Pria berwajah masam itu memandang sinis Relina Hayati, yang berdiri dengan gugup. Dia sengaja dipanggil ke ruangan itu hanya untuk diberhentikan dari pekerjaannya. Walaupun, tidak ada alasan yang signifikan memecat Relina, tapi Junda Aswara tetap melakukannya. Ia hanya sedang menunjukkan eksistensinya, sebagai pemimpin perusahaan yang berhak penuh, atas nasib karyawannya.
Sebenarnya pemecatan ini karena Junda merasa kesal dan tiba-tiba saja tidak menyukai gadis ini. Beberapa hari yang lalu, dia merasa sial setengah mati dan penyebabnya adalah karena Relina. Menurutnya, gadis itu lah yang sudah membuatnya tidak bisa keluar rumah selama berhari-hari.
Gadis itu berpenampilan sederhana, jauh dari kata menarik, bahkan terkesan kuno. Junda menilainya demikian, sama seperti penilaian Syalu, sahabat sekaligus sekertarisnya, yang mengatakan bahwa gadis biasa saja.
Dia selalu memakai baju dan rok panjang, yang modelnya itu-itu saja. Rambutnya lurus sebahu, kulitnya tidak putih tidak juga coklat, mata dan alis serta hidungnya proporsional seperti kebanyakan wanita lainnya, susunan wajahnya sesuai dari rancangan sang Pencipta. Satu yang sedikit menarik dari gadis itu, bibir yang ujungnya melengkung ke atas, seolah dia selalu tersenyum walau sedang menangis sekalipun.
"Duduk," kata Junda.
Relina pun menuruti perintah sambil menatap Junda sekilas, kekhwatiran terlihat jelas di wajahnya. Posisi mereka saling berhadapan, dengan meja kerja yang cukup besar menjadi jarak antara mereka berdua.
"Kamu tahu, kenapa saya panggil kemari?" Suara Junda terdengar ketus dan dingin.
Suasana ruangan yang ber- AC, terasa bertambah dingin dengan hadirnya Syalu yang tiba-tiba masuk ke ruangan itu. Dua orang itu, adalah atasan Relina, orang yang menentukan nasib perusahaan mereka. Tentu saja pegawai rendahan seperti dirinya pun nasibnya berada di tangan mereka.
Selama ini, Relina bekerja menjadi asisten sekertaris, di ruangan Syalu, lebih tepatnya di bagian kearsipan dan dokumen perusahaan.
Relina menggelengkan kepalanya, "Tidak, Pak," jawabnya sambil meremas tangannya sendiri, ia berpikir buruk pada nasibnya kali ini.
Junda membencinya begitu saja, setelah beberapa hari yang lalu, secara tidak sengaja dia bertemu Relina dan gadis itu sukses membuat tangannya bengkak tersengat kumbang liar di taman kota. Dia tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya, selama beberapa hari, bahkan sampai saat ini sakitnya masih terasa.
"Kamu saya pecat!" Kata Junda sambil menyodorkan sebuah amplop coklat pada gadis, yang tercengang mendengar keputusannya. "Kau boleh pergi sekarang juga, ini surat pemecatanmu."
"Tapi, kenapa, Pak. Apa kesalahan saya?" Tanya Relina dengan raut wajah heran dan juga kecewa. Seingatnya, tidak pernah melakukan kesalahan besar selama dia bekerja. Bila hanya kesalahan kecil, semua karyawan juga pernah melakukannya dan mereka semua baik-baik saja.
"Tidak ada ... tapi perusahaan sedang mengalami perombakan kepegawaian, jadi kami memilih beberapa karyawan yang memang tidak seberapa di perlukan," kata Junda sambil berdiri ke sisi meja dan menyelipkan kedua tangannya di saku celana.
Jawaban Junda yang terkesan asal-asalan itu membuat Relina tersenyum masam, dia merasa miris bila ternyata termasuk pegawai yang tidak dibutuhkan. Padahal yang dia kerjakan di ruangan itu sangat banyak dan melelahkan. Tidak mudah menyusun setiap dokumen dan mengelompokkan sesuai jenis, hari serta tanggal, berikut semua kelengkapannya secara lengkap. Semua itu butuh ketelitian.
Syalu tersenyum miring melihat kenyataan yang terjadi di hadapannya. Dia berdiri di samping meja sambil membawa sebuah dokumen yang dibutuhkannya. Dia senang Gadis yang membuat dirinya khawatir itu, akan segera hengkang dari kantornya.
