NovelToon NovelToon

Bima

Part. 1

"Dari mana lu dapat bayi? Maen ambil aja anak orang lu. Awas entar dikata maling baru nyaho lu," ketus seorang laki-laki paruh baya bertubuh tinggi besar dengan tato naga di tangannya.

"Gua nemu ni bayi di pinggir sawah, Bang. Kesian, Bang, dibawa-bawa sama anjing tadi. Gua kira boneka, eh ... dia nangis. Ya udah, gua sambit, deh, tuh binatang biar bisa ambil ni bayi," terangnya sembari menimang bayi di gendongannya. Ia tersenyum, sesekali mengajak bicara bayi itu yang terlihat nyaman di pelukannya.

Laki-laki bertato tadi melengos, duduk di kursi rotan sambil membuka sepatu kulit usang yang setia melekat di kakinya. Ia melirik istrinya, wanita itu terlihat bahagia menimang bayi entah siapa orang tuanya. Ia mengangkat kedua kaki, menumpuknya di atas meja mencari kenyamanannya.

Laki-laki itu berjengit tatkala sang istri cepat-cepat mendatanginya.

"Lihat, deh, Bang. Bayinya cakep banget, hidungnya mancung persis kaya gua. Emang dah, ini udah rezeki kita. Bertahun-tahun kita pengen punya anak, sekarang Allah kasih mana ganteng pisan," katanya sambil menunjukkan bayi laki-laki di gendongan pada suaminya.

Kepala laki-laki itu sedikit terangkat, penasaran juga dia ingin melihat bagaimana rupa bayi yang ditemukan istrinya itu.

"Ni bayi laki? Kagak salah lu?" Jari telunjuknya mengarah pada wajah di bayi yang nampak tampan sekaligus cantik jika dilihat sekilas saja.

"La, iya, Bang. Tadi, 'kan, gua mandiin jadi tahu ... Eh, Bang, Abang beliin salep bayi, gih. Kesian kulitnya pada memar kayanya ni bayi jatoh dari atas." Memerintah tak tahu suami lelah sepulang bekerja.

Ia berdecih, memalingkan wajah dari sang istri yang melayangkan tatapan memohon padanya. "Elah, Tin, pake aja salep nyang di rumah napa? Kagak bakal kenapa-napa juga ntu bayi," ucapnya enteng. Ia menarik sebatang rokok dari tempatnya, membakarnya, dan mulai bersantai ria menikmati sore hari yang damai.

Wanita paruh baya itu mendengus, wajahnya sudah tak sedap dipandang. Hanya saja, sang suami tak acuh dan berpaling darinya.

"ABANG! Ini bayi, Bang. Bukan Abang, kulitnya masih sensitif entar kalau kenapa-napa Abang mau tanggung jawab bawa dia ke rumah sakit? Kagak, 'kan?" cecarnya dengan nada tinggi melengking.

Ia kelabakan saat bayi di gendongannya ikut menjerit karena terkejut mendengar suara tinggi sang Ibu angkat.

"Cup-cup ... jangan nangis, Tong! Maafin Nyak, ya. Duh ... gara-gara Abang, sih! Jadi nangis, 'kan." Masih saja menyalahkan suaminya, padahal suara tingginya yang membuat bayi itu menangis.

Laki-laki itu menutup telinganya yang berdenging hebat. Suara istrinya yang tepat di telinga, membuat kepalanya ikut merasa pening.

"Duh, bisa kagak lu ngomong pelan-pelan? Pengang kuping gua! Tuh, dia juga ikutan nangis, 'kan!" sungutnya sambil mengusap-usap telinga yang masih memperdengarkan bunyi ribuan tawon menyambar itu.

"Lagian Abang, suruh beli salep bayi aja kagak mau. Duh, Bang, kagak mau berenti nih. Gimana, Bang?" Bingung sendiri karena tangis bayi itu tak juga mereda.

Laki-laki itu pun ikut panik, ia mematikan rokok yang baru saja disulutnya. Bangkit dari kursi kebesarannya dan pergi begitu saja.

"Eh, Bang! Mau pegi ke mana?" teriaknya lagi melambai-lambaikan tangannya memanggil sang suami.

Laki-laki itu mendengus sebelum berbalik. Ia berkacak pinggang sambil menatap bingung pada istrinya itu.

