Reyna melangkah tergesa setelah mendapat pesan diponsel dari Mbak May sepupunya yang meminta segera pulang kerumah.
Di area parkir Reyna berpapasan dengan Bianca sahabatnya.
"Bi...aku cabut dulu. Mbak May bilang aku harus pulang ke rumah pakdhe. Tolong kumpulin berkas wisudaku ya Bi"
"Pakdhe sakit Rey?, kok dadakan"
"Semoga nggak deh Bi.. ya udah aku buru-buru nih" sahut Reyna sambil menyerahkan segepok berkas persyaratan wisudanya.
"Okay bye Rey" Bianca melambai
Rumah Mbak May
Reyna segera masuk rumah untuk menemui Mbak May, sepupu yang bagaikan kakak kandungnya. Sepeninggal kedua orang tuanya ketika dia berumur 12tahun, Reyna diasuh oleh Pakdhe Hermawan. Sudah 3 tahun lamanya dia tinggal dengan May untuk melanjutkan studi D3.
"Pakdhe sakit Mbak?" tanya Rey cemas ketika melihat May menyiapkan koper dikamar.
"Enggak Rey, kangen kamu mungkin, dah lama lho kamu ga pulang"
"Ehmm.. tumben gitu dadakan minta Rey pulang"
"Berkas wisudamu sudah beres kan?"
Rey hanya mengangguk.
"Ya sudah sana siap-siap, tuh Mas Aris dah nunggu didepan"
Rey duduk di kursi penumpang belakang bersama Adam, putra dari Mbak May dan Mas Aris usianya baru 3 tahun. Rey ikut membantu merawatnya dari bayi.
"Loohh..kamu nggak ganti baju Rey?" tanya Mbak May ketika melihat Rey yang masih berkemeja flanel kotak,celana jeans dan sepatu kets.
"Halah..emang kenapa mbak,sekalian kotor ntar juga keringetan lagi"
Mas Aris hanya mengedikan bahunya, dia tipe laki-laki yang tidak banyak berkomentar.
Rumah Pakdhe Hermawan
Kurang lebih 2 jam perjalanan mereka sampai tujuan. Rumah berpekarangan luas bercat putih, saksi bisu masa remaja Reyna menjalani hari-harinya sebagai anak yatim piatu.
Pakdhe Hermawan adalah kakak tertua dari mendiang ayah Reyna, Mas Gandhi adalah putra pertamanya, berstatus duda dan tak berfikir untuk menikah lagi sedangkan Mbak May adalah putri keduanya.
Terdengar sendau gurau suara Pakdhe dengan para tamu dari ruang tamu saat mereka hendak memasuki rumah.
"Eh lha itu Dik Wiji..Reyna sudah datang" Hermawan menunjuk ke arah Reyna.
Ada tiga orang tamu diruangan itu, sepasang paruh baya dan seorang lelaki berumur 30 tahunan. Reyna mencium punggung tangan Hermawan, menyalami 3 orang tamu itu dengan sopan, sementara Adam langsung menghambur kepelukan Gandhi yang duduk disebelah Hermawan.
"Loh kok belum dibikinkan minum sih" Mbak Mey bersuara.
"Dik Wiji sekeluarga barusan datang kok May, sana bantuin Mbok Sri dibelakang siapin minum" pinta Hermawan.
"Rey juga bantuin ya Pakdhe" sahut Reyna.
"Eehh..kamu disini aja Rey, nemenin Pakdhe" Hermawan buru-buru memegang pergelangan tangan Reyna dan mengajaknya duduk disebelahnya.
"Ehm sebentar saja ya Pakdhe Rey capek mau istirahat" bisik Reyna pelan padahal dia hanya malas harus menemani orang berbincang soal bisnis.
Setahu Reyna Pak Wiji adalah teman kecil sekaligus rekan usaha pakdhe, seringkali bertandang kerumah tapi biasanya hanya seorang diri. Hermawan dan Wiji bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbincang.
