa bergema satu patah katapun. Fikirannya tanpa disuruh, sudah kembali flashback. Mengingat bagaimana Om Purwo ayah Fictor, datang memberikan bantuan untuk melunasi hutang papa Jovi.
Hutang itu karena ditipu, bahkan untuk makan saja, keluarga Jovi hampir tidak bisa pada waktu itu. Mengharuskan Jovi, ikut menjadi tulang punggung keluarga.
"Bagus kalau loe sadar diri. Loe itu harus nurut sama gue, nggak bakalan ada perusahaan sebaik perusahaan gue, terhadap keluarga loe. Ingat itu." ucap Fictor memicingkan mata.
Meski bukan bantuan uang dari Fictor sendiri, namun hal itu sering dijadikan senjata Fictor, untuk melemahkan Jovi dan menuruti semua keinginannya.
Jovipun tidak ada pilihan lain, selain mengalah, dan tetap menjaga hubungan baik dengan keluarga Fictor. Semua membuat Jovi tidak berdaya.
************************
Setelah beberapa hari, media telah memberitakan kecelakaan Ernest berturut-turut. Fictor masih saja tidak puas, dengan kabar perkembangan Ernest. Atas kecelakaan yang dialami Ernest, hingga hampir merenggut nyawanya.
Fictor terlihat berdiri didepan meja kerja Jovi, dengan ponsel yang dipenuhi berita Ernest. Sesekali mata Fictor, mengarahkan pandangan kearah komputer disebelah Jovi.
Matanya tiba-tiba tertarik, membaca salah satu artikel yang berjudul.
Tak Kunjung Membaik,Toni Wijaya membutuhkann suster pribadi untuk "Tuan Muda"
Tidak berselang lama, langsung terdengar tawa Fictor. Hampir saja menyeruak keluar ruangan. Hingga sebagian meja kerja, tengah diduduki Fictor, tergoyang-goyang oleh badan besarnya.
"Hahaha gila..., terus apa gunanya?? perawat rumah sakit sebanyak itu di RS Wijaya?? Udah ngalah ngalahin bayi aja, pakai ada perawat pribadi," ucap Fictor menepuki pundak Jovi.
Perempuan berambut panjang itu, nampak sabar menghadapi perlakuan atasannya selama ini. Mungkin hanya Jovi lah, yang tetap kuat menjadi Sekertaris pribadi Fictor, lengkap bersama sikap angkuh Fictor.
"Mungkin harusnya, Ernest Wijaya di taruh panti jompo saja pak," imbuh Jovi terkekeh membuat Fictor senang.
"Hahaha bukan mungkin lagi Jov, tapi emang harusnya tempatnya dia disitu," Fictor tertawa keras.
''Lagian, mungkin nggak bakal ada suster yang mau ngerawat dia, kalau bukan yang udah renta, tinggal setahun lagi pensiun," imbuh Fictor duduk diatas lengan kursi Jovi.
Ola yang berada disamping meja kerja Jovi, melihat semua itu, hanya melirik sinis ke arah Fictor.
"Emang Ernest kayak dia?? kejem kayak setan hiii..," batin Ola dalam hati.
Jovi sedikit menggeser tempat duduknya. Nafas besar yang keluar dari mulut Jovi, seolah mengharap Fictor agar segera pergi dan tempat kerjanya.
Sayangnya, Fictor justru langsung menunjuk notifikasi kecil di komputer. Menepuk berkali pundak Jovi, untuk segera mengetahui isi notifikasi tersebut.
" DIBUTUHKAN SUSTER PRIBADI UNTUK RAWAT JALAN ERMEST WIJAYA BERIKUT KUALIFIKASINYA"
Sikap Jovi masih teramat sabar mengahadapi Fictor, matanya membaca teliti beberapa kualifikasi, yang ditentukan oleh pihak Rumah Sakit Wijaya.
Untuk menjadi suster Ernest, ada salah satu kualifikasi yang menunjukkan. Dimana harus lulusan, dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jaya Surababaya.
Fictor bergumam kecil, melirik ke arah Jovi. Mengenakan baju berwarna putih, berhias pita, pada bagian kerah lehernya.
Gelang perak warna putih, pada pergelangan tangan kanan Jovi. Sesekali memancarkan cahaya, terpantul sinar lampu ruangan kantor.
"Jov, kalau nggak salah loe dulu kuliah Stikes Jaya kan?," tanya Fictor sedikit canggung.
"Iya ya gue ingat, loe lulusan Stikes Jaya," imbuhnya lagi, tanpa ada jawaban terlebih dulu dari Jovi.
Jovi menganggukkan kepala, sembari mengangkat kedua alisnya. Jovi yakin, Fictor tidak mungkin lupa. Jika Jovi lulusan mana??.
Sementara karena Stikes Jaya lah, Fictor membawa Jovi, untuk bekerja ke Perusahaan Semesta Group. Semua dilatar belakangi karena dendam Fictor.
