"Bagaimana ... apa sudah dapat tentang informasi pemilik perusahaan itu?"
"Belum, Pak. Sepertinya pemilik perusahaan tersebut menyimpan rapat-rapat privasinya."
Terdengar suara sahutan dari balik ponsel pria paruh baya yang sedang menyeruput secangkir kopi dimeja makan itu.
"Dasar bodoh! begitu saja kamu tidak becus."
"Maaf, Pak, Malik. Tapi saya janji dengan bapak, saya akan berusaha semampu saya untuk menggali informasi tentang pemilik perusahaan itu."
Suara dari balik ponsel itu terputus ketika Rossa menghidangkan sebuah roti panggang dengan selai kacang diatas meja.
"Mana anak itu. Apa dia menyetujuinya?"
"Dhia ... "Suara Rossa terputus saat mendengar langkah kecil menuruni tangga.
"Itu dia ..." Malik bergumam menyeringai. Melihat Dhia yang turun dengan wajah dingin. Gadis itu berpenampilan sederhana. Bersiap memulai rutinitas pagi untuk pergi ke kampus."Bagaimana, sayang? Mamamu pasti sudah bercerita. Apa kamu setuju?"Suara pria itu begitu lembut. Sangat kontras dengan apa yang terdengar tadi malam. Berubah drastis. Seperti bukan dia. Malik Mahendra Hartawiawan. Namun kenyatannya, ini adalah pria paruh baya itu. Begitulah sifatnya. Tak jarang bersikap dingan dan kasar. Namun terkadang bisa bersikap lembut. Entahlah. Seakan memiliki kepribadian ganda. Sikapnya sungguh susah ditebak.
"Apa tidak ada pilihan lain, Pa?"Dhia memberanikan diri untuk bertanya.
"Jadi maksudmu kamu tidak mau?"
Dhia menelan ludah berkali-kali. Ketika air muka pria paruh baya itu terlihat berubah.
"Dhia ... percaya sama Papa. Dia itu pria baik-baik, kok. Namanya Dirga Rayyan Megantara. Pemilik perusahan Megantara Group. Dia kaya raya. Ganteng lagi."
"Papa jamin. Kamu tidak akan menyesal menikah dengannya. Kamu justru beruntung."pungkas Malik sambil cengengesan tanpa dosa.
"Lagi pula, katanya dia sudah pernah bertemu kamu. Katanya, sih ... dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama."
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"Dhia kembali menentang. Entah keberanian itu datangnya dari mana. Tiba-tiba saja ia bersuara yang mungkin bisa saja menyebabkan kegaduhan yang lebih parah lagi seperti tadi malam.
Rossa yang mendengar itu hanya berdiri dengan wajah pias. Seraya ujung jemarinya tak henti-hentinya saling memilin. Ditambah lagi tatapan mata Malik yang menghujaninya dengan sorot mata tajam. Saat itu semakin membuat sendi-sendinya terasa lemas.
"Aku sudah bilang kan ... aku tidak ingin ada penolakan. Sore ini dia akan datang. Jangan sampai kalian membuatku malu."Malik menatap Dhia dan Rossa bergantian dengan tatapan penuh ancaman. Sebelum akhirnya pergi dan menghilang dari balik pintu.
Dhia menoleh. Tidak tega rasanya melihat wanita yang sangat ia cintai itu begitu ketakutan. Ia menghampiri. Menyusut bulir bening yang mengalir dipipi yang sudah tak lagi terlihat kencang itu.
"Ma ..."
Rossa menatap Dhia dengan wajah sendu. Ia tak bersuara. Namun air mata yang terus mengalir sudah cukup menggambarkan hatinya yang terluka saat ini.
"Jangan nangis, Ma."Dhia mengukir senyum"Aku bersedia menikah dengan orang itu."
Rossa bergeleng cepat. "Jangan, nak. Jangan lakukan itu. Mama tau hatimu hancur."
"Wiiih ... ada apa ini? Pagi-pagi sudah ada adegan tangis-tangisan."Suara Inka berhasil membuat keduanya menoleh. Gadis cantik namun sedikit tomboi itu turun dengan langkah cepat. Langsung meletakkan tas diatas kursi makan yang kosong.
"Gara-gara, Papa?"tanya Inka dengan gerakan tangan yang cepat mamasukkan potongan-potongan roti kedalam mulut lalu mengunyahnya.
"Kamu ini sok tahu."Rossa berjalan menuangkan susu kedalam gelas."Tadi malam pulang jam berapa?"
"Nggak tahu, Ma. Lupa" Inka menjawab sekenanya.
Rossa mendesah pelan."Kamu ini. Pulang selalu malam-malam. Ingat, kamu itu cewek. Bukan cowok!"
"Tau, Ma."
"Aku berangkat dulu, Ma."Dhia mencium punggung tangan Rossa.
"Nggak sarapan dulu, sayang." tawar Rossa.
"Nggak, Ma. Sarapan dikantin aja."Dhia melangkah keluar.
"Sarapan, Mbak. Jangan sampai enggak. Biar kuat melawan kenyataan hidup yang berat."Celetuk Inka sedikit berteriak. Entah Dhia mendengar atau tidak. Namun Rossa sepertinya sadar kalau Inka tahu, bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja.