"Lah, tadi lu nyuruh gua buat beli salep. Lu gimana, sih?" katanya sedikit kesal, tapi raut cemas nampak jelas di wajahnya.

Tina, istrinya itu tersenyum malu. Ia lantas mengibaskan tangan mengusir sang suami agar secepatnya pergi membeli salep.

"Jangan lupa susu bayi sekalian, Bang! Asi gua kagak keluar!" Berteriak lagi sambil meletakkan sebelah tangannya di pinggir mulut. Laki-laki itu hanya mengibaskan tangan mengerti, tak perlu diberitahu lagi karena dia sendiri pun amat mendambakan seorang anak.

Mereka sudah sepuluh tahun lebih menikah, tapi tak kunjung dikaruniai anak. Ini karena kebiasaan buruk sang suami yang tak dapat menghentikan rasa candunya terdapat minuman beralkohol. Beruntung, Tina begitu sabar hidup dengannya. Menerima segala kekurangan suaminya walaupun hidup hanya pas-pasan.

Karena sejatinya, menikah itu bukanlah tentang mencari yang sempurna, tapi melengkapi kekurangan pasangan agar menjadi sempurna.

Dewa, nama laki-laki itu, dia adalah seorang yang romantis, penyayang, perhatian, sekalipun pekerjaannya hanyalah seorang preman. Dia juga kerap membantu orang-orang yang kesulitan di pasar tempatnya mengais rezeki.

Tina tersenyum, dia yang hanya seorang yatim piatu pada saat menikah dengan Dewa itu, merasa sempurna hidupnya setelah berumahtangga sekian lama walaupun kadang merasa kesepian karena tak ada gelak tawa dari anak-anak. Akan tetapi, Dewa selalu punya cara untuk menghangatkan hatinya yang kesepian.

Mereka tinggal di sebuah rumah semi permanen yang sederhana. Tidak besar, tidak pula kecil. Ada sepasang kursi rotan di teras rumah mereka, tempat bersantai menikmati waktu pagi dan sore hari.

Tak banyak perabot di dalam rumahnya bahkan sofa saja tidak ada. Hanya sebuah tikar tempat mereka saling memijit dan saling bersenda gurau melepas lelah.

Bunyi sepeda motor khas milik suaminya berderu di halaman. Tina berhambur keluar, bayi di gendongannya sudah lebih tenang dari sebelumnya.

"Dapet, Bang!" sambarnya segera. Tak sabar ingin membuatkan bayi itu susu karena sejak pagi, ia hanya memberinya air gula.

Dewa mengangkat kantong kresek besar di tangannya, dengan senyum tersemat di bibir ia mendekati sang istri.

"Banyak bener, Bang. Apa aja yang Abang beli?" tanyanya sambil menerima kantong kresek dari tangan suaminya. Susu, salep, berikut pakaian untuk bayi itu semua ada dalam kresek yang dibawa Dewa. Sepertinya laki-laki itu menghabiskan semua uang yang dia dapat hari itu.

"Semua keperluannya Bima," katanya sambil melepas sepatu dan duduk di atas tikar bersama sang istri yang juga duduk di sampingnya.

"Bima?" ulangnya saat mendengar sebuah nama disebut.

"Ye, gua kasih nama Bima aja dia. Biar kuat kaya si Bima dan kaya Babehnya ini," katanya bangga mulai bermain dengan bayi Bima yang sudah dibaringkan di atas tikar beralaskan kain panjang saja.

"Bagus, gua suka." Diciumnya dahi bayi itu. Ternyata seperti ini rasanya menjadi seorang Ibu. Selalu bahagia apa pun yang menyangkut tentang anaknya. Tina mengusap matanya yang tiba-tiba berair karena terharu.

"Napa lu nangis, Dek?" Disapunya kepala sang istri dengan lembut. Tina berhambur memeluk suaminya, menangis haru dan bahagia.

"Gua bahagia, Bang. Bahagia banget. Terima kasih selama ini Abang selalu mencintai Tina. Abang selalu nurutin apa yang Tina mau, kagak pernah ngeluh sama sikap manjanya Tina. Terima kasih, Abang. Tina sayang Abang." Ia mengeratkan pelukan.

Dewa menciumi pucuk kepalanya bertubi-tubi. Betapa ia pun mencintainya. Tak ingin kehilangan sosok istri yang setia menemaninya dalam suka maupun duka.

