Raina Hapsari itu namaku. Seorang gadis biasa yang besar dari sebuah keluarga brokenhome.
Raina kecil selalu bahagia, selalu ada senyum, canda dan tawa yang menghiasi hari-harinya dengan di kelilingi orang-orang yang ia sayangi.
Sampai waktu itu tiba, ibu tidak perhatian lagi dengan kami anak-anaknya dan bapak yang selalu pergi jauh demi mencari nafkah untuk keluarga, hingga tidak ada lagi kehangatan yang aku rasakan. Kerap kali aku dan kakak melihat pertengkaran mereka. Cacian, makian dan kata-kata kasar sering kami dengar. Hingga saat itu, ibu memutuskan untuk pergi meninggalkan kami. Berbagai cara aku, bapak dan saudaraku mencegah kepergian ibu, namun ibu tetap pada keputusannya.
"Ibu, jangan tinggalin Rai, Bu ... Rai ikut Ibu, ya?" rengek ku saat itu. Dan si kecil Raka yang terus menangis di pelukan bapak.
"Tidak Nak, Rai di sini saja ya, sama bapak, kakak dan adik." Ibu terus berusaha melepaskan pegangan ku tanpa melihat ku sedikit pun.
"Riska, lihat anak-anakmu! mereka masih sangat membutuhkan ibu nya. Tolong lah, Ris, bertahan demi mereka!" teriak bapak dengan setengah memohon kepada ibu. Namun tetap tidak di hiraukan oleh ibu. Ibu terus melangkahkan kakinya pergi meninggalkan kami.
Dan aku hanya bisa terduduk menangis dalam pelukan kakak ku.
Hari demi hari kami lewati tanpa ada nya seorang ibu. Aku Raina kecil yang mengambil alih menggantikan peran ibu dalam rumah ini. Meski aku masih duduk dibangku SD, tapi aku harus terbiasa belajar dewasa dengan keadaan ini.
🌸🌸🌸🌸🌸
"Rai ... Raina ...!"
Aku tersentak mendengar panggilan itu dan aku menoleh ke asal suara yang membuyarkan lamunan ku tentang kejadian beberapa tahun lalu.
"Ekh, Kak Aldo, ada apa? " tanyaku.
"Kamu ini, kerjaannya melamun saja." jawab nya.
" Apa? aku melamun? ah, gak deh, Kak, aku gak melamun kok, tuh ... aku lagi lihatin bintang-bintang." kilah ku sambil menunjuk bintang di langit.
" Sudahlah, Rai, kakak tahu kok apa yang sedang kamu lamunin. Pasti kamu lagi kangen ibu, kan?" ucap Kak Aldo yang seakan tahu pikiran ku.
Dan jujur apa yang Kak Aldo bilang itu memang benar. Aku memang sedang merindukan ibu yang entah dimana keberadaannya sekarang.
" hmmm ... iya, Kak." jawab ku sembari menunduk menyembunyikan netraku yang mulai mengembun.
Kak Aldo yang mengerti gerak gerik ku pun beranjak dari duduknya meninggalkan ku. Baru beberapa langkah dia berjalan, dia kembali menoleh kebelakang.
"Ayo, masuk! mau sampai kapan kamu di luar sini? Ini sudah malam, besok kamu mesti sekolah, lebih baik tidur lebih cepat biar gak kesiangan besok." Kembali ia menasihati ku.
" Siap, komandan! Lima menit lagi Rai masuk, kok." ucapku sembari memberi hormat seperti prajurit.
Betapa bersyukur nya aku memiliki seorang kakak laki-laki tampan yang selalu perhatian dan selalu jadi tameng untuk adik-adiknya.
Kembali ku tersenyum melihat bintang sembari menyeka genangan air di sudut mata yang akan tumpah tadi.
Ku langkahkan kaki menuju kamar kecil ku, meninggalkan suasana malam yang indah. Ku pejam kan mataku, berlayar di lautan mimpi dan berharap akan hari esok yang lebih baik.