"Aku tahu, Ma."Inka kembali membuka mulut ketika Rossa melihatnya dengan tatapan menelisik."Aku tadi nggak sengaja dengar."
"Aku berangkat, Ma."Inka berdiri seraya mencantelkan tas hitam miliknya diatas bahu. Lalu mencium punggung tangan Rossa takzim.
"Hati-hati, nak. Jangan ngebut-ngebut naik motornya."
"Sip, buk, bos" Inka membalasnya dengan gaya hormat.
Rossa hanya bisa bergeleng. Ia tahu betul kepribadian anak bungsunya itu. Tak jarang teman-teman Inka memberitahukan kepadanya jika Inka selalu mengendarai motor dengan sangat kencang. Pernah juga anak bungsunya itu merengek meminta untuk dibelikan motor trail. Namun Rossa menolak keras. Menurutnya itu sudah tidak wajar. Dan pada akhirnya Rossa hanya membelikan sebuah motor matic seloopy. Itupun sudah dimodifikasi dengan bentuk yang menurut Rossa urakan. Biar keren, katanya.
...-------...
"Dhia!" Seru seorang pemuda berpenampilan casual namun terkesan rapih. Pemuda bermata sedikit sipit itu berlari kecil menghampiri Dhia.
Dhia menoleh."Iya, Nu ..."
"Masih ada kelas?"
"Sudah habis. Kenapa?"
"Jalan, yuk."Dhanu menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum manis. Pria yang satu kampus dengan Dhia namun beda jurusan ini sebenarnya sudah lama menyimpan hati pada Dhia. Dhia tau itu. Namun Dhia berpura-pura tidak tahu. Karena baginya, persahabatan antara dirinya dan Dhanu lebih terasa nyaman.
Sebenarnya, Dhanu adalah pria yang baik. Dia juga berasal dari keluarga yang terbilang berkecukupan. Pemuda yang baik, supel dan mudah bergaul. Selalu bisa menjadi pria yang menyenangkan mengisi hari-hari Dhia.
Jika harus beralih pada hubungan yang lebih dalam. Dhia takut. Tak ada yang bisa menebak. Cinta tak selamanya berjalan meluncur mulus. Bisa saja ditengah jalan ada perselisihan. Tak ingin itu terjadi, Dhia lebih memilih aman. Karena tak ingin persahabatan yang hampir empat tahun terjalin harus berjarak karena urusan cinta.
Dhia menghela nafas pelan."Maaf, Dhanu. Aku nggak bisa."
"Kenapa?"Dhanu mengernyit. Tak biasanya Dhia seperti ini. Kerena selalunya Dhia akan menyambutnya dengan wajah riang ketika Dhanu mengajak menghabiskan waktu. Entah itu makan. Atau sekedar jalan-jalan mencari angin sore.
"Aku ada urusan keluarga."Aku Dhia jujur."Aku harus segera pulang."
"Oh, begitu."Dhanu manggut-manggut."Kamu kan nggak bawa mobil. Aku antar, ya."
"Nggak usah, Nu."tolak Dhia cepat.
"Sudah, nggak apa-apa. Nggak perlu sungkan."Dhanu langsung menarik lengan Dhia. Membawanya menuju parkiran dimana motor sport merahnya berada.
"Aku udah janji pulang bareng Inka, Nu."
"Kamu serius mau pulang bareng bocil selengekan itu?" Dhanu meremehkan."Ya ampun, Dhia. Entar yang ada rambut kamu malah jigrak enggak karuan kayak bihun belum disiram air panas."
"Kaku!"tegas Dhanu."Kayak nggak tau aja itu bocil naik motor kayak apa."
Dhia hanya terkekeh pelan mendengar Dhanu yang terus mengoceh mengejek adiknya, Inka. Ia pun langsung menurut naik keatas motor sport tersebut ketika Dhanu memintanya.
Hampir dua puluh menit didalam perjalanan. Keduanya akhirnya sampai didepan rumah mewah bernuansa putih dan pagar berwarna hitam. Dhia pun turun.
"Makasih, Nu."
"Oke."Dhanu tersenyum tulus. Pandangannya kemudian tertuju pada mobil sedan berwarna hitam buatan Eropa keluaran terbaru yang terparkir di pelataran rumah mewah tersebut."Ada tamu itu."
Dhia langsung menoleh. Merasa tidak asing dengan mobil yang terparkir di halaman rumahnya tersebut."Mungkin teman bisnis Papa."
"Oh."Dhanu manggut-manggut namun sedikit ambigu.
"Ini, helmnya."Dhia memberikan helm pada Dhanu yang baru saja dilepas.
Dhia melangkah ragu. Terdengar suara tawa dari dalam ruang tamu. Samar-samar terdengar suara yang membuatnya Dejavu. Bukan suara Papa. Melainkan suara pria lain dari dalam ruang tamu.
"Papa benar-benar serius dengan perkataannya."lirih Dhia pelan. Ia menelan ludah berkali-kali. Hatinya benar-benar takut dan gugup.
"Nah, itu dia sudah pulang."ucap pria paruh baya itu pada seorang lelaki yang duduk memunggungi Dhia. Pria itu langsung menoleh. Seketika bolamata Dhia terkunci pada mata elang yang memandangnya sambil tersenyum.
"Hai."Sapa pria itu.
"Kamu, k-kenapa bisa ada disini?"Dhia kebingungan.
