NovelToon NovelToon

Menikah Dengan Kakak Angkat

Pengenalan

Saat itu sang nenek sedang pura-pura sakit, ia duduk lemas di kursi roda. Hal itu ia lakukan hanya untuk menarik simpatik dari cucunya, agar rencananya berhasil dan permintaannya di setujui oleh mereka berdua.

"Nenek sudah tua, aku ingin melihat kalian menikah!" kata sang nenek dengan nada khas orang sakit.

"Tapi nek, kita ini kan sudah seperti saudara kandung! Bagaimana kita bisa menikah. Lagian kakak kan juga sudah punya pacar! Pokoknya Dinda gak mau menikah sama Kak Anton!" tolak Dinda dengan egois.

Dinda pun segera pergi masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Sedangkan Anton masih berdiri di depan sang nenek dengan menundukkan kepalanya. Di lihatnya raut wajah sang nenek berubah raut wajah sedih ketika Dinda menolak permintaanya. Anton yang melihatnya pun ikut bersedih, karena selama ini nenek sudah merawatnya dengan baik.

"Kalau kalian tidak mau menikah, lebih baik nenek pergi dari sini. Biarin nenek mati dalam keadaan menderita!" ancam sang nenek meyakinkan.

"Nenek jangan bilang begitu, Anton mau kok nikahin Dinda. Nanti biar Anton yang bicara sama Dinna agar dia mau menikah denganku," ujar Anton berlutut mensejajarkan tubuhnya dengan sang nenek.

Karena tak mau melihat sang nenek sedih, Anton pun beranjak pergi ke kamar Dinda untuk mendiskusikan atas permintaan sang nenek. Anton duduk di pinggir ranjang samping Dinda. Dengan detail ia mulai menjelaskan maksud ucapan dari sang nenek. Anton menjelaskan panjang lebar agar Dinda mau menikah dengannya. Walaupun, dia sendiri juga tidak menginginkan pernikahan itu terlaksana.

"Tapi Dinda sudah anggap Kak Anton sebagai kakak kandung Dinda, tidak mungkin kita menikah! Apalagi umur kakak jauh lebih tua dariku. Aku juga ingin menikah dengan orang yang aku cintai!" tolak Dinda memprotes.

"Dinda, walaupun kita menikah nanti, kamu masih bisa menikmati masa muda mu. Jika di depan nenek kita berpura-pura sebagai sepasang suami istri, tapi di belakang nenek kita sebagai adik dan kakak. Dinda mau kalau nenek sakit-sakitan karena memikirkan kita?" Kata Anton menjelaskan.

"Tapi, apa kita tidak keterlaluan, mempermainkan nenek dan juga pernikahan kak?" tanya Dinda dengan polos.

"Sebenarnya kakak juga ragu dengan hal itu, tapi Allah maha tahu kalau kita tidak ada niatan untuk mempermainkan pernikahan." jawab Anton bingung.

Setelah menjelaskan panjang lebar, akhirnya Dinda bersedia menikah dengan sang kakak. Walau hatinya berat, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut dengan sang nenek yang saat itu sedang sakit. Anton sendiri hanya bisa pasrah dengan perintah sang nenek.

Sebenarnya Dinda saat itu juga sedang dekat dengan laki-laki satu kelas dengannya, begitupun Anton yang memiliki kekasih yang ingin ia lamar tahun depan. Bahkan Anton sudah pernah bertemu dengan orangtua pacarnya.

*****

Dinda Kirana (18) adalah gadis polos yang baru saja lulus SMA. Perawakannya cukup tinggi sekitar 160cm dan berat badan yang ideal. Dia gadis yang menarik, ceria, dan manja sehingga banyak orang yang menyukainya.

Anton Kusuma (29) adalah kakak angkat dari Dinda. Dia laki-laki tampan dan mapan. Dia seorang CEO disalah satu perusahaan cukup ternama di salah satu ibu kota. Memiliki tinggi badan 180cm dan berkarisma.

