NovelToon NovelToon

Dinikahi Pewaris Tahta

BAB 1

Nirmala. Namanya berarti bersih, murni dan tidak ternoda. Nirmala hanya gadis biasa, yang lahir dan tumbuh besar di sebuah desa terpencil yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

Tumbuh di lingkungan yang sebagian besar masyarakat masih kurang open minded tentang pendidikan, tak menyurutkan niat gadis tersebut untuk menimba ilmu.

Ia memang hanya lulus SMA, tapi dia lulus dengan predikat terbaik.

Diiringi support dari ibunya membuat gadis yang biasa dipanggil Mala tersebut tak berhenti berusaha. Ia kerap kali pergi keluar desa untuk mencari pekerjaan.

"Bagaimana kemarin Mala, kamu diterima nggak?" Tanya ibu Mala yang bernama Ibu Shinta.

Mala menghela napas sejenak, menjeda kegiatannya yang tengah menggambar sebuah desain pada bukunya.

"Belum bu, Mala udah coba ke beberapa tempat tapi tetap aja nggak diterima. Apa karena aku hanya lulusan SMA ya bu?" Tanya Mala dengan sendu.

"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini Mala, mungkin kamu nggak diterima karena belum rejeki kamu aja. Ibu yakin nanti Mala akan jadi orang sukses."

Inilah yang membuat Mala tak pernah putus asa, ibunya selalu percaya padanya dan mendukungnya seratus persen. Ibu Mala selalu bekerja keras di toko kelontongnya untuk dapat menghidupi Mala. Kemana ayah Mala?. Jika ada yang bertanya seperti itu padanya, maka yang bisa dilakukan Maka hanya diam. Sebab dirinya pun tak tahu keberadaan ayahnya. Ibu hanya berkata, ayah pergi meninggalkan ibu saat Mala usia 5 tahun. Tapi Mala selalu tak yakin dengan jawaban itu

"Makasih ya bu selalu dukung Mala, aku janji nggak akan kecewain ibu. Mala akan terus cari kerja sampai dapat."

"Halah kamu nggak kerja juga nggak papa kok nak, kami bisa bantu ibu jualan di toko kan? Itu sudah lebih dari cukup buat keperluan kita sehari - hari."

"Emang ibu nggak pengen gitu jadi kaya?"

"Memangnya kamu pengen jadi kaya?"

"Iyalah bu, siapa sih yang nggak mau jadi kaya dan sukses. Itu impian semua orang. Kalau kita kaya, ibu nggak akan dihina sama tetangga kita lagi. Aku kesel bu sama mereka, nggak bisa sedikit aja ngehargain usaha orang." Mala mengeluarkan uneg - unegnya. Selama ini ia hanya bisa diam ketika orang lain memandang sebelah mata padanya. Anak nggak punya ayah, ibu seorang janda dan kemiskinan, itu semua adalah bahan bulian untuk keluarganya.

Terutama bu RT, dia adalah orang yang selalu berdiri di garda terdepan untuk mengeluarkan cacian pada Mala dan ibunya.

"Kalau kita kaya, bu RT yang rese itu nggak akan bisa lagi injak harga diri kita!" Ucap Mala.

"Hush! Kamu ini ngomong apasih, nggak baik kayak gitu nak, ibu nggak pernah ngajarin Mala bicara buruk tentang orang lain."

"Tapi mereka selalu bicara buruk tentang kita bu."

"Itulah perbedaan kita dan mereka. Kalau kita juga melakukan hal buruk yang mereka lakukan itu berarti kita sama aja kayak mereka. Nggak ada bedanya Mala."

"Maaf bu, habisnya Mala kesel."

Ibu Shinta menghembuskan napas kasar, paham betul kalau putrinya sangat kesal saat orang - orang terkesan memandangnya rendah hanya karena ia seorang janda tanpa suami.

"Memangnya Mala pengen jadi apa?"

"Untuk saat ini aku cuma pengen kerja, cari pengalaman dulu yang banyak. Ibu tahukan dulu aku kerja baru 6 bulan terus dipecat cuma gara - gara anak bosnya nggak suka sama aku. Kalau impian aku.. Mala pengen jadi desainer pakaian yang terkenal bu. Mala pengen punya butik sendiri."

Seluruh desa tahu, tangan Mala adalah tangan langka yang bisa merancang berbagai desain pakaian yang indah nan menawan.

Oh ya satu lagi, selain membantu ibunya di toko Mala juga membuka usaha jahit. Warga desa selalu mempercayakan pakaian mereka pada Mala. Mala adalah gadis berbakat hanya saja belum mendapat kesempatan menyalurkan bakatnya.