"Abang juga sayang Adek. Maafin Abang kalo selama ini belum bisa bikin Adek bahagia. Terima kasih, Adek udah setia nemenin Abang sampe sekarang. Abang sayang Adek." Ia pun ikut mengeratkan pelukannya. Menciumi kepala sang istri yang amat ia cintai itu.

"Mulai sekarang, Abang mau cari kerjaan yang baek karena udah ada Bima. Abang kagak mau kasih makan dia dari uang yang kagak jelas. Biar jadi 'orang' gedenya," tuturnya lagi bersungguh-sungguh.

Tina mengangguk dalam pelukan. Ia tersenyum, bersyukur jika suaminya itu berubah. Kehadiran Bima benar-benar sebuah anugerah dari Yang Kuasa untuk mereka. Sekaligus membawa hidayah untuk suaminya.

Suara Bima menghentikan keharuan sepasang suami istri itu. Mereka sama-sama menatap Bima sambil tersenyum penuh syukur. Mulai hari ini Dewa berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi pribadi yang lebih baik, dan jika bisa ia ingin menghentikan candunya terhadap alkohol.

Part 2

Sepuluh tahun berlalu, Bima tumbuh dengan baik dibawah asuhan orang tua angkatnya. Dia menjadi pribadi yang ceria, supel, dan kerap membantu orang-orang di sekitar rumahnya. Perbedaan didikan antara keduanya, tak menjadikan Bima anak yang tak memiliki pendirian.

Dia bersekolah sama seperti anak-anak yang lainnya meskipun kerap mendapat cemoohan karena katanya wajah yang dia miliki sama sekali tak serupa dengan Ayah dan Ibunya.

Namun, itu semua tak membuat Bima menyurutkan langkah untuk tetap pergi ke sekolah. Dia anak yang kuat dan tahan banting, sesuai harapan kedua paruh baya itu saat menyematkan mana Bima padanya.

"Gimana sekolah lu, Tong? Bisa kagak lu belajarnya?" tanya Dewa saat menyambut kedatangan putranya. Bima yang selalu nampak cerah, datang menghadap sang Ayah. Meraih tangan yang masih kekar di masa tua itu, menciumnya dengan takzim sebelum menunjukan hasil ulangan harian matematika padanya.

"Gampil banget, Beh. Bima libas semuanya cuma lima menit," katanya bangga menunjukkan lima jarinya di depan wajah sang Ayah. Lalu, menepuk dada jumawa.

"Emang dah, anak gua nyang paling top!" Tina menyambar di ambang pintu, tersenyum saat Dewa menunjukkan hasil ulangan anak mereka padanya. Memegang sptula di tangan, ia berdiri berkacak pinggang sebelah tangannya.

"Nyak!" Bima mendekati Tina dan mencium tangannya, "Nyak masak apaan? Bima laper," lanjutnya sambil mengusap perut yang sejak tadi keroncongan.

"Ayo, masuk! Nyak udah masakin kesukaan Bima. Oreg tempe sayur asem," katanya sambil merangkul bahu anak itu dan masuk ke dalam rumah.

"Eh, lah, gua kagak diajak makan nih? Emang dasar lu, ya!" gerutu Dewa merasa tak diacuhkan oleh istri dan anaknya.

"Abang, 'kan, bisa jalan ndiri. Noh, gua udah bikinin sambel terasi kesukaan Abang. Nyok, makan!" Tina tersenyum manis dan hangat meskipun suaranya selalu tinggi bagai awan di langit.

Dewa tersenyum sumringah, sayur asem, tempe goreng, sambal terasi, lalap pete, masakan bini tercinta emang asoy! Ia terkekeh sendiri sambil membawa langkahnya masuk ke dalam rumah.

Harum aroma terasi yang khas, menyeruak menusuk indera pembau miliknya.

"Ugh! Mantap nih! Emang masakan bini gua yang nomor wahid. Kagak ada lagi yang bisa ngalahin," pujinya sebelum duduk di kursi miliknya dan membalik piring.

Dua centong nasi mendarat di atas piring miliknya, satu mangkok sayur asem, tempe goreng berikut sambalnya, ia dekatkan. Bima terkekeh melihat sang Ayah makan dengan lahapnya.

