" Kenapa lagi wanita ini?"
Ponselku terus berdering, Risa menghubungiku hampir tanpa jeda, dan dia terus mengirimiku pesan. Keisenganku padanya beberapa bulan yang lalu terlanjur menjadi hubungan yang intens. Betul, aku hanya main-main. Di sela-sela kebosananku pada pekerjaan, pada hubunganku dengan Maira yang jenuh, dan urusan rumah tangga serta anak-anak yang selalu sibuk. Hanya saja Risa yang terlalu baper, dan sayang sekali rasanya, jika aku harus menolak.
Beberapa kali aku menginap di rumahnya, aku khilaf, reflek terjadi begitu saja. Tentu saja aku harus membohongi istriku yang tengah hamil tua saat itu dengan beralasan sedang ada pekerjaan di luar kota.
Sekarang anak ketigaku telah lahir, aku merasa bersalah pada Maira. Melihat dia kesakitan sepanjang malam menahan kontraksi, melihat nafasnya yang hampir habis saat mengejan mengeluarkan anakku, keringatnya yang bercucuran, wajahnya yang pucat namun terlihat sangat cantik saat itu. Aku menyesal telah selingkuh. Lagi.
Kujauhi Risa berniat menyudahi hubungan gelap kami, seperti yang sebelumnya, aku hanya perlu memberikan nominal uang sebagai kompensasi.
[Nanti mas mampir ke rumah, kita ngobrol.]
Sudah dua minggu panggilan dan pesan dari Risa kuacuhkan. Aku sedang bahagia karena Maira akhirnya memberiku anak laki-laki. Maira telah menyempurnakan statusku sebagai seorang ayah.
Kuparkirkan mobil di garasi mungil milik Risa, tak lama Risa menyambutku dengan pakaian yang ... mini. Aku kembali terpesona, namun hanya beberapa detik saja. Karena niatku menyambanginya kali ini adalah untuk mengakhiri hubungan ini.
Kulonggarkan dasi yang melingkar di leherku, dan berusaha fokus, mengedepankan akal sehat, agar tidak tergoda lagi pada Risa.
"Tega kamu, Mas! Nyuekin aku terus," sambut Risa dengan sedikit merajuk, biasanya aku akan membujuknya dengan rayuan, namun tidak kali ini.
Kulewati Risa begitu saja dan masuk ke dalam. Terlihat dari ekor mataku kalau dia kecewa akan sikapku yang dingin.
"Jangan ditutup pintunya!" larangku ketika tangan Risa hendak mendorong daun pintu.
"Kenapa, Mas?" tanya Risa.
"Aku kesini mau ngomong," jawabku seraya duduk di sofa, perabotan yang kubelikan bulan lalu.
"Cuma ngomong?" goda Risa, pintu hanya tertutup setengahnya.
"Udah duduk, Ris, aku cuma sebentar."
"Kenapa? Banyak kerjaan, yah?" Risa duduk tepat di sampingku, nada suaranya melembut, dia mulai memijit-mijit pundakku dengan tangannya. Seketika aku risih dan mendorongnya.
"Jangan, Ris!"
Risa terkejut, dan aku bangga pada diriku sendiri, aku bisa tahan pada godaan Risa kali ini. Seketika aku merasa sudah menjadi suami terhebat dengan setia pada Maira.
"Kenapa sih, Mas? Cuek banget!" protes Risa.
Mataku jelalatan menyurusi ruang tamu, namun benda yang kucari tidak terlihat. Aku pun berdiri dan berjalan menuju kamar. Kurasakan Risa mengikutiku dari belakang. Benda yang kucari ternyata ada di atas meja rias Risa.
Dengan cepat kuraih ponsel milik Risa, benda yang kubelikan setelah menginap di sini untuk pertama kalinya.
"Mas? Ngapain?"
Risa mendekat dan berusaha mengintip apa yang kulakukan pada ponselnya. Aku menghapus semua data, dan mereset benda itu.
