"Sah?"
"Sah!"
Pernikahan adalah suatu acara sakral yang mengikat 2 insan manusia dalam sebuah janji suci. Dengan harapan menjalani hidup bersama pasangan penuh kebahagiaan.
Alisia baru saja dipersunting oleh Mahendra Addison Wijaya. Seorang pria tampan kaya raya yang sangat kejam dan berkuasa.
Mahend adalah duda beranak satu, mendekati Siya agar bisa menaklukkannya, menjalankan misi balas dendamnya, hingga dalam kurun waktu kurang dari 2 bulan. Ia berhasil menjadikan wanita itu sebagai istrinya.
Alisia, gadis muda yang cantik dan energik. Berprofesi sebagai assistant perias pengantin. Mencintai Mahendra dengan ketulusan sepenuh hati, dan Mahendra juga selalu menunjukkan cintanya selama 2 bulan ini.
Namun ternyata semua berubah di malam pertama mereka.
Siya menunggu Mahend di sebuah kamar luas, mewah, bernuansa putih dengan pencahayaan remang-remang, yang sudah di dekorasi sedemikian rupa layaknya kamar pengantin baru.
Senyum Siya terus mengembang menghiasi wajah ayunya. Tentu saja dia merasa begitu bahagia. Ia telah menikah dengan orang yang sangat dia cintai, dan juga mencintainya. Pikir Siya.
Hingga___
'Klek..' suara pintu dibuka.
"Mas?" lirih Siya melihat Mahend yang datang masuk ke dalam kamar.
Entah mengapa Siya merasa raut muka Mahend berubah, tak seperti biasanya, sorot matanya terlihat dingin. Dan dia banyak diam.
"Mas?"
Siya berhambur kedalam pelukan sang suami, ia ingin mencurahkan seluruh cinta kasih yang ia rasa.
"Lep_paskan!"
'DEG'
Jantung Siya serasa berhenti, Mahend mendorong tubuh Siya dengan kasar. Dan nada suaranya juga meninggi.
"Mas?"
"Jangan ganggu aku, kau berisik sekali."
Mahend melangkah ke arah kamar mandi dan menghilang dari balik pintu yang sudah tertutup.
Siya menatap Mahend nanar, hatinya sakit, sikap Mahend padanya jelas berubah.
'Ada apa? Kenapa dia mengacuhkanku? Apa aku salah? Apa dia marah? Tapi kenapa? Atau karena dia lelah?'
Siya menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia menarik nafas dalam, menghembuskannya perlahan. Lalu mengelus dada.
'Tenanglah, dia mungkin merasa lelah.'
Siya mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia lantas bergerak menuju meja rias, melihat penampilannya sendiri yang masih berbalutkan gaun pengantin mewah nan anggun lewat pantulan kaca.
'Cantik.' batin Siya memuji penampilannya sendiri.
'Klek'
Pintu kamar mandi dibuka, tapi Siya tak menyadari.
Mahend menatap Siya tajam, ia tersenyum sinis. Nampak jelas kebencian di setiap aksen wajahnya.
Mahend melangkah. Ia mengacak rambutnya yang basah dengan handuk putih yang ia bawa. Mahend memakai celana panjang dan kaos.
"Mas?"
Siya menoleh saat melihat pantulan Mahend di cermin.
"Mas? Biar kubantu mengeringkan rambutmu."
Siya hendak mengambil alih handuk yang Mahend gunakan, dan lagi, Mahend menepis kasar tangan Siya.
"Aah? Mas? Apa salahku? Kenapa kau berubah?"
Mahend hanya tersenyum sinis. Ia lantas duduk di tepian ranjang. Menatap dingin pada Siya yang sudah terlihat sedih.
"Kau tidak tahu apa salahmu? Cih."
"Apa maksudmu, mas?"
Tanpa menjawab, Mahend berdiri dengan cepat dan mencekik leher Siya hingga tubuh Siya terdorong mundur dan membentur dinding.
"Aaahh?" pekik Siya kesakitan.
"Dengar, jangan membuatku marah dengan terus bertanya. Aku muak mendengar cuitanmu. Patuh. Dan aku tak akan begitu menyakitimu."
'Uhuk uhuk uhuk.'
Mahend melepas kasar tangannya yang mencekik Siya.