2 tahun yang lalu, kecelakaan yang melibatkan Ernest, hingga menewaskan Helen kekasih Fictor. Selalu melatar belakangi, keinginan Fictor. Untuk menghancurkan segala bisnis, yang berada dibawah naungan Toni Wijaya.
Waktu itu, Fictor melakukan negosiasi. Dengan kurang lebih 12 calon perawat baru, yang sudah di rekrut RS Wijaya. Sudah siap kerja, termasuk Jovi dan juga Ola.
Jovi ingat betul, Fictor menawarkan posisi kerja, di bagian staff tanpa seleksi. Di perusahaan Fictor, pada saat itu, nilai gajinya sangat fantastis, menjadi daya tarik sendiri.
Semua itu, hanya untuk angkatan perawat seusia Jovi. Dimana, sehingga hal tersebut. Bisa sedikit membantu Jovi, untuk melunasi hutang papanya.
Hal tersebut lantas membuat Jovi dan Ola, lebih memilih bekerja di Perusahaan yang Fictor pimpin. Ketimbang menjadi perawat di RS Wijaya.
Kekurangan perawat, yang didalangi oleh rencana jahat Fictor. Semakin membuat RS WIJAYA, berada pada tekanan. Belum lagi berita hoax, mengabarkan bahwa, management RS Wijaya sangat buruk.
Tuduhan korupsi yang ditujukan pada keluarga Toni Wijaya, hingga mal praktik, disebar Fictor begitu cepat. Semakin membuat RS Wijaya, dalam kondisi naik level. memiliki komplain terbanyak selama 2 tahun terakhir.
RS Wijaya pun mengalami devisit, pada tahun 2016. Dan mampu bangkit pada tahun 2017, menerapkan pelayanan yang lebih tinggi. Serta rekrutmen perawat baru.
Dengan sistim penandatanganan kontrak, semua tidak akan ada kekeliruan lagi. Sehingga kejadian pada beberapa tahun silam, tidak terulang lagi.
"Jov Jov, gimana kalau loe daftar jadi susternya si Ernest, gue yakin lo bakal ketrima ahh cocok," Fictor bersemangat.
"Maaf pak, tapi saya keberatan untuk itu. lagian saya sudah lupa, sama ilmu ilmu kesehatan," sanggah Jovi tidak berharap banyak.
"Pokoknya loe harus tetep ikut, nah nanti gue bisa nyuruh lo nih, buat ngerjain si Ernest, atau kalau nggak gitu," Fictor terdiam.
"Bantu gue, buat dia ketemu sama Helen disana hahaha," lanjut Fictor.
Dirinya memelototi Jovi, lalu mulai menghilangkan diri, lewat pintu kantor. Ola yang melihat Fictor pergi, langsung berbisik ke arah Jovi.
"Jovi, gue nggak ngebayangin loe jadi susternya si Tuan muda, jangan dengerin bos loe yang stress itu," kata Ola.
"Mending loe jangan mau deh," lanjut Ola menasehati.
"Tapi ol, gue takut.. loe tau kan gimana kakunya si boss, setiap apa yang diperintahkan, harus sesuai dengan keinginannya," jawab Jovi terkulai lemas dikursi.
"Joviiii... loe nggak inget, gimana dinginnya si Tuan muda. waktu kita praktek kunjungan ke RS Wijaya, bisa mati kutu loe sama sikap dia," Ola menepuk paha Jovi.
Ola dan Jovi sedikit banyak mengetahui, bagaimana sikap Tuan Muda, yang terkenal dingin serta perfeksionis. Saat berkunjung ke Rumah Sakit atau kampus Jovi.
Namanya Ernest tidak akan asing, oleh alumni Stikes Wijaya. Sebab sudah bukan rahasia lagi, jika Stikes Wijaya, RS Wijaya, adalah milik keluarga besar Ernest.
"Terus gimana ol?? gue nggak ada pilihan lain, hutang papa masih banyak juga ke Om Purwo," keluh Jovi menekuk wajahnya diatas meja.
"Tapi harusnya Fictor itu, jangan begitu. Dia membuat hutang papa loe, sebagai senjata buat nurutin segala keinginannya," tukas Ola kesal.
"Lagian dendam dari jaman dulu, kenapa juga nggak hilang-hilang?? padahal udah jelas, polisi bilang yang ngebawa mobil bukan Ernest, tapi temennya," Ola membahas kejadian silam.
"Bilang aja, kalo dia gak bisa terima kenyataan," gerutu Ola keras kepada Jovi.
"Husssttt pelan pelan nanti pak Fictor datang," Jovi memperingati Ola.
Jovi lalu menyembunyikan wajah di antara kedua tanganya, beberapa butir keringat dingin, mulai terlihat menurun hingga mata Jovi.