"Mas? Kenapa hapeku digituin?" protes Risa dengan merebut ponselnya dari tanganku, terlambat.
"Mas, kenapa kosong semua?" Risa mulai panik.
Tentu saja aku harus melakukannya, menghapus semua akses komunikasi dengan Risa.
"Aku mau kita putus, Ris, jadi mulai sekarang kita nggak usah saling kenal lagi," ucapku.
"Hah?!"
"Jangan munafik, Ris, kamu mau sama aku karena duit, kan? Kamu udah dapet banyak lho dariku selama ini, jadi ... kita impas," tuturku lagi.
"Mas ... kok kamu jahat, sih!" Risa terlihat terkejut dan sedih.
"Aku nggak jahat, kita sama-sama nyari untung, sekarang kamu bebas nyari pasangan lagi," sambungku.
"Oh ... jadi cuma segitu kamu nilai perasaanku, Mas?" Risa menaikkan nada suaranya, rupanya dia tidak terima dengan keputusanku.
"Apalagi, Ris?"
"Mas janji mau nikahin aku!" tuturnya membuatku tidak percaya.
"Jangan bodoh, dari awal kamu tahu, aku lelaki beristri," ucapku mencoba mengingatkannya.
"Kamu yang bodoh, Mas! Udah tahu punya istri kenapa main api sama aku!" balasnya membuatku terkejut, dia mulai berani.
"Aku udah transfer ke rekening kamu, sebagai ucapan terimakasih dan salam perpisahan, aku harap ka--"
"Aku nggak akan ngelepasin kamu gitu aja, Mas!" seru Risa memotong ucapanku.
"Jangan macam-macam, kamu nggak berhak ngomong kaya gitu sama sekali!" tegasku padanya.
Ternyata wanita sama saja, mereka manis hanya ketika keinginannya dituruti. Sebenarnya Maira pun dulu sangat manis, entah kenapa perangainya berubah menjadi sosok yang tidak membuatku betah. Ah, aku tetap mencintainya.
"Mas kamu ngeremehin aku banget sih!" serunya tidak terima. Kenapa? Padahal dia dapat uang yang dia inginkan. Aku tidak habis pikir.
"Dari awal kamu tahu resikonya, kamu harusnya bersyukur bisa dapet banyak hal dariku."
Risa mulai menangis, tangisan yang menyebalkan. Aku ingat, aku juga sangat membenci tangisan-tangisan Maira setiap kami bertengkar. Masalah yang harusnya selesai menjadi semakin kusut karena tangisan itu. Wanita sama saja.
Aku mencari kesenangan dari wanita-wanita lain karena mereka tidak menuntut hal lebih dari yang sudah kuberikan. Aku bosan pada Maira dan semua dramanya, sehingga wanita-wanita itu memberiku hal baru tanpa ikatan yang mencekik. Aku hanya ingin bersenang-senang sebelum akhirnya pulang pada Maira, dan kembali berusaha menjadi suami dan ayah yang baik.
Aku tertekan dengan peran suami dan ayah, sementara jiwa mudaku masih haus kebebasan. Andai saja, Maira bisa melonggarkan sedikit standar dan deskripsi suami dan ayah yang baik, aku tidak akan tertekan dan mencari pelampiasan di luaran.
"Sudah-sudah, jangan nangis, aku yakin kamu bisa dapet laki-laki yang sayang sama kamu," ucapku lembut pada Risa seraya memeluknya, pelukan perpisahan.
Aku harap Risa profesional dalam perannya menjadi wanita selingan, yang harus siap ditinggalkan kapan saja. Ini saatnya aku kembali.
"Ehem!" Suara yang sangat kukenal. Risa menghentikan tangisannya, aku dan dia kompak menengok ke asal suara.
"Maira!" Segera kudorong tubuh Risa menjauh dariku.
Wajahnya merah padam. Sepertinya dia salah paham. Matanya berkaca-kaca, dan butiran air mata lolos dari sudut matanya. Mata yang terlihat sangat lelah, karena bayi kami kerap begadang sepanjang malam.