Tidak salah jika kini Siya sudah menangis. Pria yang sangat ia cintai, yang ia kenal begitu baik, hangat dan romantis. Telah berubah dalam sekejap mata menjadi Pria bengis, jahat dan kejam.
'Hiks hiks hiks'
"Nangis? Dasar lemah!"
Setelah itu Mahend melempar handuk itu ke muka Siya. Dan dia melangkah pergi, keluar entah kemana.
'Mas? Kenapa kamu berubah? Hiks hiks hiks'
Siya bersimpuh di lantai. Kekuatannya rapuh seketika. Semua hancur tanpa ia tahu sebabnya.
"Kamu kenapa Mas?"
Siya mengusap air matanya. Ia tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang hadir menyelimuti hati.
Siya mencari tasnya. Tidak ada. Ia ingin mencari ponselnya. Juga tidak ada.
"Dimana tasku?"
Siya masih terus mencari. Dan tak ia dapati.
Siya keluar dari kamar. Pintu tak terkunci. Ia melangkah tergesa.
"Permisi?"
Siya memanggil seorang pria berbadan tegap dengan pakaian rapi lengkap dengan sepatu pantofel hitam serta jasnya yang berwarna senada.
Pria itu hanya diam dan menoleh menatap Siya.
"Maaf, kau tahu dimana suamiku? Maksudku, Tuan Mahendra?"
"Dia sudah keluar, Nona." jawab pria itu tegas.
"Kemana? Ah, em? Baiklah, aku tidak tanya dia kemana. Tapi, bisakah kau membantuku? Aku kehilangan tasku, aku mungkin meninggalakannya atau, entahlah. Aku lupa, tapi aku sedang mencari ponselku, bisa kau pinjami aku ponselmu sebentar?"
"Maaf Nona. Anda tidak diizinkan untuk menggunakan telepon."
"Apa?" Siya kaget bukan kepalang.
"Sebaiknya anda kembali ke dalam kamar, Nona. Sebelum Tuan Mahend datang, dan Nona bisa terkena masalah."
"Bull_$h!.t.t" Siya mengumpat, dan dia kembali melangkah tergesa.
Kini ia menuruni anak tangga, turun kelantai bawah.
"Nona? Anda ingin kemana?"
Lagi, seorang pria dengan tampilan visual yang sama seperti pria sebelumya menegur Siya yang berlarian tergesa saat sampai di lantai bawah.
"Ah, em? Aku kehilangan tas dan ponselku, bisa kau pinjami aku ponselmu, atau mungkin telepon seluler di rumah ini?"
"Di rumah ini tidak ada telepon seluler, Nona."
"Kalau begitu, tolong pinjami aku ponselmu, aku butuh menghubungi seseorang."
Pria itu tak menjawab. Ia tak lagi melihat pada Siya yang bicara padanya. Tubuhnya tegap menghadap ke arah depan. Dan dia membungkukkan badan.
"Tuan?"
Siya pun ikut menoleh kebelakang. Ia membulatkan mata. Kaget, Mahend berjalan angkuh dari arah pintu utama.
"Mas?"
Tanpa basa-basi Mahendra menarik lengan Siya untuk ikut bersamanya.
"Mas?"
Siya terus meneriaki namanya. Entah kenapa kini hati Siya merasa takut tiba-tiba.
Mahend terus menariknya, menaiki anak tangga. Hingga mereka kembali masuk kedalam kamar.
"Aaahh?."
Tubuh Siya terlempar kasar ke atas ranjang. Mahend menatapnya tajam, rahangnya mengeras. Gigi-giginya beradu, nafasnya memburu. Ia terlihat sangat marah.
"Aaahh? M-mas?"
Mahend naik ke ranjang dan mencekik leher Siya kasar.
"M-mas? Sak-kiit?"
"Kau harus menerima hukumanmu segera. Hingga kau tahu batasanmu, dan tak lagi berani melawanku."
"A-pa mak-sudmu, mas?"
'Aahh? Hah haah haaahh'
Siya menarik nafas dalam dan banyak setelah Mahend melepaskan cengkraman tangannya pada leher Siya.
"Mas?"
Siya benar-benar takut, Mahend sudah melepas kaos dan juga celananya.
'Ssseerraaakkkk'
"Aah, Maasss?" Siya memekik, Mahend menarik dan merobek paksa gaun pengantinnya.