"Reyna kabarnya mau wisuda ya" tanya Pak Wiji
"Iya Pak" sahutku pendek
"Ehhh.. begini nak Reyna. Maksud kedatangan saya sekeluarga kemari adalah mau melamar Reyna sebagai pendamping anak saya, Satria"
Jederrrrrrrrrrrr .... bagai petir disiang bolong
Reyna membelalak dan berusaha menghirup oksigen yang berkurang volumenya secara tiba-tiba diotaknya saat itu.
Aku menatap Pakdhe dan Mas Gandhi bergantian, keduanya hanya tertunduk.
"Tapi Pak.. tapi Pakdhe saya, saya,emmm.."
Arrggghhh isi otak Reyna berasa menjadi beku seketika.
"Reyna.." ucapan Hermawan membuyarkan ruangan yang seketika hening.
"Kamu kan hanya menunggu wisuda, sudah selesai menyelesaikan studimu. Usiamu juga sudah pantas bersuami. Nak Satria dan sekeluarga ini bermaksud baik"
"Tapi..saya emmmm.." lidah Reyna kelu. Pikirannya berkecambuk. Pak Wiji bukan sekedar rekan bisnis bahkan bisa dibilang tanpa Pak Wiji usaha Pakdhe tidak akan semaju ini. Tak tega rasanya menolak permintaan orang yang sudah Rey anggap orang tua sendiri. Bukankah dia bisa hidup dan merasakan bangku universitas berkat beliau.
Rey melirik pria yang duduk diseberangnya
emmmm.. Satria namanya
Pria itu hanya menatap Rey lurus tanpa bisa diartikan maksud tatapan itu.
"Ehmmm.. Om boleh saya ajak Reyna bicara" tanya pria itu.
"Oh ya silahkan Nak Satria, bicara di taman belakang saja" Hermawan mengiyakan.
Mas Gandhi menepuk punggung tangan Rey, gadis itu beranjak malas menuju taman belakang diikuti Satria dibelakangnya.
Rey hanya melirik Mbak May saat berpapasan di dapur dan membawa nampan minuman.
Wanita itu hanya menghela napas dan membuang mukanya.
"Tega kamu Mbak" batin Reyna
Satria duduk di kursi panjang menjajari Reyna
"Ehm...Aku Satria"
"Yahhh..sudah tahu, tadi pakdhe sudah bilang" jawab Rey ketus
"Kau terkejut soal perjodohan ini. Akupun sama" gumamnya
"Kemarin aku sampai dirumah Bapak, usahaku sedang bermasalah, keuangannya lesu dan Bapak menjanjikan bantuan jika aku datang kerumah"
Satria menghela napas panjang "Tapi syaratnya aku harus menikah untuk mendapatkan bantuan dana darinya" lanjutnya
"Kenapa kau tak menikahi wanita pilihanmu saja?" Reyna menautkan alisnya heran "Tak mungkin kan di usiamu sekarang belum mendapatkan calon" Reyna bertanya setengah mengejek
tampangnya juga nggak jelek-jelek banget
"Bapak tak pernah merestui hubunganku dengan kekasihku, makanya dia tawarkan pilihan itu" Satria mendengus.
"Cckk, jadi semua ini karena uang?" Reyna membuang muka.
"Ya kau memang benar ini soal uang, tapi uang untuk menghidupi ratusan karyawanku, mereka yang beranak istri mengandalkan rupiah dari usahaku. Semalam aku berpikir tak jadi soal, dan makin yakin saat kaupun keberatan dengan perjodohan ini" Satria melipat tangannya dibelakang kepala.
"Ehh..maksudmu" Reyna mendongak dan mengernyitkan dahi.
"Kita ikuti saja apa mau orangtua kita" tukas Satria
"No No No, bagaimana dengan masa depanku, tidak bisa, aku masih mau bekerja dan..." Reyna melotot
"Hei..dengarkan dulu penjelasanku" Satria mendengus "kau pikir aku juga mau menikah dengan anak kecil seusiamu"
Reyna membelalakan matanya dan berdiri, mulutnya baru saja membuka untuk berbicara tapi Satria lebih cepat menarik pergelangan tangannya.