Maira menyeka air mata itu dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya mendekap Guntur yang terlelap dalam gendongannya. Bayi yang usianya belum genap sebulan, dibawa-bawa oleh Maira, padahal hari sudah memasuki senja.
Maira selalu marah besar dan meminta cerai ketika aku ketahuan berselingkuh. Namun aku selalu berusaha meyakinkan dia bahwa aku akan berubah. Aku sudah berusaha, hanya saja, tidak mudah.
Berkali-kali Maira memaafkanku, demi anak-anak. Namun prosesnya panjang. Maira akan menangis sepanjang hari dan membuatku tidak berdaya. Aku akan meminta maaf sebanyak air matanya mengalir, meyakinkan dia bahwa aku benar-benar menyesal.
Maira adalah seorang ratu, tapi bukankah ratu jaman dahulu sudah terbiasa berbagi dengan selir-selirnya?
"Maira ... ini nggak seperti yang kamu pikir," tuturku panik. Kucoba meraih tangan Maira, tapi dengan cepat dia menepisnya.
"Papah ...."
Luna dan Lintang muncul dari belakang Maira, ternyata Maira membawa mereka semua kemari. Maira!
Belum selesai rasa keterkejutanku, terdengar pula suara riuh di luar. Apa Maira membawa warga?
"Papah ...."
"Luna? Lintang?" gumamku.
"Papah ngapain di rumah tante itu?" tanya Luna.
Belum sempat kujawab pertanyaan gadis kecilku Maira menarik mundur kakinya, dan muncul beberapa ibu-ibu di belakangnya.
"Bu RT ... urusan saya di sini udah selesai, sekarang saya serahkan wanita itu sama Bu RT, jangan sampai suami-suami di sini digoda sama dia," ucap Maira pada rombongan ibu-ibu, tatapan mereka seperti segerombolan singa yang geram pada kami.
Aku berdiri seperti orang bodoh. Apa yang ada di pikiran Maira? Membawa bayi dan anak-anak untuk melihatku seperti ini. Sengaja sekali Maira ingin menjatuhkan harga diriku di depan anak-anak, apalagi membawa warga. Apa mereka tahu kalau aku baru saja memutuskan Risa? Ah ... menyebalkan.
"Iya, Bu. Terimakasih atas laporannya, biar pelakor kaya dia, kita usir dari komplek ini!" seru seorang ibu berwajah seram.
"Lho, Mas. Tolongin aku, gimana ini?" rengek Risa padaku.
"Mas juga bingung, Ris!" bisikku padanya, berharap Maira tidak melihatku bicara pada Risa.
"Pah?" panggil Maira.
"Kamu mau ikut kami pulang? Atau mau diarak sama mereka?" tanya Maira dengan nada datar.
Tunggu! Maira bersikap santai? Aku mengira Maira akan menangis dan berteriak. Bahkan aku sudah membayangkan Maira akan menarik rambut Risa.
"E--eh--"
"Oh, mau diarak?" tanya Maira lagi, nada bicaranya seperti dia sedang menawariku kopi setiap pagi. Santai.
"Eng-enggak, Mah." Jujur aku takut. Sangat takut.
Kuikuti langkah Maira membelah kerumunan ibu-ibu di ruang tamu yang sedang berkasak-kusuk, mereka memandangku dengan mulut penuh cacian. Untungnya kunci mobil ada dalam saku celana, jadi tidak perlu repot mencarinya. Kini aku merasa Maira menyelamatkanku dari ibu-ibu yang marah.
Maira masuk ke dalam mobil setelah memastikan Luna dan Lintang naik. Aku harus menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Tanganku gemetar melihat sikap Maira. Entah kenapa, tidak bisa kujelaskan.
Kupacu mobil perlahan meninggalakan rumah Risa, meninggalkan teriakan demi teriakan yang mulai terdengar dari dalam. Maafkan aku, Ris. Semoga kamu beruntung.