"Ibu selalu mendukung apapun yang kamu impikan. Yaudah sekarang tolong kamu anterin makanan kerumah kakek." Ibu Shinta menyodorkan sebuah rantang berisi makanan. Mala punya seorang kakek yang tinggal terpisah dengan mereka. Kakek Mala tinggal di ujung desa. Selain pada ibunya, kakek adalah orang kedua yang sangat sayang padanya, ia ibarat pengganti sosok ayah bagi Nirmala.

"Yaudah sini, sekalian aku mau tunjukin desain - desain baru aku sama kakek." Ujar Mala.

Rumah kakek Salim hanya berjarak sepuluh menit dari rumahnya. Tidak terlalu jauh, hanya saja kalau jalan kaki agak terasa lelahnya. Apalagi semalam Mala begadang demi menuntaskan pesanan kebaya tetangganya.

"Loh Mala kapan sampainya? Ibu kamu masak apa hari ini?." Kakek Salim yang baru pulang dari kebun sedikit terhenyak melihat cucu perempuannya yang sudah terduduk di ruang tamu.

"Baru aja kok, ini nggak tahu ibu masak apa Mala nggak sempat lihat. Yasudah kakek makan dulu." Mala mulai membuka rantang, menyajikan makanan diatas piring yang sudah ia ambil.

"Kek lihat deh, bagus nggak?" Tunjuk Mala pada sebuah desain sebuah pakaian pengantin yang ia buat beberapa minggu lalu. Gaun putih dengan berbagai pernak - pernik modern itu sungguh menawan. Mala memang dari desa, tapi seleranya bukan sembarangan. Ia selalu update kalau tentang fashion.

"Bagus sekali, tangan Mala memang langka. Ini akan menjadi berkah di kemudian hari." Ujarnya.

Mala mengulas senyum simpul di bibirnya mendengar pujian yang dilontarkan sang kakek. Kebanyakan orang meragukan kemampuannya, tapi kakek dan ibu selalu menyerukan kalimat - kalimat pujian saat menatap hasil karya tangan Nirmala.

"Halah desain kayak gitu aja kok bangga sih Mala? Anak SD juga bisa gambar baju kayak gitu." Suara bu RT menginterupsi. Mala sedikit terkejut, kapan Bu RT datang, pikirnya. Perempuan usia empat puluh tahun itu mengamati gambar desain Mala dengan seksama.

"Bu RT ngapain kesini?" Tanya Mala spontan.

"Kamu tuh nggak sopan banget ya! Saya ini istri pak RT disini loh. Saya cuma mau ngingetin kakek kamu nanti siang ada undangan ke balai desa. Ada bantuan khusus warga tidak mampu." Ketus dia bicara. Mengembalikan kertas ditangannya pada Mala. "Jangan lupa kek, nanti jam 1 siang. Kalai telat bisa ribet urusannya, nanti bantuannya bisa hangus."

"Iya, nanti saya datang Bu."

Seusai kepergian Bu RT yang menyebalkan itu, Mala menatap kakeknya lekat. "Rasanya aku pengen banget keluar dari desa ini kek. Pengen merantau gitu cari pengalaman, tapi kemana ya? Aku nggak punya banyak kenalan di kota."Keluh Mala.

Kakek Salim memandang cucu nya, merasa kasihan pada Mala. Tidak seharusnya Mala merasakan penderitaan ini, dia merasa sangat bersalah.

"Kamu beneran mau kerja? Sanggup merantau sendirian?" Tanyanya lirih.

"Iya! Mau banget! Kalau ada kesempatan."

"Kakek ada kenalan di Jakarta, dia sahabat baik kakek dulunya. Kalau Mala mau, kakek akan hubungi dia, biar selama kamu merantau sahabat kakek bisa melindungi kamu. Secara kamu tahu kan serawan apa ibukota."

Penuturan kakeknya membuat Mala sedikit termangu. Dia membisu, otaknya sibuk memikirkan tawaran sang kakek. Jakarta, kota yang sangat luas dan belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Mala hanya pernah bepergian keluar ke kota terdekat, namun bukan ibukota. Dalam benaknya, semakin luas dan modern sebuah kota, maka semakin berbahaya juga tinggal disana.

"Kenapa? Kamu takut ya?"

"Nggak lah! Mala mau banget kek, jadi kapan aku bisa kesana?" Demi ibunya, demi menaikan derajat keluarganya. Dan demi membuktikan pada orang - orang bahwa dia mampu dan bisa sukses di perantauan.

Di satu sisi kakek Salim sebenarnya ragu, rasa takut menyelimutinya. Apakah keputusannya ini tepat akan menitipkan Mala pada sahabatnya?Banyak resiko yang akan terjadi dan ia sadar akan hal itu.

Johanes Fernandez, apa kau masih ingat pada pria tua ini?.