*******
Adzan subuh berkumandang. Ku matikan alarm yang sedari tadi juga ikut berbunyi membangun kan ku. Dengan langkah gontai menuju kamar mandi segera ku ambil air wudhu dan melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslimah.
Setelah selesai sholat, bergegas ku rapikan kamar dan menuju dapur untuk membuatkan sarapan kami bertiga.
Ku lihat Kak Aldo sudah asik membersihkan kuda besi milik bapak. Ya, ini satu-satunya benda berharga yang kami miliki. Jika bapak sedang berada diluar kota, Kak Aldo lah, yang memakainya.
Bapak hanya seorang buruh serabutan apa pun ia kerja kan. Sering kali beliau masih menerima tawaran bekerja di luar kota jika ada panggilan yang membutuhkan jasa nya.
Meski beliau tak lagi muda, tapi semangat beliau masih bergebu-gebu dalam mencari nafkah. Beliau tidak ingin menyusahkan orang lain, apa pun ia kerjakan selagi masih mampu dan terpenting itu halal.
Aku selalu terharu tiap kali mengingat ucapan beliau tentang hal itu. Ah, bapak ingin ku peluk tubuh renta nya jika ia berada disini. Tak terasa air mataku menitik mengingat beliau orang tua tunggal yang selalu berjuang demi anak-anaknya.
"Raina janji pak, suatu saat nanti, Raina akan mendapatkan pekerjaan yang baik dan akan membahagiakan bapak." ucapku dalam hati sambil menghapus air mata yang sudah jatuh.
BERSAMBUNG
"Kak Raina ... Kak ...." panggil Raka sembari melambaikan tangannya di depan Raina. Tapi, yang dipanggil sedari tadi masih asik dengan lamunannya.
" Kak ... Woiii! Melamun aja, sih? " kembali Raka memanggil kakak nya itu dengan nada kesal sambil mengguncang badan Raina.
"Heh, heem, iya Dek, kenapa? " tanya Raina yang kaget melihat Raka yang sudah berdiri di depan nya.
"Kakak, ihh ... melamun aja dari tadi, sampe Raka goyang-goyang juga masih aja diam. Kakak kenapa sih? Mana nih, sarapan nya Kak? "
Raka memberondong pertanyaan ke Raina yang masih tergagap.
Belum sempat Raina menjawab, Kakak lelaki nya sudah menyela duluan.
"Itu hobi baru kakak perempuan mu, Dek. Kalo ada lomba melamun, dia yang pasti jadi juaranya." ujar Aldo menggoda adik perempuannya itu.
"Ikh, Kak Aldo, suka banget ngeledekin adik nya." jawab Raina sambil memanyun kan bibir nya
"Biar. Weeekkk ...." jawab Aldo dengan berlari ke kamar nya sembari menjulurkan lidah nya kembali mengejek adik perempuannya itu.
Raina dengan cekatan membuatkan sarapan untuk mereka bertiga.
"Nih, Dek, sarapannya. Pake mie rebus sama telur ceplok aja, ya? " ucap Raina sembari tangannya dengan cekatan menyiapkan makanan di lantai dapur yang beralaskan tikar sederhana.
"Gak apa-apa kali, Ka, ini juga sudah enak kok. Bersyukur kita masih bisa makan setiap hari nya meski hanya dengan lauk seadanya." jawab Raka sambil menyendok kan makanan ke mulutnya.
Kembali terharu Raina mendengar ucapan adik bungsunya ini. Alhamdulilah sedari kecil kami bertiga tidak pernah mengeluh dan menuntut apa pun ke bapak karena kita sadar kita bukan dari orang berada. Dan selalu ingat dengan nasihat bapak untuk selalu bersyukur sekecil apa pun rejeki yang di beri Allah untuk kami.
"Kak Aldo ... ini sarapannya sudah jadi, nih!" teriak Raina dari arah dapur.
"Iya, sebentar kakak sarapan, Dek, masih siap-siap nih." jawab Aldo dari arah kamar.
"Buruan, nanti keburu dingin, gak enak, loh?" balas Raina.