Malik sontak tertawa."Dhia ... kamu ini ngomong apa? Ini dia Dirga Rayyan Megantara yang tadi pagi papa ceritakan. Dia calon suamimu."
"Kemari, nak. Jangan hanya berdiri disitu."ajak Malik dengan lembut. Duduk disini."Dhia pun menurut dan duduk didepan Dirga. Pria yang belakangan ini berhasil menguasai pikirannya. Tak dipungkiri. Sejak pertemuan tanpa disengaja seminggu lalu, dan kejadian tadi malam membuat Dhia terus terbayang wajah tampan pria itu.
Dia calon suamiku? bathin Dhia tak menyangka. Entahlah, kali ini ia harus senang atau merasa sedih. Kebetulan seperti apa ini?
"Ayo, Ma. Kita tinggalkan meraka."Malik mengajak Rossa yang sedari tadi hanya duduk dan diam."Kasih mereka waktu untuk perkenalan lebih dalam. Sebentar lagi kan mereka akan menikah."
Rossa pun berdiri, berjalan mengekori suaminya.
"Jelaskan padaku, kenapa tiba-tiba kamu ingin menikahiku?"Dhia membuka suara dan memandang Dirga.
"Jujur, sejak pertemuan kita seminggu lalu aku sudah jatuh hati padamu."Aku Dirga seraya membalas tatapan Dhia dalam-dalam. Mengenai pinjaman uang untuk perusahaan Papa kamu. Itu adalah alibiku. Itu semua agar papa kamu mau menerimaku.
Dhia mengernyit.
"Kalau aku datang secara tiba-tiba ingin melamarmu. Sudah pasti Papa kamu akan menolakku."sambung Dirga lagi."Aku harap perasaanku tidak salah."
"Karena aku merasa kamu juga merasakan perasaan yang sama kepadaku."Suara Dirga terdengar lembut ditelinga Dhia.
Gadis itupun langsung menunduk. Jantungnya tiba-tiba menghadirkan debaran yang tak biasa. Ada bunga-bunga yang seolah bermekaran dan kupu-kupu yang seakan menari berterbangan dari dalam sana.
"Malam ini, aku berniat mengajakmu keluar. Anggap ini sabagai perkenalan kita agar lebih dekat. Kamu mau?"
Dhia pun, mengangkat wajah.
Sudah seminggu masa-masa pendekatan berlalu. Hubungan Dhia dan Dirga semakin lengket seperti sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Tadi siang adalah hari yang paling membahagiakan bagi Dhia. Hari dimana dirinya sudah sah menjadi istri dari seorang pengusaha muda, Dirga Rayyan Megantara.
Janji suci sudah diikrarkan dalam khidmatnya ijab kabul yang sudah berlangsung beberapa waktu lalu. Saat ini, malam ini. Kilauan cahaya lampu dan ribuan bunga-bunga berwarna ungu, hijau dan didominasi putih sudah tersusun dan dirangkai rapi disebuah gedung mewah tempat resepsi pernikahan diselenggarakan.
Berbagai jenis makanan dan minuman sudah terhidang diatas meja prasmanan. Ditambah dengan hiburan musik yang dibawakan oleh penyanyi terkenal dari ibu kota. Ratusan mata memandang dari para undangan yang sengaja di undang menghadiri resepsi pernikahan ini. Semuanya terdiri dari tamu-tamu penting dan terhormat.
Ini adalah hari bahagia Dhia. Ini juga pernikahan impiannya. Ia berdiri dengan gaun mewah berwarna biru muda. Lengkap dengan mahkota indah yang bertengger diatas kepalanya. Disisinya, berdiri seorang Dirga Rayyan Megantara. Pria tampan itu memakai tuxedo yang berwarna senada dengannya. Sesekali keduanya pun melempar senyum pada tamu undangan yang hadir. Tak sedikit para tamu yang merasa iri dengan sepasang pengantin yang terlihat sempurna itu.
"Anda benar-benar hebat Pak, Malik. Setahuku, Dirga adalah pengusaha muda yang sulit sekali untuk ditaklukkan. Tapi anda ...."Seno tertawa renyah."Anda bahkan bisa menjadikannya sebagai menantu."
"Kali ini, aku jamin. Perusahaan milikmu semakin kuat. Dan sudah pasti akan semakin banyak pengusaha-pengusaha lain yang tertarik untuk melakukan kontrak kerja sama denganmu."
Malik tertawa."Ya, semoga saja."
"Aku dengar, kamu kalah tender."Seno bertanya seraya menyeruput minuman ditangan kanannya."Apa itu benar?."
Wajah Malik sedikit merah. Ia merasa malu karena kekalahannya sudah tersebar pada sebagian rekan-rekan bisnisnya. Ini kali pertama ia marasa begitu rendah. Seumur usianya yang sudah mencapai kepala lima, ini adalah kegagalan yang baru pertama kali terjadi.
Seno tertawa mengejek."Gila, sih. Kok bisa? Biasanya kamu yang selalu menang. Siapa pemenang tander itu?"
"Aku dengar perusahaan itu berada di Singapura. Kalau tidak salah nama perusahaan itu ..."Seno menggantung kalimatnya seperti sedang mengingat-ingat."D'ray Megatar Corporatin"
"Benar, kan?"Seno memastikan.