Bagaimana tidak khawatir, Syalu tahu bila ternyata Relina memiliki tanda lahir yang sama dengan yang dimiliki Junda. Syalu sebenarnya menyukai Junda, tapi keluarganya, terutama neneknya, yang masih percaya dengan mitos atau tahayul, membuatnya tak berkutik. Orang tua Junda, hanya membolehkan anaknya, menikah dengan wanita yang memiliki tanda lahir yang sama dengan dirinya.
"Gimana, Sya. Tidak apa, kan? Bawahanku aku pecat?" Tanya Junda, sambil menoleh ke arah Syalu.
Syalu mengangguk sambil tersenyum, "tidak masalah, dia pegawaimu juga. Kau berhak memecatnya," katanya.
Mendengar percakapan kedua orang itu, Relina mengambil napas dalam-dalam, sambil memejamkan mata, mengambil udara ruangan kantor itu untuk terakhir kalinya.
"Baiklah, kalau begitu, saya permisi, dan mohon maaf atas segala kesalahan saya selama ini," jawab Reli dengan tenang, sambil mengambil surat pemecatan dirinya yang berada di atas meja.
Relina pergi setelah membungkuk hormat pada Junda dan Syalu. Sebagai bawahan yang tidak memiliki koneksi atau gelar tinggi, dia tidak bisa membantah lagi, meski, benar-benar merasa tidak melakukan kesalahan yang berarti.
Saat membereskan meja kerja dari barang pribadinya, ingatan Relina berkelana pada saat beberapa hari yang lalu, secara tidak sengaja dis bertemu dengan Junda di Alun-alun Kota, dekat taman Panghegar yang cukup rimbun pepohonannya.
Relina tengah tengah berolah raga, melakukan kebiasaan di pagi harinya saat tidak bekerja, diakhir pekan. Banyak orang yang melakukan kegiatan yang sama dengan dirinya. seperti jalan sehat, atau hal lainnya. Walaupun, kebanyakan mereka lebih memilih bersantai atau menghabiskan waktu bersama keluarga. Mungkin hal yang sama akan dia lakukan bila sudah menikah dan memiliki anak.
Sudah beberapa saat yang lalu, Relina menyelesaikan olahraganya berlari kecil mengelilingi taman. Kini dia duduk di salah satu bangku yang ada. Ia mendongak untuk menenggak air mineral dari botol yang dibawanya, saat itu dia melihat seekor ular kecil melilit di salah satu ranting pohon yang terjuntai. Secara bersamaan, dia melihat Junda yang kebetulan tengah berdiri tepat di bawahnya.
"Sstt ...." Gadis itu meletakkan jari telunjuk di bibirnya, memberi isyarat pada Junda yang sedang berolahraga, agar pria itu tidak bergerak atau diam.
Ia berjalan mengendap-endap mendekati Junda sambil terus meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Dia bermaksud berbisik pada Pria itu, untuk memberitahu ada ular di atas kepalanya, sehingga dia berhati-hati atau menunduk.
Semula Junda heran, melihat gadis bertingkah aneh mendekat sambil mengendap-endao. Dia tidak mengenalinya, hingga akhirnya dia sadar bila gadis itu adalah salah satu karyawan di kantornya. Mereka memang tidak begitu sering bertemu saat bekerja, membuat mereka tidak begitu akrab, tapi dia tahu Relina adalah anak buah Syalu, sekertarisnya.
Tentu saja Junda tidak mau menurutinya, ia pun meneruskan berolahraga. Untuk apa diam, pikirnya. Gadis itu melotot, tanpa peringatan apa pun padanya dan menarik Junda hingga ia terduduk. Jana hendak menepis tangan Relina dari pergelangan tangannya karena dia pikir Relina tidak sopan.
Saat ia menggerakkan tangan itulah, tiba-tiba terasa panas dan perih seperti ditusuk benda tajam, menyentuh kulit di bagian sikunya. Ia pun menoleh dan ternyata ada seekor lebah yang sedang menyengatnya.
Bila melihat taman kota yang di penuhi pepohonan serta aneka tanaman hias yang cukup besar, keberadaan kumbang atau lebah seperti itu, sangatlah wajar.
Gadis itu menepuk bahunya sambil berkata dengan perlahan, "Pak, makanya tadi saya bilang diam, biar nggak di gigit kumbang begini."
"Sial ...." Gumam Junda kesal. Siku tangannya terasa berdenyut-denyut, seolah-olah dihujani ribuan jarum.
Relina menggamit tangan Junda dan mencabut sengat lebah madu yang masih menempel di kulit sikunya dengan handuk kecil yang biasa dis gunakan untuk mengelap keringat.