"Iya ... iya, sabar ratu bawel ...." sahut Aldo sambil melangkah mendekati kedua adiknya.
Raka sudah menyelesaikan sarapannya dan mencuci piring bekas makannya dan melanjutkan berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki karena jarak rumah dengan sekolahnya cukup dekat.
Sementara itu, Raina juga bersiap untuk ke sekolah dan menunggu kakak lelakinya. Raina setiap harinya ikut dengan Aldo sampai terminal.
Ya, karena hanya sampai terminal saja yang searah dengan kantor Aldo. Selanjutnya, Raina menaiki angkutan umum untuk melanjutkan ke sekolahnya.
"Kakak berangkat kerja ya, Dek." pamit Aldo ke adiknya.
"Iya, Kak, hati-hati ya, Kak." jawab Raina sambil mencium tangan kakaknya penuh takzim.
Tak lama kemudian, angkutan umum yang di tunggu Raina pun tiba. Raina langsung masuk dan duduk di kursi angkutan umum tersebut.
Tanpa ia sadari, dari arah bangku belakang ada sorot mata yang memperhatikan dirinya.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Sesampainya di sekolah, ku percepat langkahku menuju ruang kelas, karena pelajaran pertama di buka dengan pelajaran bahasa inggris dengan guru yang terkenal super cerewet dan galak.
Ya, aku tidak ingin terus-terusan telat di mata pelajaran ini dan ketinggalan pelajaran.
Sebenarnya, bukan hanya di pelajaran ini saja aku juga suka terlambat di pelajaran pertama lainnya. Dan alasannya tetap sama, karena terlalu lama menunggu angkutan umum. Meski begitu, aku tetap mengejar ketertinggalan karena aku tidak mau melewatkan satu pelajaran pun, karena sekarang aku sudah kelas dua belas yang sebentar lagi akan menghadapi ujian.
Bisa di bilang, aku anak yang cukup pandai di kelas ku. Dan aku selalu mendapatkan beasiswa.
Sesampainya di depan kelas, aku mencoba mengatur nafas yang memburu dan kemudian lanjut memasuki ruang kelas.
Aku letakkan tas sekolah ku sembari aku duduk dan menenangkan degub jantung ku yang sedari tadi masih berdetak dengan kerasnya.
"Alhamdulilah, akhirnya aku gak telat." batinku.
"Ehm ... .ehmm ... tumben gak telat, Rai?" tanya Sandra yang sudah duduk di sebelahku.
"Kamu nanya apa nyindir ?" balik ku bertanya.
"Hehehe ... aku nanya, Rai?" balasnya sambil nyengir kuda.
"Ya, kamu bisa liat sendiri kan, aku sudah disini. Alhamdulilah, tadi dapat angkot nya yang gak terlalu banyak mampir-mampirnya." jawabku.
"Alhamdulilah, deh, jadi kali ini kamu gak kena ocehan dari Mrs. Woro lagi." ucap Sandra.
Aku hanya membalas jawaban Sandra dengan senyuman sembari tanganku mengeluarkan buku tugas dari dalam tas.
Tak berapa lama, terdengar suara langkah kaki memasuki kelas. Ya, tidak salah lagi itu Mrs. Woro.
"Selamat pagi, anak-anak ...." sapa nya sembari meletakkan tas beserta bawaan lainnya.
"Selamat pagi, Miss ...." jawab kami serentak.
Mata Mrs. Woro beralih melihat ke arahku.
"Tidak telat lagi, Rai ?" tanya nya dengan sedikit menekan kata telat.
"Tidak, Miss." jawabku tersenyum.
"Baguslah. Jadi, saya tidak memberikan kamu gelar ratu telat." ujar nya dengan nada mengejek disertai tawa teman-teman satu kelas.
Aku juga membalas dengan tertawa karena sudah terbiasa mendengar hal-hal seperti itu. Karena aku hanya menganggap itu hanya sebuah candaan karena yang aku tau, Mrs. Woro adalah orang yang baik hanya saja dia memang cukup cerewet.