Malik mengangkat kedua alis tebalnya."Tapi aku tidak tau siapa pemilik perusaan itu. Apa kamu tahu sesuatu?"
Seno terkekeh pelan."Sayang sekali, aku juga tidak tahu."
Acara resepsi pernikahan berlangsung meriah. Semuanya berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Pukul 10:00 malam, acara sudah selesai. Seluruh tamu undangan sudah kembali.
"Tidak menginap dirumah Mama dulu?" begitu Rossa bertanya ketika Dirga berniat membawa Dhia langsung untuk kembali ke Penthouse, miliknya.
"Aku rasa, nggak bisa, Ma. Besok aku ada urusan pekerjaan yang sangat penting. Kebetulan tempatnya lebih dekat jika dari Penthouse. Kalau dari sini, itu akan menyita waktu yang cukup lama."Dirga menolak halus.
"Kalian baru saja menikah. Kenapa tidak cuti dulu?"Malik membuka suara.
"Kebetulan urusan pekerjaan ini sudah direncanakan jauh-jauh hari, Pa. Tidak enak jika harus diundur."
Malik manggut-manggut."Oke lah, mau bagaimana lagi?"
"Aku pergi dulu, Ma." Dhia memeluk Rossa. Wanita paruh baya tampak belum siap melepas putri sulungnya itu. Semua terasa begitu singkat baginya.
Selama diperjalanan menuju Penthouse, Dhia merasakan kecanggungan. Entah apa yang membuat, tiba-tiba saja Dirga yang duduk bersebelahan dengannya berubah dingin. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir pria itu. Ini kali pertama Dhia melihat perubahan sikap Dirga. Sangat berbeda.
"Waduuuh ... pengantin baru sudah tiba. Cantik sekali Mbaknya."celoteh seorang asisiten yang menyambut kehadiran Dhia dan Dirga."Sini, sini ... biar Wiwik yang bawa tasnya."
"Pengantin baru Ndak boleh capek-capek. Biar ... ehem, ehem!"Wiwik tertawa cengengesan dengan gaya malu-malu. Dan langsung berubah ekspresi ketika Dirga melemparkan tatapan tajam kepadanya.
"I-iya, maaf ... Mas Dirga."
"Antar dia ke kamarnya."Perintah Dirga dengan suara dingin.
"Oke, siap, Mas ganteng. Perintah dilaksanakan!"Dengan gaya latahnya Wiwik langsung memasang sikap hormat.
"Ayo, mbak."Wiwik dengan ramahnya mempersilahkan Dhia untuk mengikutinya. Dhia pun menurut. Masih dengan fikirkan yang mengganjal dibenaknya.
"Aku bilang, kamarnya. Bukan kamarku!"tegas Dirga dari belakang.
"Lah, lah ... ini gimana, sih? Bukannya ...."gumam Wiwik pelan hampir terdengar. Ia terlihat bingung. Namun Dhia lebih tak mengerti.
Kamarnya? Bukan Kamarku? bathin Dhia tak mengerti.
"B-baik, Mas Dirga ..."Wiwik menunduk hormat. Kali ini ia bersikap serius. Sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan pernikahan ini.
"Ayo, Mbak ... saya antar ke kamar yang satunya."
Didalam kamar, Dhia masih belum juga paham. Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan suaminya. Sebelumnya dia tidak pernah bersikap seperti ini. Apa ada masalah? bathinnya menebak.
Gurat kesedihan terbaca oleh Wiwik. Wanita yang usianya lebih tua tiga tahun dari Dhia itu bisa mengerti perasaan Dhia saat ini."Mbak Dhia ... "Wiwik mendekat."Mbak Dhia jangan sedih, ya ... Mungkin Mas Dirga lagi ada masalah."
"Mas Dirga memang begitu kalau lagi banyak fikirkan. Kadang buat pusing. Serba salah saya ngeladeninya."
"Ya ... mudah-mudahan aja besok sudah berubah jadi baik lagi. Biar bisa ehem ... ehem."Wiwik terkekeh geli membayangkan otaknya yang sudah berkelana kemana-mana.
Dhia mengernyit."Ehem, ehem apa maksudnya?"
Wiwik berdecak pelan"Itu, loh ... Mbak ..."Wiwik menyentil gemas lengan Dhia."Alaah ... si Mbaknya masa gitu aja nggak tau."
Dhia tertawa pelan melihat tingkah Wiwik yang menurutnya lucu.
"Udah, ah ... saya keluar dulu, Mbak. Mau bobok cantik. Udah ngantuk soalnya."ucap Wiwik sebelum akhirnya berlalu.
Selesai membersihkan diri, Dhia membaringkan tubuh setelah sebelumnya menyempatkan diri untuk melaksanakan shalat isya yang tertunda. Rasanya ia begitu lelah. Matanya nyalang memandang langit-langit kamar. Namun pikirannya masih teringat tentang pesta pernikahan yang baru saja usai. Rasanya ia tak percaya. Benarkah dirinya yang berdiri dan duduk di pelaminan itu.
Kalau iya, mengapa begini? Dan kenapa dia menghindar? Bukannya harusnya dia bersamaku malam ini? Bathin Dhia terus diselimuti tanya. Sampai ia tak kuasa melawan rasa kantuk. Dan akhirnya tertidur.
...-------...