Kami berkendara dalam diam, hanya celoteh Luna dan Lintang yang terdengar. Maira menatap ke depan tanpa ekspresi. Entah kenapa sikap diamnya saat ini justru menakutkan.
Aku lebih suka dia menangis dan marah seperti saat dia memergoki perselingkuhanku sebelumnya. Menuntut penjelasan yang logis dariku meski dia sendiri tahu jawabanku akan menyakitinya.
"Mah, Lintang laper," ucap Lintang.
Kulirik wajah Maira yang tidak bergeming. Maira melamun? Dia tidak dengar ucapan Lintang.
"Iya, kita makan ya, Lin," jawabku pada Lintang yang merengek.
Maira tersadar dari lamunannya karena suaraku, dia menengok pada Luna dan Lintang di kursi belakang. Tanpa kata. Kemudian dia mengusap wajah Guntur yang lelap di gendongannya.
Apa yang kamu rasakan, Ra? Kenapa kamu tidak marah? Apa kamu tahu kalau aku sudah sadar dan hendak meninggalkan Risa? Aku harap begitu.
"Luna mau ayam," ucap putri sulungku yang berusia 5 tahun.
"Lintang juga mau ayam," timpal Lintang yang baru berusia 3 tahun.
Kami mampir ke restoran cepat saji. Aku berusaha semaksimal mungkin melayani Luna dan Lintang, menyuapi mereka bergantian. Menegur mereka berdua yang tidak bisa duduk diam.
Sementara Maira diam tanpa menyentuh makanan di depannya. Membiarkanku repot memperingatkan Luna dan Lintang untuk makan dengan diam, Maira tidak peduli, seolah tidak ada apapun di depan matanya. Kikuk dan serba salah. Aku bahkan tidak berani bertanya.
"Mah ... makan dulu," ucapku sedikit gemetar.
Maira diam. Padahal aku yakin suaraku cukup keras untuk sampai ke telinganya. Kuteruskan menyuapi kedua putriku. Kecewa karena Maira tidak menghiraukannya. Menyuapi anak-anak bukanlah hal yang kusukai, bahkan aku tidak pandai melakukannya. Setidaknya Maira melihat betapa kerasnya aku berusaha. Lengan kemeja kulinting sampai siku, susah juga mengurus dua anak. Lagi-lagi, rasa bersalahku semakin besar.
"Ayo sedikit lagi," ucapku pada Luna dan Lintang. Setelah kenyang kedua putriku lari ke tempat bermain di sudut restoran.
"Hati-hati ya, Lun, Lin!" seruku.
Aku berinisiatif menyuapi Maira juga, aku yakin Maira akan luluh. Kubentuk nasi dan ayam dengan tangan dan mengulurkannya mendekati mulut Maira.
"A ..."
Maira bahkan tidak meliriknya. Drama lagi, aku harus merendahkan diri untuk membesarkan hati Maira.
"Ayo makan, Mah, kasian dede Guntur 'kan harus minum ASI banyak biar cepet gede," bujukku pada Maira, tanganku masih menggantung di udara menunggu mulut Maira terbuka.
"Papah minta maaf, Mah, papah berani sumpah kejadiannya nggak kayak yang Mamah pikir," tuturku mencoba menjelaskan.
Maira tetap diam, hanya tangannya yang bergerak menepuk-nepuk Guntur yang mulai bangun.
"Iya, papah salah, tapi papah udah sadar dan tadi papah itu habis mutusin Risa, Mah!" tuturku berapi-api mencoba menjelaskan tanpa diminta, biasanya Mairalah yang akan bertanya, kenapa begini? Kenapa begitu?
"Kalau Mamah nggak percaya, liat aja hape papah, papah nggak pernah bales satupun pesan Risa, telpon juga nggak papa angkat, tadi papah bales cuma buat mutusin Risa."
Kuletakan ponselku di depan Maira, kudekatkan hingga menyentuh lengannya. Aku harap Maira cerdas dan bisa melihat kebenarannya.