Pikirannya mulai dihinggapi rasa kacau, pertanyaan-pertanyaan sulit. Rambut Jovi berlarian, mengikuti udara AC, keluar dari mesin pendingin di kantornya.
Bagaikan masuk ke dalam kandang singa, pilihan itu sulit ditolak oleh Jovi. Hutang budi yang di tanggung selama ini, membuat Jovi harus rela di perbudak oleh Fictor. secara terus menerus.
Namun sayang, tangannya tidak sejalan, dengan apa yang menjadi pikiran Jovi. Tangan mungil Jovi, justru meraih mouse dan melakukan pendaftaran di via internet.
Jovi membuka dompet di lacinya, mencari KTP lama, serta melampirkan identitas tersebut. Salah satu persyaratan, sebagai pendaftar perawat untuk Tuan Muda.
Tatapan kosong Jovi mengarah kearah pintu, lagi-lagi membayangkan bagaimana Fictor, menanyakan kembali. Tentang pendaftaran perawat untuk Tuan Muda atau Ernest.
Jovi berharap tidak ada tamparan, yang mendarat lagi ke pipi putihnya. Setelah dia mendaftarkan diri ke Lowongan tersebut. Dan menuruti kemauan Fictor.
Mata Jovi berkaca lagi, saat mengingat kembali Fictor. Atasannya itu, pernah menampar Jovi. sebab Jovi tidak mau menjadi pacar Dion, teman lelaki Fictor.
Dion adalah laki-laki berperawakan tinggi, tubuhnya penuh banyak tato, dan Dion menyukai Jovi. Sehingga Jovi mau tidak mau, harus menerima cinta laki lali bertato tersebut.
Hari ini, setelah data diri, yang Jovi ajukan. Kepada email milik RS Wijaya, kini sudah terlihat membuahkan hasil. Jovi dibebas tugaskan oleh Fictor, untuk menghadiri interview, yang diadakan pada pagi ini.
Sudah lama, Jovi tidak pernah melakukan interview, setelah berhasil masuk ke Perusahaan Fictor. Matanya nampak kebingungan, mengenakan setelan pakaian, memilah yang akan Jovi gunakan pada interview.
Dipilihnya rok warna cream, berukuran dibawah lutut, terpadu dengan atasan putih bermotif lingkaran. Rambut panjang Jovi, terikat jepit hitam kebelakang.
Dandanan Jovi begitu sederhana, namun membuat Jovi tetap terlihat cantik. Perempuan bermata sipit tersebut, membawa tas selempang putih, dibagian tangan kanannya. Berjalan menuju ke arah Aula RS Wijaya.
Kaki kanan kirinya seolah berlomba, memasuki Aula RS Wijaya. Yang dulu tempat ini, tidak begitu asing bagi Jovi. Setelah 7 tahun, kini Aula rumah sakit tersebut tampak lebih bagus, dengan interior baru disetiap sudut ruangan.
Tiga ruangan, yang dulu sebagai tempat PKL mahasiswa. Kini sudah berubah, menjadi ruang praktik poli bedah di RS WIJAYA. Beberapa bangunan baru juga terlihat di pandangan matanya.
Begitu banyaknya pelamar yang lolos, terhadap tahap seleksi. Semakin membuat aula rumah sakit, terasa pengap. Apalagi AC ruangan, yang hanya menjangkau berapa derajat celcius udara.
"Pokoknya loe harus lolos buat jadi susternya Ernest. kalau nggak gue bakal potong gaji loe"
Bunyi pesan Fictor yang terbaca diponsel Jovi, pagi ini masih terngiang-ngiang di ingatan perempuan cantik itu. Jovi mengembalikan ponselnya ke dalam tas, meski pikirannya tetap mengingat, pesan terakhir Fictor.
Dari sekian pelamar yang dilihat Jovi, sama sekali tidak ada teman seangkatannya. yang ikut mendaftarkan diri, sebagai suster untuk Ernest Wijaya.
Walau begitu, masih saja lautan manusia berada disini semua. Bahkan ada yang tidak segan-segan, berpenampilan seperti artis menggunakan gaun-gaun mahal.
"Eh aku udah cantik belum si?," tanya seorang pelamar wanita menepuk pundak Jovi.
"Cantik kak," ucap Jovi memuji lalu tersenyum.
Jovi memandangi, pelamar wanita yang tidak lepas dari kaca di tangannya tersebut.
"Eh, kamu harusnya lipstiknya ditambahin dikit, biar sedikit menggoda Tuan Ernest nanti," imbuh pelamar lain disebelah Jovi.
"Hehehe nggak kak, lagian aku juga nggak bawa alat make up," Jovi tersenyum kurang nyaman.
'Ini ambil aja, aku bawa lipstik banyak kok," jawab pelamar itu, memberikan lipstik ketangan kanan Jovi.
"Iya nih, kamu kurang menggoda, dandanan kamu terlalu biasa," kata pelamar lain, tak kalah memakai baju seksi.