"Kamu, jorok sekali!" Kata Junda waktu itu, sambil beranjak dari tanah dan menepis tangan Relina dengan kasar.
"Eh, maafkan saya, Pak."
Tanpa mempedulikan rasa sakit dan Relina, Junda melangkah pergi.
Relina mengikutinya berdiri sambil berkata, "Pak, tunggu. Itu harus cepat diobati dengan ...." Ucapan Reli terputus.
"Cukup! Saya bisa sendiri!" tukas Junda kettus.
Relina pun terdiam, tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia hanya melihat punggung lebar Junda yang bergerak menjauh. Sebenarnya dia ingin mengatakan bila ingin bengkaknya segera reda. maka dia harus segera mengompres luka bekas sengatan, dengan air hangat lalu menolesinya dengan gula aren. Itu menurut petunjuk orang tua jaman dahulu.
Setelah kejadian itu, beberapa hari kemudian Junda tidak terlihat di kantornya. Kejadia itu membuat Relina menarik sebuah benang merah bahwa, kemungkinan hal itu yang menjadi landasan drama pemecatan dirinya yang tanpa alasan.
Jadi, apakah karena itu? Pikirnya, tapi jika memang hal itu benar, dia kini tahu, bahwa bosnya seorang pendendam. Relina kesal sekali daj berharap ia tidak akan bertemu lagi dengan Junda setelah ini, walau mereka masih tinggal dalam satu kota yang sama.
Sangat lebah madu bisa digunakan untuk beberapa terapi penyakit, bagi yang mempercayainya. Menurut beberapa sumber, lebah madu liar hanya akan menyengat bagian tubuh manusia yang bermasalah saja. Itupun kalau manusia mengganggu sarangnya.
Ada sebuah kata bijak, yang mengatakan bahwa sebaiknya manusia itu hidup seperti lebah madu, ia mengambil sari bunga tanpa merusak pitik bunganya, lalu menyimpan apa yang sudah diambilnya di tempat yang tinggi dan aman seperti di puncak-puncak pohon. Setelah simpanannya terkumpul, ia rela memberikan semua miliknya yang bermanfaat itu hanya untuk manusia. Itulah madu, minuman yang sangat baik untuk kesehatan siapapun yang hidup di dunia.
******
Beberapa hari kemudian.
Relina tengah berjalan menyusuri sisi jalan kota di pagi hari itu, dengan penuh semangat. Dia menjinjing keranjang berisi beberapa makanan kecil, yang dibuatnya sendiri di tempat kos. Dia mencoba peruntungan nasibnya dengan berjualan di depan sekolah dasar tak jauh dari tempat tinggalnya.
Saat itu sosok bayangan secara tiba-tiba, melintas di depannya, dia adalah seorang anak kecil yang berlari ke arah jalan raya, padahal jalanan waktu itu cukup ramai.
"Hei!" Relina berteriak keras, sambil mengejar anak itu dan refleks meninggalkan dagangannya begitu saja di trotoar.
Lalu, terdengar suara klakson mobil yang sangat kuat saling sahut menyahut, bersama dengan Relina yang berhasil menangkap anak itu, lalu secepat mungkin ia membawa anak itu, berlari, namun naas ia terjatuh, hingga ia berguling ke trotoar di seberangnya.
"Akh ....!" Pekiknya keras sambil meringis.
Bersambung
Beberapa hari yang lalu setelah Relina dipecat, gadis itu menggunakan sisa tabungannya untuk dijadikan modal dagangannya. Ia tidak mungkin pulang kampung saat itu karena jika pulang, maka ia akan sangat malu. Ia membanggakan pekerjan yang ia dapatkan, pada keluarganya, walaupun ia hanya jadi pegawai rendahan saja.
Kehidupan di kampung yang tidak maju dan hanya mengandalkan hasil pertanian saja, tidak lah menyenangkan walaupun bisa berkumpul bersama keluarga dan teman. Semua orang punya harapan dan masa depan yang dibangunnya, sebab tidak ada orang yang akan mempertanggungjawabkan masa depannya selain dirinya sendiri.
Ia membuat makanan dengan bahan dasar agar-agar rumput laut yang warna-warni yang ia cetak dalam wadah plastik sekali pakai. Idenya membuat makanan ini karena mudah, praktis dan menarik. Ternyata pikiran Relina benar, anak-anak Sekolah Dasar tempat ia menjajakan makanan, menyukai agar-agar buatannya. Selama ia berjualan di sana, makanan buatannya selalu habis.