Mahend melakukan semuanya dengan kasar. Ia meminta haknya sebagai seorang suami dengan paksa.
"Mas?"
Siya berusaha mendorong tubuh kekar Mahend. Namun percuma. Tenaganya tak sebanding.
"Aku mohon jangan seperti ini, mas? Sak-kkiitt?"
Siya terus meronta. Mahend menyusuri wajah, leher dan d.a.danya. Namun tak ada kelembutan sama sekali yang Mahend lakukan. Semuanya dengan kekasaran dan kekerasan. Mahend menggigit, menautkan bibirnya pada bibir Siya dengan bringas. Bahkan tak jarang Mahend menampar wajah Siya saking bencinya.
'Plaakk?'
"Aaahh?"
"Diam, jangan melawan."
"Mas?"
"Ranjang balas dendam ini cukup baik, Sayang?"
Mahend meremas dengan kuat dan kasar d.a.da Siya. Siya menangis sejadi-jadinya. Hingga___
"Aaahh?" Siya melolong panjang, memekik penuh lirih ketika Mahend menerobos kedalam tubuh Siya hanya dengan sekali hentakan.
'Virgin?'
Bukan kisah seperti ini yang Siya harapkan sebagai cerita hidupnya. Cerita malam pengantinnya, malam pertamanya.
...****************...
Beberapa hari yang lalu semua masih terasa indah, Mahend menyayangi Siya dan juga memanjakannya.
Apalagi saat makan bersama keluarga. Mahend memperlakukan Siya seakan-akan dia adalah Ratu dalam hidupnya.
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
Siya terduduk di atas ranjang bersandarkan dipan. Air matanya merembes tas tertahan. Mengalir membasahi pipinya yang halus nan lembut. Bibirnya terkatup rapat. Sorot matanya hampa. Ia memegang erat selimut tebal di d.a.da yang menutupi seluruh tubuh polosnya.
Siya melirik Mahend yang masih terlelap tengkurap di sampingnya. Ia menatap pria yang dicintainya itu dengan pandangan kebencian. Iya. Cinta itu telah berubah menjadi benci.
Siya turun dari ranjang melangkah ke arah kamar mandi. Tapi langkahnya terhenti kala netranya menuju pada noda merah di atas sprei putih. *Sakit*. Satu kata yang menggambarkan hati dan juga bagian bawah Siya. Keduanya terkoyak secara bersama.
Siya membersihkan diri dalam diam di kamar mandi. Ia menangis meratapi kisah cintanya yang indah berubah nestapa di malam pertamanya.
Air shower yang mengguyur tubuh Siya menambah rasa perih di sekujur tubuh membuat Siya berlirih menahan sakit.
Siya berdiri di depan cermin wastafel setelah ia mandi. Terdapat luka lebam di wajah, ujung bibir. Pipi, bekas cekikan di leher. Lebam di kedua tangan, lengan. Dan yang memalukan adalah tanda kepemilikan hampir menutupi seluruh area d.a.da dan lehernya.
Siya keluar dari kamar mandi. Ia mengambil baju ganti lalu memakainya.
Siya menatap Mahend sang suami yang masih terlelap meski matahari di luar sana mulai meninggi.
"Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau berubah tiba-tiba? Kau tak seperti Tuan Mahendra yang ku kenal. Apa salahku sehingga kau melakukan semua ini padaku?"
'*Tok tok tok*?.'
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Siya. Ia melangkah meraih handle pintu dan membukanya.
"Nyonya, selamat pagi."
Seorang wanita berpakaian pelayan datang. Siya tak mengenalnya. Terlalu banyak pelayan di rumah besar ini, dan Siya baru datang 2 kali.
Siya mengangguk pelan.
"Ada apa?"
"Nyonya besar sudah menunggu di meja makan. Dia meminta saya untuk memanggil Tuan Mahendra dan juga Nyonya agar segera turun. Sarapan di lakukan jam 7 pagi, Nyonya."
Siya kembali mengangguk, pelayan itu membungkuk lalu undur diri. Dan Siya menutup pintu.
'*Bagaimana caraku membangunkannya, dia seperti singa kelaparan saat terjaga. Dan posisiku saat ini lemah, aku tak berdaya.Tapi, jika ia tak segera kubangunkan. Mama pasti akan marah. Kurasa, semua yang mereka tunjukkan padaku waktu itu adalah kepalsuan belaka. Mungkin inilah sebenarnya jati diri mereka*.'