Disebuah bangku panjang. Tepat didepan kelas jurusan Teknik. Dhanu duduk seraya memainkan ponselnya. Kemudian teralihkan pada suara cempreng yang keluar dari ruang kelas tersebut.
"Heh, Ikan !"seru Dhanu pada seorang gadis yang tak lain adalah Inka Serillya Ayu.
"Waah ... cari masalah ini anak."Inka menggulung lengan kemajanya seperti menantang.
"Eits ... Selo, selo, neng."
"Nama gue, I-n-k-a. 'Inka' "Inka mengeja setiap huruf yang tersemat pada namanya dengan nada geram."Bukan ikan. Sekate-kate, lu."
Dhanu akhirnya tergelak. Menurutnya ekspresi Inka sangat lucu.
"Ada perlu apa"tanya Inka ketus.
"Dimana Dhia? Bukannya seharusnya dia ada kelas hari ini?"
"Bulan madu, lah." Inka menjawab ceplas-ceplos.
Alis Dhanu bertautan."Maksud kamu?"
"Elaah, kemana aja kamu. Nggak tahu apa kalau Mbak Dhia baru menikah. Udah mau ..."Inka menjeda kalimatnya."Berapa hari, ya?"tanyanya pada diri sendiri sambil berfikir.
"Sabtu, Minggu, Senin ... Tiga hari."Inka menyodorkan ketiga jarinya pada Dhanu.
"Serius kamu?"Dhanu melebarkan mata.
"Nggak ada waktu gue bohong-bohong. Ngapain?"
Dhanu yang biasanya ceria dan selalu mengukir senyum manis, kini hanya bergeming. Dalam hati ia berharap ucapan Inka hanya gurauan semata. Namun gadis yang dianggapnya bocil itu bukan tipe gadis yang suka bergurau. Itu artinya ...
Argh!
Pria berpenampilan casual dan selalu rapih itu menyugar rambutnya. Tiga hari ia berlibur bersama keluarganya di Lombok. Tiga hari itu pula, dihari yang sama ia kehilangan Dhia. Cinta rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat didalam hati.
...-----...
Dhia menghidangkan makan malam diatas meja. Hari ini ia ingin menyambut kepulangan suaminya yang kabarnya akan pulang dari Singapura. Dan itu ia dengar ketika Wiwik yang memberi tahu.
Bisa dibilang, ini adalah hari pertama ia berjumpa dengan suaminya setelah pernikahan. Karena saat itu, setelah acara resepsi, pagi-pagi sekali Dirga sudah bertolak ke Singapura, tanpa permisi, dan kabar selama berada di sana.
Sebenarnya Dhia bingung. Dirga benar-benar berubah kepadanya. Tapi ia membuang fikirkan buruk itu jauh-jauh. Berharap perubahan sikap suaminya itu hanyalah sementara. Mungkin masalah pekerjaan yang menjadi pemicu. Pikirnya.
"Mbak Dhia ... kok bisa cantik gitu, sih? Dikasih makan apa dulu waktu kecil?"Wiwik tiba-tiba muncul entah dari mana seraya tersenyum malu-malu.
"Apaan, sih, kamu Wik. Makan nasi, lah. Makan apa lagi?"Dhia bergeleng-geleng mendengar pertanyaan konyol Wiwik.
"Masa sih, Mbak. Lah aku dari dulu dikasih makan nasi kok hasilnya begini. Hidungku mancung ke dalem."Wiwik memajukan batang hidungnya seraya mengembang-kempiskan lobang hidungnya yang besar.
"Nggak cantik kayak Mbak Dhia."
"Hus, nggak boleh begitu. Harus bersyukur dengan apa yang dikasih sama Tuhan. Diluar sana masih banyak orang yang tubuhnya tidak lengkap. Kita masih untung dikasih organ tubuh yang lengkap."
"Tuh, kan ... Mbak Dhia bikin iri aja."Wiwik protes tak terima, sampai-sampai membuat Dhia mengernyit."Udah cantik. Pinter masak, pinter berkata bijak juga. Gimana Mas Dirga nggak kepincut coba?"
"Apa sih, kamu Wik. Nggak usah berlebihan, deh."Dhia kembali bergeleng.
"Eh, Mbak ... cerita dong, gimana awalnya bisa ketemu sampai membuat Mas Dirga bisa kepincut sama Mbak, dan akhirnya menikah."
"Soalnya itu, ya ... Mas Dirga nggak pernah punya pacar. Banyak sih, yang dekatin. Sampai-sampai datang kerumah. Tapi kayaknya Mas Dirga nggak pernah mau serius ngeladenin."
Dhia bergeming. Ia mengingat kembali saat pertama kali takdir mempertemukannya dengan Dirga. Ada kesedihan, tapi sementara. Setelahnya penuh dengan moment-moment indah yang sampai saat ini masih sangat jelas diingatan.
"Rahasia."Dhia nyengir, menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapih.
"Ya, Mbak Dhia ... gitu aja kok dirahasiakan, sih?"
"Iya, dong ... Kasihan nanti yang jomblo ngiri."Dhia terkekeh pelan ketika bersamaan dengan suara pintu yang terbuka.
"Mas Dirga, Mbak ..."Wiwik langsung berlari kedepan. Ia langsung meraih tas dari tangan majikannya itu.
