NovelToon NovelToon

MENIKAH DENGAN TUAN SEMPURNA

SEMINGGU SEBELUM PERTEMUAN

**Sudah dua pekan Ibu telah dimakamkan. Ayah masih duduk terpekur di kursi roda menatap kosong ke arah luar rumah dari jendela besar. Aku hanya bisa terdiam melihat Ayahku seperti itu. Secara perlahan aku mendekatinya.

"Yah ...." aku bersimpuh di kakinya. meletakkan kepalaku dipangkuan nya.

Perlahan aku merasakan belaian lembut tangannya. Seketika tangis ku pecah.

"Jangan menangis, Nak," ucapnya dengan suara bergetar.

Kamipun akhirnya berdua larut dalam kerinduan. Kami sama-sama** **merindukan sosok Ibu yang kini sudah tenang berbaring di keabadiannya.

 

Karena kecelakaan itu, Ayahku lumpuh hingga harus resign dari perusahaan. Karena tidak ada penghasilan tambahan terlebih Ayah harus melakukan therapist fisik dan ototnya. Lambat laun harta kami mulai berkurang.

Ayah mulai menjual rumah besarnya dan membeli rumah yang sedikit kecil. Untuk menambah pendapatan, Ayah membuka toko kelontong di depan rumah.

Sebagian keluarga besar menyuruh Ayah untuk menikah lagi. Tapi selalu ditolak. Aku salut dengan cinta Ayah.

Aku lulus kuliah dengan nilai semi cum-laude. Aku sangat bahagia. Tapi sebuah kejadian besar merusak kebahagiaan kami. Ayah sakit jantung dan harus operasi dengan biaya yang tidak sedikit.

Aku yang belum bekerja mulai panik. Aku menjual semua harta termasuk rumah. Tapi hasilnya tidak mencukupi untuk biaya operasi Ayah. Hingga salah satu mantan kolega Ayah datang menawarkan bantuan.

Om Suryo Laksono, begitu namanya. Menjanjikan Ku memberi uang secara percuma tapi dengan syarat yang cukup berat. Aku yang panik dan tak bisa berpikir selain kesembuhan Ayahku, menyetujui apapun persyaratan Om Suryo tanpa mengetahui apa isi persyaratannya.

Om Suryo melunasi semua pembiayaan operasi Ayah dan perawatan VIP. Operasi berjalan cukup lama sekitar hampir 1 jam. Aku langsung mendatangi dokter yang keluar dari ruang operasi.

"Bagaimana Ayah saya, Dok?" tanyaku cemas.

Dokter menghela napas panjang kemudian tersenyum. "Operasi berjalan sempurna. Pasien juga telah melewati masa kritis. Sekarang tinggal pemulihannya saja."

Akupun bernapas lega mendengar penjelasan Dokter. Tak lama, Ayahku keluar dari ruang operasi untuk dipindahkan ke ruang perawatan. Aku mengikutinya.

Dengan cekatan para perawat menyiapkan segalanya. Seluruh selang dan alat penunjang telah dilekatkan di dada Ayahku.

"Nona harap menjauh dulu ya. Biar kami bisa mengecek kondisi pasien dengan leluasa," ujar salah seorang perawat memberi perintah.

Aku mundur tiga langkah memberi ruang. Para perawat melanjutkan tugas mereka. Dokter datang mulai memeriksa Ayahku. Seorang perawat memberikan catatannya.

"Semua normal Dok. Tinggal menunggu pasien sadar," jelasnya.

Lima menit menunggu, akhirnya Ayahku sadar. Dokter langsung memeriksa, bertanya dengan apa yang dirasakan Ayahku sekarang. Setelah usai, barulah Dokter dan para perawat keluar.

Dokter bilang padaku sebelum keluar, jika kondisi Ayah baik-baik saja. Aku sangat lega mendengarnya.

"Ayah, apa kabar?" tanyaku sambil mendekati bangsalnya.

