NovelToon NovelToon

Menikah Dengan Ustaz

Bab 1 : Keputusan yang Tidak Bisa Dibantah

"Cika!" teriak seorang wanita paruh baya yang berdecak pinggang, matanya melotot dan menyala-nyala.

Dengan malas, gadis yang menggunakan celana levis sobek itu memutar bola matanya ke arah wanita paruh baya yang sedang marah itu yang tak lain adalah ibunya.

"Ada apa, Bu?" tanyanya yang masih tidur dengan posisi tengkurap.

"Kamu berantem lagi di sekolah?" Ibunya berbalik bertanya. Napas wanita paruh baya itu tidak beraturan, melihat putri semata wayangnya membuat ulah setiap hari di sekolahnya.

Mendengar hal tersebut gadis bernama Cika itu, mengubah posisi tubuhnya, ia beringsut duduk. "Nggak, siapa yang bilang?" tanyanya acuh, tak acuh.

"Jangan membohongi ibu, tadi wali kelas kamu menelepon ibu. Kamu itu perempuan kenapa sering sekali membuat masalah? Ibu tidak suka kamu menjadi wanita tomboi seperti ini!" Nada suara ibu Cika naik dua oktaf dari sebelumnya.

"Aku nggak tomboi, aku berantem ada tujuannya—"

"Tujuannya apa? Kamu hanya bisa membuat malu ibu saja. Kalau ayahmu sampai mengetahuinya pasti akan marah besar."

"Terserah, Ibu, deh," jawab acuh, kemudian menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.

...***...

Cika duduk di sofa di ruangan tengah rumahnya malam ini, kepalanya tertunduk. Jari-jemarinya meremas satu sama lain. Ia takut, karena tak seperti biasanya, ayahnya mengajak dirinya mengobrol empat mata. Ia tahu dan sangat tahu alasannya, pasti gara-gara ibunya yang melapor atas kejadian kemarin di sekolahnya.

“Kamu tahu alasan ayah mengajakmu mengobrol malam ini?” tanya ayahnya dengan suara tenang, tetapi mampu membuat bulu kuduknya berdiri.

“Yah,” rengekannya, tak suka dengan pembicaraan yang formal.

“Malam ini kita berbicara serius, tolong kali ini, Cika.”

Ia dengan pasrah mengangguk lemah. Ayahnya mulai berbicara perihal sekolah, menanyakan segala hal yang dilakukan dari berangkat dari rumah hingga kembali lagi ke rumah sedetail mungkin. Dan iya ... sesuai dugaannya masalah kemarin di sekolahnya akhirnya diungkit juga.

“Jawab jujur, apa yang membuat kamu berantem dengan teman-temanmu itu?”

“Um.”

“Cika, jawab.”

Cika mengembuskan napas panjang, dengan berat hati ia berkata, “Karena aku nggak suka kalau temanku dihina dan dicaci oleh mereka, Yah.” Akhirnya ucapan itu keluar begitu saja dari mulutnya.

“Hem, ayah sekarang mengerti.”

Suasana menjadi hening beberapa saat. Ia semakin dilanda ketakutan, melihat ayahnya yang terlihat sepertinya sedang berpikir keras.

“Ayah dan ibu sepakat untuk memindahkan kamu ke pondok pesantren.”

“Hah? Aku nggak mau masuk pondok pesantren, Yah!" tolak Cika tidak menerima keputusan itu, ia kembali melanjutkan, “Yah, aku nggak mau!” tolaknya, dengan suara agak keras. Ujung matanya mulai mengeluarkan cairan bening, ia menangis sesenggukan.

"Keputusan ayah sudah bulat dan tidak akan berubah, besok ayah akan mengurus semua berkas pindahan kamu," jawab lelaki paruh baya itu, "Demi kebaikan kamu, ayah menginginkan kamu menjadi wanita yang baik, wanita salihah, bukan seperti ini." Ayahnya melepaskan gelang pria dari pergelangan tangannya.