Proses belajar mengajar berjalan dengan baik. Tak terasa waktu istirahat pun tiba. Aku murid yang jarang sekali pergi ke kantin, waktu istirahat biasanya aku pergunakan untuk membaca buku di perpustakaan atau hanya di dalam kelas saja. Hitung-hitung menghemat pengeluaran.
"Ke kantin yuk, Rai?" ajak Sandra.
"Gak San, aku di kelas aja. Mau mengulang pelajaran tadi." jawabku.
"Ah ... gak asik nih, kamu. Tiap diajak ke kantin pasti susah banget." ucap Sandra dengan muka cemberutnya.
"Kan, kamu tau sendiri, San, aku seperti apa ?" jawabku sambil tersenyum melihat wajah sahabatku ini.
"Ya, udah deh, aku ke kantin dulu, ya. Kamu mau nitip apa? Kali ini jangan ditolak lagi tawaranku!" ucapnya dengan nada sedikit mengeras.
"Kamu mau ngancam aku? kalau aku tolak kamu bakal diam kan aku lagi, gitu?" jawabku cengengesan.
"Ah ... kamu ini susah banget, sih, ... Ini rejeki loh? Bodo amat lah, kalau kamu mau nolak aku tetap belikan juga kok! weeekk ...." ucapnya sembari menjulurkan lidah nya mengejek ku.
Sebelum aku membalas ucapan nya, dia sudah berlari terlebih dahulu meninggalkan aku yang masih tertawa melihat tingkahnya.
Begitulah sifat Sandra, dia selalu membantu ku meski diriku berkali-kali menolaknya. Ini sifatnya yang membuat diriku sungkan untuk berteman dengan nya. Tapi diri nya selalu mendekat dan membantuku.
"Nih, aku bawakan milkshake cokelat dan nasi ayam buat kamu." kata Sandra yang menenteng dua bungkus makanan dan meletakkan nya di meja.
"Terimakasih ya, San. Oh, iya ... kok, cepat banget, Neng baliknya? Lagi gak ngantri atau kamu godain mamang nya lagi biar cepat?" tanya ku penuh curiga.
"Apaan sih, gak lah ... aku cuma kasih kedipan mata aja ke mamang nya." jawabnya sambil mengedipkan kedua matanya mencontohkan kepada ku.
"Idih ... bisa ganjen juga temanku ini. Itu sama aja kali? sama menggoda." ucapku sambil tertawa melihat tingkah nya.
"Hehehe ... laper nih, ayo, makan dulu nanti keburu bel masuk, loh." jawab Sandra yang aku balas dengan anggukan.
Kami pun makan bersama. Mengganjal perut untuk menghadapi pelajaran berikutnya yang masih akan berlangsung beberapa jam ke depan.
BERSAMBUNG
Seperti biasa, pergi maupun pulang sekolah aku selalu setia menunggu angkutan umum. Aku berdiri di depan sekolah sembari melihat angkutan umum yang lalu lalang, menunggu yang searah dengan tujuanku.
"Raina ... bareng aku yuk, pulangnya?" ajak Sandra yang baru saja keluar menunggangi kuda besi nya. Ya, Sandra mengendarai kendaraan sendiri.
"Gak ah ... lagian kan, kita gak searah." tolak ku.
"Iya, memang gak, sih, tapi aku mau ajak kamu ke resto bunda aku. Mau ya, please ...." bujuknya sembari menyatukan kedua telapak tangannya memohon.
"Baiklah ... aku paling gak bisa nolak kalau lihat kamu memasang muka memelas seperti ini." jawabku dan langsung menaiki sepeda motornya.
Sandra hanya tersenyum penuh kemenangan karena berhasil membujuk ku.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Sandra melajukan motor matic nya dengan lincah. Perjalanan dari sekolah ke resto milik bundanya hanya sekitar lima belas menit dan tak terasa kini kami sudah sampai di parkiran resto.
Sandra menggandeng tanganku dan kami berjalan memasuki resto tersebut. Ini baru pertama kalinya Sandra mengajak ku kesini.