***

Mobil mewah bermerek Pagani Huayra tersebut melesat membelah jalanan ibukota yang padat. Seorang pria berjaket jeans di dalamnya tampak menggerakan bibirnya seperti menyanyikan sebuah lagu. Tangannya bergerak menambah volume musik yang ia setel pada mobil mewah buatan negara mafia tersebut. Kecepatan maksimal apalagi ditambah alunan musik rock dan jalanan yang padat membuat si pengemudi sedikit kehilangan konsentrasi nya.

Cittt!!! Lelaki itu menginjak rem mendadak ketika sadar dirinya telah menabrak seseorang.

"Ah sial!" Umpatnya kesal. Tangannya terulur mematikan musik.

"Sial baru sehari disini sudah kena apes!"

Danzel turun dari kendaraan roda empatnya. Melepas kacamata hitamnya dan merapikan jaketnya yang berantakan. Ia sedikit ragu saat para warga sudah berkerumun di dekat wanita yang ia tabrak tadi.

Ah syukurlah, Danzel bisa agak tenang. Orang yang ia tabrak hanya sedikit mengalami lecet pada kaki dan sikunya.

"Nah itu dia pelakunya! Sini Mas, jangan kabur harus tanggung jawab ini!."Seru seorang ibu yang sudah memasang wajah tak ramah pada Danzel.

"Iya awas aja kalau sampai kabur, lihat kakinya mbak ini sampai berdarah!" Seru yang lain.

Semua orang begitu berisik hingga Danzel sedikit kuwalahan. "Iya iya, saya akan tanggung jawab ini juga akan saya bawa ke rumah sakit."Ujar pria itu.

"Ayo saya antar ke rumah sakit!." Danzel yang tadinya hanya berdiri karena sibuk meladeni amukan para warga, sekarang duduk berjongkok melihat wajah gadis malang yang ia tabrak.

"Sialan! Cantik sekali." Gumamnya dalam hati, netranya memandang wajah ayu gadis tersebut yang natural tanpa polesan make up apapun. Kulitnya yang berwarna putih susu natural, rambutnya hitam legam, matanya berwarna coklat tua yang menawan.

"Nggak usah, bisa tolong bantu saya berdiri." Para warga sudah bubar, kembali pada urusan mereka masing - masing. Gadis itu sedikit kesulitan berjalan membuat Danzel terpaksa menggendongnya ke pinggir jalan.

"Mau diantar kemana? " Tanya Danzel menawarkan bantuan, lebih tepatnya pertanggung jawaban.

"Nggak perlu, kamu pergi saja saya sudah bisa jalan sendiri. Ini lagi nunggu orang jemput." Balasnya ragu, kata ibu harus hati - hati dengan orang asing apalagi kalau berbeda jenis kelamin.

Danzel paham, pria itu merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet coklatnya.

"Ini! Sebagai permintaan maaf saya." Ujarnya seraya menyodorkan beberapa lembar uang dengan nilai besar. Setidaknya cukup untuk biaya rumah sakit, karena sebenarnya ia tak ada waktu untuk mengantar gadis tersebut kesana.

"Nggak-"

"Jangan nolak, saya ini kaya raya kamu nggak perlu sungkan begitu."

"Sombong banget sih orang ini, apa semua orang di ibukota modelan begini?." Batinnya kesal.

"Nggak perlu terimakasih, lagipula uang kamu itu dollar, nggak bisa digunakan disini. Harus ditukar dulu." Balasnya seraya memperhatikan penampilan Danzel yang modis. Mobilnya mewah produksi Italia, pasti dia adalah orang kaya. Dia juga baru menyadari garis wajah laki - laki di depannya yang bukan dari ras Asia. Sudah dipastikan dia ini bule, tapi kenapa bahasanya sangat lancar?

Danzel memerhatikan kembali uang yang ia sodorkan, baru sadar kalau belum menukar mata uang yang ia gunakan ke mata uang rupiah.

"Ah aku lupa kalau sedang ada di Indonesia. Maaf, kalah begitu ini kartu namaku. Danzel Anderson. Nanti hubungi saja kalau mau minta ganti rugi, biaya rumah sakit mungkin?. Yasudah, saya buru - buru permisi."

Gadis itu memperhatikan punggung tegap lelaki tersebut yang sudah menjauh dari pandangannya, pria itu langsung melesatkan kendaraan yang ia naiki membelah jalanan ibukota yang macet dan padat.

"Ah sialnya, baru aja sampai udah apes ketemu bule rese yang sombong itu. Mana sakit lagi kakiku. Awww.. Ya Tuhan tolong jangan pernah pertemukan aku dengan pria itu lagi..." Ujarnya bermonolog sendiri lalu membuang kartu nama Danzel ke tong sampah.

Kartu nama Danzel tak penting baginya, untuk apa menyimpan barang pemberian pria rese seperti dia. Lagipula ia masih bisa berjalan, tidak perlu sampai ke rumah sakit.