"Udah, ini pakai aja," ucap pelamar dengan kaca ditangan, masih memaksa Jovi.
"Apa apa'an ini??, kalian dandan seperti akan mengikuti casting film, bukan sebagai suster untuk saya," ucap seorang laki-laki.
Kata-kata itu sontak menarik perhatian, para pelamar, yang berada didalam Aula rumah sakit. Bukan hanya para pelamar, Jovi juga ikut menoleh ke arah laki-laki iyu. Yang ditaksir berumur 28 tahun tersebut.
Walaupun ada beberapa sayatan luka, bekas memar diwajahnya. Namun ketampanan laki laki tersebut, tidak bisa tersembunyi.
Hidung mancung, kulitnya yang putih bersih, serta bibir merah alaminya. Sangat begitu menawan dimata para kaum perempuan. Terutama yang melamar pagi ini.
Ternyata laki-laki tersebut, tidak lain adalah Ermest Wijaya. Anak semata wayang, pemilik Rumah Sakit swasta terbesar dikota Surabaya itu. Serta beberapa perusahaan besar di luar kota.
Kursi roda hitam yang diduduki Ernest, lengkap dengan 2 pengawal dibelakangnya. Semakin meyakinkan para pelamar, jika laki-laki itu memang Ernest Wijaya.
Nampak laki-laki lebih muda, berusia 35 tahun, juga dikhususkan untuk mendorong kursi roda pagi itu. Suasana berubah hening dan mencekam.
"Pak, segera keluarkan mereka," tunjuk Ernest.
Ernest menunjuk, kepada pelamar perempuan, yang menggunkan gaun seksi. Polesan wajah yang nampak menor, juga ditebas Ernest untuk pergi.
"Attitude yang nol buat jadi suster, dandanannya malah seperti wanita murahan," kata kata itu keluar tanpa halangan dari mulut Ernest.
'Itu juga Pak, yang sembunyi dibelakang tembok," tunjuk tangan Ernest sangat teliti.
Kejadian yang didengar Jovi pagi ini, membuat Jovi menelan ludahnya sendiri. Jemari tangan yang menggenggam lipstik, pemberian pelamar lain tadi. Membuat perasaan Jovi semakin panik.
Seketika itu, matanya langsung tertunduk, tanpa berani melihat lagi. Apalagi memandang ke arah laki-laki, yang sedang duduk di korsi roda. Melihat pengawalnya saja, Jovi tidak berani.
"Hey kamu..!! hapus bibir kamu," giliran Ernest menunjuk ke arah Jovi.
Mata Jovi gelagapan, kepalanya kebingungan melihat ke kanan kiri, yang mana juga ada pelamar-pelamar lain. Tanpa menanyakan lagi, siapa yang dimaksud Ernest. Dirinya sudah ketakutan.
Jovi langsung menyapu bibir mungilnya, menggunakan tangan kanan. Wajahnya pucat pasi, ditunjuk oleh Ernest. Kepala Jovi, masih tidak bisa digerakkan. Hanya tangan kanannya, secara spontan, melakukan itu.
"Bukan kamu?? tapi belakang kamu..!! dasar bodohnya," Ernest menggelengkan kepala melihat kearah Jovi.
"Hey itu, kamu jangan sembunyi, saya tau," tunjuk Ernest lagi.
Dirinya mendapati, salah satu anak yang bersembunyi, dibelakang punggung Jovi.
"Maaf pak," Jovi menunduk kepala, meminta maaf.
Tetapi hal tersebut, diabaikan oleh Ernest.
"Maaf pak," sahut pelamar dibelakang Jovi, terlihat mengikuti.
Kemudian setelah itu, terasa satu persatu pelamar perempuan. Dikeluarkan Ernest dari aula rumah sakit. Terbabat habis oleh laki laki yang biasa disapa Tuan Muda tersebut.
Berkali-kali, punggung Jovi masih saja, ditarik kesana kemari oleh pelamar lain. Dengan maksud, agar terhindar dari pandangan Ernest. Dan nantinya, mereka masih bisa menghapus make up. Lalu mengikuti interview.
Selang tidak lama, seusai membuang pelamar. Yang berdandan kurang sesuai, keinginan Tuan Muda. Ternyata Ernest dan pengawalnya, kemudian pergi meninggalkan ruangan.
Terlihat, mereka semua melanjutkan jalan. Menuju ke arah ruang Ortopedi. Semua langsung, membuat lega para anak-anak pelamar.
Jantung Jovi berdebar tidak karuan, melihat kejadian, yang baru saja terjadi itu. Keringatnya secara langsung, mengucur deras membasahi poni rambut.
"Huh untungnya dia hanya lewat," Jovi membatin di dalam hati.
Para pelamar langsung merapikan barisan. Yang mana staff HRD dari rumah sakit, terlihat memasuki ruangan. Memulai interview, yang diadakan pagi hari ini.