Orangtua Dinda dan orangtua Anton kecelakaan mobil 10 tahun yang lalu. Atas insiden kecelakaan tersebut, membuat orangtua mereka meninggal dunia di tempat kejadian. Beritanya, kecelakaan itu telah di sengaja oleh pesaing bisnisnya, tapi karena tidak ada barang bukti, kasus itu pun akhirnya di tutup dan dianggap sebagai murni kecelakaan.

Setelah orangtua mereka meninggal dunia, Dinda dan Anton yang sudah yatim piatu pun di asuh oleh nenek dari keluarga Dinda. Saat itu Dinda masih umur 8 tahun, sedangkan Anton berumur 19 tahun.

Siapa yang sanggup menikah dengan orang yang sudah seperti saudara kandung. Dinda dan Anton sudah selayaknya saudara kandung, kadang berantem dan kadang juga saling bercanda. Tapi nyatanya sang nenek terus memaksa mereka untuk segera menikah.

*****

Dinda dan Anton keluar dari kamar, mereka berjalan menghampiri neneknya yang sudah berada di dalam kamarnya. Di lihatnya sang nenek tiduran dengan posisi meringkuk, memasang raut wajah yang teramat sedih. Sehingga orang yang melihatnya pun akan merasa kasihan.

Memang itu rencana sang nenek untuk terlihat menyedihkan, agar cucunya bersedia menikah. Berakting dengan sempurna, menarik simpatik dari cucu-cucunya. Dinda yang melihat neneknya bersedih pun ingin menangis. Ia merasa bersalah telah membuat sedih neneknya yang sudah merawatnya dari kecil. Karena memang Dinda sangat dekat dengan sang nenek. Lalu dia duduk di pinggir ranjang sambil memijit kaki sang nenek.

"Nenek, Dinda sama Kak Anton mau kok menikam! Nenek cepat sembuh ya dan jangan bersedih lagi!" kata Dinda sambil memeluk sang nenek.

Dalam batin sang nenek saat itu sedang tertawa penuh kemenangan, karena sudah berhasil membuat sang cucu mau menikah. Bukan tanpa alasan sang nenek menjodohkan mereka. Sebelum orangtua mereka meninggal, mereka sempat membicarakan tentang rencana untuk menjodohkan mereka berdua.

"Kamu yakin? Nenek tidak mau memaksa kalian." ucap sang nenek berpura-pura memasang wajah sakit.

"Dinda sudah yakin Nek! Nenek cepat sembuh ya, Dinda gak mau lihat nenek sakit seperti ini," sahut Dinda meyakinkan sang nenek.

"Nenek tenang saja ya, Anton akan mengurus semuanya. Kita akan mempersiapkan pernikahan kita segera mungkin," imbuh Anton sambil berlutut di lantai menghadap sang nenek.

"Nenek senang sekali mendengar kalian akan segera menikah. Tidak perlu yang mewah-mewah, asal kalian sah menjadi suami istri, nenek sudah bersyukur," ujar sang nenek menahan tawanya.

"Ternyata cucu-cucuku sangat mencintaiku. Aku pikir akan sulit membujuk mereka untuk menikah, tapi tidak butuh waktu lam, mereka sudah luluh. Pinter sekali aku berakting, kenapa dulu aku tidak jadi artis saja! Hehehe...." batin sang nenek yang sedang bahagia atas kemenangannya.

Setelah berbicara dengan sang nenek, mereka berdua keluar dari kamar, karena sang nenek ingin beristirahat. Tampak wajah Dinda yang lesu, begitupun dengan Anton. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Dinda pun masuk ke dalam kamarnya dan di ikuti Anton dari belakang.

"Kak, bagaimana dengan Kak Loren? Bukankah kakak berencana melamarnya tahun depan?" tanya menatap sang kakak.

"Saat ini aku juga memikirkan hal itu. Bagaimana aku menjelaskan hal ini kepadanya." jawab Anton berbalik tanya kepada Dinda.

"Mungkin sebaiknya kakak berbicara jujur kepada Kak Loren. Bilang saja kepadanya kalau kita menikah hanya sebagai syarat, tapi kita tetap bersikap seperti adik kakak, bukan suami istri." Terang Dinda.