BAB 2

Netra Mala menyorot takjub tempat yang ia pijaki. Gadis itu kini berada pada sebuah rooftop luas dengan berbagai tanaman dan bunga yang mendominasi.Sebuah sofa abu melingkar di tengah, tempat ini sangat cocok dijadikan ruang bersantai. Mala berdiri menatap takjub pemandangan dari rooftop yang langsung menuju alam terbuka. Bila dia menoleh kearah kiri, langsung disajikan pemandangan kepadatan ibukota. Bisa dibayangkan betapa menyenangkannya duduk bersantai disini pada malam hari seraya menikmati secangkir kopi, menatap angkasa yang bertabur bintang. Ah, Mala rasa dia terlalu lancang. Sudah lima hari dia di rumah orang dan dia merasa sangat senang. Siapapun tentunya akan betah tinggal di rumah megah bak istana tersebut.

"Tapi bagaimana kakek bisa dapat teman konglomerat begini?" Bahkan kakek Salim hanya seorang petani, tapi dia kenal baik dan bersahabat dengan Johanes Fernandez, salah satu konglomerat di negara ini yang punya banyak perusahaan dan anak perusahaan.

Desas - desus yang Mala dengar dari internet juga menerangkan kalau pengusaha cukup umur tersebut punya banyak anak. Tapi semenjak kehadirannya kemari, Mala tak melihat satupun dari keluarga tuan Johan. Hanya ada tuan Johan dan beberapa pelayan saja di rumah besar ini.

Orang kaya memang beda ya, yang tinggal saja hanya beberapa orang tapi rumahnya luas tak terhingga. Alhasil hanya ada kehampaan dimana - mana.

"Nirmala," suara panggilan seseorang sontak membuat Mala berbalik badan, langsung bersitatap dengan Johan yang sudah rapi dengan jas kerjanya.

"Iya tuan, " balas Mala canggung.

"Tidak usah panggil saya tuan, panggil Opa saja. Kamu sudah saya anggap sebagai cucu sendiri karena kamu adalah cucu dari Salim." Tutur pria itu lembut menampilkan gigi palsunya yang rapi dan putih.

"Iya, opa." Mala sejujurnya merasa tak pantas memanggil begitu. Tapi dia menurut saja.

"Ayo turun kebawah sebentar, ada yang akan datang sebentar lagi." Seru Opa Johan lalu berlalu darisana. Mala masih menatap punggung pria tua dengan uban yang sudah menutupi kepalanya tersebut.

Mala patuh, lalu mengekori langkah opa Johan menuju lantai satu. Rumah besar ini terdiri dari tiga lantai. Mala merasa seperti bermimpi saat bisa tinggal disini.

Sebenarnya, dia tak berharap tinggal. Mala bahkan sudah menyurvei beberapa kos - kosan yang murah dan pastinya akan hemat budget. Tapi apa daya, opa Johan memaksanya tinggal. Bahkan pria itu sangat amat memohon yang membuat Mala tak sampai hati menolak keinginannya.

Ditambah pesan kakek Salim, untuk patuh pada apa kata sahabatnya. Sebab Johan lah yang akan melindungi Mala kalau ada sesuatu yang tak diinginkan di kota tersebut menimpanya.

Hah, Mala juga heran. Memangnya sebahaya apasih tanggal sendirian di kota orang?. Atau ada hal lain yang ia tidak tahu?. Batinnya bertanya - tanya.

Begitu sampai di lantai dasar, langsung ia disuguhkan pemandangan yang mencengangkan, pria sombong itu, dia ada disini! tepat dihadapannya dan sedang bercengkrama akrab dengan opa Johan.

"Ya Tuhan kenapa harus ketemu dia lagi!" Jeritnya dalam hati. padahal Mala sudah berdoa semoga tidak dipertemukan dengan si sombong itu. Atau akan ribet urusannya nanti.

"Mala sini nak!" Panggil Opa Johan yang membuyarkan lamunannya. Mala melangkah mendekat, sepertinya laki - laki itu pun sama terkejutnya dengan dia. Dia tampak sedikit membulatkan mata saat Mala turut duduk dekat opa. Bahkan sekarang dia membuat Mala risih dengan matanya yang memindai penampilan Mala dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Kenalkan ini cucu saya, Danzel. Dia baru tiba dari New York beberapa hari yang lalu. Tapi tidak usah khawatir, bahasa Indonesianya sangat lancar." Penuturan Johan membuat Mala terkejut, jadi dia adalah cucu dari sahabat kakek yang memberinya tumpangan tempat tinggal. Kenapa bisa kebetulan sekali, beberapa hari yang lalu pria itu menabraknya dan sekarang Mala malah tinggal dirumah kakeknya. Apa ini yang dinamakan jodoh?