Aku duduk dengan menarik kursi dari pojok ruang perawatan. Memegang tangan Ayah yang dingin kemudian mulai menghangat. Ayah menatapku dengan mata berkaca-kaca.

Aku mencium keningnya. "Ayah, baik-baik saja," jawabnya pelan.

tok tok tok

Terdengar pintu diketuk. Tiba-tiba Om Suryo masuk tanpa disuruh. Ayah langsung tersenyum ketika melihat kedatangan Om Suryo.

"Mas ...," panggilnya dengan suara lemah.

"Sudah. Kau berbaring saja di sana. Aku hanya ingin lihat keadaanmu saja," ujar Om Suryo langsung mencegah Ayah yang hendak bangkit dari berbaring.

"Ada apa Mas tiba-tiba muncul di saat Aku seperti ini?" tanya Ayahku heran.

"Sudahlah. Tak usah kau berpikir banyak dulu. Nanti setelah kau pulih, baru aku jelaskan semua, termasuk Putrimu," jawab Om Suryo panjang lebar.

Ayah mengerutkan dahinya. Om Suryo nampak tak suka melihatnya.

"Kau ini keras kepala ya!?" ucapnya sedikit keras.

"Maaf ...," ucap Ayah lagi.

"Ya sudah. Aku lihat kau baik-baik saja. Nanti jika sudah di rumah, kau langsung menghubungi Om ya!" ujar Om Suryo kepadaku.

Aku hanya mengangguk. Kemudian Om Suryo pun pergi meninggalkan kami.

"Ada apa ini? Apa ada yang kau sembunyikan?" tanya Ayahku penasaran.

Aku hanya tersenyum. "Sudahlah. Yang penting sekarang Ayah sehat."

Ayah hanya mendengkus kesal. aku hanya tertawa melihat wajah Ayah yang mukai cemberut.

"Ih, Ayah ternyata lucu ya, kalau cemberut?" ujar ku sambil tersenyum.

Aku mencium tangannya takzim. "Aku hanya ingin kesembuhan Ayah. Itu saja."

Tak lama Ayah pun terlelap mungkin masih pengaruh obat bius. waktu berlalu dengan cepat. Akupun mulai ngantuk, perlahan akupun tertidur sambil** **duduk dengan kepala tertungkup di bangsal Ayah.

Seminggu di rumah sakit, kami kembali ke rumah. Beruntung Om Suryo lah yang membeli rumah dan segala isinya. Kemudian rumahku ini boleh ditempati lagi.

Semenjak Om Suryo datang ke rumah sakit. Beliau tak lagi memberi kabar. Akupun juga tak menanyakannya. Sebenarnya aku masih penasaran dengan persyaratan yang diajukan oleh Om Suryo.

Ayah belum mengetahui perihal rumah dan semua isinya ini sudah terjual. Aku sengaja belum memberi tahunya. Menunggu sampai kondisinya pulih.

Ting ... ponselku berbunyi.

Sebuah notifikasi pesan masuk. Aku membaca nama pengirimnya."Om Suryo". Dahi ku berkerut penasaran dengan isi pesannya. Belum aku sentuh gambar amplop pada layar Ayah berdehem.

Kegiatanku terhenti seketika. "Serius sekali kamu, Nak?"

Aku hanya tersenyum**. **Kikuk. Kemudian menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Ada apa? Kenapa dan kemarin kau sepertinya merahasiakan sesuatu dari Ayah?"

Aku masih tersenyum, bingung mau jawab apa. Walau akhirnya hanya keluar jawaban "Tidak ada apa-apa Ayah."

Ayah hanya mendengkus kesal. "Ayah tak suka dibohongi seperti ini."

Aku makin bungkam sedikit panik. Kubuka pesan dari Om Suryo tanpa membaca isinya dan langsung mengetik**.

(**Ayah, mulai curiga Om. Bagaimana ini? aku masih berat untuk memberitahunya)

Lama balasan dari Om Suryo. Aku mulai gelisah. Tatapan tajam dari Ayah seperti mau mengulitiku.