"Kita juga gak perlu undang orang banyak. Cukup menikah dengan penghulu dan para saksi. Jadi tidak banyak orang tahu kalau kita menikah." Imbuh Dinda dengan idenya.

Sepertinya Anton setuju dengan idenya Dinda. Ia hanya mengangguk sambil memikirkan hal lain. Dia masih bingung dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Bagaimana bisa ia menikahi gadis kecil yang ia sayangi sebagai adik kandungnya sendiri.

Lorenza adalah kekasihnya. Mereka sudah menjalin hubungan selama 3 tahun. Saat ini Loren berusia 26 tahun, ia cantik dan juga sopan. Ia bekerja di perusahaannya sebagai sekertarisnya. Selain cantik, Anton juga sangat menyukai sifatnya yang baik dan sabar. Walaupun Anton tipe orang yang cuek, tetapi Loren selalu sabar menghadapinya.

Bersambung...

Anton dan Loren

Di jam makan siang, Loren masuk ke dalam ruangan Anton. Semua karyawan tahu kalau Loren sedang menjalin kasih dengan sang CEO, jadi tidak ada karyawan yang heran jika Loren keluar masuk ruangan sang CEO sesuka hatinya.

Seperti biasanya, Loren selalu membawa bekal makan siang untuk dirinya dan Anton. Ia dengan teliti mulai membuka bekal itu dan ia sodorkan di depan Anton. Sedangkan Anton menatap Loren dengan tatapan kasian. Loren yang menyadari tatapan itu pun segera menegurnya.

"Ada yang aneh ya di wajahku, sampai-sampai kamu melihatku gak berkedip?" Tanya Loren tersenyum.

"Habisnya kamu cantik, baik dan perhatian lagi! Aku merasa beruntung mempunyai kekasih sepertimu." Jawab Anton memuji.

Loren pun tersipu malu atas pujian yang terlontar dari sang kekasih. Tapi Loren menyadari kalau sikap Anton tidak seperti biasanya. Dari ekspresinya ia tersenyum tapi dari sorot matanya seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Hal itu pun membuat Loren mengerutkan dahinya, karena merasa heran.

Setelah selesai makan, Anton mulai bercerita tentang masalahnya yang akan segera menikahi Dinda, yang tak lain dan tak bukan adalah adiknya sendiri. Loren tahu kalau Dinda bukan adik kandungnya, karena sebelumnya Anton pernah bercerita tentang Dinda dan masa lalunya.

Bak di sambar petir di siang bolong, Loren seketika menangis mendengar perkataan Anton yang tiba-tiba akan segera menikah dengan adiknya sendiri. Dadanya terasa sesak tidak bisa berkata apa-apa. Yang membuat Loren semakin sakit, ia sudah memberitahu kepada orangtuanya bahwa Anton akan melamarnya tahun depan.

"Oren, walaupun aku menikah dengan Dinda, tetapi kita tidak akan melakukan sesuatu sebagai suami istri. Kamu yang sabar, nanti kalau waktunya sudah tepat, aku akan segera menikahi mu. Tapi untuk sekarang aku harus jaga hati nenek. Aku mohon kamu bisa mengerti." Kata Anton menjelaskan.

"Tapi tetap saja kamu sudah menikah dengan orang lain. Semua orang akan tahu kalau kamu menikah." Sahut Loren sambil menangis sesenggukan.

"Kita tidak mengundang orang banyak Ren, hanya penghulu dan saksi saja. Jadi orang kantor pun gak ada yang tahu." Imbuh Anton menjelaskan.

Kemudian Anton memeluk Loren yang masih menangis sesenggukan. Karena jam istirahat selesai, Loren pun segera pergi ke toilet yang ada ruangan Anton. Ia membasuh mukanya dan memakai make-up, agar karyawan yang lain tidak menyadari kalau dia habis nangis.

"Aku mau kita putus!" Ucap Loren yang baru saja keluar dari toilet.