"Dia adalah Nirmala Danzel, dia cucu sahabat opa. Ayo jabat tangan!" Opa Johan sedikit memelototkan matanya pada Danzel saat pria itu hanya diam. Alhasil setelah mendapat intimidasi dari sang kakek, Danzel mengalah.

"Danzel," Seru Danzel.

"Nirmala," Keduanya berjabat tangan.

Opa Johan lalu tersenyum, mereka berbincang cukup hangat setelahnya.

"Kemana saja kamu lima hari ini, disuruh ke rumah Opa kok malah kelayapan." Omelnya namun dengan nada lembut. Danzel menggaruk tengkuknya, tak mungkin dia jujur atau Opa akan tambah marah kepadanya.

"Danzel ini anak muda, opa! Aku hanya pergi liburan bersama teman temanku, mereka ingjn merayakan kedatanganku ke Indonesia setelah sekian lama." Ujarnya kemudian.

"Benar begitu?!" Opa tampaknya masih belum percaya. Danzel pun mengeluarkan beberapa bingkisan dari backpack nya, menyodorkan benda tersebut.

"Ini buktinya, aku beli oleh - oleh untuk opa." Danzel tersenyum. Ia telah membelikan beberapa lukisan pada kakeknya. Kalau begini semuanya aman terkendali, opa pasti akan senang karena dibelikan hadiah favoritnya.

"Good boy! Apa ini lukisan?"

"Sure" Balas Danzel.

Setelah melanjutkan percakapan beberapa saat, opa Johan beranjak dari duduknya. Pria tua itu menepuk bahu Danzel lalu berkata,"Sebaiknya kalian berkenalan lebih dalam, supaya semakin akrab."

Setelah kepergian opa Johan.

"Mau apa kamu kesini?" Tegur Danzel dengan nada kesombongannya saat melihat Mala juga akan beranjak dari sofa. Gadis itu mengurungkan niatnya, ia kembali duduk lalu menatap dalam mata hijau indah kepunyaan pria di depannya.

"Tanyakan saja pada kakekmu." Ujar Mala lirih. Akan ribet kalau ia menjelaskan, selain itu dia tak mau terlalu lama bicara padanya.

"Kamu, awas saja kalau membuatku susah disini!" Danzel sebenarnya sudah tahu semuanya, sebab satu jam sebelum datang kemari Johan sudah menjelaskan semuanya dan mengatakan akan ada gadis yang tinggal dirumah untuk sementara waktu.

Mala hanya terdiam, ia sejujurnya dongkol setengah mati pada Danzel. Namun apa dayanya, ia hanyalah tamu yang tak punya kuasa.

"Iya," Balasnya kemudian.

*****

Keesokan harinya, saat sinar matahari sudah terang benderang menyinari dunia, Mala telah rapi dengan kaos putih dan rok hitam selutut. Rambut hitam legamnya ia kuncir kuda hingga menampakan leher jenjangnya yang mulus.

Aura kecantikannya semakin terpancar pagi itu, ditambah saat ini tangan Mala yang terampil tengah mengolah bahan makanan menjadi hidangan yang pastinya lezat.

"Non Mala multitalenta ya, udah cantik, pandai bikin baju, pinter masak pula. Aduh..beruntungnya calon suaminya nanti." Puji Bi Arum, pimpinan asisten rumah tangga disini yang perkiraan usianya sama dengan ibu Mala.

Mala hanya menarik kedua sudut bibirnya mendengar pujian itu.

"Udah non kesana aja, biar saya yang teruskan. Lagipula katanya mau pergi kan?" Lanjutnya.

"Iya, makasih bi."

Mala melangkahkan kakinya menaiki anak tangga ke lantai dua, dia berniat mengambil tasnya yang tertinggal di dalam kamar. Opa Johan belum turun, Mala berharap lelaki itu menyukai masakan buatannya. Kalau Danzel, entahlah ada dimana pria rese itu.

Brug

"Punya mata nggak sih!" Sentak Danzel saat gadis itu menabrak dada bidangnya yang telanjang karena habis olahraga di gym di lantai atas. Pria itu nampak sangat menawan dengan keringat yang masih menetes dari dahinya dan jangan lupakan, perut sixpack-nya yang menggoda iman.

"Ya Tuhan mataku.." Gumam Mala dalam hati saat tak sengaja menatap penampilan Danzel yang terlihat seksi.

"Kamu tuh yang jalan cepet - cepet kok nyalahin saya! " Balasnya balik merasa tak terima. Mala saja sudah jalan hati - hati dan perlahan, tapi Danzel yang berjalan seperti dikejar setan.

"Heh berani ya, atau jangan - jangan kamu sengaja ya biar bisa pelukan sama aku." Kerlingnya nakal. "Kalau kagum bilang aja. Danzel kamu tampan banget, kaya, keren dan menawan. Aku suka sama kamu.." Danzel menirukan suara wanita saat memperagakannya.