Hasil yang ia dapatkan lumayan walau tidak besar, tapi cukup untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan bila ia hemat, ia bisa menabung setelah digunakan untuk membayar uang kos.
'Ahk, untunglah, terima kasih Tuhan'
Di sinilah dirinya saat ini. Ia yang berjalan ke sekolah penuh semangat, untuk berdagang demi mencari sesuap nasi, tengah meringis kesakitan. Ia menahan dengan sekuat hatinya, merasakan seolah-olah sekujur tubuhnya baru saja dipukuli, pakaiannya kotor dan rambutnya acak-acakan.
Ia menunduk, melihat anak kecil yang ada dalam dekapannya, khawatir dengan kondisinya yang sempat tertindih tubuhnya. Setelah berhasil meraih anak itu, Relina menegakkan tubuhnya kembali, saat itu ia berniat berlari sekencang mungkin ke seberang jalan.
'Yes, anak ini gak apa-apa. Aku berhasil, dan aku masih hidup!'
Hati dan pikiran sedikit merasa takut tertabrak, membuatnya tidak konsentrasi saat berlari dan hasilnya ia jatuh tersungkur. Demi menghindar agar tubuhnya tidak menindih anak dalam gendongannya dan agar tidak ada kecelakaan selanjutnya, ia pun berguling ke trotoar.
"Kamu nggak apa-apa kan?" Kata Relina sambil bangkit secara perlahan lalu mengusap kepala anak kecil itu, tapi ia justru menangis keras. Relina panik dan memeriksa tubuhnya mungkin ia terluka, tapi tidak ada. Ia bersyukur karena anak kecil itu baik-baik saja.
'Ahk, hanya kotor dan tanganku sedikit sakit, sepertinya cuma lecet, syukurlah'
Dalam sekejap suasana mendadak ramai, seperti sebuah kebiasaan di beberapa tempat, bila terjadi kekacauan atau kecelakaan seperti ini, akan menjadi bahan tontonan masyarakat.
Suara klakson mobil masih bersahutan karena ada beberapa kendaraan yang berada di bagian belakang tidak tahu apa yang menyebabkan kemacetan. Padahal pagi itu sangat sibuk, wajar bila beberapa orang tidak sabar.
"Kamu gimana, Neng? nggak apa-apa kan?!" tanya beberapa orang yang terlihat panik. Mereka bertanya saling sahut menyahut.
Relina menggelengkan kepalanya meyakinkan bila ia memang tidak apa-apa. Ia masih menghawatirkan anak kecil yang terus menangis keras, mungkin karena takut atau syok.
"Benar kamu nggak apa-apa, Neng?!" sekali lagi orang-orang bertanya bersahuta.
"Iya, iya, saya nggak apa-apa, saya baik-baik saja!" Akhirnya Relina menjawab tegas.
"Ini anak siapa, si?!" pertanyaan lain muncul kemudian di setujui beberapa orang yang riuh, mempertanyakan hal yang sama.
'Iya, anak ini mana ibunya, si?'
Orang-orang mulai ramai membicarakan apa yang mereka lihat dan saling mengutarakan pendapatnya masing-masing.
Tak lama datanglah seorang ibu bertubuh gemuk yang menangis sambil menyeruak kerumunan massa di sekitar Relina. Ibu itu menangis sambil memeluk anaknya yang tadi di selamatkan oleh Reli, kalau bukan karena gadis ini, siapa yang tahu apa yang akan terjadi.
Ibu gemuk itu sangat bersyukur anaknya baik-baik saja. Anak kecil yang tadi menangis pun menghentikan tangisan setelah dipeluk oleh ibunya.
Sementara lalu lintas di jalan menjadi macet, karena banyak yang berusaha menyeberang atau berkerumun mengganggu ketertiban.
Tentu saja beberapa kendaraan, yang tadi berada di barisan paling depan, berhenti mendadak. Para pengemudi pasti kaget melihat apa yang melintas di hadapan mereka, seorang anak kecil yang berlari di jalan raya.
Salah satu pengendara turun, ia adalah Junda. Laki-laki bertubuh tinggi berkulit cerah, wajahnya tampan dengan mata lancip dan alis tebal melengkung, dagunya seperti belah, serta leher yang kokoh. Ketampanannya dilengkapi dengan rambut lurus yang di cukur rapi, membuat penampilannya sempurna, pagi ini.
Seperti biasa, ia akan pergi ke kantor. Ada rapat penting pagi ini, itulah sebabnya ia memakai stelan jas rapi warna gelap kesukaannya. Hanya saja ia harus terlambat karena insiden pejalan kaki yang menyebarang sembarangan.