Maira tersentak ketika ponsel menyentuhnya. Sangat terkejut hingga dia mengibasnya dengan kuat.
Ponselku terlempar, terbang, dan akhirnya jatuh. Pandangan pengunjung lain langsung tertuju pada kami. Aku yang salah tingkah segera mengambil dan tersenyum pada mereka seolah kejadian tadi tidak disengaja.
Kembali ke meja tempat kami makan, terlihat Maira yang sangat jijik pada ponselku. Kenapa? Padahal biasanya dia akan diam-diam memeriksa ponselku seperti detektif.
"Mah ... kenapa, sih?"
Tanpa menghiraukanku Maira bangkit dan mencuci tangannya, aku diam melihat gerak geriknya yang pelit. Maira kembali dan dengan sedikit kerepotan dia mulai makan.
"Sini biar papah gendong dulu Gunturnya," ucapku seraya mengulurkan tangan hendak mengambil alih bayi kami yang masih merah.
Maira tidak menghiraukanku, dia justru menyeret kursinya menjauh. Sontak pandangan orang-orang kembali tertuju pada kami. Huh ... Maira!
Ya sudah, mungkin Maira butuh waktu untuk menenangkan diri. Mungkin kondisinya yang masih labil pasca persalinan membuat Mairaku lupa caranya marah, atau dia terlalu lelah untuk bertengkar.
Kuamati wajah Maira. Tampak menahan tangis tapi tetap menjejalkan makanan ke mulutnya. Ada rasa ngilu menjalar begitu saja melihat Maira bersikap begitu, seolah aku sudah menjadi suami yang sangat jahat padanya.
Aku sudah melakukan hal benar, dengan meninggalkan Risa. Tapi kenapa Maira harus melihat saat aku sedang memeluk Risa? Semesta kejam sekali padaku.
Harusnya hubunganku dengan Risa berakhir tanpa harus Maira tahu. Dari kejadian-kejadian sebelumnya baru kali ini aku berhenti selingkuh karena aku sadar diri, bukan karena ketahuan. Maira harusnya senang karena aku sudah berubah.
Setelah semua selesai kami pulang, Luna dan Lintang merengek minta digendong karena kelelahan bermain. Bagaikan superman kugendong Luna di kanan, dan Lintang di kiri.
Lihatlah Maira, aku berusaha!
Percuma, Maira melenggang begitu saja mendahuluiku. Aku kembali kecewa. Aku berjalan di belakang Maira.
Tanpa sengaja kulihat kaki Maira hanya menggunakan selop yang biasa dia pakai di dalam rumah, dia pasti terburu-buru. Aku nelangsa membayangkan situasi Maira.
Sebenarnya, bagaimana Maira bisa tahu? Dan bagaimana Maira bisa sampai di waktu yang sangat tidak tepat? Kenapa bukan disaat aku mengucapkan kata putus untuk Risa?
.
.
.
.
.
.
Maira tidur sepanjang perjalanan, tangannya tetap kokoh memeluk Guntur yang sudah kenyang menyusu. Jarak tempuh yang harusnya tidak sampai setengah jam, menjadi molor panjang karena macet dan gerimis. Luna dan Lintang pun terlelap di kursi belakang. Hanya aku yang terjaga, sabar melajukan ban mobil semeter demi semeter.
Kupandangi wajah sayu Maira di sela mengemudiku. Maira yang menyenangkan berubah menjadi Maira yang menekan. Tetapi kuakui, dia sabar menghadapiku selama ini, dan seburuk-buruknya tingkahku tidak sedikit pun niat untuk meninggalkan Maira.
Aku pun sabar menunggu Mairaku kembali, Maira yang dulu membuatku jatuh hati. Ini hanya soal waktu dan keadaan. Hidupnya berubah karena anak-anak, hanya harus menunggu anak-anak besar maka Mairaku akan kembali.