Hampir saja Mala muntah mendengar celotehan pria aneh dihadapannya ini. Mentang - mentang kaya dan tampan, nggak usah sombong juga lah!.

"Ih percaya diri banget kamu ya! Bahkan kalau stok laki - laki di dunia ini habis dan tinggal kamu, lebih baik saya jadi single seumur hidup!"

"Yakin? Nanti nyesel loh, soalnya selama ini semua perempuan tergila - gila sama aku. Siapa yang tahu takdir, kalau di masa depan kamu bakal cinta mati sama aku." Ujarnya dengan percaya diri.

"Nggak akan! Minggir sana!"

"Eits! Jawab dulu pertanyaan tadi"

"Pertanyaan apasih nggak jelas banget!"

"Kamu nggak bisa menutupi kebohongamu Mala, akui aja kalau aku ini ganteng, kaya, perfect dan sixpack. Kamu lama tinggal disini kan? hati - hati entar jatuh cinta sama aku. Aku nggak mau tanggung jawab ya!"

"Mustahil, kalau itu terjadi kamu boleh minta 3 permintaan sama aku. " Ucap Mala asal karena jengkel.

"Oke, just wait and see." Seru Danzel kemudian dan berlalu darisana menuju kamarnya.

Sarapan pagi terjadi dengan canggung. Senyap, hanya ada bunyi dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Semua sibuk dengan santapan masing - masing.

"Enak sekali menu pagi ini, Opa yakin pasti bukan bi Arum yang memasak." Opa Johan tersenyum di sela - sela makan seraya menatap Mala.

"Pasti Mala yang masak kan?" Tanya Johan lembut.

"Iya," Mala mengangguk.

Danzel hanya membisu mendengar percakapan dua orang tersebut, ia fokus pada makanan yang ia nilai sangat enak. Hampir menyamai kelezatan masakan mami Aisha.

"Lihatlah Danzel, Mala gadis yang multitalenta kan? Cantik, berbakat, pintar, pandai masak pula. Kamu seharusnya bergaul dengan gadis seperti Mala, bukan teman teman berandalmu itu." Lanjut pria tua itu kemudian.

"Teman - temanku juga baik opa, mereka sangat setia kawan." Danzel datar menanggapi.

"Baik apanya, mereka hanya membuat kamu semakin bandel dan susah diatur. Sampai sampai mami mu mengirimu kemari agar tak lagi bergaul dengan mereka. Eh sampai sini ternyata kau masih punya teman - teman lagi yang tak jauh beda sifatnya dari mereka." Omel Opa Johan yang membuat telinga Danzel panas. Hilang sudah moodnya pagi ini. Situasi seperti ini mengingatkan Danzel saat ia sedang dibandingkan dengan Devan, kakak tertuanya yang selalu menuai pujian itu.

Dan sekarang, lihatlah gadis sok cantik itu, dia berpura - pura polos bagai anak kucing saat Opa Johan mengomel pada Danzel.

"Pasti sengaja masak sarapan untuk merebut perhatian opa." Batin pria itu dengan mata yang melirik Nirmala.

"Danzel sudah selesai!" Ucapnya lalu bangkit, meraih kunci motor diatas meja dan berlalu darisana.

"Danzel, opa belum selesai!"

"Besok saja dilanjut opa, Danzel akan pulang malam!" Teriaknya yang hilang seiring dengan langkahnya yang menjauh.

"Ckckck, lihat Mala! Dia itu urakan dan nakal. Opa bingung bagaimana cara mendidik dia." Ujarnya sambil geleng - geleng kepala. Menghadapi tingkah cucu laki - lakinya yang nakal kadang membuatnya pusing dan jengkel setengah mati. Bagaimana Danzel bisa meneruskan tahta perusahaan Fernandez kalau sikapnya saja seperti itu.

Danzel memang tumbuh besar di lingkungan pertemanan yang toxic, jadi wajar agak susah mendidiknya. Dia juga masih muda, masih labil dan sedang masa nakal - nakalnya.

"Kalau opa sabar dan berbicara dengan lembut padanya pasti dia akan mengerti. " Tutur Mala lembut.

"Sudah dicoba nak, tapi tetap saja tidak berubah. Huff!" Johan menghembuskan napas lelah lalu kembali melanjutkan sarapan.

"Mala,"

"Iya?"

"Opa akan pulang besok hari karena ada perjalanan keluar kota. Bisa minta tolong? Tolong awasi Danzel, kalau malam ini dia tidak pulang, besok kamu lapor sama opa."

"Baik opa."