"Akhirnya kamu pulang, Mas."Cicit Dhia setelah tadi sempat mengatur jantungnya yang berdebar lebih dulu. Ia ingin meraih tangan suaminya itu, namun sepertinya Dirga enggan menyambutnya.
"Emm ... Kamu mau makan dulu, Mas? Aku sudah siapin makan malam buat kam ..."
"Nggak usah!"sahut Dirga cepat memotong ucapan Dhia.
"Atau kamu mau mandi dulu ... aku akan siapkan ai ...."
Dirga tiba-tiba membanting pintu kamar dengan sangat keras membuat tubuh Dhia berjengit. Wiwik pun tak kalah terkejut mendengarnya.
"Yang sabar ya, Mbak Dhia. Mungkin Mas Dirga masih lelah. Maklumi aja. Namanya juga baru perjalanan jauh"
"Iya, Wik."Dhia meninggalkan Wiwik. Ia berjalan menuju kamar suaminya dan memberanikan diri membuka pintu kamar pria itu.
Wiwik menghela nafas panjang."Kasihan Mbak Dhia. Dia pasti sedih."Ia memajukan sedikit bibirnya."Lagian Mas Dirga. Ada-ada aja, deh ... Wiwik jadi gemas banget liatnya."
"Pengen nyubit aja itu kumisnya yang tipis."cerocos Wiwik sebelum akhirnya masuk keruang kerja milik Dirga dan meletakkan tas hitam yang ia jinjing diatas meja.
"Mas ..."Panggil Dhia ketika pintu kamar terbuka.
"Mas ...." Panggilnya lagi seraya menyapukan netra pada setiap sudut kamar besar itu. Namun tetap tidak ada jawaban. Hanya gemericik air yang terdengar dalam kamar mandi. Mungkin itu Dirga yang sedang membersihkan diri.
Dhia memungut kaos kaki dan dasi yang terlempar sembarang diatas sofa santai berwarna coklat tua didalam kamar itu. Lalu beralih pada jam tangan dengan merek ternama yang hampir terjatuh dari atas nakas. Ia menaruhnya dengan hati-hati. Namun ada satu benda menyita perhatiannya. Sebuah bingkai berukuran 10 inc, berisi foto kenangan yang terlihat sudah memudar warnanya.
Gambar seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahunan tampak tersenyum bahagia diapit oleh sepasang wanita dan laki-laki yang terlihat tampan dan sangat cantik.
Tanpa sadar Dhia tersenyum."Ini pasti almarhumah Mama dan almarhum Papa kamu, Mas."Lirih Dhia mengingat cerita Dirga yang mengatakan bahwa Papa dan Mamanya sudah tiada."Dan ini kamu ...."Dhia mengusap lembut bagian wajah anak kecil digambar itu."Manis banget. Keluarga yang begitu bahagia."gumamnya pelan.
"Kamu ngapain disini?"
Dhia sontak berbalik dan melihat Dirga sudah berdiri didepan pintu kamar mandi. Terlihat sudah lebih segar dengan kaos sederhana dan celana pendek selutut berwarna abu-abu. Sedang kedua tangannya masih memegang handuk putih yang bertengger diatas rambutnya yang basah.
"Mas, aku ... "
"Lancang sekali kamu!"Dirga memutus kalimat Dhia dengan suara yang tinggi, sampai-sampai membuat bahu Dhia berjengit.
"Siapa yang suruh kamu masuk? Hah?!"Dirga berjalan mendekati Dhia. Netranya memandang gadis itu dengan sorot kebencian.
Dhia sempat bergeming. Menelisik bola mata yang ada dihadapannya. Ini bukan Dirga yang ia kenal sebelumnya. Laki-laki yang pernah membuat hatinya bertekuk lutut beberapa waktu lalu.
"Mas, kamu ini sebenarnya kenapa, sih? Aku ini istri kamu, Mas. Kamu lupa dengan pernikahan kita? Baru beberapa hari loh, Mas."Dhia akhirnya berani mempertanyakan teka-teki yang selalu mengusiknya akhir-akhir ini.
"Keluar kamu." ujar Dirga tanpa menoleh.
"Nggak ... aku nggak bisa kalau kamu terus kayak gini, Mas. Jelasin sama aku .... aku salah apa, Mas?"Dhia mencengkeram kedua lengan kekar suaminya itu."Cerita sama aku. Supaya aku bisa memperbaiki kesalahanku. Jangan dingin begini. Aku nggak ngerti, Mas"
"Aku bingung."suara Dhia bergetar.
"Kamu mau tau apa salah kamu?" Dirga mamandang Dhia dengan amarah yang tertahan. Kedua telapak tangannya berbalik mencengkeram bahu Dhia dengan keras."Ini semua karena kamu ...." Dirga tidak meneruskan kalimatnya. Ia malah melemparkan tatapan yang semaki tajam. Lalu melepaskan cengkeramannya hingga membuat tubuh mungil Dhia terhempas diatas tempat tidur.
"Mas ...!"
"Mas, jangan pergi!"
Dirga berjalan keluar seraya kembali membanting pintu. Tak perduli saat Dhia memanggilinya. Ia turun kebawah dengan emosi yang berkecamuk. Bersamaan dengan Wiwik yang hendak mengantar segelas air putih kedalam kamar majikannya itu.
"Lah ... lah .... Mas Dirga kok pergi?. Ini minumannya."Wiwik menelan ludah merasa ada yang tidak beres. Ia langsung membuka pintu kamar ketika mendengar suara tangis dari dalam kamar majikannya itu.