Ponsel Ayahku berdering. Ayah mengambil tak jauh dari jangkauannya.

"Halo ..."

"..........."

"Oh Mas Suryo. Maaf, aku tak melihat siapa yang meneleponku,"

"............"

"Alhamdulillah, Aku baik Mas."

".............."

"Baik Mas ... Aku mengerti. Aku menunggu penjelasanmu, Mas."

"............"

"Iya Mas. Assalamu'alaikum."

Ayah mengakhiri pembicaraannya dengan Om Suryo. Aku masih menunduk. Lalu teringat sesuatu.

"Ayah ... Aku lupa jika belum melengkapi formulir pelamaran kerja. Aku tinggal dulu ya Yah," ujar ku langsung berdiri dan meninggalkan Ayahku sebelum ia mengijinkan ku.

Setengah berlari aku masuk kamar. Menutup pintunya perlahan. Aku mengelus dadaku sambil menghela napas lega.

Kembali Kubuka pesan Om Suryo yang pertama belum kubaca.

(Weekend nanti Kamu dan Ayahmu datang ke rumah Om ya. ini alamatnya)

sederet kalimat berisi alamat lengkap Om Suryo.

(Pakai aplikasi mobil online. Nanti Om yang bayar setelah sampai rumah. Jangan lupa beri tahu dahulu sebelum Kau berangkat.)

Aku tercenung membaca pesan panjang darinya. 'Bossi sekali sih ni orang?: umpatku dalam hati.

Tapi ini semua demi Ayahku. "Hmmm ... tidur bentar ah. Ngantuk**."

Lalu akupun terlelap.

SEMINGGU SEBELUM PERTEMUAN II

**Panji Anugrah Laksono. Putra tunggal dari Suryo Laksono. Di usia yang masih belia, ia sudah nenjadi seorang CEO di perusahaan sang Ayah.

Wajahnya sangat tampan dengan tubuh atletis. Hingga tak ayal menjadi incaran gadis-gadis sosialita. Siapa yang tak tertarik dengan pria kelahiran London 20 tahun yang lalu.

Terlahir dengan gelimang harta memang tidak membuatnya silau. Tapi semua keadaan di sekitarnya harus sempurna. Maka tak heran jika ia berjulukan Mr. Perfect.

Seperti hari ini, Panji sudah mengenakan baju kerja terbaiknya. Jas abu-abu senada dengan celana kulotnya. Kemeja hitam senada dengan sepatu pantopelnya.

Suryo tengah duduk di ruang tengah menikmati kopi dan roti bakar. "Kau mau pergi, Nak?"

Panji berjalan mendekati sang Ayah, lalu mencium punggung tanganya takzim. "Iya Pa. Ada meeting dengan beberapa klien, Aku pulang agak malam, mungkin harus menginap."

"Weekend nanti, kamu liburkan?" tanya Suryo sambil menyeruput kopinya.

"Iya Pa," jawab Panji sambil membenahi dasinya.

"Ada yang ingin Papa bicarakan," ujar Suryo meletakan cangkir kopi yang telah tinggal ampasnya ke atas meja.

"Soal?" tanya Panji dengan kening berkerut. "Jangan-jangan ini soal pernikahaanku."

Suryo menatap putranya lama tanpa menjawab terkaan Panji yang tepat. Panji mulai mendengkus.

"Papa tahu, Aku belum mau menikah," lanjutnya.

"Aku tak perduli. Sekali ini, turuti perintahku!" ucap Suryo tegas.

Panji terhenyak. Tapi ketika melihat netra sang Ayah yang tajam dan serius. Panji terdiam dan tak berani membantah.

"Terserah Papa saja," ujarnya lalu ia pun berlalu tanpa mengucap salam.

Suryo hanya menghela napas masghul. "Anak keras kepala. Sama dengan mendiang Ibunya."

Suryo berdiri dari sofa lalu melangkah menuju ruang kerjanya. Sampai di sana ia langsung membuka laci. Dilihatnya beberapa lembar foto. Satu foto usang paling lama dilihatnya. Di sana terpampang tiga anak usia belia sekutar sepuluh tahunan.