BAB 3

Hari ini Mala menghabiskan waktunya untuk menyurvei beberapa tempat yang akan ia sewa sebagai butik barunya. Mala memang sudah lama sekali berencana membuka butik yang dapat menyerap tenaga kerja tentunya. Ia sudah mendapatkan pinjaman dari bank. Rencananya gadis itu akan merekrut beberapa gadis kenalannya di desa, sekaligus membantu mereka agar setidaknya mendapat pengalaman bekerja. Beberapa tempat sudah Mala survei dan hasilnya, ia akan menyewa sebuah tempat dengan budget yang lumayan terjangkau dari tempat yang lain. Pemiliknya butuh uang cepat oleh sebab itu ia memperoleh harga miring. Tempatnya juga sangat strategis, dekat dengan jalan raya, mall besar, beberapa pusat perbelanjaan dan agak jauh darinya terdapat sebuah tempat wisata.

Berulang kali opa Johan menawarkan bantuan padanya, bahkan terkesan memaksa. Ia berkata akan menyediakan tempat yang sangat besar untuknya. Tapi Mala menolak dengan halus dan teguh pada pendirian, ingin memulai segalanya dari nol. Entah membuahkan hasil atau tidak, setidaknya ia tahu apa arti kerja keras yang sesungguhnya. Bukan hanya sekedar mengandalkan orang lain.

Mala pulang dengan keadaan bahagia, dia akan ijin pulang ke desanya sebentar pada Tuan Johan. Satu langkah untuk menggapai cita-citanya sudah terlaksana. Tak apa bila nanti gagal, namanya juga usaha. Justru kegagalan adalah tangga kesuksesan.

Hari sudah petang, bahkan jam murah di pergelangan tangannya sudah menunjukan pukul lima sore. Mala sampai di gerbang kediaman Fernandez dengan ojek yang ia pesan online.

"Ini rumahnya mbak?" Tanya bapak itu.

"Iya pak," Jawab Mala tersenyum lalu merogoh sakunya dan menyodorkan sejumlah uang.

"Bagus ya mbak rumahnya, semoga saya ketularan kaya. Haha?" Candanya asal.

"Ini bukan rumah saya kok, cuma numpang."

"Oh, ya siapa tahu nanti rumah ini jadi milik mbak juga."

Mala hanya tertawa kecil menanggapi perkataan tukang ojek tersebut, ia masuk kedalam rumah dan menuju kamarnya. Mala meletakan tas diatas ranjang dan membilas diri dalam kamar mandi. Hari ini lelah sekali, tapi tak apa, Mala cukup senang.

Saat kedua jarum panjang jam sudah bertemu di titik yang sama di angka dua belas, mata Mala masih terjaga. Ia ingin merebah dan melepaskan kantuk dengan tidur, tapi rasanya pesan opa Johan terngiang dalam kepalanya yang membuatnya terjaga. Danzel belum pulang, bahkan sudah jam 12 malam, kemana pria itu?

"Haiss, menyusahkan saja! " Gerutu Mala kesal saat Danzel belum pulang. Ia takut besok Johan akan bertanya padanya sedangkan ia tidak memiliki jawaban. Mala akan merasa tidak enak hati pastinya.

Barulah saat jam menunjukkan pukul satu dini hari, gadis itu mulai tak kuasa menahan dorongan dari dalam dirinya untuk tidur.

"Sepertinya Danzel nggak pulang, yasudah aku tinggal tidur aja. Besok bilang ke Tuan Johan kalau cucu resenya itu nggak pulang biar dimarahain sekalian!." Gumamnya pelan lalu melangkah menjauh dari balkon. Tangan Mala baru saja akan menutup gorden saat deru mobil Pagany Huayra itu mengusik telinganya. Ia kembali menyibak gorden, dapat ia lihat Danzel turun dari mobil seraya memegang kepalanya. Dia terlihat mabuk, bahkan ambruk ke tanah.

"Ya Tuhan!" Mala berlari ke lantai bawah dan membuka pintu. Dia menghampiri pria itu yang setengah sadar tergeletak ditanah. Mala menggoyangkan bahunya.

"Heh bangun!" Ucapnya agak keras. Tak ada yang dimintai tolong karena semua orang sudah terlelap, security yang biasa bertugas juga tengah izin.

"Danzel!" Tak ada respon, dengan berat hati dan dongkol Maka memapah tubuh kekar itu menuju rumah. Ia bahkan kesusahan saat menaiki tangga. Tapi akhirnya berhasil tiba di kamar Danzel.

Dengan hati-hati gadis itu membaringkan Danzel diatas ranjang. Membuka sepatu dan kaos kaki serta jaket jeans nya. Aroma tak sedap yang menusuk itu tercium jelas di indra penciuman. Mala hampir saja muntah.

"Dasar cowok aneh! Udah sombong, rese, tukang minum lagi!" Hardiknya kesal seraya memerhatikan pahatan wajah rupawan yang terlelap di depannya.

Mala yang hampir saja meninggalkan ruangan tersentak saat lengan kekar itu menggaet tangannya. Membuatnya terhuyung dan berakhir jatuh di ranjang.