Suatu kebanggaan tersendiri, bisa sampai pada lolos interview. Jovi dan pelamar lain, merasakan begitu beratnya. Persyaratan, tes tulis, tes psikolog, yang diajukan pihak rumah sakit Wijaya.
"Sebelumnya selamat pagi, untuk semua pelamar yang sudah lolos, hingga tahap interview ini. Kita sudah melewati proses yang panjang dan test yang tidak main-main" ucap staff HRD mewakili.
"Sayangnya, saya pribadi sungguh menyayangkan, kejadian yang baru saja terjadi. kita harus kehilangan pelamar-pelamar hebat karena Pak Ernest," ucap perempuan berseragam rumah sakit.
Semua para pelamar perempuan, terdiam, mendengar serta mematuhi apa yang di tuturkan oleh staff HRD tersebut.
"Itu bisa kita dijadikan pembelajaran untuk kalian, sebab Tuan Ernest tidak akan memberikan toleransi pada kalian," kata perempuan bernama Farah itu.
"Saya harap, nantinya calon suster, bisa meminimalisir kesalahan kalian, saat sudah bekerja dengan dia," tuturnya begitu baik hati.
Jovi memberi waktu, memejamkan matanya rapat-rapat. Dirinya kembali mengatur nafas, menjadi rileks, meski nafasnya, masih saja belum stabil karena kejadian tadi.
Dari 30 pelamar yang lolos interview, kini hanya sisa 5 anak saja. Semua karena ulah Ernest. Beruntung interview berjalan secara lancar pagi ini.
Setelah sambutan dari staff HRD, semua dipersilahkan untuk menunggu di luar. Meski suasana tegang, sempat terjadi di aula rumah sakit Wijaya. Tapi interview, bisa dilakukan tertib.
*********************
Tidak berselang lama, setelah interview terlaksana, dan menunggu pengumuman. Siapa yang diterima, sebagai suster untuk Tuan Muda. Memberi waktu tangan Jovi, memanjatkan doa.
"Ya Tuhan, hambamu ini sudah berusaha sekuat tenaga. Sekarang hanya Engkau yang menjadi, maha penentu segala-Nya. Semoga aku lolos Tuhan, aamiin.."
Doa Jovi pagi ini.
Jovi lalu berjalan, dia menyusuri ruangan di rumah sakit. Beberapa kenangan, pernah dilewatinya, pada saat praktek kerja di RS Wijaya.
Semua kenangan itu, sedikit membuat senyum, tergambar jelas diwajah Jovi. Dirinya tidak menyangka, Tuhan masih memberikan izin, memijakkan kaki di tempat itu.
Ruang rekam medis, yang dilewatinya. Dimana dulu, Jovi sering membantu teman-teman pkl. Juga membantu pegawai dan sahabat Jovi, yang keteteran. Semua mengakar lagi di ingatan.
Bagi Jovi, masa kuliah dan magang di Rumah sakit swasta tersebut. Adalah kenangan yang indah, yang tidak dapat dibeli. Apalagi hal itu, sekarang tidak dapat terulang kembali.
"Lukanya saja masih belum mengering, sementara kaki dan tangannya masih di gips. tapi Tuan Muda, masih keras meminta untuk ke Jakarta" ucap salah satu perawat.
"Iya betul, lagian rekrutan suster non pengalaman, semakin membuat kondisi Tuan muda kita mengkhawatirkan," jawab satu perawat disamping nya.
"Aku juga heran, kenapa Tuan Ernest tidak mengambil perawat dari Rumah sakitnya sendiri saja," kata perawat tersebut.
Jovi melihat tidak sengaja, dua perawat cantik yang baru saja keluar. Dari salah satu ruangan. Sebelum akhirnya, berjalan pergi jauh.
'Katanya sih, untuk menelusuri kejadian yang dulu morat-marit di RS Wijaya,"
jawab pelan perawat berkacamata.
"Masa sih? nggak deh kelihatannya," perawat satunya justru menyangkal.
"Iya beneran, tapi nggak tau juga sih, aku juga nggak paham. kejadian apa, yang morat marit di RS," ucapnya.
Mendengar obrolan perawat rumah sakit, Jovipun tidak mengambil pusing. Menurut Jovi, apa yang dibicarakan oleh dua perawat tadi, tidak bisa dipercaya. Dan tidak masuk akal.
Apa hubungannya, perekrutan suster untuk Ernest? dengan kejadian yang pernah menimpa RS Wijaya. Apalagi Jovi juga tidak tahu, kejadian apa yang dimaksudkan perawat tersebut.
Perempuan berkulit putih itu, juga terlihat tidak mau, mencari tahu lebih banyak. Bagi Jovi, hanya cukup menuruti apa keinginan Fictor. sudah membuat Jovi aman dari potongan gaji.