Mahend menggeliatkan tubuh. Ia menguap dan mengucek mata. Siya kaget bahkan refleks mundur. Dia sebenarnya bukan gadis lemah yang mudah ditindas. Tapi apa yang dialaminya semalam. Jelas menyisakan trauma yang mendalam. Dan semua terjadi secara cepat.
Mahend sudah membuka matanya sempurna. Ia tersenyum sinis menatap Siya yang berdiri memperhatikannya.
"Apa kau begitu mencintaiku, Istriku? Sampai aku tidurpun kau tak memalingkan pandanganmu."
'*Cih*.'
"Mama menyuruh kita untuk segera turun. Cepatlah bersiap. Aku tak ingin ada drama lagi yang membuatku muak."
Nada suara Siya sangat tegas menantang. Mahend tersulut emosi dengan mudah. Ia membulatkan mata, menajamkan tatapannya pada Siya. Dengan cepat turun dari ranjang dan kembali mencekiknya.
"Aaahh?." Siya memegang tangan kanan Mahend dengan kedua tangannya. Mencoba melepas cengkraman tangan yang menyakitkan itu.
"Jaga sikapmu. Aku adalah suamimu."
'*Uhuk uhuk uhuk*.'
Siya terbatuk saat Mahend melepas cengkraman tangannya. Mata Siya merah dan sudah basah. Mahend meninggalkan Siya begitu saja masuk ke dalam kamar mandi.
"Suami macam apa yang menyakiti Istrinya dengan begitu tega? Aku menyesal telah menikah denganmu, Tuan Mahendra? *Hiks hiks hiks*."
Hanya air mata yang menjadi saksi kepiluan Siya, hatinya serasa di tikam. *Sakit*.
Setelah hampir 30 menit, Mahend telah siap. Siya hanya mematung duduk di tepian ranjang. Begitu banyak yang ia pikirkan saat ini. Dan Mahend menatapnya sinis.
"Cepat turun. Jangan menunggu aku yang menyeretmu dan mempermalukanmu di depan semua orang."
Siya menoleh ke arah Mahend yang sudah berlalu terlebih dulu. Keluar dari kamar meninggalkan Siya.
"Jam makan di rumah ini tidak berubah, Mahend? Tidak peduli meski kau adalah pengantin baru."
Nyonya Sabrina, Ibunda Mahendra Addison Wijaya. Janda berkelas yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah tak lagi muda.
"Berhenti membuat keributan, Mama! Atau Mahend akan pergi sekarang juga."
Sabrina terlihat marah dengan jawaban yang Mahend berikan. Ia memalingkan muka dengan angkuh.
'Apa ini semua? Bukankah hubungan mereka sangat harmonis saat pertama kali membawa ku kemari? Mungkin benar dugaanku, semua yang terjadi kemarin adalah palsu, dan inilah fakta dari semuanya.'
Siya tenggelam dalam lamunannya sendiri.
"Hah? Apa kau mendapatkan kepuasan setelah menjadikannya istrimu, Mahend? Kulihat luka yang kau berikan tak sepadan dengan luka yang Putraku rasakan."
Siya lekas mendongak, Sabrina menatap lekat pada bekas-bekas luka Siya.
'Apa maksudnya?.'
"Diamlah mamah, Dan makanlah dengan tenang, Siya adalah urusanku."
'DEG.'
Jantung Siya serasa berhenti berdetak. Dan ia kembali tenggelam dalam lamunan.
Mahendra dan Sabrina sudah menggerakkan sendok dan garpu mereka melahap hidangan sarapan. Siya malah hanya memutar-mutar sendoknya di atas piring.
'Apa sebenarnya ini semua? Aku akan meminta penjelasan pada Mas Mahend saat ada kesempatan nanti.'
"Apa kau tidak menyukai makanannya, Menantu? Apa menu itu tak sesuai dengan seleramu?" Sabrina bersuara tegas hingga mengagetkan Siya.
"Aaahh? Tidak mah. Ini enak, Siya suka."
Siya pun lekas menyendok makanannya lalu menyuapkannya kedalam mulut. Ia tak ingin kembali mendapat hukuman dari Mahend.