Dan aku bukannya tidak sabar, hanya kurang sabar. Maira tidak lagi memberiku kepuasan batin akan cintanya. Bukan hanya soal ranjang tapi soal debaran perasaan yang membuat hariku semangat bekerja. Semua itu tidak lagi kudapatkan dari Maira, dia sibuk dengan anak-anak.
Aku tetap mencintaimu, Ra. Hanya saja aku butuh selingan untuk tetap mencintaimu.
Sesampainya di rumah Maira terbangun. Tanpa kata dia masuk ke dalam rumah. Bergantian kugedong Luna dan Lintang ke kamar. Sementara Maira sibuk mengganti baju dan popok bayi kami.
Kami punya asisten rumah tangga yang hanya datang pagi dan pulang sore hari. Pernah kuusulkan untuk mencari pengasuh yang bisa membantu Maira menjaga anak-anak tapi Maira menolak dengan alasan ingin menjaga anaknya sendiri.
Maira terus mendiamkanku, dia sengaja sibuk dengan Guntur padahal aku ingin sekali mengajaknya bicara. Aku mandi dan membersihkan diri. Di otakku terus berputar pertanyaan kenapa semua harus ketahuan, padahal perselingkuhanku baru saja berakhir?
Maira tertidur memeluk Guntur. Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa Maira mendiamkanku? Padahal aku yakin di hatinya ada banyak pertanyaan untukku seperti yang sudah-sudah.
Hatiku sakit melihatnya terlelap. Teringat akan semua kesalahanku yang terlalu mengedepankan ego dan nafsu. Aku paham aku salah, tapi kadang keinginan itu meledak-ledak membutakan hatiku, tapi aku berjanji, kali ini akan benar-benar berubah.
***
Tengah malam aku terbangun dan menemukan Maira terjaga duduk di dekat jendela sambil memangku Guntur. Biasanya aku hanya akan mengerjap lalu tidur lagi. Tapi rasa takutku terlalu besar saat ini, entahlah, tapi aku benar-benar takut pada Maira.
Aku bangun dan melihat ponselku tergeletak begitu saja di atas nakas. Aku lupa, kapan terakhir ponselku berubah posisi ketika kutinggal tidur. Hal yang paling tidak kusuka adalah saat Maira mengecek isi ponselku, tapi sekarang aku ingin sekali Maira melakukannya.
Aku hanya melengos kecewa, dan memberanikan diri mendekati Maira.
"Mah ... Guntur bangun?" tanyaku berusaha mengajaknya bicara, belum sekata pun Maira berikan untukku sejak pergi dari rumah Risa.
Aku tidak mengerti pada bayi, Maira sering mengeluh kalau Guntur hanya mau tidur di pangkuannya. Saat sudah terlelap dan diletakan di kasur Guntur akan terbangun dan menangis.
"Kamu yang manjain dia, makanya Guntur jadi bau tangan!" jawabku ketika Maira mengeluh kurang tidur setiap pagi. Tentu saja Maira kecewa. Aku? Pastilah tidur pulas.
Maira diam, selaras dengan malam yang temaram dan sunyi.
"Mah ... sini gantian gendong Gunturnya," tawarku seraya mengulurkan tangan. Tapi hampa, Maira tetap mematung.
Kutarik kembali tanganku dengan kecewa, menarik nafas untuk mengalah, dan berusaha sabar memahami Maira. Aku duduk menarik kursi lain ke samping Maira.
"Mah ... jangan diem kayak gini, maafin papah," ucapku berusaha mengerti, sediam apapun Maira pasti hatinya menunggu maaf dan penjelasan dariku.
Inginku menggenggam tangannya agar dia bisa merasakan kesungguhanku kali ini. Tapi aku tidak berani, aku hanya bisa meliriknya.
"Papah udah ninggalin wanita itu, Mah, dulu emang sempet deket, tapi papah sadar itu salah, makanya papah ninggalin dia," tuturku mencoba menjelaskan sekali lagi.
"Maaf, Mah, maafin papah," pintaku memohon.