Jovi lalu berjalan keluar, membawa mobil putih Honda Jazz miliknya. Dirinya keluar dari parkir RS Wijaya, hanya dalam hitungan menit.
Pada malam hari ini, Jovi merebahkan badannya, diatas kasur berseprai warna biru. Di temani lampu tidur menyalah terang, sebelah ranjang kamar.
Rumah begitu sunyi, sebab Mama dan Aqila adik Jovi, tengah ikut Papa Jovi meeting keluar kota. Bertemu para kolega, membangun kerjasama, demi bangkit mensejahterakan keluarga mereka lagi.
Ditengah lamunannya, Jovi sangat berharap. Perusahaan kecil Papa Jovi, bisa kembali seperti semula. Sehingga dirinya bisa mengundurkan diri, dari Perusahaan Fictor.
Tiiiitttt... ttiiittt... tttittt...
Bunyi SMS terdengar dari arah ponsel Jovi. Di barengi sedikit rasa kantuk, yang mulai menggelayuti mata. Jovi meraba ponsel, yang ditaruh meja, dekat ranjang tidur.
Nomor tersebut tidak dikenali, tangan kanannya membuka SMS, dengan harapan bukan SMS papa minta pulsa. Apalagi hadiah undian, serta mama minta pulsa, yang sering Jovi dapatkan.
*kepada SDR Jovi Andria Nita*
Menyatakan bahwa LOLOS Test Interview RS WIJAYA
Diharapkan kehadirannya besok di PERUM GRIYA INDAH BLOCK A -14
Mengenakan atasan putih dan bawahan putih"
Tanpa disuruh, mata Jovi kembali terbelalak. Kantuk yang tadinya meghantam kedua mata, kini hilang pergi. Jovi dinyatakan lulus interview, dan bisa memulai kerja besok.
Dicarinya nomor Fictor, untuk memberi tahu, bahwa besok Jovi sudah tidak bisa masuk lagi ke kantor. Karena panggilan kerjanya, karena doa'nya yang sudah di dengar.
Beruntung, profesi Jovi sebagai sekertaris, tidak menyusahkan Jovi. Mencari atasan, dan juga bawahan berwarna putih. Sebagai seragam pertama ia bekerja, menjadi perawat.
Pesan singkat dari Jovi kepada Fictor juga sudah terkirim di aplikasi *whatsapp
"Pak Fictor, saya mendapatkan panggilan menjadi suster untuk tuan muda, mohon ijin jika besok saya mulai tidak bisa masuk"*
*********************
Hari sudah berganti pagi, Jovi mengambil setelan di lemari. Celana berwarna putih, baju bernada sama di dalam rak almari urutan paling bawah.
Tidak lupa, hari ini rambutnya diikat kebelakang. Sehingga bisa memudahkan pekerjan Jovi pagi ini. Meski dia tidak mengetahui, tugas apa yang akan diberikan pagi ini.
Jovi lantas berangkat menggunakan taksi, untuk mempermudah menyamarkan identitasnya. Jika nantinya pekerjaan yang Jovi terima, bisa menumbuhkan resiko pada waktu yang akan datang. Plat mobilnya tidak akan dicari.
20 menit di dalam perjalanan, menuju rumah Ernest Wijaya. Keringat dingin ditelapak tangan Jovi, mulai bermunculan. Pikirannya melayang-layang, bagaiamana dan apa yang akan dia lakukan didalam rumah tersebut.
Diterimanya Jovi, menjadi suster untuk Tuan Muda. Membuat kesedihannya bercampur jadi satu. Perkerjaan tersebut, memiliki resiko sendiri.
"Permisi pak, saya Jovi, suster baru yang lolos interview dari RS Wijaya," Jovi berkata pada salah satu penjaga pos satpam.
"Boleh saya lihat KTP dan juga berkas dari Rumah sakit," pinta bapak satpam rumah mewah tersebut.
Rumah yang begitu mewah, garasi luas berjajar mobil-mobil mahal, tampak begitu semakin membuat elegant rumah tersebut. Kicauan burung terdengar menghiasi halaman, ditambah tanaman hijau disetiap sisinya.
Jovi juga melihat, beberapa pembantu telah berlalu lalang, membawa tugasnya masing-masing. Sopir dirumah itu, juga terlihat lebih dari satu. Semuanya bekerjasama di pagi hari.
Jovipun lalu dipersilakan untuk masuk, setelah KTP dan berkas yang diminta, sudah dicek sesuai dengan permintaan Tuan Toni. Karena orang sembarangan, tidak akan bisa masuk di rumah Tuan Toni itu.
Didalam rumah tersebut, Jovi sudah disambut laki-laki, begitu familiar dimasa Jovi kuliah. Usianya sekitar 52 tahun, berperawakan tinggi dengan kumis tipis diatas bibir. Yang tidak lain adalah Tuan Toni Wijaya.