"Marsha Viola. Aku tak menyangka kau pergi secepat itu. Anggono pasti sangat terpukul," ujarnya pada diri sendiri.

Suryo ingat kisah kecil mereka bertiga. Dibesarkan di kalangan orang biasa. Memiliki cita-cita setinggi langit menjadi orang kaya, membuat mereka bertiga dijauhi anak-anak sebaya mereka. Bahkan tak ayal mereka dianggap gila karena sering bermain sandiwara tentang boss besar.

Anggono sahabatnya telah dinikahkan sejak kecil dengan sahabatnya Marsha Viola. Di desanya masih ada pernikahan bocah-bocah, sangat udik. Bahkan nama Marsha dulu jadi bahan olok-olok karena sangat berbeda dengan nama anak-anak desa yang lain, seperti Siti, Komariah, Tumini, Dewi, Ayu dan lain sebagainya.

"Kalau kita punya anak nanti, Aku ingin anak-anak kita saling dijodohkan," ungkap Anggono ketika lulus sekolah menengah pertama.

Anggono dan Marsha memang masih sekolah walau mereka telah terikat pernikahan. Tapi mereka tak pernah tinggal satu rumah. Bahkan ketika mereka nekat kabur dari desa mereka tinggal dan mengambil kuliah di luar kota. Suryo mengikuti kenekatan kedua sahabatnya. Anggono dan Marsha tidak tinggal satu atap. Mereka menikah setelah keduanya lulus dan bekerja di perusahaan berbeda.

Suryo lebih beruntung, memulai usaha kecil-kecilan dari berjualan, mengumpulkan modal. Suryo mendirikan sebuah usaha ritail yang menangani jasa kemudian berkembang menjadi besar setelah Ia menikah dengan wanita bernama Ayu Pratiwi.

Sayang. Usia Ayu hanya sampai Panji masuk sekolah menengah pertama. Kanker payudara merenggut nyawanya. Suryo tidak pernah menikah lagi.

Suryo menghela napas panjang. 'Apa Anggono masih ingat perihal perjodohan yang pernah diucapkan mendiang istrinya dulu ya?'

Suryo meletakan kembali foto-foto itu dalam laci. Suryo telah mencari tahu kebiasaan dari putri sahabatnya itu.

'Aku yakin, Almira bisa jadi istri yang baik bagi Panji,' gumamnya dalam hati.

Suryo melangkah ke tengah ruang kerjanya. Menatap bingkai yang tergantung di dinding. Sebuah foto wanita cantik tengah tersenyum.

"Sayang ... Aku telah mendapatkan wanita yang baik untuk putra kita," ujarnya sambil membelai foto istrinya.

Suryo ingat ketika betapa ia sangat terkejut melihat sahabatnya didorong menuju ruang gawat darurat. Dilihatnya seorang gadis menangis mengikuti kemana arah brangkar.

'Bukankah itu Anggono? Mana Marsha?' tanyanya dalam hati.

Kebetulan ia berada di rumah sakit yang sama, karena ia juga melakukan gecekanan secara rutin. Ia berjalan mengikuti kemana arah brangkar.

Suryo berhenti ketika ia melihat gadis yang tadi mengikuti brangkar tengah duduk di kursi panjang rumah sakit. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Bahunya naik turun. Terdengar isak tertahan dari mulutnya.

Suryo mendekati dan memulai pembicaraan. Tak disangka. sang gadis terbuka secara gamblang tentang kesedihannya. Kemudian secara terang-terangan pula putri sahabatnya itu menawarkan rumahnya untuk dibeli.

"Saya tak tahu lagi harus kemana Om. Saya baru lulus kuliah dan belum bekerja,'' jelasnya sambil mengusap air mata.