"Mami, tolong pijat kepalaku. Aku sangat pusing. " Sepertinya pria itu mengingat yang disebelahnya adalah ibunya. Dalam mimpi Danzel, saat ini sedang ditemani maminya yang cerewet dan sedang mendengarkan omelan bertubi darinya. Memang, saat di Amerika dulu, maminya akan sangat marah kalau ia pulang dalam keadaan mabuk.

"Heh aku bukan mamimu," Ucap gadis itu pelan saat Danzel menenggelamkan kepalanya pada perutnya. Rasanya ingin tangannya melempar kepala Danzel agar menjauh, tapi tak sampai hari merealisasikan niatnya tersebut.

"Pijat kepalaku.." Desis Danzel yang akhirnya membuat Mala iba. Gadis itu memijat kepalanya perlahan. Danzel mendesis keenakan merasakan pijatan yang mengurangi rasa peningnya. Dia minum terlalu banyak tadi. Tangan ajaib itu benar-benar hebat hingga membuatnya seketika terlelap. Tapi masih tak mengindahkan kepalanya darisana. Detik demi detik berlalu hingga tanpa disengaja, rasa kantuk yang hinggap itu membawa Nirmala menuju alam mimpi juga.

***

"Sangat senang menjalin kerjasama dengan anda tuan. Anda adalah orang terhormat, bahkan anak-anak Anda sukses dalam bidangnya masing-masing. " Ujar seorang pria seumuran Johan yang merupakan rekan kerja barunya. Mereka mengadakan makan siang kecil dirumah Johan sebagai tanda terjalinnya kerjasama diantara perusahaan mereka.

Saat ini, di ruang tamu ada Johan, rekan bisnis barunya, Arjuna putra ketiganya dan putri dari Arjuna yang duduk manis di samping sang ayah.

"Sebaiknya kita mulai makan sekarang." Ucap Johan.

"Opa, kak Danzel ada dimana? Bukankah dia baru tiba dari New York. Aku ingin menemuinya." Seru seorang gadis yang bernama Deby. Deby adalah putri Arjuna yang masing sangat muda. Wajahnya putih bersih dan imut persis seperti sang ibu. Dia sangat cerewet yang terkadang membuat papanya jengkel.

"Jangan menggangunya, Danzel pasti marah mendengar ocehanmu Deby." Tegur Papa Arjuna memperingatkan putrinya.

"Nggak, aku nggak akan ganggu kok. Cuma pengen ngobrol aja." Deby masih bersikukuh dan melemparkan tatapan memelas pada sang kakek. Ia sangat ingin bertemu kak Danzel.

"Dia ada di kamar sepertinya, coba kamu cek." Seru Opa Johan yang sembari tersenyum lembut.

Dengan senyum merekah dan semangat empat lima Deby pergi ke lantai atas, dimana kamar Danzel berada. Ia meraih tasnya dan mengambil sesuatu darisana, itu adalah oleh-oleh yang sengaja ia beli untuk Danzel saat ia sedang liburan di Prancis. Dan saat dia membuka pintu..

"Kak Danzel!!" Suara teriakan Deby yang begitu kencang sampai membuat semua orang panik dan berlari tergesa menghampirinya. Termasuk diatas ranjang sana, dua orang yang saling memeluk itu pun masih terlihat linglung.

Mala mengucek matanya, belum sadar akan keadaan yang terjadi. Sementara Danzel hanya menatap datar pada Deby.

"Kalian tidur berdua?!" Sentaknya lagi. Mala mulai sadar apa yang terjadi, bahkan ia terhenyak melihat banyak orang di belakang Deby yang sedang menyaksikan mereka. Ada Opa Johan, dua orang lelaki asing dan juga seorang gadis yang wajahnya sudah merah padam.

"Apa yang kalian lakukan disini?! " Suara Opa Johan terdengar sangat kecewa.

"Aku bisa jelaskan semuanya" Ujar Nirmala

"Huff, kami tidak melakukan apapun opa! Danzel juga lupa kenapa dia disini, yang jelas tidak terjadi apapun." Suara parau masih mendominasi Danzel, agaknya pria itu masih sangat mengantuk dan ingin tidur. Ditambah kepalanya yang kliyengan membuatnya malas meladeni orang-orang ini.

"Tuan Johan, ini? Bukankah dia cucu anda Danzel? Dan bagaimana seorang cucu Johan Fernandez bisa melakukan hal semacam ini? Bagaimana kalau kolega tuan yang lain tahu.?"

Lelaki yang merupakan pengusaha seumuran Arjuna itu seakan tak percaya apa yang terjadi, ia bahkan langsung memalingkan wajahnya lalu melangkah keluar.

BERSAMBUNG

Jangan lupa follow Instagram baru author: @stefhany_stef

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!