"Mbak Dhia ... kok nangis."Wiwik terlihat cemas dan menghampiri Dhia.
"Nggak apa-apa, Wik."Dhia mengusap pipinya yang basah."Aku ke kamar dulu, ya." Ia beranjak dan langsung keluar dari kamar itu.
Hati Wiwik merasa iba. Baginya Dhia adalah wanita yang baik. Tidak tega rasanya melihat Dhia diperlakukan seperti itu.
Didalam kamar, Dhia hanya bisa menangis. Suara tinggi Dirga masih terngiang-ngiang di indera pendengarannya. Hatinya begitu sakit. Tidak menyangka pernikahan sehari yang membuatnya begitu bahagia harus berbalik dengan kenyataan pahit. Bagaimana ia harus melewati perjalanan hidup yang baru saja dimulai.? Sedang waktu yang baru berjalan menyambutnya dengan cucuran air mata.
Dhia menangis terisak ketika saat itu ponselnya berdering. Terpampang nama si penelepon dilayar ponsel.
...Mama...
...📞...
...memanggil ......
Dhia ragu. Namun rasa rindunya pada wanita paruh baya itu membuatnya tak kuasa untuk tidak menjawabnya.
"Hallo, Ma ..."sapa Dhia setelah tadi sempat menetralkan suara.
Hallo, nak ... lama banget jawabnya.
"Iya, Ma ... tadi lagi dikamar mandi."kilah Dhia.
Kamu lagi nangis? tanya Rossa karena mendengar suara Dhia yang berbeda.
"Nangis?"Dhia bertanya balik."E- enggak lah, Ma ... kenapa nangis. Ini aku cuma lagi flu aja."jelasnya lagi-lagi harus berbohong.
Oh begitu .... Rossa menjawab ambigu. Sejenak ia hening, lalu kembali bersuara.
Jangan lupa sholat. Berdoa sama yang kuasa agar pernikahan kamu selalu di ridhai. Apapun masalahnya, mengadulah kepadanya. Insyaallah ... semuanya akan di mudahkan dan mendapatkan yang terbaik.
Dhia hening. Ia menduga Mama menyadari kebohongannya yang berpura baik-baik saja. Mama adalah, Mama. Seorang wanita pemilik ikatan bathin yang kuat terhadap darah dagingnya. Sepandai apapun lidah berberbelit. Suara tak bisa membohongi meski tidak ada ruang untuk saling menatap.
"Mama ..."lirih Dhia.
Kamu wanita kuat ... berjuanglah untuk rumah tanggamu. Mama yakin kamu bisa.
...-----...
Pukul tujuh pagi Dhia bergegas turun berniat untuk sarapan dan berangkat ke kampus. Matanya sedikit sembab. Sudah pasti karena semalaman menangisi cintanya yang terluka.
Dhia ragu untuk melangkah ketika melihat Dirga sudah lebih dulu duduk dimeja makan menyantap sarapan. Namun harapan agar rumah tangganya tetap bertahan ia akhirnya mengumpulkan sisa-sisa keberanian untuk tetap melangkah.
"Mas, kamu mau minum susu, air putih atau apa?"tanya Dhia ketika Dirga hampir tersedak."Susu aja, ya ... Aku buatin ya, Mas."
"Nggak usah!"tolak Dirga cepat.
"Udah, Mas ... nggak apa-apa. Aku nggak buru-buru, kok." jemari Dhia dengan lincah dan cepat membuatkan segelas susu putih pada Dirga."Ini, Mas ... udah siap."ucapnya seraya menyodorkannya pada Dirga.
"Nggak usah."tolak Dirga lagi.
"Jangan gitu dong, Mas .. kamu har ....."
Praangg!
Segelas susu yang dibuat Dhia dengan cinta akhirnya mendarat dilantai. Bersamaan dengan serpihan-serpihan gelas kaca yang berserakan tak tentu arah.
Tubuh Dhia berjengit. Netranya menahan bulir bening yang hampir tumpah kepermukaan.
"Aku bilang nggak usah, nggak usah!"bentak Dirga tanpa rasa bersalah. Pria itu langsung berlalu. Dhia hanya memandangi punggung bidang suaminya itu dengan hati hancur. Hingga menghilang dari balik dinding pembatas dapur dan ruang tamu.
...-----...
Empat orang gadis cantik keluar dari ruang kelas management. Salah seorang gadis itu adalah Dhia.
"Kemana kita hari ini?"Yuli bertanya pada Dhia, Amel, dan Dini.
"Kemana lagi? Ya seperti biasa, lah ... Panti asuhan, Panti jompo."Kali ini Amel yang menjawab.
"Aku suka tantangan."Sahut Dini cepat.
"Ya ampun Dini .... Ini kita lagi mau donasi, berbagi. Bukan mau traveling." Sahut Yuli gemas pada Dini.
"Iya, aku tahu, Yuli ... maksud aku itu, gimana kalau kita donasi ketempat-tempat yang tidak biasa. Ke RSJ, gitu?"
"Rumah Sakit Jiwa maksud kamu?"Amel melebarkan mata pada Dini. Gadis berambut pirang itu langsung mengangguk yakin.