"Wah ... bagus banget ... ini pasti tempat makannya orang-orang kaya." batinku yang kampungan ini.
Aku terkesan dengan suasana di dalam ruangan ini yang begitu hangat dan nyaman. Resto yang mengusung nuansa klasik dan modern ini cocok sekali untuk bersantai keluarga dan tempat nongkrong anak muda.
"Kamu tunggu sini dulu ya, Rai! Aku mau ke kantor bunda dulu." kata Sandra meninggalkan diriku sendiri.
"Iya, San," jawabku
Aku duduk di kursi yang menghadap ke dapur dan kembali melihat-lihat keadaan sekeliling. Dan tanpa sadar netraku terhenti pada seorang lelaki tampan yang memperhatikan ku dan tatapan kami saling bertemu.
Aku segera memalingkan wajahku ke arah lain. Tak lama kemudian Sandra datang bersama bundanya.
"Maaf ya, Rai, lama nunggunya ...." kata Sandra.
"Iya, gak apa-apa kok, San, santai aja." jawabku.
"Bun, kenalin, ini Raina, teman sekolah Sandra yang sering Sandra ceritain itu, Bun" kata Sandra mengenalkan diriku pada Bundanya.
Wanita berhijab sederhana dan terlihat sangat anggun itu menatap diriku dan tersenyum kepadaku. Sungguh wanita yang bersahaja meski beliau orang berada namun penampilannya tetap sederhana sama seperti Sandra yang tidak pernah memamerkan kekayaan nya. Terlihat sekilas usia beliau sepantaran saja seperti ibu.
Ah ... aku kembali mengingat wanita itu yang dengan tega meninggalkan anak-anaknya.
"Raina, Tante," aku membalas senyumannya dan bersalaman mencium tangannya penuh takzim.
"Saya Eva, Bundanya Sandra. Nama yang cantik seperti wajahnya." balasnya memujiku dan kembali tersenyum.
Aku pun ikut tersenyum malu mendengar pujiannya.
"Gak cuma mukanya aja kok, Bun, yang cantik, tapi hatinya juga cantik." sahut Sandra menimpali ucapan bundanya.
"Ah, kamu ini, San, terlalu berlebihan. Malah ... kamu yang sangat luar biasa baiknya" aku membalas ucapan Sandra dengan balas memuji nya.
"Kalian ... gak makan atau minum dulu?" tanya Bunda Eva.
"Ehm ... gak usah tante, terimakasih. Saya mau langsung pulang aja." jawabku dengan rasa sungkan.
"Nah ... nah, kan ... kebiasaan dia ini Bun, suka nolak rejeki." sahut Sandra.
"Gak boleh gitu, Sayang ... namanya rejeki itu, gak boleh ditolak dalam bentuk apa pun. Karena rejeki itu datang nya dari mana saja tanpa kita duga." jawab Bunda Eva dengan nada lembutnya menasihatiku.
"Tuh, dengarin Rai, apa kata bunda aku? Lagian kamu mau pesan apa aja disini gak masalah kok, gratis buat kamu." jawab Sandra.
"Eh, jangan gitu donk, San ... aku makin gak enak hati, kalau begini caranya ...." jawabku dengan sangat tidak enak hati dengan kebaikan Sandra dan bundanya.
"Sudah ... gak usah merasa sungkan, anggap saja bunda ini, ibu kedua untuk kamu dan Sandra ini juga saudaramu." jawab Bunda Eva yang langsung memelukku seperti anaknya sendiri.
Tanpa sadar air mata ini mengalir terharu mendengar ucapan beliau yang begitu baiknya hingga mau mengganggap ku anaknya juga.
"Sudah ... gak usah mewek, Rai, ... Bunda sudah tau semua tentang kamu." jawab Sandra santai.
Pantas saja Bunda Eva seperti ini, ternyata Sandra sering kali menceritakan kisah hidupku kepada Bundanya.
"Terimakasih banyak semuanya. Entah harus bagaimana aku membalas kebaikan Bunda dan Sandra" ucapku berterimakasih sembari menyeka air mata.