Maira hanya menghela nafas dengan kasar, seolah keberadaanku membuatnya menjadi tidak nyaman.
"Kita cerai aja," ucap Maira pada akhirnya, kalimat yang membuatku kecewa, harusnya dia mengerti kalau kali ini aku bersungguh-sungguh. Bahkan aku dengan sadar meninggalkan Risa sebelum ketahuan olehnya. Harusnya dia menghargai itu!
"Mah!"
"Cerai aja!" ucapnya lagi tanpa ekspresi.
"Kamu kenapa sih? Hargai penjelasan aku dong, Mah, aku udah jujur sejujur-jujurnya," ucapku mulai tersulut marah.
"Oke aku salah, tapi aku udah sadar dan bahkan tanpa kamu minta aku udah ninggalin wanita itu. Dia cuma hiburan karena aku stres di kerjaan sementara kamu sibuk sama anak-anak dan kehamilan kamu," terangku berusaha membuat Maira mengerti masalah ini dari sudut pandangku.
Untuk beberapa detik aku merasa Maira salah dan aku benar. Aku marah karena kebungkaman Maira, dan tanpa menghargai penjelasanku dia berani mengambil keputusan sendiri.
Detik berikutnya aku kembali menyadari bahwa untuk menggapai hati Maira, aku harus mengalah. Aku menyesal telah meninggikan suara.
"Papah salah Mah, maafin papah, papah nggak mau cerai sama Mamah," ucapku berusaha mengontrol kembali nada bicaraku.
Maira mengayun-ayun Guntur yang terbangun karenaku. Dia kembali mengabaikanku menggunakan Guntur sebagai alibinya. Aku semakin kesal karena keacuhannya.
Maira bangkit dan meninggalkanku dalam kemarahan. Marah karena sudah menyakiti Maira. Marah karena gagal membuat Maira mendengarkan penjelasanku.
Kenapa Maira keras kepala sekali?
Padahal harusnya sekarang semua sudah baik-baik saja karena perselingkuhanku pun sudah berakhir.
Dengan kesal kutinggalkan kamar dan beralih tidur di sofa. Aku mulai tersinggung dengan sikap Maira yang terlihat sangat risih padaku.
Merendahkan diri pada seorang wanita adalah hal yang sangat melukai harga diri lelaki. Tapi karena cintaku yang besar pada Maira aku rela melakukannya. Aku minta maaf berkali-kali bahkan aku memohon-mohon padanya. Dengan angkuhnya Maira tidak peduli.
***
Rutinitas pagi yang bising membangunkanku, Luna dan Lintang mulai merengek meminta sarapan mereka. Aroma masakan dari dapur menyeruak ke hidung membuatku terjaga.
Ada rasa syukur terbesit memenuhi rongga dada yang disertai rasa lega. Melihat Maira memasak nasi goreng untuk sarapan menyiratkan bahwa dia sudah baik-baik saja. Bik Tuti baru datang nanti pukul 7 pagi, sementara Luna dan Lintang sudah tidak sabar untuk sarapan.
Dengan semangat aku bergegas mandi bersiap untuk ke kantor. Aku berniat untuk pulang cepat dan mengajak Maira serta anak-anak untuk makan malam di luar. Aku harus berusaha lebih keras meluluhkan hati Maira.
Kutatap wajah Guntur yang lebih mirip pada Maira, dia masih tertidur pulas setelah membuat Maira begadang semalam. Kuciumi Guntur penuh rasa sukur, dialah titik balik kehidupanku, dan aku harap Maira akan memaafkanku demi Guntur, Luna, serta Lintang.
Ponselku masih diposisi yang sama semalaman. Maira tidak lagi tertarik pada barang pribadiku. Kuraih benda pipih itu dan mengecek beberapa chat penting.
Sebuah pesan masuk membuatku terkejut.
[Video penggerebekan pelakor oleh istri sah dengan membawa bayi yang masih merah]
Astaga!
.
.
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!