Suryo sempat mematung sejenak tak tahu harus berbuat apa. Tapi entah mengapa ia malah menyanggupi semuanya. Tadinya tak terpikir olehnya untuk menjodohkan gadis itu untuk putranya. Tapi lagi-lagi sebuah persyaratan tercetus dari mulutnya dan tak disangka gadis itu menyetujui tanpa tahu apa isi persyaratannya.

Suryo menghela napasnya berat. Pikir-pikir sebelum memutuskan untuk menjodohkan putranya. Sejenak ia ragu, tapi hanya itu yang bisa dia pikirkan.

'Aku yakin Mira anak baik. Terlihat bagaimana ia begitu menyayangi Ayahnya,' gumamnya dalam hati.

Suryo sudah mengirimkan pesan singkat pada gadis itu untuk menemuinya weekend depan. Tak di sangka Almira malah memberinya pesan lain.

(Om ... Ayah terus bertanya, Mira tak bisa menjelaskannya. Bagaimana ini?)

(Mira bingung Om. Takut jika penjelasan Mira nanti malah makin membuat Ayah unfal lagi)

(Biar Om hubungi Ayahmu. Berapa nomer ponselnya. Semoga dia tak curiga dari mana Om mendapatkan nomernya. Karena memang sudah lama kami tak saling berhubungan)

(0812******)

Suryo langsung menelpon sahabat lamanya itu. Ada sedikit nada curiga di sana. Tapi Suryo bisa mengatasinya.

Suryo mengatakan untuk datang ke rumahnya weekend nanti. Selain bertanya kabar, juga bertanya hal lain.

Anggono menyanggupi ajakan Suryo. Tadinya dia meminta Suryo untuk datang saja ke rumahnya. Tapi Suryo memberikan alasan lain yang membuat Anggono mengikuti kemauan sahabat lamanya itu.

Suryo sadar. Ada satu sifat yang selalu lekat dengan pria yang dulu bertubuh tegap itu. Anggono selalu menuruti apa katanya.

"Aku sangat bersyukur kau tidak berubah Nggo. Selalu mengikuti apa kataku," ujar Suryo pada angin lalu

Suryo menatap benda bulat di dinding ruangan. Pukul 10.15.

Ting

ponsel Suryo berbunyi. Sebuah pesan dari applikasi hijau muncul.

"Kania," bacanya dengan suara kesal.

"Mau apa anak itu?" gerutunya lalu membuka notifikasi pesan.

(Hai Om ... Apa kabar?)

Suryo malas membalas pesan itu. Ia menekan pesan itu lalu menghapusnya. Niatnya untuk menjodohkan putranya dengan Kania Angelia pupus setelah melihat wajah panik Almira.

'Untung aku tak pernah mengutarakan niatku menjadi mertuanya,' gumamnya sambil bergidik**.

PERTEMUAN

**Almira telah memakai baju terbaiknya. Ia telah menyiapkan juga setelan untuk ayahnya. Anggono heran dengan apa yang dipersiapkan oleh putrinya.

"Kenapa formil sekali Nak?" tanya Anggono.

"Apa Ayah keberatan?" tanya Almira balik.

Alnira bermaksud mengganti setelan dengan baju biasa. Tapi sudah dicegah oleh sang ayah.

"Sudah. Tak apa," ujarnya.

Kemudian Almira membantu ayahnya untuk berpakaian. setelah siap, mereka pun berangkat. Kebetulan Suryo telah mengirim supir pribadinya untuk menjemput mereka.

(Om Suryo telah mengirim supir untuk menjemput kalian)

Begitu isi oesan singkatnya tadi pagi. Almira membalas pesan tersebut.

(Katanya pakai mobil daring, Om?)

(Tidak. Sudahlah, kalian siap-sap ya. Setengah jam lagi mobil sudah sampai!)

(Ya ampun Om. Mira belum mandi!)

(Ya cepat mandi!)

Almira hanya berdecak kesal. Dilihatnya jam di dinding kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 08.45. Dengan sedikit malas iapun mendatangi kamar ayahnya.