"Yah ...." Cika berucap memohon kembali.

Hanya saja ayahnya tidak peduli dengan rengekannya itu, pria paruh baya itu berjalan ke dalam kamarnya. Ia menatap ibunya yang ada di dapur, ia tahu pasti ibunya ikut menyimak obrolan mereka. Ibunya berjalan mendekat, lalu berkata, “Kamu sudah mengulangi kesalahanmu ketiga kalinya, jadi ibu dan ayah tidak memberikan kesempatan lagi. Sekarang kembalilah ke kamarmu untuk istirahat. Besok banyak hal yang perlu kamu urus.”

Cika tak berkata apa-apa lagi, ia berjalan lemas ke dalam kamarnya, hatinya terlalu sakit menerima keputusan bahwa ia akan dipindahkan ke pesantren. Air matanya sudah habis ditumpahkan, hanya sendu yang tersisa.

“Kenapa, sih, ayah dan ibu selalu egois? Kenapa nggak pernah dengar penjelasan aku?” gumamnya.

Bab 2 : Penjara Suci, Aku Datang!

Pagi yang mendung, satu minggu telah berlalu. Tepat hari ini, hari keberangkatan Cika ke pondok pesantren. Ia masih tidak terima tentunya, tetapi ia tidak memberontak jika ayahnya sudah mengambil keputusan.

Ia duduk termenung di kursi belakang kemudi, tepatnya di samping ibunya. Jilbab segi empat warna peach yang dipakai langsung dilepas, membuat kedua orang tuanya itu melotot ke arah dirinya.

“Panas, nanti aku pakai lagi, kok,” ucapnya mencoba menjelaskan. Tak hanya itu, kaus kakinya pun ikut dilepas, membuat ayah dan ibunya yang melihat hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya.

Seminggu belakangan ini, ia benar-benar dipaksa untuk memakai segala barang yang selama ini dihindari seperti; rok, jilbab, kaus kaki, baju lengan panjang, dan tak lupa gamis. Kadang ia tidak ingin bercermin, karena merasa ngeri sendiri melihat penampilan barunya.

“Lihat Cika sekarang, ibu jadi bangga punya anak perempuan, Yah,” ucap Ibu dari sampingnya.

“Ayah juga, Bu,” sahut Ayah menimpali dari arah depan.

”Jadi selama ini aku dianggap apa?” Cika bergumam lirih.

Tidak mau terlarut begitu dalam, Cika memilih memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Bayangan pondok pesantren terus mengusik pikirannya belakangan ini, apalagi ia sering mendengar dari teman-temannya bahwa pondok pesantren seperti, di penjara.

“Itu mengerikan!” batinnya, seraya menggelengkan kepalanya cepat.

“Bu,” panggilnya. “Kita kembali aja ke rumah, aku janji kok nggak akan nakal-nakal lagi.”

“Sebentar lagi, kita sampai. Kamu pasti betah, Cika,” jawab Ibu seolah-olah tidak peduli akan ucapannya.

Cika hanya mencebik kesal mendengar jawaban itu.

Empat jam perjalanan akhirnya mobil sedan hitam yang membawa Cika sudah tiba di pondok pesantren An-Nur. Lantunan ayat suci Al-Qur’an, salawat-salawat nabi terdengar begitu indah menyambut kedatangan mereka.

“Ayo, turun, Cika,” pinta Ibu yang melihat Cika masih duduk di tempatnya. “Pakai jilbabnya lagi,” lanjutnya.

“Aku nggak mau turun, Bu!" jawab Cika.

“Cepat, Nak,” timpal Ayah.

Lagi dan lagi Cika harus mengalah, dengan malas ia turun dari mobil. Sinar matahari yang menyilaukan membuat ia menyipitkan mata memperhatikan dengan saksama bangunan dua tingkat di hadapannya. “Di luar dugaanku kenapa ini terlihat lebih mengerikan?” ucapnya pelan.