"Pelan-pelan napa, Bang! Entar keselek." Tina tersenyum, rasa bahagia hadir setiap kali melihat sang suami makan dengan lahap masakan yang dibuatnya. Dewa hanya tersenyum dengan mulutnya yang penuh.

Ia ikut duduk dan makan bersama. Kesederhanaan yang disuguhkan, memberikan kehangatan yang luar biasa pada hati ketiga orang itu. Tak perlu makanan mahal, tak perlu kursi makan yang mewah, cukup yang sederhana saja yang penting syukur tak tertinggal. Itulah qanaa'ah, selalu merasa cukup dengan rezeki yang diterima.

"Lu mau ikut Babeh, Tong?" Dewa bertanya usai mengisi penuh perutnya. Nasi sebakul habis sendirian. Ia sedang memakai sepatu kebanggaannya, sedangkan rokok di mulutnya tersulut.

"Ke lapak, Beh?" Antusias bertanya. Wajahnya nampak sumringah, segar, dan ceria. Di tangannya masih memegang gelas belum selesai dengan air minumnya sendiri.

"Iya, mau kagak?" Menjawab setelah menghisap rokok di tangannya.

"Mau banget, Beh. Bima izin Nyak dulu, ya!" Dewa mengangguk. Ia menunggu sambil menghabiskan sisa rokok di tangannya. Menatap arak-arakan awan di langit yang berjalan lambat layaknya kura-kura yang merangkak.

Bibirnya tersenyum mengingat hidup yang dia jalani sekarang lebih berwarna dan bermakna. Kehadiran Bima merubah perilaku hidupnya. Ia bahkan mulai menjalani ibadah lima waktu meskipun masih tertatih.

"Bang Dewa! Lagi santai?" tegur salah satu warga yang melintas di halaman rumahnya. Dewa menegakkan tubuh, menurunkan kaki yang ia letakkan di atas meja, menyambut kedatangan tetangga ke rumahnya.

"Eh ... ada apa, Bang? Tumben maen ke rumah?" Dewa menyambut uluran tangan tetangganya itu. Ia mempersilahkan duduk padanya untuk sekedar mengobrol.

"Ayo, Beh!" Bima datang setelah berpamitan pada Tina. Ia terdiam saat melihat Babehnya itu sedang mengobrol.

"Bentar, Tong. Babeh lagi ngobrol dulu, ya." Bima mengangguk, lantas kembali masuk ke dalam tidak menguping pembicaraan orang tua.

"Itu anak lu, Bang? Udah gede aja, cakep pisan. Kalo udah gede pasti rebutan gadis-gadis tuh, Bang," celetuk tetangga itu asal. Ia tertawa bersama Dewa yang juga tertawa merasa bangga, padahal Bima yang dipuji.

"Yah, tapi anak gua kudu dapat bini kaya Nyaknya. Mau menerima apa adanya dia, mau diajak hidup susah dan kagak pernah ngeluh," ucapnya terlihat bahagia di mata lelaki itu.

"Iya lah, Bang. Zaman sekarang susah nyari bini kaya Mpok Tina." Obrolan basa-basi memakan waktu tak penting.

"Begini, Bang. Saya mau minta tolong, Abang bisa kagak bersihin rumput di belakang rumah saya besok? Ntu rumput cepet tingginya, Bang. Kalo kagak besok juga kagak apa-apa, Bang. Sesempatnya aja," ucapnya mengutarakan maksud tujuannya datang.

Dewa berpikir sejenak, mengingat esok hari apa? Dia tak pernah mengingat-ingat tentang hari.

"Ya udah, gua usahain. Besok Bima juga libur, jadi bisa bantu-bantu." Setelah mengingat esok hari Minggu. Bima bisa membantunya membersihkan ladang tetangga itu.

"Ya udah, Bang. Makasih, ya. Saya pamit dulu. Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumussalaam!"

Itulah pekerjaan Dewa sekarang, apa pun akan dia lakukan demi bisa menghidupi anak dan istrinya yang penting uang yang dihasilkan halal dimakan keluarganya. Tak perlu malu karena dia bukan maling. Tak perlu gengsi karena dia bukan siapa-siapa.

"Bima! Ayo, berangkat!" Bima datang tergopoh bersama Ibunya, Tina.