Beliau adalah pemilik rumah sakit, kampus stikes Wijaya. Serta pengusaha sukses, dari segala bisnis. Sudah merajai beberapa kota, hingga manca negara.
"Ini suster barunya ?? silahkan silahkan," Tuan Toni mempersilahkan begitu ramah.
"Iya Tuan," ucap Jovi.
Dirinya masuk dan duduk, di ruang tamu yang cukup luas. Berukuran 3x lipat, dari ruang tamu Jovi yang berada dirumah. Padahal rumah Jovi, juga sudah cukup luas.
Setelah Jovi memperkenalkan nama, dan beberapa pertanyaan sederhana, diberikan Tuan Toni. Semua dengan tenang dijawab oleh Jovi.
Hal tersebut, nampak semakin membuat Tuan Toni yakin. Putranya, Ernest akan baik-baik saja. bersama suster pribadi bernama Jovi.
"Suster Jov, Ernest ini orangnya sedikit kaku, hanya sedikit kok hehehe," kata Tuan Toni lantas tertawa.
"Jadi kamu harus sedikit sabar, itu saja kuncinya. Ernest orangnya tidak banyak omong, biasanya dia hanya akan mengatakan, apa yang dia mau saja," jelas Tuan Toni.
"Baik Tuan Toni," jawab Jovi membiasakan mulutnya memanggil sebutan Tuan.
"Mengapa perekrutan ini, saya buat ada test psikolog juga?? karena dari test psikolog, kita dapat mengetahui kesabaran seseorang, termasuk kamu," lanjut Tuan Toni Wijaya.
"Hehehe iya Tuan, terimakasih atas pujiannya," jawab Jovi menghormati Tuan Toni.
Tuan Toni lantas memanggil, satu asisten rumah tangga, dirumah tersebut. Sebelumnya Tuan Toni kagum, atas sikap Jovi. Yang merendahkan diri, tidak mencari muka.
"Bik Yuni," panggilnya.
"Ya Tuan," asisten tersebut berlari ke arah tuannya.
"Bik Yun, tolong antar suster Jovi ini ya, untuk mengetahui apa saja, yang harus dilakukan ya," pintanya kepada kepala pembantu rumah tangga.
"Baik Tuan," jawab Bik Yuni, berjalan kearah Jovi dan Tuan Toni.
Sebelum pergi, Tuan Tonipun menjabat tangan Jovi. Beliau tersebut, berkali-kali tidak berhenti mendoakan, agar Jovi bisa betah kerja disini. Serta harus sabar pada Ernest.
Pria berkacamata tersebut, sangat begitu ramah, masih sama seperti 5 tahun yang lalu. Saat Tuan Toni Wijaya, hadir sebagai pengisi acara dikampus Jovi.
*************************
Jovi kemudian mengikuti Bik Yuni, yang kira kira berusia 15 tahun lebih tua dari Jovi. Dirinya masih kaku, dirumah baru, yang akan Jovi huni beberapa bulan.
Bik Yuni memberikan selembar kertas putih kepada Jovi, beberapa jobdesc sudah disebutkan, didalam kertas tersebut. Dari apa yang tidak boleh dilakukan, hingga yang harus dilakukan setiap hari.
"Suster Jovi, suster dapat mulai pekerjaan suster, sesuai pada apa yang sudah di tulis oleh Tuan Toni ya..," ucap Bik Yuni begitu ramah.
"Baik Bik, saya berharap Bik Yuni bisa selalu membantu saya, ketika bekerja menjadi suster disini," jawab Jovi sangat berterimakasih.
Perempua cantik tersebut, mengikuti Bik Yuni berjalan ke arah kamar tamu. Ternyata kamar tersebut, memang dipersiapkan oleh Tuan Toni.
Kamarnya begitu sangat bagus dan terawat, hampir menyamai seperti nuansa kamar dirumah Jovi. Semua itu khusus, untuk suster baru putranya.
Tuan Toni juga berharap, kamar yang tidak jauh, dari kamar putra semata wayang Tuan Toni. Bisa tetap menjaga kondisi tubuh Ernest.
"Ini kamarnya ya suster," Bik Yuni memberitahu.
"Ouh iya bibi, terimakasih bik," jawab Jovi.
"Kalau begitu, saya permisi dulu ya suster," pamit Bik Yuni.
"Iya, silahkan," kata Jovi membungkuk mempersilahkan.
Setelah itu, Bik Yuni segera kembali ke belakang. Menyelesaikan jadwal pekerjaan rumah tangga. Sementara, Jovi duduk diatas ranjang membuka Job desc apa saja, yang akan Jovi kerjakan.
Ternyata tidak begitu susah, hari pertama kerja adalah perkenalan. Meski sedikit gugup dan takut, Jovi menyembunyikan perasaannya. Lewat senyum yang mengembang manis dibibirnya.