"Lim?" Mahendra memanggil Assisten kepercayaannya.
"Iya, Tuan?"
"Batalkan semua jadwalku hari ini. Aku akan menjemput Putraku di bandara."
"Baik, Tuan."
Hari ini, Alvaro Addison Wijaya, Putra tunggal Mahendra akan pulang dari Singapura. Setelah ia menghabiskan libur sekolahnya bersama sang Ibu yang telah berpisah dari Ayahnya.
Sabrina terlihat sangat sinis, Siya sempat memperhatikannya.
'Apa dia juga tidak menyukai cucunya sendiri? Oh Tuhan? Terlalu banyak rahasia dalam rumah ini.'
"Bersiaplah, kau harus ikut denganku."
Mahend berbicara pada Siya. Ia lantas berdiri dan naik kelantai atas terlebih dulu meninggalkan Siya dan Sabrina yang masih berkutat di meja makan.
"Mah, aku sudah selesai, aku permisi dulu." Siya mohon undur diri secara sopan pada Sabrina. Sabrina hanya tersenyum sinis.
Siya masuk kedalam kamar, terlihat Mahend duduk di sofa panjang yang ada di kamar mereka, Mahend tengah sibuk memainkan laptop. Lim berdiri di sampingnya.
"Kirimkan mereka peringatan, Lim. Jika mereka tak menghiraukannya, habisi mereka semua."
Entah apa yang sedang Mahend dan Lim bicarakan. Meski Siya mendengar percakapan mereka, tapi Siya bersikap seolah tak peduli.
Siya mengambil baju ganti. Ia akan mengganti baju di ruang yang bersebelahan dengan kamar mandi.
"Kau boleh keluar." ucap Mahend pada Lim yang langsung mendapat anggukan dari Lim sebagai jawaban.
"Waktumu 2 menit." Mahend kini berbicara dingin pada Siya yang hendak melangkah ke ruang ganti.
"Kau bicara padaku?"
"Apa ada orang lain disini? Cepatlah. Jangan buang waktuku. Atau aku akan menghukummu."
Siya mengkerut, dadanya berdebar. Setiap Mahend mengucapkan kata hukuman, Siya bergidik ngeri seketika.
Siya pun lari berhambur kedalam ruang ganti.
"Gila, yang benar saja? Memberiku waktu 2 menit untuk ganti baju? Sialan."
Siya ngedumel atas penindasan yang Mahend lakukan padanya.
'Aku harus bersabar, hingga mendapatkan semua titik terang dan kesempatan untuk kabur darinya.'
Tentu saja Siya sudah berpikir sejauh itu, akan percuma jika melawan sekarang. Apa lagi berusaha kabur, penjagaan di rumah dan di sekitar Mahendra tidaklah main-main. Sangat ketat. Hingga butuh rencana matang bagi Siya untuk mengatur semuanya.
Siya juga masih belum mendapatkan jawaban atas apa yang Mahend katakan. Tentang kesalahannya. Apa? Dan Sabrina yang mengatakan luka yang Siya dapatkan tak sebanding dengan luka yang dirasakan putranya. Semua itu masihlah tanda tanya.
"Aaaahh?"
...****************...
"Aaahh?." Siya memekik saat Mahend tiba-tiba masuk kedalam ruang ganti, sedangkan Siya masih belum selesai.
Siya menutup dadanya dengan baju yang belum ia pakai.
"Apa yang kau tutupi? Aku bahkan sudah melihat setiap inci dari lekuk tubuhmu itu, jangan kau berpikir aku tergoda. Kau bukanlah tipeku."
Perih, dada Siya terasa sesak mendengar setiap kata yang Mahend lontarkan padanya.
Mahend bergerak mengambil baju ganti. Ia juga akan bersiap.
"Jika kau tidak mencintaiku, lalu kenapa kau menikahiku? Kenapa kau bersikap seolah aku penting bagimu? Kenapa kau?"
"Diam?"
Mahend mencengkeram pipi Siya, membuat Siya terdiam seketika.
"Kau tidak diizinkan bertanya dan bahkan berbicara jika aku tak memintanya."
Mahend melepas tangannya dari wajah Siya dengan kasar. Mata Siya sudah basah. Sekuat apapun ia menahan agar tak menangis dan terlihat tegar, nyatanya batinnya tetap saja lemah, merasakan sakit yang teramat sangat.