"Duduk" perintahnya "Maksudku" Satria melirik kekanan kiri dan berbisik pelan "kita ikuti saja mereka, pura-pura menikah, ketika usahaku membaik kita bercerai"
Reyna menggelengkan kepalanya "arrgh..apa-apaan ini orang"
Menit selanjutnya dia hanya terdiam termenung, dia teringat beberapa bulan lalu saat mencuri dengar Mbak May berbincang dengan Mas Aris. Mereka berdua mengkhawatirkan usaha Pakdhe yang sedang membutuhkan bantuan dana. Adakah hubungannya dengan semua ini? Menolak permintaan Pak Wiji sama saja memperburuk kondisi usahanya.
"Bagaimana heh..?" Satria memecah keheningan
"Tapi aku mangajukan syarat" ucap Reyna dingin
"Boleh.. apa??"
"Kau tak berhak mengatur hidupku"
"Okay deal. aku juga berpikir sama, ada lagi?"
"Pernikahan kita nanti hanya diatas kertas, maksudku hanya status sampai kita bercerai,tak lebih dari itu"
Satria mengedikan bahu "tak masalah buatku"
Reyna mengambil napas dan membuangnya kasar
"Asal kau tahu aku lakukan ini demi baktiku pada Pakdhe, beliau sudah kuanggap orang tuaku, aku juga takut penolakan lamaran ini akan berimbas pada usaha beliau nantinya"
Satria hanya memandang Reyna
"Hemmm.. setidaknya kita berdua sepakat ini hanya masalah uang"
Ia lirik wanita disampingnya penampilannya tomboy, cuek, make up pun seadanya.
Tapi lumayan cantik juga gumamnya...
"Ehhhmmmm...." Reyna dan Satria serempak menengok ke arah suara.
Mbak May berdiri tak jauh
"Sudah cukup kenalannya? yuk masuk"
Satria berdiri berjalan cepat kedepan diikuti kedua wanita itu.
Senyum sumringah terbaca di wajah setiap manusia di ruang itu tapi tidak untuk Reyna.
Senyum yang ia sunggingkan dengan terpaksa terhimpit oleh sakit hatinya saat itu.
"Bagaimana Nak Rey, kamu bersedia menerima lamaran ini?" desak Pak Wiji
Reyna hanya mengangguk pelan
"Saya minta waktu hingga wisuda selesai Pak, mungkin 3 minggu lagi urusan saya selesai"
Bisa kulihat senyum merekah dari semua orang, namun seketika hilang ketika Satria berteriak
"Kelamaan ah, satu minggu cukup kan"
"Ah kau Satria, kemarin saja nolak-nolak sekarang minta buru-buru" sahut Pak Wiji diikuti gelak tawa seisi ruangan.
"Banyak urusan yang perlu ku selesaikan Pak biar tidak bolak balik kemari" sanggah pria itu
"Ya sudah tak mengapa kan Rey, kan hanya wisuda saja, sesudahnya kau paling hanya beberapa kali ke kampus. Lebih cepat diselenggarakan lebih baik. Kamu nggak perlu repot biar Mbak sama Bu Wiji yang atur" Mbak May menengahi.
"Terserahlah" Rey mengedikan bahu pasrah.
Selesai beramah tamah rombongan Pak Wiji pamit. Minggu depan akad akan dilaksanakan pagi hari menyusul resepsi di malam hari.
Malam hari Reyna susah memejamkan mata, angan-angan untuk berkarir selepas wisuda menguap bagai embun pagi terpapar matahari.
ting ting ting
Reyna mengambil ponselnya malas
pesan dari Bianca
"Hai Rey, undangan dan baju toga kamu ditempatku yak"
"Okay, aku ambil Jumat ya Bi"
.