"Jangan ngajarin anak gua yang macam-macam, ya, Bang. Awas aja kalo Abang ngajarin yang kagak-kagak ama dia. Jangan mau lu, Tong, kalau Babeh lu ngajarin yang kagak bener. Lu kudu inget Nyak, ya." Tina memperingatkan keduanya sebelum berangkat.

"Elah, Tin. Dia juga anak gua. Kagak mungkin gua ngajarin nyang kagak bener. Dah lah, kita pamit. Assalamualaikum!" Tina meraih tangan suaminya, dan menciumnya dengan takzim. Bergantian dengan Bima yang menyalami tangannya.

"Assalamualaikum, Nyak!" ucapnya memberikan senyum manis sebelum menyusul sang Ayah.

"Wa'alaikumussalaam. Ati-ati!" Bibir Tina membentuk senyuman. Meskipun tak pernah terucap secara lisan, tapi semua tindak tanduknya menyatakan keikhlasan hatinya menjalani peran sebagai istri Dewa yang bukan siapa-siapa, juga Ibu dari Bima yang bukan anak kandungnya.

Ia menutup pintu, melanjutkan pekerjaannya membuat sapu lidi. Sapu-sapu itu akan dijual Bima dan Dewa di pasar. Lumayan, untuk tambahan uang jajan Bima.

Sementara anak dan suaminya baru saja tiba di lapak usaha mereka. Sebuah lahan parkir di pasar. Dewa menginvestasikan semua uangnya untuk membuka lahan parkir tersebut. Dari sanalah penghasilan utamanya didapat.

Di usianya yang masih sangat belia, Bima sudah mampu merapikan sepeda-sepeda motor di lahan parkiran tersebut. Ada sekitar lima orang yang bertugas secara bergantian. Hasil dari pungutan tersebut akan dibagi bersama mereka.

"Tong, lu mau ke mana?" teriak Dewa memanggil anaknya yang berlari entah karena sebab apa.

"Bentar, Beh!" Bima terus berlari ke luar parkiran, tepatnya ke arah pintu pasar.

"Lu kagak apa-apa, Neng?" tanyanya sembari membantu membangunkan seorang gadis kecil yang terjatuh dan menangis.

Ia mendongak, air matanya meleleh membanjiri pipi. Pandang keduanya beradu untuk pertama kalinya.

"Cantik bener!"

"Kenapa aku merasa tak asing dengan Kakak ini?"

Keduanya saling membatin.

Part. 3

"Lu, kagak napa-napa, Neng? Ngapa lu nangis?" Bima kembali bertanya beberapa detik setelah keduanya bungkam dalam tatap.

Gadis kecil itu menundukkan wajah, masih dengan sisa tangisan yang ia perdengarkan. Bima melirik sikunya, terdapat luka lecet dan mengeluarkan darah sedikit, mungkin dia terjatuh dan sikunya yang ia gunakan untuk menopang tubuh tergores.

"Siku lu sakit, ya, Neng. Bentar, ya, gua ambilin obat dulu." Bima beranjak gegas berlari menghampiri Dewa yang menatapnya di kejauhan.

Gadis kecil itu mengangkat pandangan, ditatapnya Bima yang mengobrol di kejauhan bersama laki-laki hampir tua. Bima melengos, entah ke mana dia pergi. Tak lama ia muncul dengan sebuah kantong plastik di tangannya.

Bima tersenyum, ada lesung pipi kecil di kedua sisi bibirnya.

'Ayah, kenapa dia mirip sekali dengan Ayah? Siapa Kakak ini?' batin gadis kecil itu sedikit termangu karena pesona ketampanan Bima.

"Sini, gua bantu obatin." Bima duduk di sampingnya. Ia mengambil tangan si gadis dan membersihkannya menggunakan air mineral yang ia beli.

"Sakit, ya?" Bima kembali tersenyum, ia menjeda apa yang dilakukannya saat bibir gadis itu berdesis kesakitan.

"Ayah?" Bergumam pelan hampir tak terdengar. Ia menggigit bibirnya, memperhatikan Bima yang begitu telaten mengobati lukanya.

Tampan, kenapa aku seperti melihat Ayah di diri Kakak ini?

Lagi-lagi ia bergumam. Tak berkedip matanya menatap Bima hingga bocah laki-laki itu selesai membalut lukanya menggunakan plester.