"Aku mencintaimu dengan tulus, Mas? Dan inikah balasanmu padaku? Apa sebenarnya salahku padamu?"
'Plaakk.'
Satu tamparan mendarat di pipi Siya. Siya memegangi pipinya yang terasa perih dan kaku. Tangisnya semakin deras.
"Waktumu 2 menit telah habis."
Mahend meninggalkan Siya. Moodnya rusak dan dia mengurungkan niat untuk membawa Siya ikut serta ke bandara menjemput Alvaro putranya.
...****************...
Siya keluar dari kamar, ia bosan hanya berdiam diri tanpa kesibukan. Siya tak dapat melakukan apapun tanpa ponselnya.
'Dimana aku meninggalkan tasku? Kenapa aku bisa lupa?'
"Anda ingin pergi kemana, Nona?"
Seorang penjaga mengagetkan Siya yang berjalan gontai di lantai bawah dekat ruang tamu.
"Ah? Tidak, aku hanya merasa bosan di kamar, jadi aku keluar. Aku pun tak tahu mau kemana."
"Akan lebih baik jika anda kembali ke kamar dan menunggu Taun Mahend di sana saja, Nona."
Siya mengerti apa maksud ucapan pengawal itu, pasti semua orang Mahend juga sudah mengetahui bagaimana nasibnya.
Siya pun mengangguk dan membalikkan badan. Ia hendak melangkah kembali ke lantai atas menuju kamarnya.
"Dor, door, doorr. Kau kalah, Lim? Aku yang menang?"
Suara anak kecil yang nyaring menarik perhatian Siya hingga ia kembali menoleh kebelakang.
Mahend telah kembali, bersama Lim yang bermain tembak-tembakan dengan seorang anak kecil yang sangat tampan. Usianya 5 tahun. Meski Siya belum pernah bertemu dengannya, tapi Mahend pernah menunjukkan fotonya dulu beberapa kali, dialah Alvaro Addison Wijaya. Anak tunggal Mahendra sang suami.
Tanpa terkendali senyum Siya mengembang, ia memang menyukai anak-anak. Di tambah dengan Alvaro yang terlihat begitu lucu dan menggemaskan.
'Dia lebih tampan dari pada yang di foto.'
"Kau siapa?"
Mereka telah sampai di hadapan Siya, dan Al langsung melayangkan pertanyaan pada Siya.
"Aku?"
"Dia pengasuhmu, Al."
Siya yang hendak berlutut dan menjawab lekas mendongak kala Mahend sudah terlebih dulu bicara.
Siya menatap Mahend nanar.
'Sebegitu bencinya kah dia? Sehingga tak ingin memperkenalkanku pada anaknya sebagai istri dan ibu sambungnya?'
"Ah, menyebalkan." Alvaro lekas pergi meninggalkan Siya. Ia melangkah dengan cepat. Lim mengikuti.
Alvaro memang tak pernah menyukai para pengasuhnya selama ini.
"Kenapa kau mengatakan kalau aku pengasuhnya? Aku adalah Ibu Sambungnya, Mas?"
Mahend tersenyum sinis.
"Kau masih menganggap dirimu istimewa? Apa kau begitu bodoh hingga harus aku jelaskan semuanya? Hah?"
Mahend melangkah, Siya lekas mengekor.
"Kita harus bicara, aku lelah dengan semua ini."
"Aku tak ingin bicara apa-apa denganmu. Jangan membuatku emosi. Atau aku tak bisa mengendalikan diriku untuk tidak melukaimu."
Mahend pergi meninggalkan Siya. Dan meski mendapat penolakan. Siya tak peduli. Ia bergerak mengikuti langkah Mahendra yang masuk kedalam kamar.
Sebenarnya, cinta itu masih singgah begitu megah, hanya saja. Luka yang Mahend berikan begitu menyakiti batin Siya.
Mahend membuka dasi yang ia pakai, lalu ia melemparnya begitu saja. Siya mengambil benda itu dan merapikan. Mahend juga membuka sepatu dan membiarkannya tergeletak, Siya juga merapikannya.
'Apa dia ingin berperan sebagai seorang istri yang baik? Cih.'
'Klek!'
Pintu di buka.
"Papah?"
Alvaro masuk ke kamar Mahend tanpa mengetuk pintu.