"Enggak! Aku gak mau putus sama kamu. Aku pastikan tidak akan terjadi sesuatu antara aku dan Dinda. Aku mohon kamu jangan tinggalkan aku." Pinta Anton memohon.

Loren tidak mendengarkan perkataan Anton. Dia langsung pergi meninggalkan ruangan tanpa memperdulikan Anton yang saat itu sedang memohon.

Merasa usahanya gagal, Anton pun berdiri sambil menghela napas panjang. Ia tak ingin kehilangan wanita yang sangat ia cintai. Menurutnya, hanya Loren lah yang bisa mengerti dan perhatian kepada dirinya. Walaupun dirinya cuek, tetapi Loren mengerti Bakan hal itu.

*****

Waktu pulang kerja, Anton menunggu Loren di depan kantor. Ketika Loren keluar dari gedung, ia berpura-pura tidak melihat Anton. Loren berjalan melewati Anton yang berdiri di samping mobilnya. Karena Loren tidak berhenti, Anton pun menarik tangannya dan memaksanya untuk masuk ke mobil.

Hal itu membuat karyawan lain berfikir kalau Anton dan Loren sedang berantem. Kebetulan sore itu banyak karyawan yang melintas untuk pulang. Karena tidak mau menjadi bahan pergosipan, Loren pun hanya bisa diam duduk di jok depan. Biasanya Loren memang selalu di antar Anton pulang, karena arah rumah mereka yang sama.

"Apa kamu tidak dengar, kalau aku mau kita putus!" Tekan Loren.

"Tidak! aku tidak mau kita putus. Titik!" Sahut Anton sambil menyetir.

Loren yang paham dengan sifat Anton pun hanya bisa diam. Karena percuma saja dia mengatakan beribu-ribu kali, kalau Anton sudah bilang tidak itu artinya tidak akan pernah terjadi.

Sore itu Anton mengajak Loren pergi ke sebuah restoran untuk menemui Dinda. Sebenarnya, Anton meminta bantuan kepada Dinda untuk menjelaskan kepada Loren, agar Loren mengerti dan tidak memutuskan hubungan dengan Anton.

Sesampainya mereka di restoran, Dinda terlebih dahulu sampai di sana. Ia duduk di sudut restoran seorang diri sambil meminum jus jeruk yang ia pesan. Dengan raut wajah kesal, Loren mengikuti langkah Anton memasuki restoran tersebut.

"Eh kak Loren, Apa kabar?" Sapa Dinda dengan mengulurkan tangannya.

"Kabarku baik, kamu sendiri bagaimana?" Sahut Loren berjabat tangan dengan Dinda.

Sebelum membicarakan hal serius, mereka terlebih dahulu memesan makanan. Dinda bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Ia nampak ceria seperti biasanya dan dia dengan bersemangat memesan makanan kesukaannya.

Setelah mereka selesai makan. Anton mulai melirik ke arah Dinda dan menendang kakinya. Memberi isyarat agar memulai membicarakan tentang pernikahan mereka.

Ah!

Dinda tampak menahan rasa sakit karena Anton menendangnya pas di jempol kakinya yang sedang bengkak. Hal itu membuat Dinda memelototi Anton dengan kesal.

"Maaf kak Oren, pasti kak Oren sudah dengar dari kak Anton soal pernikahanku dengannya kan? Aku sebenarnya aku hanya ingin menjelaskan bahwa, pernikahan kami ini hanya keinginan nenek dan bukan keinginan kami. Aku harap kak Oren jangan berpisah dengan kak Anton. Karena pernikahan ini tidak akan menghasilkan apa-apa. Kak Oren bersabar dulu, tunggu situasi membaik, nanti Kak Anton pasti akan menikahi kak Oren." Kata Dinda menjelaskan panjang lebar kali tinggi.

"Tapi tetap saja kalian menikah dan harus bersikap selayaknya orang menikah." Sahut Loren bersedih.

"Kak Oren jangan khawatir, aku pastikan tidak akan terjadi apa-apa. Lagian aku dan kak Anton sudah seperti saudara kandung, tidak mungkin kita melakukan hal-hal yang aneh." Imbuh Dinda menjelaskan.