"Nah, udan rebes. Udah jangan nangis lagi. Lukanya udah gua obatin, bentar lagi sembuh." Bima mengusap kepala gadis kecil itu. Ada rasa aneh yang menjalar dalam pembuluh darahnya saat bersentuhan langsung dengannya.

"Terima kasih." Kepala itu kembali menunduk, ia gadis yang pemalu. Berucap saja lirih hampir seperti bisikan.

"Oya, di mana Nyak Babeh lu? Kenapa sendirian?" Kepala Bima celingukan ke kanan dan kiri. Banyak orang yang berlalu-lalang, tapi ia tak tahu yang mana orang tua si gadis.

Bima terhenyak ketika suara tangis justru yang menjawab pertanyaan darinya tadi.

"Ayah! Ibu! Di mana kalian? Aku tersesat, aku takut." Kedua tangannya menutupi wajah. Menangis sesenggukan memanggil Ayah dan Ibunya. Bima bingung, ia berdiri, lalu duduk lagi tak tahu yang mana orang tua si gadis.

Ia merangkul bahu yang berguncang itu, mengusapnya hanya untuk menenangkan saja.

"Udah, jangan nangis. Emang di mana orang tua lu? Kenapa lu bisa sampe tersesat kaya gini?" tanya Bima ingin tahu. Gadis itu hanya menggelengkan kepala tak tahu dan tak ingat.

Tangisnya semakin keras, Bima panik. Ia melempar pandangan ke lapangan parkir, tak ada Dewa di sana. Lidahnya berdecak berulang-ulang, panik karena tangisan gadis kecil itu tak kunjung mereda.

"Udah, dong. Jangan nangis terus. Gua beliin es krim, mau?" Ia menggeleng, masih menangis tersedu-sedu.

Bima melipat bibir, berpikir apa yang harus dia lakukan untuk meredakan tangis si gadis. Bima melirik pergelangan tangannya, di sana melilit sebuah kalung dengan bandul berinisial huruf B. Bima membuka lilitan itu, dan memandangnya dengan saksama.

Teringat akan pesan Tina dan Dewa bahwa ia tidak boleh menghilangkan kalung tersebut. Itu hadiah dari mereka di ulang tahunnya yang ke sepuluh kemarin.

Bima membuka salah satu tangan gadis yang menutup wajahnya, mengambilnya, dan memberikan kalung itu pada genggamannya. Masih dengan sisa isak tangis, gadis kecil itu melirik tangannya.

Ia mendekatkan benda di telapak tangan pada wajah, menelisiknya lama. Bima tersenyum, di saat tangan mungil itu mengusap matanya yang berair.

"Ini apa?" Bertanya terbata karena masih sesenggukan.

Bima tersenyum lagi, ia menarik tangan gadis itu tanpa mengambil kalungnya. "Ini hadiah dari Nyak, Babeh gua. Emang kagak berharga, sih, tapi katanya supaya gua ingat terus ama mereka. Setiap gua lihat kalung ini, gua selalu tersenyum. Bahagia, dan karena lu nangis terus, gua kasih ni kalung. Supaya ati lu ikut bahagia tiap liat ni kalung. Ambil, buat lu."

Bima melepaskan kembali tangannya, ia memiringkan kepala menatap lebih dalam wajah merah gadis kecil itu.

"Kakak memberikan ini padaku?" tanyanya. Suaranya, gaya bicaranya, membuat Bima tertegun.

Busyet, dah. Ngomongnya udah kaya guru bahasa Indonesia di sekolah aja.

Ia terkekeh dalam hati. Tak biasa berbicara menggunakan bahasa formal dalam kesehariannya.

"Iya, lu bisa ambil dan simpan. Jangan ampe ilang, ya. Entar kalau kita ketemu lagi, lu kudu balikin ntu kalung. Gua takut Nyak sama Babeh nanyain," ujar Bima sembari mengulas senyum manis untuknya.

Gadis kecil itu memberanikan diri menatap wajah Bima. Ia tersenyum, melirik kembali tangannya sebelum berbalik pada Bima.

"Terima kasih. Aku pasti akan mengembalikannya kepada Kakak kapan pun kita bertemu. Untuk saat ini, boleh aku menyimpannya? Aku suka," ucap gadis kecil itu dengan kepolosannya.