Anggono tak ada di kamarnya. Almira kemudian menuju teras depan. Di sana ia melihat sang ayah tengah bejemur dengan menggosok-gosok kakinya.

Anggono sudah bisa berjalan, walau tak begitu jauh. Kursi roda masih menjadi alat bantu untknya berjalan.

"Yah ...," panggil Almira. Anggono menengok.

Membelalakan mata melihat sang putri masih mrngenakan piyama motif doraemom.

"Kamu baru bangun?!"

Almira hanya cengegesan dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Om Suryo menyuruh kita bersiap. Setengah jam lagi mobilnya datang menjemput kita Yah," ucap Almira hati-hati.

Anggono terhenyak dengan perkataan Almira. 'Mas Suryo tak berubah. Jika sudah apa yang ia mau. Harus dilaksanakan.'

Teringat kejadian masa kecil lalu. Ketika mereka tengah menjadi omongan warga desa tentang sandiwara mereka menjadi orang kaya. Waktu itu Anggono sedikit pesimis dengan mimpi mereka.

Namun Suryo terus memaksa memainkan peran tersebut. Sampai mereka bertiga disidang oleh keoala desa dan mendatangkan dukun untuk membuat ritual mengusir roh jahat. Agar mereka tidak berkelakuan aneh.

Anggono menggelengkan kepalanya. "Ya sudah. Siapkan semuanya. Ayah juga belum mandi."

Almira membantu Ayahnya berjalan sedikit menuju kursi rodanya, lalu mendorongnya.

Setengah jam lewat lima menit mobil Suryo datang. Almira melongo melihat mobil yang akan menjemput mereka.

Mobil BMW terbaru dengan warna hitam metalic. Dulu ketika mereka masih memiliki harta masih belum mampu membeli mobil mewah tersebut. Tidak, bukannya tidak mampu. Tapi Anggono yang tidak mau membeli barang-barang mewah itu.

"Pemborosan." begitu katanya.

Mereka berdua duduk di belakang. Sang supir membantu Anggono menaiki mobil dan melipat kursi roda kemudian dimasukan ke bagasi.

Tak lama, mobil itu melaju dalam kecepatan sedang. Nyaman. Itu yang Almira rasakan ketika dalam perjalanan.

Almira sedikit mengantuk. Semalam ia tidur agak larut. Almira membuat beberapa lamaran pekerjaan via email dan mengirimnya kebeberapa perusahaan.

Almira bertekad untuk segera bekerja. Selain kebutuhan yang mendesak. Keuangan juga minim. Almira bermaksud mengumpulkan gaji yang akan diterimanya nanti untuk membeli kembali rumah yang ia tempati kini.

Almira lupa tentang persyaratan yang ia setujui dengan Suryo tempo hari. Ia hanya ingat bahwa ia meminjam uang dari Suryo dengan menjamin rumahnya.

Nyaris satu jam perjalanan. Memang tadi lumayan macet di beberapa titik. Suryo telah berdiri di depan pintu menunggu. Almira ingat. Selama perjalanan tadi ada 10 kali laki-laki berpostur tegap itu menghubunginya. Baik melalui telpon atau pesan singkat. Hanya untuk bertanya sudah sampai mana mereka.

Binaran netra Suryo begitu terlihat. Anggono juga sangat merindukan sahabat kecilnya itu. Supir membantu Almira mendorong kursi roda ayahnya.

"Mas ...,"

"Dek ....,"

Suryo dan Anggono terpaut jarak 3 tahun. Anggono hendak berdiri dari kursi rodanya, tapi langsung dicegah opeh Suryo.

"Sudahlah tak apa-apa. Apa kabarmu Dek?" tanya Suryo hangat.

"Aku baik-baik saja Mas," jawab Anggono.

Almira mencium punggung tangan Suryo. "Om ...,"

"Ayo masuk," ajak Suryo lalu menggantikan sang supir mendorong kursi roda Anggono.

"Biar Mira saja Om ...."

"Sudah, tidak apa-apa," ujar Suryo menyela Mira.