Akhirnya, setelah menjelaskan panjang lebar kali tinggi, Loren pun bisa menerima penjelasan dari Dinda. Dan dia tidak akan memutuskan hubungannya dengan Anton. Tapi tetap saja ada kecemasan di hati Loren, mengingat mereka berdua tinggal bersama neneknya. Itu artinya mereka akan lebih sering berakting menjadi suami istri.

Anton pun tampak senang mendengar keputusan Loren yang tidak akan meninggalkannya. Lalu mereka bertiga keluar dari restoran. Anton akan mengantar Loren pulang.

"Kak, aku naik ojek online saja ah!" Pinta Dinda dengan manja.

"Gak boleh! Ini sudah malam, ayo ikut kakak nganter Oren dulu." Anton melarang Dinda pulang sendiri.

Maksud Dinda ia ingin naik ojek online, agar sang kakak bisa berduaan dengan pacarnya, tapi malah sang kakak tidak mengijinkannya pulang sendiri.

Loren yang melihat ke arah Anton yang sangat perhatian dengan Dinda, hal itu membuatnya sedikit agak kesal. Padahal waktu itu baru jam tujuh malam dan jalanan masih ramai.

Anton pun melajukan mobilnya untuk mengantar Loren pulang. Di sepanjang jalan, mereka bertiga hanya diam saja. Dinda sibuk dengan ponselnya, sedangkan Loren melihat ke arah jendela. Ia sedang memikirkan hubungannya dengan Anton, dalam benaknya ada kekhawatiran jika kelak Anton dan Dinda saling jatuh cinta.

Sesampainya di depan rumah Loren, Anton pun menyuruh Dinda agar pindah duduk di depan. Lagi-lagi Loren merasa kesal karena rasa perhatian Anton ke Dinda yang tak pernah ia dapatkan dari Anton selama berpacaran dengannya.

"Sampai ketemu lagi kak!" Pamit Dinda sambil melambaikan tangannya.

"Hati-hati di jalan!" Sahut Loren yang juga melambaikan tangannya.

Anton hanya tersenyum melihat kekasihnya melambaikan tangannya. Memang Anton bukan pacar yang romantis, dia sangat cuek. Makanya, ketika Loren melihat Anton yang begitu perhatian kepada Dinda, membuatnya sedikit iri. Karena selama mereka pacaran, Anton tidak menunjukkan sikap agresif dan perhatiannya, malah Loren lah yang selalu perhatian kepadanya.

Bersambung....

Tidak boleh kuliah

Pagi itu dengan di bantu oleh asisten rumah tangganya, Dinda membuat sarapan untuk sang nenek dan kakaknya. Walaupun Dinda gadais manja dan pecicilan, tapi dia pandai memasak. Setelah selesai membuat sarapan, ia pergi untuk mandi.

Dengan memakai pakaian rapi, Dinda pun keluar dari kamarnya. Di lihatnya sang nenek dan kakaknya sudah duduk di kursi meja makan memakan sarapannya. Dengan senyum manisnya, dia berjalan menghampiri mereka dan duduk menyantap sarapan.

"Pagi-pagi begini sudah cantik mau kemana?" Tanya sang nenek.

"Aku mau daftar kuliah, Nek!" Jawab Dinda bersemangat.

Seketika sang nenek berhenti dari makannya. Dinda dan Anton pun langsung menoleh ke arah sang nenek yang tiba-tiba berhenti makan.

"Kenapa Nek? Makanannya gak enak?" Tanya Anton khawatir.

"Kalian kan sudah mau nikah, kamu tidak perlu kuliah Din. Kamu bantu Abang mu kerja di kantor saja!" Jawab sang nenek.

Dinda pun menghela nafas panjang, untuk mengendalikan dirinya supaya tidak marah dengan neneknya. Kali ini Dinda merasa neneknya benar-benar keterlaluan, ia merasa hidupnya di kendalikan olehnya.

Pertama di paksa untuk menikah dengan kakaknya sendiri, sekarang tidak mengijinkan dia untuk kuliah. Saat itu Dinda ingin teriak sekencang-kencangnya, memprotes sang nenek yang sudah mengendalikan hidupnya.