Pria itu membanting pintu mobil keras-keras, sambil bersungut-sungut. Ia memandang kerumunan lalu mendekati, sambil berkata dengan suara kuat.
"Siapa yang punya anak tadi?!"
Teriakannya sontak mengalihkan perhatian dari Relina dan semua orang.
'Pak, Junda? Ahk, kok bisa, si? Sial sekali aku!'
"Saya, memangnya kenapa?!" Sahut ibu itu sambil menghapus sisa air matanya. Ia sudah membawa anak kecil itu dalam gendongannya.
"Lain kali, ya Bu. Kalau bawa anak itu hati-hati! Lihat gara-gara anak ibu jadi macet seperti ini! Saya juga jadi terlambat! Mungkin bukan cuman saya, tapi orang lain juga!" Junda mengomel, meluapkan kekesalannya.
"Iya, iya Pak! Tapi gak usah marah. Bapak nggak rugi apa-apa, kan?" Jawab ibu gemuk.
"Kata siapa saya nggak rugi. Banyak kerugian saya, Bu!"
Dua orang berlawanan jenis itu terlibat pertikaian.
"Memang, iya ya, kalau orang kaya mah sombong. Mobilnya rusak aja nggak, bilang rugi!" Kata ibu gemuk itu lag.
"Kenapa kok jadi bawa-bawa Soal kekayaan? Gak ada hubungannya, Bu. Saya rugi waktu, saya terlambat!" Sahut Junda sambil menunjuk jam tangan bermerk di pergelangan tangannya.
"Ya sudah, kalau terlambat, berangkat sana!" Jawab ibu gemuk itu, ketus. Masih ada sisa rasa panik dan kesal pada anaknya, sekarang ada orang lain yang memancing emosinya.
Semua orang mulai berbicara, ikut mendukung salah satu di antara mereka. Mereka jadi adu mulut saling menyalahkan. Junda masih terlihat emosi, suasana hatinya keruh, bagaimana tidak, ia yang semula hendak menggurui seseorang yang dinilainya bersalah, justru tidak menerima kesalahnnya.
"Sudah, sudah, tidak ada yang salah, di sini!" Kata Relina, sambil melangkah dan menepuk-nepuk beberapa bagian bajunya yang kotor.
Junda menoleh ke sumber suara dan matanya pun mendelik sempurna melihat perempuan yang berdiri tak jauh dari dirinya. Dia tentu masih ingat bahwa gadis yang tengah berbicara itu,l adalah pegawai yang sudah ia pecat beberapa hari yang lalu.
"Oh, jadi semua ini gara-gara kamu, pantas saja sial!" Pekik Junda sambil menyentuh hidung dengan punggung tangannya.
"Apa maksud bapak?!" Reli bertanya penuh kekesalan. Ia tidak bersalah, tapi pria yang sudah memecatnya ini memfitnah, bahwa seolah-olah semua yang terjadi adalah kesalahnnya.
"Pasti gara-gara kamu jadi macet, jalan ini. Tahu?!" Junda meraih bahu Relina dengan keras dan mencengkram kuat.
'Aw ....! Sakit, tahu?'
"Enak saja gara-gara saya. Saya tadi ...."
Kata-kata Relina terputus karena ibu gemuk dan beberapa ibu lainnya menyela, melepaskan cengjraman tangan Junda dari pakaian Relina. Beberapa ibu-ibu yang bicara penuh semangat secara bersamaan, membelanya. Mereka melihat secara langsung sikap heroik yang Reli lakukan untuk menyelamatkan anak kecil itu.
Anak kecil itu belum mengerti kondisi jalan yang bisa membahayakan dirinya. Ibunya sedikit lengah saat sedang membayar barang-barang belanjanya. Saat kejadian, mereka tengah berada di warung kecil yang berdiri di sisi jalan raya, anak kecil itu terlepas dari pegangan tangannya hingga ia berjalan sendiri tanpa tahu ke mana arahnya.
"Jadi, gitu, Pak! Jangan asal nuduh orang kalau ngomong!" Kata ibu gemuk dengan nada keras diakhir ucapannya.
"Iya, jadi Neng ini yang nolong, bukan yang jadi gara-garanya." Beberapa orang juga ikut bicara.
Junda diam, tidak akan ada habisnya kalau ia terus meladeni para wanita itu bicara. Ia melirik Relina, sebelum akhirnya pergi meninggalkan kerumunan yang serentak menyalahkannya. Gadis itu meliriknya juga, sekilas mata mereka bertemu dan saling bicara, huruf-huruf beterbangan di udara membentuk sebuah kalimat, 'awas kau nanti, sudah membawa kekacauan dalam hidupku!'