"Kamu harus coba makanan dan minuman di resto ini Rai" ajak Sandra mencairkan suasana.
"He ... em," aku hanya bisa mengangguk dan tak bisa menolak lagi tawaran Sandra.
Aku hanya melihat dan menyetujui apa pun yang Sandra tawarkan padaku. Setelah beberapa menit membolak balik buku menu dan memilih, akhirnya Sandra memutuskan untuk memesan beberapa makanan dan minuman dengan nama menu yang sangat asing untukku. Maklum, ini pertama kali nya dalam hidupku bisa makan di restoran seperti ini karena biasanya aku hanya melihat di televisi.
Setelah setengah jam menunggu akhirnya makanan pun siap tersaji di meja makan. Aku terperangah kaget melihat begitu banyak makanan enak yang ada di depanku.
"San ... kamu gak salah pesan? Ini banyak banget, loh?" tanyaku yang bingung melihat berbagai menu tersaji.
"Gak, benar aja kok, kita kan bertiga." jawab Sandra dengan santai nya sambil mengambil makanannya.
"Iya, aku tau kita bertiga, tapi ini tetap kebanyakan, San. Memangnya kamu sama bundamu sanggup habiskan ini semua ?" tanyaku yang masih kebingungan.
"Sudah lah, di makan aja." jawab Sandra sedangkan Bunda Eva hanya tersenyum-senyum melihat tingkahku.
Sementara aku masih terdiam melihat semua hidangan ini.
"Bagaimana aku bisa makan enak seperti ini? sementara kedua saudaraku hanya makan mie instan saja dirumah." batinku.
"Kenapa, Sayang? makanannya kok masih di lihatin aja?" tanya Bunda Eva memecahkan kebisuanku.
"Ehm ... Raina gak bisa makan semua ini Bun, terlalu mewah untuk Raina." balasku dengan polosnya.
"Ini sebagian untuk kamu bawa pulang, Sayang," jawab bunda Eva seakan tahu pikiranku.
"Sekali lagi terimakasih banyak, Bunda." ucapku.
"Iya, Sayang, sama-sama ... ayo, sekarang dimakan!" jawab Bunda Eva dan kembali menyuruhku untuk makan.
"Iya, Bun," ucapku sambil mulai memasukan makanan ke dalam mulutku.
"Ehm ... ini enak banget San es cokelatnya" ungkapku pada Sandra setelah meminum es cokelat.
"Itu kan, milkshake cokelat kesukaan kamu." jawab Sandra.
"Tapi kok, rasanya beda ya, San, sama yang di jual di kantin sekolah?" tanya ku dengan polosnya.
"Ya, jelas beda lah, Rai, ... yang di sekolah di buat sama yang amatiran. Nah, kalau disini dibuat sesuai standar resto kami dengan barista yang sudah ahli di bidang minuman." jawab Sandra menjelaskan.
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala mendengar penjelasan Sandra.
"Nanti aku kenalin deh, sama barista di resto ini. Kebetulan dia masih saudara sepupuku, meski hanya sepupu jauh. Dia masih muda, mungkin seumuran aja sama kakak kamu, Rai" terang Sandra.
"Boleh deh, habis makan ini, ya." jawabku mengiyakan ajakan Sandra.
"Ok" sahut Sandra.
Beberapa menit kemudian setelah makan,
"San, aku mau ke toilet dulu, nih." kata ku
"Oh, itu toilet sebelah kiri sebelum dapur. Kalau gitu, aku duluan ke dapur ya, nanti kamu langsung nyusul aja." jawab Sandra
"Sip, deh." jawabku.
Setelah dari toilet aku langsung menyusul Sandra yang sudah terlebih dahulu ke dapur. Baru beberapa langkah memasuki dapur, aku lihat Sandra yang berdiri di samping meja minuman bersama seorang lelaki yang sedang sibuk meracik minuman.
"Loh, itu kan ... cowok yang tadi?" batinku bertanya.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!