Mereka bertiga memasuki ruang keluarga. Almira menatap takjub seluruh isi ruangan. Semua diisi dengan barang-barang mewah yang berkualitas tinggi dan tentu harganya selangit.

Di tengah-tengah dinding terpampang lukisan wanita cantik berukuran besar. Almira menduga jika itu istri pria yang kini berdiri di sebelahnya.

"Duduklah Mira ...," perintah Suryo. Mira langsung duduk.

Seorang asisten rumah tangga datang membawa minuman. Secangkir kopi dan minuman sirup rasa jeruk. Anggono tersenyum ketika menyeruput kopi yang diberikan Suryo padanya.

"Kau ingat selera kopiku, Mas," ucapnya senang.

"Tentu saja. Kau tidak suka yang terlalu manis" ujar Suryo menimpali.

"Baiklah ...," Suryo lalu duduk tak jauh dari Anggono.

"Apa kau bisa ceritakan. Apa yang terjadi pada kalian? Mana Marsha?" Suryo langsung memberondong pertanyaan.

"Kenapa harus aku yang cerita terlebih dulu, Mas?" tanya Anggono balik. "Aku masih penasaran, bagaimana kau bisa bertemu dengan putriku, Almira."

Suryo kehilangan kata-kata. Dia sedikit lupa karakter Anggono yang tak suka berbelit-belit jika berbicara. Tiba-tiba Panji turun dari tangga memecahkan kekakuan.

"Siapa yang datang Pa?" tanyanya. Netranya langsung menghujam sosok gadis yang mengenakan blus berwarna biru tanpa alas kaki.

Almira terhenyak ditatap oleh kilatan mata elang yang sepertinya ingin menelannya bulat-bulat. Almira menunduk. Ia langsung menutup mulut karena terkejut setelah melihat kakinya tanpa alas kaki. Dia ingat, kalau ia melepaskan sepatu itu di luar pintu.

Kebiasaannya semenjak keluarganya jatuh miskin. Seorang asisten membawa sepatu usang berwarna hitam ke dalam ruangan.

"Maaf Nona, ini sepatu anda" ujarnya lalu menyerahkan sepatu itu kepada Almira yang mulai gugup.

Panji tersenyum sinis. 'Kampungan.' ejeknya dalam hati.

"Sudah, semuanya sudah kumpul. Aku sudah lapar. Mari makan," ajak Suryo bangkit dari duduknya.

Anggono hanya menghela napas panjang. Ia tahu jika Suryo ingin mengulur waktu untuk menjawab pertanyaan yang ia ajukan tadi.

Suryo kembali mendorong kursi roda Anggono. Sempat berebut dengan Almira yang juga bersikukuh ingin mendorong kursi itu. Tapi tatapan lembut Suryo membuat Almira melepaskan pegangan kursi roda ayahnya.

Merekapun duduk di meja makan. Suyo meminta Almira menyiapkan hidangan di piring mereka. Almira langsung menuruti perintah Suryo.

Pertama Almira menuang nasi untuk Suryo, kemudian ayahnya. Tapi begitu ingin menuang nasi untuk pria yang sedari tadi melihatnya. Panji menahan gerakan Almira.

"Tidak usah. Biar aku sendiri," ucapnya dingin.

"Baiklah." Almira menuang nasinya sendiri.

Ketika ia ingin menuang lauk dan sayur. Ternyata Suryo sudah melakukannya sendiri dan untuk Anggono, ayahnya.

Almira pun akhirnya mengambil lauk dan sayurnya sendiri. Suasana makan tampak hening kecuali dentingan piring. Selesai makan Suryo berdiri.

"Panji. Kau ajak Almira berkeliling melihat isi rumah ini. Papa ingin bicara berdua saja dengan Om Anggono. Kau bisa?" ujar Suryo menekan nada bicaranya.

Panji sedikit malas. Tapi mendengar nada ultimatum seperti itu membuatnya tak berkutik. Ia pun berdiri. Mengamit tangan Almira dan mengajaknya berkeliling**.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!