Junda memasuki mobilnya kembali, masih terbayang tatapan mata Relina yang seperti mengiris nadi. Gadis itu secara tidak langsung membuat Junda menarik kesimpulan bahwa dia gadis pembawa sial.
Namun sejenak kemudian, ia menggeleng sambil terpejam. Secara tiba-tiba bayangan wajah Relina yang berpaling saat bertatapan, sambil menyibakkan rambutnya, terlihat manis di matanya.
Setelah itu terlihat mobil Junda kembali melaju dengan kecepatan tinggi.
"Neng! Terima kasih, ya!" kata ibu gemuk sambil memeluk Relina.
"Tidak masalah, Bu. Saya permisi." Relina baru saja hendak melangkah, tapi ibu itu melarangnya, ia ingin memberikan imbalan pada Relina yang telah menolong anaknya. Relina menolak, karena ia memang membuat satu misi pertolongan atau bantuan pada siapapun setiap harinya.
Mendengar penuturan Relina, ibu gemuk itu menjadi terharu dan ia hanya mengucapkan terima kasih atas kebaikannya lalu memanjatkan doa untuknya.
"Do'akan saja saya, biar bisa sembuh, Bu."
"Memangnya kamu lagi sakit sekarang?"
"Sekarang, saya sehat, kadang-kadang saja kambuh." Relina, menjawab sambil tersenyum.
"Iya, mudah-mudahan kamu cepat sembuh."
"Aamiin." Ia cukup senang hanya di do'akan saja, semakin banyak orang yang mendo'akannya akan semakin baik bagi kesehatannya.
Biar bagaimanapun juga ia masih ingin hidup lebih lama.
Ibu gemuk itu memberikan nomor ponselnya pada Reli, bila sewaktu-waktu ia membutuhkan sesuatu, ibu itu akan siap membantu. Relina pun menyimpannya baik-baik, sebagai penghargaan atas keinginannya.
Semua orang sudah membubarkan diri, suasana jalanan sudah normal dan Relina sudah menyeberang jalan lagi, kembali pada tujuannya semula. Ia akan berjualan, barang dagangan yang ia tinggalkan begitu saja di atas trotoar, sedikit rusak. Ia memilih beberapa yang masih bagus dan ia masih bersyukur karena masih banyak barang yang bisa jadi uang.
Bersambung
Suasana di pinggir jalan, yang biasa digunakan oleh Relina untuk berjualan begitu ramai. Jalanan pun penuh sesak oleh anak-anak, yang berhamburan pulang sekolah. Relina setia menunggu dagangannya, masih ada beberapa biji lagi yang masih utuh dan ia akan menjualnya di sana sampai habis. Sedangkan sebagian makanan sisa yang rusak karena kecelakaan tadi, ia bagi-bagikan kepada sesama pedagang dan juga ia menikmati sendiri.
Benar saja, beberapa anak pun membeli makanannya, hingga benar-benar habis. Setelah itu ia membereskan barang dan kembali berjalan menyusuri jalan pulang.
"Sudah habis, Neng?" Tanya seorang wanita yang sama-sama menjadi penjual makanan, di depan sekolah dasar bersama dengan Relina.
"Iya Bu, gimana dagangan Ibu, apa habis juga?"
"Oh, masih ada sedikit lagi, sengaja dibawa pulang untuk anak-anak di rumah."
"Oh, punya anak berapa, Bu?" jawab Relina tenang, sambil berjalan beriringan karena tujuan dan arah mereka, sama.
Sejak beberapa hari yang lalu, saat Relina mulai berjualan, mereka menata dagangannya, secara berdampingan. Wanita itu menjual gorengan, cilok serta siomay eceran, dengan cara ditusuk menggunakan batang bambu yang diserut dan dicelupkan ke dalam kuah berbumbu kacang.
Selama perjalanan, mereka saling bertukar cerita dan pengalaman, tentang tempat tinggal, keluarga, sekolah juga pekerjaan.
Relina pun bercerita kalau dirinya adalah seorang perantau dari luar daerah, ia berasal dari luar kota juga propinsi yang berbeda. Ia bisa berada di sana, bekerja dan kos di tempat teman kuliahnya, Keke, yang mengajaknya.
Ia tumbuh besar bersama ibu, ayah dan adiknya di salah satu desa jauh dari tempat tinggalnya sekarang. Ia mencoba mengadu nasib di kota dan Provinsi yang lebih besar.