"Tapi Nek......"

Belum sempat Dinda menyelesaikan bicaranya, Anton sudah menyuruhnya untuk tidak memprotes atas keputusan sang nenek. Lalu Dinda berhenti makan dan balik ke kamarnya.

"Nek, Dinda kan masih muda, biarkan saja dia kuliah." Pinta Anton.

"Nenek tahu, tapi tetap saja nenek tidak suka kalau dia kuliah." Tolak sang nenek.

Anton tahu kalau neneknya keras kepala seperti dirinya, jadi dia tidak bisa berkata apa-apa. Sekali bilang tidak, berarti ya tidak. Kalaupun Anton memaksa, ia khawatir dengan kesehatan sang nenek yang mudah drop.

"Kapan kamu akan menikahi Dinda?" Tanya sang nenek.

"Mungkin Minggu depan nek. Tapi kita hanya undang penghulu dan saksi saja. Untuk perayaannya, kita atur waktu kedepannya." Jawab Anton serius.

Mendengar jawaban dari Anton, sang nenek pun merasa senang. Ia sadar kalau dirinya sangat keterlaluan, tapi ia lakukan demi kebaikan mereka berdua. Jika ia mengijinkan Dinda kuliah, dia khawatir kalau Dinda bertemu dengan laki-laki yang ia sukai. Karena sebelumnya, Dinda pernah cerita kepada sang nenek, bahwa dirinya sedang dekat dengan teman sekelasnya.

Setelah sarapan, sang nenek pergi ke teras depan untuk berjemur. Sedangkan Anton masuk ke kamar Dinda. Di lihatnya Dinda yang sedang menangis tengkurap di atas ranjang. Ia kasihan kepada adiknya yang tidak bisa melakukan apa yang ingin dia lakukan, tapi ia tidak bisa menolak keinginan sang nenek.

"Dinda, jangan nangis terus dunk! Kakak lihatnya ikut sedih nij!" Pinta Anton yang duduk di sebelah Dinda.

"Kak Anton enak, setelah menikah kamu masih bisa pacaran dengan kak Loren, sedangkan aku kuliah saja gak boleh!" Protes Dinda.

Di tariknya tangan Dinda dan ia peluk dengan erat. Dulu, waktu Orangtua mereka di nyatakan meninggal, Anton berjanji pada dirinya sendiri akan menjaga Dinda dan menyayanginya seperti adiknya sendiri. Tapi melihat Dinda yang terlihat sedih seperti itu, membuatnya ikut sedih.

"Cepetan bangun! Ayo ikut kakak belanja!" Ajak sang kakak.

"Belanja apa kak?" Tanya Dinda.

Tanpa menjawab pertanyaan Dinda, Anton pun segera beranjak dari duduknya dan pergi masuk ke kamarnya yang letaknya di samping kamar Dinda. Kamar mereka terletak di lantai dua, sedangkan kamar nenek di lantai bawah.

*****

Anton dan Dinda berpamitan kepada sang nenek untuk pergi berbelanja. Tetapi, karena masih terlalu pagi, Anton mengajak Dinda pergi ke kantor terlebih dahulu. Itu bukan kali pertama Dinda pergi ke kantor sang kakak, biasanya seminggu sekali Dinda pergi ke kantor setelah sepulang sekolah.

Sesampainya mereka di kantor, Dinda dengan kesal langsung masuk ke ruangannya Anton. Di ruangan tersebut ada tempat khusus buat istirahat Anton jika ia merasa ngantuk selama di kantor. Dinda langsung merebahkan tubuhnya di sana.

"Tadi kamu gak jadi sarapan, kamu lapar gak?" Tanya Anton yang berdiri di dekat ranjang.

"Gak! Aku mau tidur, nanti bangunin kalau kakak sudah siap pergi!" Jawab Dinda dengan nada ketus.