Ayah dan Ibunya sudah berjalan terlebih dahulu memasuki pondok pesantren itu. Dengan terpaksa ia mengikuti dari belakang.

"Apa aku akan betah di sini? Baru membayangkan saja, aku sudah menyerah. Ah, perutku ikut melilit. Huft ...." Cika mengembuskan napas panjang.

Ia melangkahkan kakinya lebih cepat, untuk mengejar ibu dan ayahnya yang sudah jauh di depannya. Ia dapat melihat sekelilingnya banyak santriwati yang memandang dan melemparkan senyuman tipis ke arah dirinya. Ia membalas dengan senyuman palsu.

Brugh!

Kepala Cika tanpa sengaja tersandung dengan bahu pria yang menggunakan sorban. "Hati-hati kalau jalan, mau gue tonjok muka, lo?" Cika mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi mengancam pemuda berpeci yang ada di hadapannya itu.

"Jaga sikap, anti," ucap pria di hadapannya itu tanpa memandang dirinya, lalu mengambil tasbih yang terjatuh ke tanah dan pergi tanpa berkata apa pun lagi.

"Dasar pria aneh!" teriak Cika menyumpah serapah.

"Nyonya, meminta Non untuk secepatnya masuk ke dalam," kata pak sopir.

Cika mengangguk kecil, gadis berjilbab ini masih kesal.

Di tempat lain.

"Sepertinya santri putri baru, Ustaz. Dia tidak mengetahui siapa, Ustaz," ucap pak satpam sopan, pak satpam itu berjalan beriringan juga dengan anak kyai di pesantren itu.

Pria berpeci itu hanya tersenyum tipis menanggapinya.

Bab 3 : Hari Pertama di Pesantren

Setelah satu jam bercengkerama dengan keluarga besar Kyai Abdullah yang merupakan pemilik pondok pesantren, Ayah dan Ibu Cika berpamitan untuk pulang. Mereka telah menitipkan dan menyerahkan sepenuhnya agar Cika bisa dididik dan dibina di pondok pesantren milik Kyai Abdullah.

Tentulah berat bagi Ayah dan Ibu Cika berpisah dengan Cika yang merupakan anak semata wayangnya. Namun, demi kebaikan Cika itu sendiri. Mereka bukan tidak sayang atau pun tidak sanggup membimbingnya untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Mereka mempunyai alasan tertentu, pondok pesantren mungkin yang cocok untuk Cika sekarang. Begitulah yang ada di dalam pikiran masing-masing keduanya.

"Bu ...." Cika memeluk erat tubuh Ibu di depan pintu gerbang pesantren, ia kembali merengek, “Aku ingin pulang sama Ibu dan Ayah.” Tangisannya kembali pecah.

Ibu mengusap lembut pipi Cika, lalu berkata, "Kamu akan betah di sini lama-kelamaan, Nak. Nurut kata ustaz dan ustazah di sini, ya.”

"Ibu dan Ayah jahat! Aku nggak akan betah di sini," sahut Cika

"InsyaaAllah, kamu akan betah di sini, Nak." Nyai Hana yang merupakan istri Kyai Abdullah mengusap lembut kepala Cika yang dilapisi jilbab warna peach itu.

"Kami akan sering mengunjungimu." Ayah menarik tubuh Cika ke dalam dekapannya. Memberikan kecupan di puncak kepala anak semata wayangnya itu, "Buatlah ayah dan ibu bangga kepadamu, Nak. Ayah sangat menginginkan mempunyai anak yang shalihah bukan anak yang tomboi, ingat itu. Berjanjilah." Ayah mengangkat jari kelingkingnya.

"Aku akan usahakan." Cika mengangkat jari kelingkingnya juga untuk berjanji.

...***...

"Bangun, Cika! Sudah subuh, kamu bisa telat salat berjamaah!" Dinda menggerakkan tubuh Cika.