Gadis itu mulai bekerja di kantor Junda, setahun setelah lulus kuliah, di salah satu perguruan tinggi swasta di kotanya. Dia tidak menyangka, setelah setahun dia menjadi pegawai di sana, dia harus meninggalkan pekerjaannya. Alasan pemberhentiannya pun tidak jelas, bahwa perusahaan sedang dalam masa pemulihan, sangat tidak masuk akal bagi Relina.
Mungkin inilah perjalanan hidup yang memang harus ia tempuh sebagai isi dari umurnya di dunia. Bukankah setiap perjalanan hidup manusia tidak pernah sama? Kalau bisa dilukiskan, kehidupan setiap manusia itu ibarat jalanan yang terus mendaki dan akan kembali turun bila sudah sampai batas usianya nanti.
Ketika sampai di persimpangan jalan, Relina berhenti, ia tersenyum saat mengakhiri cerita tentang keluarganya.
Ternyata tempat tinggal mereka, tak begitu jauh, dari tempat kos-kosan yang cukup besar. Tempat Relina, biasa dikenal dengan kos-kosan pelangi karena tempat kos itu sengaja dicat warna-warni dengan warna yang sangat mencolok mengikuti warna pelangi.
"Kebanyakan orang seperti Eneng ini, bekerja di perusahaan atau menjadi buruh pabrik, di sini kan banyak perusahaan, Neng bisa bekerja di sana, kenapa jualan beginian?" Tanya wanita itu dengan logat bahasa daerahnya yang kental.
"Saya masih melamar di perusahaan yang lain, Bu. Masing nunggu panggilan. Kemarin saya baru dipecat, sekarang saya melamar pekerjaan lagi, sambil jualan, lumayan daripada nganggur di tempat kos."
"Oh gitu ya, Neng," kata perempuan itu sambil mengangguk-angguk. "Semoga Neng, berhasil, diterima kerja di sana." Kembali wanita itu berbicara dengan bahasa daerah yang dicampur bahasa Nasional.
Relina bukan penduduk asli, ia adalah pendatang, sehingga ia belum biasa menguasai bahasa daerah di tempatnya. Bila ia bertemu dengan teman-temannya sesama pegawai waktu itu, ia akan diam dan hanya mendengarkan. Karena rekan kerjanya itu pasti berbicara menggunakan bahasa daerah, yang tidak ia mengerti artinya. Hanya Ane yang setia menjelaskan maksud pembicaraan mereka padanya.
Neng adalah panggilan yang umum digunakan oleh penduduk lokal, untuk memanggil seorang anak keci, remaja perempuan, atau wanita muda.
*****
Relina membukakan pintu untuk Ane, yang datang berkunjung ke kamar kost-nya, ketika gadis itu baru saja selesai mandi. Aroma sabun dan sampo menguar dari tubuhnya ketika sahabatnya itu masuk.
Mereka duduk bersila saling berhadapan di atas karpet kecil yang bisa digunakan untuk alas duduk sehari-hari oleh Relina. Ruangan yang melingkupi mereka kecil sesuai ukuran kamar kost pada umumnya.
"Maaf, Rel. Aku baru sempat ke sini. Gimana kabarmu?" Tanya Ane sambil bersandar pada dinding di belakangnya.
"Gak apa. Aku baik sekarang, udah lewat masa kritis," jawab Relina sambil menyodorkan segelas air mineral pada Ane.
"Masa kritis, sakit apa emangnya kamu, sakit hati sama pak Junda?"
"Iya, masa sih, gak ada angin gak ada hujan, langsung di pecat? Tanpa pesangon lagi." Relina kesal. Ia bekerja menggunakan hati, pikiran dan tenaganya, tapi semua usahanya itu seolah dibuang begitu saja tanpa di beri apa pun juga. Miris sekali nasibnya, di pecat sebelum ia mendapatkan gajinya.
"Coba deh, Rel, kamu intropeksi diri, siapa tahu ada sesuatu, atau sikap kamu yang memang buat Pak Janda, marah." Ane berkata sambil menyeruput air mineral di gelasnya.
Ucapan Ane membuat Relina termenung, sikap atau kesalahnnya pada Junda, sudah ia pikirkan sejak awal mengalami pemecatan, tapi ia memang tidak menemukannya. Misalnya sesuatu yang tanpa sadar atau tidak sudah menyinggung perasaan Junda.
Relina berpikir sangat keras, ia merasa ketika dalam kantor perusahaan, mereka jarang sekali bertemu, sesekali sekali, itupun hanya berpapasan saja. Jadi, kecil kemungkinannya dia bisa menyinggung perasaan atau berbuat salah pada Junda.