Di saat yang bersamaan, Loren pun masuk ke dalam ruangan Anton. Ia melihat kalau Dinda sedang tiduran di ranjang. Hal itu membuat Loren sedikit cemburu. Padahal biasanya Dinda manja kepada Anton di depan Loren, dia sama sekali tidak cemburu. Tetapi setelah tahu kalau mereka akan menikah, Loren merasa tidak suka atas keberadaan Dinda.

Anton yang menyadari kedatangannya Loren pun langsung keluar dari ruang istirahatnya yang pintunya tidak ia tutup. Ia menghampiri Loren yang diam berdiri di samping meja kerjanya.

"Kenapa pagi-pagi sudah cemberut?" Tanya Anton sambil menutup pintu ruang istirahatnya.

"Kesel aja, melihat pacarnya yang perhatian sama calon istrinya, tapi tidak pernah perhatian sama pacarnya!" Jawab Loren dengan kesal.

"Dia itu adikku Oren, jangan pernah menganggap dia calon istriku. Maafkan aku yang egois ini!" Sahut Anton sambil memeluk Loren.

Tujuan Loren masuk ke ruangan CEO adalah untuk memberi berkas laporan yang harus Anton tanda tangani. Setelah laporan selesai di tanda tangani oleh Anton, Loren pun segera berjalan menuju ke pintu keluar.

Tetapi belum saja ia membuka pintu, Anton memanggilnya dan memberitahu dia bahwa ia akan pulang di waktu makan siang. Dia juga memberitahu kepada Loren kalau dirinya akan pergi belanja keperluannya untuk menikah.

"Kamu ikut belanja ya! Soalnya kalau belanja sama Dinda, dia tidak bisa di ajak pertimbangan." Ajak Anton yang berjalan mendekati Loren.

"Apa kamu tidak punya hati nurani? Kamu tidak memikirkan perasaanku?" Sahut Loren yang ingin menangis.

"Oren, aku harus bilang berapa kali sama kamu? Jangan anggap Dinda itu calon istriku, ingat pernikahan ini tidak akan menghasilkan apa-apa!" Tuturnya dengan tegas.

Loren pun tak bisa lagi untuk membendung air matanya. Ia menangis sesenggukan sambil memeluk Anton. Ia sungguh takut jika kehilangan kekasih yang sangat ia cintai selama ini.

Dinda yang mendengar tangisan itu pun keluar dari ruangan. Di lihatnya sang kakak sedang memeluk kekasihnya sambil mengelus rambut Loren. Sebagai seorang wanita, Dinda paham sekali dengan perasaan Loren yang sedang sakit hati.

"Oren.. Please jangan nangis terus. Aku akan berusaha untuk lebih perhatian sama kamu dan aku akan menjaga jarak dengan Dinda." Kata Anton menenangkan Dinda.

"Kamu janji! Kamu gak boleh terlalu perhatian kepada Dinda. Aku tidak suka kamu terlalu perhatian sama dia!" Sahut Loren sambil mencium bibir Anton.

Dinda yang mendengar itu pun langsung masuk lagi ke dalam ruangan. Dia sangat kesal ketika sang kakak mengatakan kepada Loren bahwa dia tidak akan perhatian lagi sama dirinya. Tidak bisa menahan rasa kesalnya, Dinda pun keluar dari ruangan tersebut.

"Dinda, kamu mau kemana?" Tanya sang kakak yang saat itu sudah duduk di kursi kerjanya.

"Aku mau jalan sama temanku! Kakak minta di temani kak Loren saja kalau mau belanja!" Jawab Dinda dengan jutek.

"Sama temanmu yang mana?' Tanya Anton beranjak dari duduknya.

Tanpa menjawab pertanyaan sang kakak, Dinda pun langsung keluar dari ruangannya Anton. Ia langsung memencet tombol lift, tapi karena menunggu lift tidak terbuka-buka, ia pun dengan buru-buru turun melewati anak tangga.

Setelah keluar dari gedung kantor, Dinda kemudian menelpon temannya. Dia mengajak ketemuan di sebuah pusat perbelanjaan. Lalu Dinda memesan taksi online dan langsung menuju ke tempat di mana ia janjian sama temennya.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!