Melihat tak ada respons dari Cika, Novi yang berdiri di samping Dinda jadi ikut-ikutan membangunkan, “Yo, benar, Cika. Kena hukum kau nantinya,” ucapnya.

Mereka bertiga baru kenalan semalam, Novi dan Dinda menyukai kepribadian Cika yang harmonis, friendly, dan sangat mudah bergaul dengan siapa pun. Walaupun anaknya agak ngeselin dan keras kepala. Mereka berdua yakin Cika anak yang baik.

"Hoam." Cika menguap satu kali lalu menggeliatkan tubuhnya. Gadis ini menarik selimutnya lagi untuk melanjutkan tidurnya. Sangat tidak biasa baginya bangun pagi-pagi buta seperti ini. Apalagi ia semalam lama tidur gara-gara belum terbiasa ditambah perasaan rindu kepada kedua orang tuanya, membuat ia masih mengantuk berat.

"Woy, Cika bangun!" Dinda berteriak di telinga Cika, mengguncang tubuh Cika lebih keras.

"Aku masih ngantuk, Din. Kalian berdua pergi aja, aku nggak bisa. Mau tidur lagi," sahut Cika dengan suara serak. Mengambil bantal guling, menutup kupingnya.

Novi mengelus dada melihat tingkah teman barunya itu, "Astagfirullah, Cika, ini baru hari pertama kamu di sini . Jangan buat masalahlah.”

Tidak ada respons apa pun, Cika malah semakin tertidur pulas. Novi dan Dinda berbisik mencari ide agar bisa membangunkan Cika.

"Kepada seluruh santri putra dan putri segera datang ke masjid. Salat subuh berjamaah sebentar lagi dilaksanakan."

"Owalah, Ustaz Hafid jadi imam subuh ini, Din?"

"Iya, makanya kita harus cepat-cepat pergi."

Sebuah ide pun muncul. Novi dan Dinda mengangkat tubuh Cika paksa pergi ke kamar mandi.

Cika mengucek matanya, saat merasakan tubuhnya diangkat, “Ah, aku masih ngantuk, lagi pula aku nggak bisa salat. Aku sudah lupa sama bacaan dan gerakannya." Cika menyenderkan tubuhnya di dinding kamar santri putri.

“Nggak apa-apa, nanti kami akan mengajarimu.”

"Sepuluh ...." Suara hitungan mundur terdengar di masjid. Menjadi peringatan kepada seluruh santri untuk sudah ada di masjid sebelum sampai hitungan satu.

"Cika, kami duluan, kamu cepatan mandinya."

"Iya, Cika. Kami tunggu di masjid, ya."

Dinda dan Novi yang sudah mengenakan mukena itu lari terbirit-birit segera mengambil sajadahnya.

Sementara Cika hanya mengangguk kepala kecil, bersikap bodoh amat saat melihat seluruh santri putri bergegas pergi dengan terburu-buru kecuali dirinya yang bersikap santai. “Huh! Mana badanku pegal-pegal, kasurnya jelek banget,” cibirnya.

Ia ditempatkan di kamar santri putri ke-dua, kamarnya cukup besar bisa menampung lima puluh santri putri, berarti lima puluh tempat tidur dan lima puluh lemari berukuran sedang.

Karena kasurnya berdekatan dengan Dinda dan Novi, jadi ia menjadi akrab dengan dua teman barunya itu, dengan santri lainnya akrab juga, tetapi tidak seperti Novi dan Dinda yang langsung lengket, bahkan menyebut bahwa mereka bertiga akan menjadi sahabat fillah. Cika nggak mengerti arti kata ‘fillah’ itu, ia hanya mengangguk setuju-setuju saja.

Cukup lama bergumam, dan terus menyalahkan kasurnya yang tidak empuk, ia akhirnya masuk ke dalam kamar mandi dengan penuh keterpaksaan. Dan bersiap-siap ke masjid, walaupun semua serba terpaksa. Karena ia masih mengingat sudah berjanji dengan ayahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!