"Yang benar aja kamu, Din ... Ini ceritanya mau nganter kamu, gitu?"Yuli tertawa meledek.
Disusul Dhia dan Amel yang juga ikut tertawa.
"Gua jahit juga itu bibir. Lemes amat kalau ngomong."Dini mencebikkan bibir."Maksud aku tuh, kita berbagi ke RSJ. Sekali-kali cari tempat baru. Jangan salah ... lihat-lihat ODGJ juga seru, loh ... ada yang bisa diajak bercanda. Hihihi."Dini terkikik pelan."Dulu aku ingat. Waktu kecil dikejar-kejar sama, ODGJ. Takut sih, tapi ada serunya juga."
"Emmm." Amel menimbang-nimbang."Boleh juga, tuh. Gimana menurut kamu Dhi ....?"tanyanya pada Dhia yang sedari tadi hanya mendengarkan.
"Itu juga ide bagus. Mereka juga pasti membutuhkan sesuatu. Makanan misalnya ..."
"Oke ... jadi fix nih, kita ke RSJ?"tanya Yuli memastikan tempat berbagi kali ini. Ini adalah kegiatan yang biasa mereka lakukan sebulan sekali setiap hari Jum'at setelah pulang kuliah. Dan hari ini, semuanya memutuskan untuk memilih, RSJ.
"Dhia!"
Dhia menoleh dan berhenti ketika Dhanu memanggilnya.
"Kalian duluan saja."Ujar Dhia pada ketiga temannya."Nanti aku nyusul."
"Oke."sahut Amel mengerti.
"Ikut aku."Dhanu menarik lengan Dhia pada tempat yang sedikit sepi disekitar kampus.
"Dhanu ... kamu apa-apa, sih?" Dhia mengusap lengannya yang memerah karena Dhanu menariknya.
"Dhia ... katakan padaku kalau kabar pernikahanmu itu tidak benar."
"Dhia ... please, jawab aku."Dhanu terus menuntut jawaban ketika gadis itu hanya diam.
"Dhia ..."
"Itu benar, Nu."
Dhanu menyugar rambutnya kasar."Kenapa Dhia? Kenapa??"
"Aku tahu kamu peka, Dhia. Aku juga tahu kalau kamu tahu perasaanku. Aku suka sama kamu dari dulu Dhia."
"Maaf, Nu ... tapi dari dulu aku nggak pernah punya perasaan yang lebih dari seorang sahabat sama kamu."
"Sahabat kamu bilang?"Dhanu menatap Dhia kecewa."Jadi selama ini kebaikanku, ketulusan yang aku beri hanya kamu anggap sebatas sahabat?"
"Maaf, Nu ..."Dhia membalas tatapan Dhanu dengan rasa bersalah. Ia tahu, pria itu menyimpan kekecewaan yang besar kepadanya.
"Kamu pasti bisa mendapatkan wanita yang lebih baik. Wanita yang bisa membalas perasaan mu. Percayalah."
"Aku pergi dulu, Nu. Yuli dan yang lain sudah menungguku."Dhia langsung pergi. Meninggalkan Dhanu yang masih berdiri dengan perasaan sakit dan kecewa.
Lima belas menit dalam perjalanan. Dhia akhirnya sampai ditempat yang telah disepakati bersama ketiga temannya. RSJ, Binawangsa, Jakarta. Ia berjalan santai melewati lorong. Mencari ketiga temannya yang telah sampai lebih dulu. Seraya memperhatikan orang-orang yang merupakan pasien ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Ada rasa iba dihatinya. Tidak sedikit orang-orang yang berusia masih muda. Namun harus mendekam dan dirawat ditempat itu.
Masa depan meraka terenggut. Hilang akal dan tidak tahu apa-apa. Dhia tersenyum haru melihat wanita paruh baya yang terlihat menyisiri rambut dari benda mati. Sebuah boneka usang yang sudah robek pakaiannya. Wanita itu begitu tulus memperlakukannya. Mungkin ada kisah mendalam baginya dibalik semua itu. Kisah yang pada akhirnya merenggut akal sehatnya.
Dhia terus menyapukan pandangan. Netranya tertuju pada wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi roda. Wajahnya tidak terlihat begitu jelas. Namun kulitnya terlihat putih dan bersih. Wanita itu duduk menghadap pada sebuah jendela. Diam, tidak bertingkah aneh seperti pasien-pasien ODGJ lainnya.
Jiwanya terpanggil untuk melihat lebih dekat. Dhia pun berniat melangkah. Namun langsung berhenti ketika melihat seorang pria tinggi berpenampilan rapih dengan setelan jas biru tua. Masuk, dan menghampiri wanita paruh baya itu.
Ngapain dia disini? bathin Dhia. Ia langsung menoleh ketika seorang perawat jiwa melewati lorong tempat nya berdiri.
"Mbak ..."
"Iya ... ada yang bisa dibantu?"tanya perawat jiwa tersebut.
"Iya, saya mau tanya ... ibu, ibu yang duduk di kursi roda bersama pria itu siapa, ya?"
"Maaf, Mbak ... kami tidak bisa memberi tahu. Karena itu privasi bagi pasien disini."
Dhia sedikit kecewa. Tapi ia tetap harus menghargai peraturan yang ada di Rumah Sakit Jiwa tersebut."Oh gitu"
Perawat jiwa tersebut mengangguk."Permisi, Mbak."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!