Mahend dan Siya menoleh secara bersama karena kaget.
"Maaf, Tuan? Saya kalah cepat." Lim menyusul mengucapkan pembelaan.
Mahendra menatap Lim tajam. Lalu menggerakkan kepala nya meminta Lim untuk pergi, ia tak ingin terlihat marah di depan Al.
"Ada apa Al?"
"Kapan kita berenang?"
"Kau baru sampai, istirahatlah dulu, pasti kau lelah."
"Al tidak lelah, Papah. Al kuat." seru Al sambil mengangkat lengannya seakan menunjukkan otot yang sama sekali tak terlihat.
Siya menutup mulut menahan tawa, tingkah anak kecil memang selalu lucu dan ada-ada saja.
"Hei? Kenapa kau menertawakanku?"
Pandangan Al langsung tertuju pada Siya yang berdiri tak jauh di belakang Mahend. Dan masih memegang sepatunya.
Mahend pun ikut menoleh dan menatap Siya tajam.
"Aku? Ha ha ha, kenapa kau ge-er, Bocah? Aku tak sedang menertawakanmu."
Mahend dan Al membulatkan mata bersama. Geram dengan apa yang Siya katakan barusan.
Itu adalah cara Siya menghadapi anak-anak yang sedikit nakal dan tak menyukainya.
Mahend ingin marah pada Siya karena telah berani berkata seperti itu pada Al, tapi ia menahan diri. Jangan sampai marah di depan sang putra.
"Aku bukan Bocah." teriak Al berkacak pinggang.
"Benarkah?" Siya berjalan mendekat. Ia lantas berjongkok di depan Al. Mahend terus menajamkan sorot matanya yang seakan tak dipedulikan oleh Siya meski Siya melihatnya.
Siya memeluk tubuh Al tiba-tiba. Membuat Mahend dan Al semakin membulatkan mata dengan apa yang Siya lakukan. Siya kembali melepas tautan tubuhnya pada Al.
"Aaahh? Kau belum cukup tinggi untuk tidak kupanggil Bocah. Hi hi hi"
Siya kembali berdiri. Dan melangkah pergi masuk ke ruang ganti meninggalkan Mahend dan Alvaro dalam kebingungan.
"Papah? Dari mana kau mendapatkan pengasuh itu?." Al terlihat marah. Mewaris dari ayahnya.
"Apa?" Mahendra terkejut. Ia belum sempat menjawab dan Siya sudah keluar dari ruang ganti.
"Hei, Kau? Siapa namamu? Kau belum memperkenalkan dirimu padaku?" tukas Al.
Siya tersenyum sangat manis. Mendekat lalu berjongkok.
"Alisia. Kau bisa memanggilku Siya." ucap Siya memperkenalkan diri.
"Aku Al, Alvaro Addison Wijaya."
Siya semakin tersenyum mendengar Al yang memperkenalkan diri dengan angkuh layaknya orang dewasa.
"Aku tahu. Kau tak perlu repot-repot memberitahuku." Siya sengaja menggodanya. Dan dia berdiri.
"Hei? Kau tidak sopan bicara begitu padaku?"
Mahend dari tadi hanya menoleh ke sana dan kemari bergantian pada Al dan Siya.
"Kau juga tidak sopan saat bicara padaku, jika kau ingin dihormati, maka kau juga harus belajar menghormati orang lain. Berhenti memanggilku dengan sapaan hei, itu tidak enak di dengar untuk sekawan."
"Sekawan? Memangnya kita kawan?"
" He em." Siya mengangguk antusias.
"Kita adalah kawan. Kita adalah satu tim yang akan berpetualang menjelajah seluruh alam." Siya mengatakannya penuh semangat, ia tahu jika Al sangat menyukai petualangan dan penjelajahan. Mahend pernah mengatakannya dulu saat mereka masih pacaran.
"Kau pernah berpetualang?"
"Aku pernah mendaki gunung."
"Sungguh?"
"He em."
"Ceritakan padaku.?" Alvaro mengekor pada Siya yang sudah berjalan keluar dari kamar.
Mahend terperangah seakan tak percaya. Bagaimana bisa putranya yang dingin dan nakal menyukai Siya dan bahkan mengekor padannya secara tiba-tiba?.
"Apa dia memantarai Al?"
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!