Sedangkan pekerjaannya pun tidak berhubungan langsung dengan bosnya itu, dia hanya diperintah, atau membantu semua tugas Syalu sebagai sekertaris perusahaan.
Selama ini, yang Relina rasakan selama bekerja, Syalu yang lebih sering bersikap tegas bahkan cenderung galak padanya. Dia sadar mungkin memang seperti itu perawakan dan wataknya, apalagi dia adalah bawahannya. Jadi wajar apabila Syalu sering marah padanya, bahkan dalam masalah lain yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugasnya.
Relina kembali berpikir, mungkin karena kesalahan atau masalahnya dengan Syalu inilah, yang membuat atasannya itu mengadu pada Junda, kemudian pimpinan perusahaan itu, akhirnya memecatnya.
"Oh, iya Rel, terus gimana sekarang lamaran kamu di PT Gunara, udah diterima?"
"Ah, belum, sudah seminggu aku kirim lamaran ke sana, tapi belum ada jawabannya."
"Gimana kalau gak diterima. Kamu mau ngelamar di tempat lain, sini aku kirimin CV kamu ke PT. Atmaja."
"Tunggu saja, kalau di perusahaan Gunara, gak ada ada jawabannya, baru aku kasihin CV aku ke kamu, oke?"
Ane mengangguk, minuman di gelasnya sudah habis.
"Kamu ngapain aja selama nunggu lamaran, beneran kamu jualan, mana daganganmu?"
"Iya aku jualan, buat muterin uang biar uangku nggak habis. Kalau daganganku sudah habis, aku nggak pernah bikin banyak-banyak ... sedikit, tapi sehari langsung habis."
Roda perputaran hidup terus bergulir dan tidak pernah berhenti, seperti itulah wajah dunia yang sekarang ditatap Relina. Ia harus menghadapi kenyataan yang di luar pikiran serta dugaannya. Ia tidak menyangka akan dipecat, dalam keadaan tidak memiliki uang, hingga ia berputar otak untuk mencari penghasilan.
Ane sahabat yang baik, ia selalu menolong dan memberikan bantuan, tetapi ia tidak akan selamanya bergantung dengannya. Ane juga membutuhkan uang, untuk keperluannya sendiri, mengingat mereka juga seorang perantau di kota itu.
Tiba-tiba saja Relina mengingat setu kejadian, saat ia berada di taman. Ia pun menceritakan semuanya kepada Ane, bagaimana ia berusaha menghindarkan Junda dari gigitan ular pohon yang berbisa. Ane kemudian berkata, ketika Relina sudah selesai bicara.
"Wah, bisa jadi bos mengecatmu karena itu."
"Aku nggak sengaja, dia tersengat lebah waktu itu, kerena kesalahannya sendiri, gak mau tenang, faripada dia digigit ular yang ada di atas pohon." Relina berkata dengan cemberut, seolah Junda ada di hadapannya, kesal sekali rasanya.
"Apa kamu yakin, ular itu mau menggigit Pak Junda?"
"Iya ular itu sudah bersiap-siap mau gigit orang di bawahnya, pas di atas kepala Pak Junda. Lebih baik mana, digigit lebah atau kepalanya dipatok ular?"
Mendengar cerita Relina, Ane tertawa.
"Harusnya, kamu waktu itu ngomong, kalau ada ular di atas kepalanya. Jadi dia gak marah!"
"Mau ngomong gimana? Waktu aku bilang diam, dia justru pergi."
"Aku pikir gitu, bisa jadi masalahnya dia kesal banget sama kamu. Aku sekarang baru tahu, Pak Junda pernah, gak masuk kerja sepekan, mungkin karena tangannya bengkak."
"Ah masa?"
"Hmm ..."
Ane bekerja di divisi yang berbeda dengan Relina, atau di divisi bagian pemasaran produk. Oleh karena itu, ia sering berhubungan dan bertemu langsung dengan Junda, termasuk bagian lain seperti periklanan atau promosi penjualan. Jadi ia tahu bila selama seminggu, bos perusahaan itu, tidak masuk ke kantor.
Tidak semua orang tahu penyebab ketidak hadirannya. Baru sekarang Ane tahu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah tangannya bengkak karena disengat lebah hari akhir pekan.
"Kalau gitu, kamu ngomong, minta maaf sama Pak Juanda soal kejadian di taman itu."
'Hais, buat apa?"
"Ya, biar kamu bisa diterima, kerja lagi di sana."
bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!