.
.
Semburat sinar matahari membangunkan Rey dari tidurnya. Beringsut malas hendak pergi kekamar mandi tapi langkahnya tertahan mendengar suara Mas Gandhi berbincang dengan seseorang di ruang tengah. Terlihat Satria sudah duduk manis memangku Adam, Reyna melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 6.
"Eh itu calon Nyonyamu sudah bangun" canda Mas Gandhi.
"Ngapain kesini lagi?" tanya Reyna sengit.
Satria menengok "Disuruh Ibu ngepas baju"
"Harus pagi pagi gini???" Reyna menguap dengan malas.
"WOnya banyak urusan Rey, Mbak minta kelonggaran waktu mereka , dapetnya pagi" sahut Mbak May yang tergopoh dari arah dapur membawa hidangan.
"Sana mandi dan ajak Satria sarapan sekalian"
---
Tak banyak makan waktu Reyna sudah duduk di sebelah kursi kemudi. Mbak May dibelakang dengan Adam, makhluk kecil itu tergoda dengan iming-iming Satria yang akan mengajaknya ke play land selepas dari kantor WO.
Sesampainya di tempat WO, Rey dan Satria hanya mengangguk tiap kali di sodorkan pilihan busana pengantin.
Si kecil Adam sudah mulai gusar kebosanan
"Hemmm.. ya bentar lagi selesai kok, Adam yang sabar ya" si kecil Adam kembali tenang dalam gendongan Satria.
huhhh dikasih jampi-jampi apa tuh bocah sampe nempel kaya cicak batin Rey
"Rey, urusan baju sudah selesai. Mbak pergi dulu ya, Mas Aris mau pulang sekarang, Mbak mau siapin kopernya" May tergopoh setelah menerima panggilan di ponselnya.
"Kok dadakan Mbak, apa ada masalah dirumah?" tanya Reyna
"Iya katanya, Adam sama kalian ya bisa ngamuk dia kalau nggak jadi ke play land"
Reyna dan Satria mengangguk bersamaan
---
Sudah mirip keluarga kecil bahagia saat ketiganya berjalan memasuki play land. Reyna nampak kerepotan membawa tas milik Adam. Lain halnya Satria, dia nampak bahagia bercanda dengan si kecil Adam.
"Minum..." Satria menyodorkan air mineral dingin.
"Hemm..makasih" Reyna langsung menenggak isi botol itu.
Keduanya duduk di bangku bersama deretan orang tua lainnya.
"Kamu anak tunggal Pak Wiji?"
"Iya..kamu?"
"Aku juga anak tunggal. Mas Gandhi dan Mbak May sudah seperti saudaraku sendiri" Reyna memainkan botol minum ditangannya.
"Ohya aku baru tahu kau tidak tinggal di kota ini, kudengar dari Mas Gandhi semalam"
Satria mengangguk "Sejak kuliah aku sudah tinggal sendiri"
"Dan kau punya usaha sendiri bukan meneruskan usaha keluarga?" lanjut Reyna.
"Ya begitulah, aku hanya mau mandiri terlepas dari nama besar Bapak. Lagian aku bangga bisa mendirikan usaha dari hasil keringatku sendiri" Satria menjawab mantap.
Rey memutar bola mata jengah menatap makhuk yang sedang menyombongkan diri di depannya.
''Kita belum bertukar nomor, siapa tahu ada kepentingan nantinya'' Satria mengeluarkan ponselnya
Reyna mengambil ponsel dari sakunya dan menyodorkannya ke Satria ''Simpan nomormu sendiri''
Satria menekan tombol hijau dan menunggu ponselnya berdering lalu mengembalikan ponsel Reyna,
"Ehmm. suka anak kecil?" Rey mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Suka" Satria menatap Reyna, lalu alisnya bergerak naik turun "Apalagi bikinnya..suka banget" lanjutnya sambil cengir-cengir kuda membuat Reyna kehabisan kata untuk membalas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!