Bima terkekeh, ia memalingkan muka sambil melipat bibirnya. "Gua udah bilang tadi, lu boleh simpan ntu kalung, tapi kalo lu bosan jangan ampe lu buang. Balikin lagi ke gua," ucap Bima.

Lagi-lagi senyum itu membuatnya tertegun, senyum yang hampir serupa dengan milik sang Ayah.

"Kak, kenapa senyum Kakak mirip dengan Ayahku?" tanyanya tanpa sadar. Bima termangu, mengernyit dahinya karena bingung.

"Ayah? Babeh lu? Ganteng kagak? Kalo kagak, gua ogah disamain ma dia." Bima melengos malas sekali rasanya ada yang membandingkan dirinya.

Namun, gadis kecil itu menyentuh pundaknya. Ia memiringkan kepala hanya untuk dapat melihat wajah bocah laki-laki yang berbicara kasar itu.

"Ayahku tampan, bagiku hanya dia yang paling tampan. Jika aku bilang Kakak mirip dengannya, itu artinya Kakak juga sama tampannya seperti Ayahku. Percayalah!" Ia tersenyum manis sekali, menghujam tepat di bagian tengah dada begitu Bima menoleh padanya.

"Lu udah kagak nangis lagi?" Bertanya mengalihkan pembicaraan. Ia hanya mengangguk sambil menggenggam kalung milik Bima.

"Kalo kita nunggu di sini aja, orang tua lu kagak bakalan nemuin lu. Yu, gua antar lu ke ruang informasi di pasar ini. Lu bisa nunggu mereka di sana," ajak Bima. Ia beranjak lebih dulu bersiap pergi.

Entah apa sebabnya? Tapi gadis kecil itu percaya begitu saja pada Bima. Ia ikut beranjak dan mengekor di belakang bocah laki-laki itu menuju sebuah ruangan.

Bima berbicara kepada petugas di sana bahwa ada anak yang tersesat dan mencari orang tuannya. Petugas itu mengumumkan sesuai yang dilaporkan Bima.

"Kita tunggu aja, orang tua lu bentar lagi nyampe," ujar Bima sambil ikut duduk di samping gadis kecil itu.

Teringat akan tugasnya membantu Dewa, ia pun berpamitan dan menitipkan gadis kecil itu pada petugas informasi. Bima melambai, ia berjalan keluar meninggalkan gadis kecil sendirian.

"Kakak!" Langkah Bima terhenti di ambang pintu ruangan. Ia menoleh dan menunggu gadis kecil itu datang.

"Apa kita bisa bertemu lagi?" tanyanya penuh harap.

"Katanya Nyak ma Babeh, kalo kita jodoh pasti bakal ketemu. Udah, ya. Gua harus bantu Babeh. Jaga diri lu baik-baik, jangan ampe jatoh lagi," katanya sambil mengusap rambut gadis kecil dan berlalu pergi.

Ia masih berdiri di sana sampai punggung Bima menghilang.

"Sayang!" Seorang wanita paruh baya berlari dan memeluk gadis kecil yang masih berdiri di ambang pintu ruangan tersebut.

"Ibu! Ayah!" Ia memeluk erat Ibunya. Menumpahkan ketakutan yang berhasil dihapus Bima.

"Kau tak apa, sayang? Bagaimana bisa kau tersesat?" tanya laki-laki paruh baya berkacamata yang ia panggil Ayah itu.

"Aku juga tidak tahu, Ayah. Tiba-tiba saja aku ada di luar. Seseorang menabrakku hingga terjatuh. Beruntung, ada seorang Kakak baik yang menolongku. Dia mengobati lukaku dan membawaku ke sini," ungkapnya menunjukkan luka di tangan yang telah dibalut plester.

"Oh, Ya Allah. Maafkan Ibu, sayang. Maaf." Wanita itu menyesal, ia memeluk putrinya dan mengangkatnya dalam gendongan. Keduanya berpamitan pada petugas informasi tersebut dan berlalu meninggalkan pasar sambil mendengarkan cerita putri mereka tentang bocah laki-laki tampan yang menolongnya.

"Dia mirip dengan Ayah saat tersenyum, tapi juga mirip dengan Ibu matanya." Kedua paruh baya itu tertegun, mereka saling lempar pandangan.

Baim!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!