Perempuan cantik tersebut, kemudian memberanikan diri. Mengetuk kamar sebelahnya, yang tidak lain adalah kamar Ernest.
"Tok.. tok.. tok... tok.."
"Tuan Ernest..," panggil Jovi sedikit ragu.
" Tuan Ernest," panggil Jovi lagi, sembari menutup rapat matanya didepan pintu.
"Ya masuk," jawab suara laki-laki dari arah kamar Ernest.
Tangan Jovi perlahan membuka pintu, jantungnya berdegup, tidak beraturan. Mengantar Jovi, melihat laki-laki berkulit putih didalam kamarnya.
Ernest terlihat, tengah duduk diatas ranjang besar. Lengkap buku bacaan, ditangan kirinya. Memang benar, jika Ernest disebut perfeksionis.
Bekas sayatan diwajah Ernest, masih sama seperti yang Jovi lihat, saat di ruang aula rumah sakit. Luka yang berada dipelipis dan dahinya, beberapa waktu lalu. Masih sama, belum sepenuhnya kering.
Baju putih polos, dikenakan Ernest, menyamai warna kulit. Semua semakin mengundang perhatian, rambutnya rapi tersisir ke samping. Hidung mancungnya juga terlihat jelas, dari arah Jovi berdiri.
"Perkenalkan Tuan, saya Jovi," ucapnya memperkenalkan diri.
"Hmmm.... terus?," hanya itu ucapan Ernest.
"Maksudnya suster yang akan melayani Tuan, selama Tuan dalam masa pemulihan," Jovi berjalan sembari memperkenalkan diri.
"Apa? coba ulangi suara kamu pelan sekali," pinta Ernest tanpa mengarah ke Jovi.
"Saya Jovi yang akan melayani Tuan Ernest, selama Tu-Tuan dalam masa pemulihan," ulang Jovi malah dengan kata-kata terbata.
"Ouh kamu... ya.. ya..," gumam Ernest melirik ke arah perempuan cantik berambut panjang tersebut.
"Iya Tuan," jawab Jovi bingung menaruh sikap.
Suasana begitu krik.. krik.. krik... Jovi menebak, Ernest sudah lupa dengan dia. Dirinya masih berdiri mematung, di sebelah pintu kamar Ernest.
Tangan kanan Ernest terlihat masih harus menggunakan, gendongan penolong untuk gips lengan kanannya. Dirinya semakin kebingungan menaruh sikap.
Beruntung, tidak lama suara Tuan Toni langsung memanggil Jovi. Laki-laki tua yang memanggil, dari arah ruang tengah.
"Suster Jovi," panggil Tuan Toni.
"Iya Tuan..," respon Jovi meninggalkan kamar Ernest.
"Suster yang tidak sopan," gerutu Ernest, melirik Jovi berjalan pergi tanpa pamit.
Tak lama setelah itu, Jovi kemudian menghadap kepada Tuan Toni.
"Bagaimana Suster Jovi ?? kamu sudah berkenalan dengan Ernest??," tanya Tuan Toni.
"Sudah Tuan, saya juga sudah sempat bertemu Tuan Ernest, saat berada di aula RS tapi kelihatannya Tuan Ernest sudah lupa," jawab Jovi berdiri didepan Tuan Toni.
"Hehehe.. Ernest tidak mungkin lupa, mungkin dia masih belum mood bertanya," bela Tuan Toni pada anak tampannya.
"Ouh iya suster, nanti sore saya berangkat meeting sekitar 1 minggu saya ada meeting diluar kota. jadi suster bisa kan? besok berangkat lebih pagi kira kira jam 6," pinta Tuan Toni.
"Bisa Tuan, tapi kenapa sepagi itu ya tuan?," tanya Jovi.
" Ya karena, besok suster harus menyiapkan sarapan pagi Ernest, Ahh.. tapi nanti saya buatkan jadwal saja biar suster sedikit terbiasa," ucap Tuan Toni memberikan solusi.
" Terimakasih Tuan atas kebaikan Tuan Toni," Jovi berterimakasih.
"Sama-sama suster, hari ini suster bisa pulang lebih awal ya.. biar besok bisa berangkat lebih pagi," kata Tuan Toni menyenangkan suster barunya itu.
"Baik Tuan, terimakasih Tuan," ucap Jovi.
Tuan Toni menyuruh Jovi, lebih pulang awal. Saat siang dihari pertama Jovi bekerja, membuat dirinya begitu bergembira.
Hal tersebut tidak diduga Jovi, jika dirinya, mendapatkan perlakuan yang begitu manusiawi dikeluarga Tuan Toni. Bahkan Fictor saja, atasannya selama ini, tidak pernah memberikan perlakuan yang baik seperti Tuan Toni.
Jovi tidak mengambil pusing sikap dingin yang diberikan Ernest, Keramahan Tuan Toni hari ini seperti kado terindah yang diberikan Tuhan untuk Jovi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!